“Bangsa Indonesia menyebut tanah air Indonesia sebagai ibu pertiwi.
Begitu pun di dalam kebudayaan suku-suku asli Papua, dimana tanah dimaknai sebagai: 1) mama atau
ibu, 2) identitas diri, 3) tempat hidup, 4) simbol kepercayaan, 5) pengikat
kekerabatan dan pembentuk relasi sosial, 6) aset penghidupan”.
Peran perempuan dalam
pembangunan secara global dapat dilihat pada
Millennium Development
Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium dalam
Konferensi Tingkat Tinggi Milenium, oleh negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa (PBB)tahun 2000 di New York. Semua negara yang hadir dalam pertemuan
tersebut berkomitmen untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program
pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian masalah terkait
dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan
kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan.
Ada 2 tujuan dalam MDGs yang menyinggung soal
peran perempuan dalam pembangunan, yaitu dalam tujuan ketiga, mendorong
kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan. Serta dalam tujuan kelima, yaitu
meningkatkan kesehatan ibu. Ya, ibu dan perempuan menjadi isu yang penting
dibahas, karena dari perempuanlah lahir kehidupan, dari ibu yang baik lahir lah
generasi muda penerus bangsa, baik laki-laki dan perempuan sebagai pelaku
pembangunan.
Ibu dan tanah, dua hal yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan.
Seperti ibu yang menjadi awal kehidupan, dari tanah pulalah sebuah kehidupan
lahir. Banyak suku bangsa yang menganologikan negerinya, bangsanya dan tanahnya
sebagai ibu. Bangsa Indonesia menyebut tanah air Indonesia sebagai ibu pertiwi.
Begitu pun di dalam kebudayaan suku-suku asli Papua, dimana tanah dimaknai sebagai: 1) mama atau
ibu, 2) identitas diri, 3) tempat hidup, 4) simbol kepercayaan, 5) pengikat
kekerabatan dan pembentuk relasi sosial, 6) aset penghidupan.
Sebuah film dokumenter
dari Merauke berjudul Mama Malind su
Hilang, bercerita tentang masyarakat di kampung Zenegi yang kehilangan
hutannya, dimana perusahaan telah
membabat ribuan hektar hutan dan berniat mengonversikan 169.000 hektar dari
lahan itu menjadi perkebunan akasia dan eukaliptus. Hanya air mata, sakit hati
dan penyesalan, melihat tanahnya rusak, hutannya hilang, sagu dan hewan buruan
yang sulit didapat.
Lapangan pekerjaan yang
terbuka luas, hanya menjadi sebuah impian, karena masyarakat asli yang terbiasa
meramu dan berburu “kalah telak” dari para sarjana lulusan universitas. Mama Malind su Hilang, menggambarkan
seorang anak yang kehilangan mamanya, seorang anak yang hanya bisa menangis
karena semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri, karena pembangunan atas nama
moderenitas.
Seorang
perempuan tidak bisa dipisahkan dari kodratnya sebagai ibu. Tanah dan hutan
adalah ibu bagi orang Papua. Tanah adalah bagian dari kerak bumi yang tersusun
dari mineral dan bahan organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua
kehidupan di bumi, karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan
hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Arsyad (2010) menyatakan bahwa
tanah mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai sebagai matriks tempat akar
tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, (2) sebagai sumber unsur hara bagi
tumbuhan.
Kedua fungsi tersebut dapat menurun atau hilang. Hilang atau
menurunnya fungsi tanah inilah yang kita sebut kerusakan tanah atau degradasi
tanah. Hilangnya fungsi kedua dapat segera diperbaiki dengan pemupukan, tetapi
hilangnya fungsi pertama tidak mudah diperbaharui atau diperbaiki karena
memerlukan waktu yang sangat lama, puluhan bahkan ratusan tahun untuk
pembentukkan tanah. Kerusakan
tanah dapat terjadi oleh (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik dari
daerah perakaran, (2) terakumulasinya garam di daerah perakaran (salinisasi),
terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi
tumbuhan, (3) penjenuhan tanah oleh air (water
logging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut
menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan
atau menghasilkan barang dan jasa (Riquir, 1977 dalam Arsyad, 2010).
Berbicara
soal tanah tidak dapat dipisahkan dengan air, karena dimana ada tanah disitu
ada air. Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang
tanah sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi
air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk
pertanian dengan seefisien mungkin, sehingga tidak terjadi banjir yang merusak
di musim hujan dan terdapat cukup air di musim kemarau. Konservasi tanah
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan
yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu
dan tempat-tempat di hilirnya. Berbagai tindakan konservasi tanah juga
merupakan tindakan konservasi air (Arsyad, 2010).
Dahulu pemerintah Belanda telah menetapkan daerah Jawa
sebagai daerah produksi pangan, daerah Sumatera produksi perkebunan, daerah
Irian/Papua sebagai paru-paru dunia dengan mempertahankan hutannya ataupun
dijadikan daerah perkebunan karet. Mengapa demikian? Jawabannya karena
pemerintah Belanda tahu potensi dari masing-masing daerah. Hutan Papua yang
hijau merupakan sumber keanekaragaman hayati sekaligus sebagai “pabrik”
penghasil oksigen bagi dunia. Apakah dengan alih fungsi lahan, hutan ditebang
untuk perkebunan sawit dan sawah, masih ada filter
yang melindungi kita dari emisi karbon? Apakah masih ada akar-akar pohon di
hutan yang dapat melindungi kita dari bencana banjir di musim hujan dan
kekeringan di musim kemarau? Apakah banjir bandang di Wasior Kabupaten Teluk
Wondama akibat penggundulan hutan pada tahun 2010 lalu, belum cukup
meninggalkan duka mendalam bagi kita?
Hutan dan karbon, dua
hal yang berbeda namun memiliki hubungan yang saling melekat dan tidak
terpisahkan. Oksigen (O2) dihasilkan melalui proses fotosintesis oleh
tumbuhan dan karbon dioksida (CO2) dihasilkan melalui proses
pembakaran hutan dan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara (berbahan dasar
fosil makhluk hidup). Masih ingatkah kita tentang berita di bulan Juli 2015,
ketika saudara-saudara kita di Kabupaten Lanny Jaya mengalami kekeringan selama
satu bulan dan setelah itu terjadi hujan es? Dampak dari peristiwa ini
dilaporkan ada 11 warga meninggal dunia. Peristiwa di Lanny Jaya merupakan
salah satu dampak dari pemanasan global akibat emisi dari gas-gas rumah kaca.
Para ilmuwan menganologikan bumi seperti rumah kaca yang menyerap dan “tidak”
memantulkan kembali panas matahari yang jatuh ke bumi. Sebenarnya “efek rumah
kaca” ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena
tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Segala sumber energi yang ada
di bumi berasal dari matahari, ketika sampai ke bumi energi matahari berubah
dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan
menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya yang berwujud radiasi
infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. “Efek rumah kaca” menjadi
negatif ketika “gas rumah kaca” berupa
uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2) dan metana (CH4)
menjadi perangkap bagi gelombang radiasi yang seharusnya memantul ke luar
angkasa, menjadi terperangkap di bumi, sehingga menyebabkan terjadinya
pemanasan global.Inilah alasan mengapa dunia menyebut hutan Papua dan
Kalimantan sebagai “paru-paru dunia”, karena salah satu peran dari hutan adalah
sebagai penyaring “gas-gas rumah kaca”.
Hutan Papua
dikenal sebagai paru-paru dunia, sebagai penghasil oksigen yang gratis
didapatkan tanpa membeli. Apakah tidak cukup hutan Papua dibuka untuk tambang? Mana
janji maniskemakmuran bagi sang
pemilik hak ulayat. Masih banyak air mata, tangis dan rasa ketidakadilanbagi
sang pemilik hak ulayat. Apakah kekayaan alam Papua harus dikuras
habis-habisan? Apakah harus melihat “ibu kita” berdarah-darah karena
dieksploitasi dengan rakus untuk menggemukan “perut” segelintir orang. Sedangkan
anak kecil menangis kelaparan diatas tanahnya yang kaya? Hutan yang hijau pelan
tetapi pasti berubah menjadi perkebunan sawit dan sawah. Bukankah makanan pokok
orang Papua sagu dan umbi-umbian? Apakah ini bukan sebuah penjajahan model
baru? Penjajahan bertema pangan. Lidah orang Papua diajar untuk merasa lapar
kalau belum makan nasi.
Perempuan,
sosok yang sering disepelekan akibat budaya patriarki. Sehingga para lelaki
sering menganggap remeh kaum perempuan dan para perempuan rentan menjadi korban
kekerasan. Minuman keras menjadi salah satu pemicu tindakan kasar para lelaki. Tidak
bisa dipungkiri, di tanah Papua, banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan
tidak boleh menyatakan pendapatnya, apabila “salah” mengeluarkan pendapat yang benar,
makian, hinaan bahkan pukulan dari kaum lelaki menjadi “makanan wajib”.Padahal
asap dapur tetap mengepul, berkat usaha dan kerja keras dari para perempuan
ini.
Dengan cara memanfaatkan lahan di sekitar rumah atau mengolah tanah di
kebun untuk menanam sayur-mayur dan umbi-umbian. Dari tangan mama-mama inilah
lahir para cendekiawan, para pemimpin asli Papua. Banyak tokoh penting di tanah
Papua yang lahir dari tangan mama-mama yang berjualan hasil kebun di pasar.
Menjadi suatu kebanggaan sendiri karena terlahir dari perempuan yang kuat,
perempuan yang mengubah kelemahannya menjadi suatu kekuatan besar yang dapat
mengubah dunia, banggalah karena terlahir dari rahim seorang perempuan Papua.
Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) adalah pembentukan pasar tunggal, yang nantinya
memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara
lain di seluruh kawasan Asia Tenggara. Dengan adanya MEA kompetisi dalam
menjual barang dan jasa, serta kompetisi dalam mendapatkan pekerjaan akan
semakin ketat. Peran pemerintah adalah memberi bekal kepada masyarakat
khususnya mama-mama asli Papua, yang selama ini menggantungkan hidupnya dengan
bercocok tanam dan menjual hasil kebunnya di pasar. Memberikan pendampingan
kepada mereka yang hidupnya di kampung-kampung, yang hidupnya masih bergantung
dari berburu dan meramu dari alam. Mempersiapkan mereka untuk menghadapi
perubahan ini, bukan malah membiarkan mereka semakin terpuruk dan terpinggirkan
“atas nama pembangunan” di tanahnya sendiri. Perempuan Papua, dalam hal ini
mama-mama yang berkebun dengan kearifan lokalnya. Suatu kearifan lokal yang
telah diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain, selama ini telah
melaksanakan tindakan pertanian yang berasaskan tindakan konservasi tanah dan
air.
Pola
pertanian mama-mama Papua yang berkebun tanpa menggunakan pupuk kimia, pengolahan
tanpa mesin-mesin pertanian (minimum
tillage) hanya mengandalkan tenaga manusia dan peralatan sederhana, seperti
parang, kapak dan pacul. Tindakan mencampurkan tanah dari kandang babi, atau
penambahan serasah dan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah, merupakan suatu usaha
untuk mengembalikan kesuburan tanah. Atau penambahan abu dari dapur, sebuah
tindakan sederhana yang lazim dilakukan oleh mama-mama petani. Tindakan
pemberian abu tungku di lahan pertanian yang menjadi budaya, merupakan suatu
tindakan untuk mengurangi tingkat kemasaman tanah (menaikkan pH tanah) sehingga
tanaman dapat tumbuh dengan baik. Mama-mama Papua telah melakukan tindakan
konservasi tanah dan air melalui kebiasaan sederhana yang dilakukannya. Tetapi
bagaimana mama-mama dapat berkebun sehingga asap dapur tetap mengepul apabila
hutannya, lahannya, tanahnya pelan tetapi pasti diubah menjadi sawah dan perkebunan
sawit?
Bukankah
selama ini banyak orang mencari dan membeli sayur dari mama-mama Papua karena
diyakini bebas dari penggunaan pupuk kimia dan pestisida? Bila jeli melihat
sayuran atau umbi-umbian dari mama-mama Papua, dapat menjadi suatu komoditas
pertanian bernilai ekonomi tinggi karena berlabel “organik”. Bukankah pola
hidup sehat mulai menjadi tuntutan, untuk menghindarkan diri dari berbagai
penyakit degeneratif seperti kencing manis, penyakit jantung koroner,
osteoporosis dan kanker. Sehingga orang lebih memilih mengkonsumsi sayuran
berlabel organik.
Dengan pasar untuk mama-mama Papua, yang dijanjikan oleh
bapak Presiden Jokowi, segala hasil kebun mama-mama dapat ditampung disini.
Tentunya perlu pendampingan dari para ahli baik dari dinas terkait maupun dari
kalangan akademisi, agar “mengawinkan” ilmu kampus dengan ilmu kampung. Agar
hasil kebun mama-mama bisa berproduksi optimal, tanpa meninggalkan kearifan
lokal (tindakan konservasi tanah dan air tetap dijalankan). Sehingga hasil
kebun dapat diproduksi secara kontinu atau berkelanjutan, dengan kualitas prima
yang siap bersaing hingga ke pasar global. Produk yang dipasarkan pun bukan
hanya produk segar, ada pula produk olahan. Perlu polesan teknologi, sehingga
produk umbi-umbian dan sagu tidak kalah saing dengan produk-produk lain.
Bantuan teknologi diperlukan untuk “mengubah wajah”sagu dan umbi-umbian agar diterima secara global. Melalui
pengolahan sagu dan umbi-umbian menjadi aneka keripik, tepung dan kue. Selain
itu, kualitas produk olahan harus diperhatikan, yaitu berlabel halal, bersih
dan higienis.
Di
pasar mama-mama asli Papua dapat dijual aneka kerajinan tangan, seperti noken
(tas khas Papua dan setiap daerah memiliki noken yang berbeda baik bahan maupun
motifnya), atau dapat pula dipasarkan kerajinan tangan dari bahan bekas seperti
yang dibuat oleh mama-mama Mappi di belakang Rumah Sakit Umum Merauke.
Di pasar
mama-mama asli Papua dijual pula ikan, kepiting dan udang hasil tangkapan dari
rawa-rawa dan sungai di Merauke. Tetapi apakah masih ada rawa-rawa? Kalau semua
hutan telah berubah menjadi kebun sawit dan sawah? Apakah mama-mama Papua bisa
mendapatkan tangkapannya? Atau hanya pukulan yang diterima dari pasangan karena
tidak ada makanan di dapur dan anak-anak menangis kelaparan. Semoga di pasar
mama-mama Papua, ada warung yang menjual makanan khas Papua, berupa sagu dan
umbi-umbian rebus yang dimakan berteman lauk dari hasil tangkapan mama-mama
sendiri. Ada warung yang menjual makanan dan juga menampilkan hiburan berupa
lagu dan musik daerah, yang dinyanyikan para pemuda yang selama ini hanya dicap
sebagai “tukang minum”. Di pasar mama-mama Papua, para pemuda yang selama ini
mendapatkan “stigma negatif” dapat diarahkan untuk mengembangkan talentanya,
misalnya talenta bernyanyi dan bermain musik.
Di
kebun mama-mama asli Papua, dapat disisihkan luasan kurang lebih 5 x 5 meter
untuk ditanami sebuah pohon yang mempunyai nilai investasi tinggi, seperti
pohon Merbau atau pohon kayu besi ataupun kayu jati. Di sekeliling pohon
tersebut, dapat pula ditanami aneka tanaman obat-obatan tradisional yang selama
ini hanya diperoleh dari hutan. Misalnya tanaman sirih hutan atau pun tanaman
yang memiliki nilai budaya seperti anggin/puring (Codiaeum variegatum). Tanaman anggin di Merauke memiliki nilai
budaya sehingga sering digunakan dalam acara-acara adat, pohon anggin menjadi
pohon yang wajib ditanam di taman kota, perkantoran, sekolah-sekolah maupun
sebagai tanaman penghias jalan. Bila jeli melihat, dapat dijadikan sebuah usaha
pembibitan anggin untuk dijual.
Pemerintah Papua perlu
belajar dari negara Singapura atau Hongkong, dua negara yang secara sumberdaya
alam jauh sekali dari tanah Papua. Tetapi mengapa kedua negara ini, menjadi
negara yang makmur? Sektor jasa dan pariwisata menjadi jualan utama bagi roda
perekonomian kedua negara tersebut. Singapura dikenal sebagai salah satu negara
tujuan wisata di Asia, juga tempat berobat para artis, pejabat dan milyuner
dari Indonesia yang berobat di Rumah Sakit Mount Elizabeth. Bukankah suatu
sumberdaya alam apabila diambil terus-menerus, sumberdaya tersebut akan habis?
Frangky Sahilatua dalam
lagunya Tanah Papua menggambarkan
tanah Papua sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi”. Sebuah surga yang indah karena pemandangan
alamnya, surga yang kaya akan hasil hutannya, hasil tambangnya dan hasil
lautnya. Siapa yang tidak kenal Raja Ampat? Salah satu destinasi wisata surga bawah laut karena keindahan
terumbu karangnya yang termasuk terkaya di bumi. Siapa yang tidak tahu PT
Freeport? Sebuah perusahaan tambang raksasa di Timika Papua, sebagai penghasil
tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia. Penjelasan secara lengkap
tentang tanah Papua dapat dibaca di dalam buku Ekologi Papua terbitan tahun 2013. Dari segi botani Papua memiliki 15.000 jenis tumbuhan berpembuluh.
Khususnya sekitar 2.000 jenis anggrek, lebih dari 100 jenis Rhododendron, satu jenis Araucaria yang besar dan purba sebagai
pohon tertinggi di Papua, juga damar (Agathis
labillardierei), pohon-pohon penting lainnya seperti merbau (Instia bijuga), matoa (Pometia pinnata), angsana (Pterocarpusindicus) dan kenari hitam (Dracontomelon).
Dari segi
faunanya, burung mendominasi vertebrata Papua dengan 600 jenis yang tercatat.
Fauna burung yang istimewa mencakup 25 jenis burung cendrawasih, tiga jenis
kasuari dan kira-kira 2 lusin beo, merpati, burung pemangsa dan burung
raja-udang. Codot, kangguru pohon, possum dan tikus paling terwakili di antara
180 atau lebih jenis yang ada. Amfibi mencakup lebih dari 150 jenis katak,
reptil terdiri dari 2 jenis buaya, 61 jenis ular, 141 jenis kadal dan 11 jenis
biawak. Ikan mencakup sekitar 150 jenis air tawar dan lebih dari 2.250 jenis
ikan laut (sekitar 1.500 diantaranya hidup di ekosistem terumbu karang).
Keanekaragaman avertebrata hutan tidak terbayangkan, jenis serangga lebih dari
100.000 dan baru sebagian kecil yang dideskripsikan. Ada juga kepiting air
tawar, sejumlah udang air tawar dan udang karang, serta banyak lintah pengisap
darah. Dari segi budaya dan bahasa, Papua memiliki sekitar 250 bahasa.
Pemerintah
perlu mengembangkan potensi Papua dari sektor pariwisata, sehingga budaya anak
bangsa dapat dilestarikan. Ada wisata budaya seperti, Festival Danau Sentani,
Festival Lembah Baliem, Festival Ndambu di Kimaam, perlu dibuat pameran ukiran
Asmat dan noken Papua yang menjadi warisan budaya dan tercatat oleh UNESCO (organisasi
internasional di bawah PPB yang mengurusi segala hal yang berhubungan dengan
pendidikan, sains, dan kebudayaan). Ada pula wisata alam seperti, wisata bahari
di Raja Ampat, melihat musamus (rumah rayap) di Meraukeatau melihat gua Jepang
di Biak.
Papua memiliki budaya serta keindahan alam “yang menjual”. Peran
pemerintah adalah bagaimana mendorong masyarakat asli Papua untuk berwirausaha,
dengan memanfaatkan setiap potensi yang dimiliki. Karena melalui sektor swasta,
lapangan pekerjaan baru dapat diciptakan.Ada cerita menarik dari 2 orang putra
dan putri terbaik bangsa.Dua-duanya sarjana pertanian, yang lelaki sarjana
pertanian jurusan ilmu hama dan penyakit dari Institut Pertanian Bogor, putra
asli Keerom. Seorang lagi, putri Papua asli Merauke jurusan Ilmu Tanah dari
Universitas Brawijaya Malang. Sepulang menimba ilmu dari tanah Jawa, ilmu yang
mereka terima dari kampus diterapkan dengan menjadi petani buah naga, petani
karet, petani lada. Mereka membuka lapangan kerja bagi saudara-saudaranya
sendiri orang asli Papua, dan tentunya mereka tidak perlu menjual tanah.
Perempuan,
tanah, air dan karbon. Sebuah hubungan yang terjalin erat antara mama-mama
Papua dengan alamnya. Terjadi hubungan yang harmonis dalam menjaga alam, suatu
usaha pertanian berbasis kearifan lokal yang menerapkan teknik konservasi tanah
dan air. Sehingga tanah dan air tetap lestari. Melalui usaha pertanian mama-mama
Papua pula, pohon-pohon dan hutan tetap terjaga. Menjaga hijaunya pepohonan
sebagai penangkal emisi karbon.
Mari kita bijaksana mengelola alam
ini, sayangi dan cintai tanah Papua seperti engkau mencintai ibumu sendiri.
Untuk laki-laki Papua yang masih melakukan kekerasan dalam rumah tangga, ingat
dari rahim perempuan Papualah lahir generasi penerus bangsa. Sayangi dan
hormati perempuan Papua. Stop kekerasan terhadap perempuan Papua.
Semoga sagu dan umbi-umbian tidak
perlu dibeli dari luar Papua, karena tanah Papua sekarang menjadi penghasil
minyak sawit dan padi.
#anak kampung dari Merauke#
0 Komentar