Beranilah, Kau


 Oleh : Zelly Areane

Beranilah, kau
seperti candu dalam aliran darah menuju otakmu.
Bukan terhadap lenanya, tapi desakannya yang menuntut tumpas kesadaranmu.

Beranilah, kau
tak lagi untuk gembira
tapi untuk mengasah kepedihan
agar tajam sintesa gelakmu


Beranilah, kau
bukan untuk teks-teks bahagia kosong yang ompong melawan realita,
tapi untuk esensi,
bahwa bahagia bukanlah bahagia itu sendiri,
ia adalah panen dari kontradiksi yang disemai oleh kejujuran dan keberanian,
Dan kontradiksi tak mau bersahabat dengam selimut kedamaian palsu.

Beranilah, kau
membuka dan memeriksa sejarahmu (bukan menghapusnya),
demi sebuah kesimpulan: semua variabel dari tindakan sadarmu harus berwujud kontradiksi baru,
yang bisa salah bisa benar,
dan peluang kebenaran hanya bergantung pada sejauh mana kau bertanggung jawab dan menakzimi sejarah; variabel-variabel dialektika yang berhasil kau simpulkan, tidak dari pengalamanmu sendiri, tapi dari pengalaman seluruh manusia.
Dan dunia sudah menyediakannya buat kita.

Beranilah, kau
untuk bergelut dengan sepi,
karena keramaian di luar sana tak mau menanggung lukamu; mereka hanya mau keceriaanmu.
Oleh karena itu mereka semu, mereka adalah kawan yang palsu.
Beranilah, kau
untuk berkata YA, sekaligus berkata TIDAK.
“Ya atau tidak, itu saja”**.

Beranilah, kau
membebaskan; melepaskan; memerdekakan,
mereka yang paling kau sayang;
yang paling kau butuhkan.
karena hidup bukan penjara,
Widji tahu itu, dan kitapun tahu.

Beranilah, kau
bukan seperti air yang mengalir
tapi arus yang membalik, melawan, menggulung kepalsuan.
dan inilah yang akan memerdekakan kau; sehormat-hormatnya manusia.

Beranilah, kau
untuk menelisik kenapa kau tidak tau,
karena sesungguhnya kau tau,
karena kau sudah punya senjata untuk memeriksa pengetahuan,
jangan tak mau tau,
jangan batasi pengetahuanmu,
ataukah hendak menyembunyikan kontradiksi?
karena tak mau konsekuensi yang (hingga dapat) meluluhlantakkan jiwa raga?
bukankah itu artinya kepalsuan?

Beranilah, kau
bercinta pada ilmu, bersetia padanya.
Hingga kau mengerti nikmatnya kesetiaan dan perihnya pengkhianatan.

Beranilah kau,
untuk berjeda sejenak,
satu ketukan, dua ketukan, pun berharga,
hanya untuk memikirkan:
apakah langkah kakiku sudah pada jalan yang benar?
apakah lenganku sudah menopang lebih banyak persoalan?
apakah otakku sudah berpikir lebih dalam?
apakah pengetahuanku sudah membuat aku merasa tambah bodoh?
apakah mataku sudah sanggup tersenyum pada mendung, dan hatiku gembira mendendangkan hujan?
apakah kejujuranku masih disandera oleh apologi tak mau menyakiti dan takut konsekuensi?
apakah aku sudah menjadi sebaik-baiknya manusia?

Kau tau?
Inilah awal bagi bahagia yang sejati.
Yang membuat kau mau hidup lebih lama untuk mendapatkannya.

Beranikah aku?


Posting Komentar

0 Komentar