![]() |
Sumber Foto : historia.id |
Oleh, Topilus B. Tebai
AMSTERDAM, 14 Juni 1941.
Pelabuhan milik kota kecil di atas pasir
pantai yang dalam sekejab menjadi seperti kota terbesar di Nederland dan
seperti pusat dunia karena rempah-rempah Hindia Timur (Indonesia) ini. Sangat
ramai. Beberapa kapal telah menurunkan layar. Beberapa kapal sedang bersiap berlayar.
Bangsa Nederland Belanda berlahan bangkit, bagai benalu nan subur menghisap
nadi sang pohon, begitu ia maju karena rempah Nusantara.
Kapal putih itu
kelihatan gagah dari yang lain. Itulah St. Monicca. Ia tengah bersiap berlayar.
Pemiliknya? Dia seorang pemuda bujangan, anak seorang keturunan darah biru di
lingkungan kerajaan Nederland. Jhon Reoland Van Loursef namanya.
“Kapten, St. Monicca siap berlayar.” Seorang anak kapal melapor.
Berlahan, Reoland
menuruni tangga kapal. Ia begitu berat meninggalkan perasaan yang lama ia
pendam. Ia yang kini berusia 18 tahun, rasanya sudah cukup waktu untuk mengikat
janji cinta dan setia. Ia jatuh cinta kepada Marcellia Sudhorf, gadis berdarah
Hindia Timur itu. Ayahnya berada di lingkungan kerajaan, ibunya orang Hindia
Timur, anak bangsawan tanah Pasundan.
Marcellia gadis anggun.
Alisnya tipis di atas mata birunya yang bagai cerah cakrawala tanpa sehelai
awan. Titik hitam matanya kuat menusuk. Rambutnya berombak seperti gadis
Pasundan membuat lenggok wajah bulat ovalnya penuh daya magis. Kulitnya agak
cokelat. Banyak mata terpesona kala bibir tipis ranumnya mekarkan senyum.
Tak mungkin Reoland
urungkan niatnya juga kali ini, seperti kejadian 3 tahun yang lalu. Bila
diurungkan? Huh..! Ia tidak ingin membayangkan. Marcellia termasuk gadis idaman
setiap lelaki. Ia tak ingin satu tahun berselang, kelak, ketika ia kembali,
Marcellia telah menjadi milik orang lain.
Tiba-tiba, Reoland jadi
begitu bersemangat menaiki tangga gereja. Ya, Marcellia selalu di gereja.
Membersihkan gereja, membantu pastor tua Jhon Dmusford mempersembahkan misa
harian, macam-macam. Reoland dekat dengannya. Dan sepertinya, cinta Reoland
tidak bertepuk sebelah tangan.
“Marcellia.”
Gadis anggun bermata
biru itu menoleh. Bibir merahnya merekah. Ia tersenyum menyambut pangerannya.
“Aku.. aku ingin
berlayar.. berlayar lagi.”
Reoland berkata terbata-bata.
Sepintas, wajah Marcellia dirundung mendung. Ada awan-awan cokelat dan hitam
bergelantungan dan petir siap-siap menggelegar menjadikan titik-titik bening
menodai mata indahnya.
“Dapatkah saya bertanya
padamu?” tanya Reonald. Mata Marcellia berbinar. Akhir-akhir ini, pertanyaan
itulah yang ia tunggu untuk ditanya pangerannya. Marcellia diam-diam amat
mencintai Reoland. Tiba-tiba bayangan gadis dari Hollandia, West Papua, sebuah pulau
mirip surga dalam imajinya itu, yang rambut keriting pirangnya terjuntai sebahu
menutupi kulit halusnya itu, ia terbayang dalam imaji Reoland. Cepat melintas,
hadis bagai penyihir, menghapus semua rasa cintanya pada Marcellia di hati
Reoland.
Ya, waktu itu, tiga
tahun silam, di pantai Hollandia, salah satu pelabuhan terbesar di pulau Surga
itu, ia bertemu bidadari. Ia terpana. Tergoda. Bayanngan Marcellia berlahan tersingkir,
terpojok, hingga hilang ketika matanya beradu pandang dengan sepasang mata
cokelat manis di pantai Hollandia. Dialah gadis pribumi pulau Surga itu.
“Reoland...”
Hm... maa ... maa aaf,
maaf Marcellia. Mengapa kau di gereja?” tanya Reoland yang baru saja bangun
dari lamunannya itu tergagap menanggapi tepukan tangan Marcellia.
Mendung jelas terlihat
di wajah Marcellia. Reoland baru
tersadar akan apa yang diucapkannya yang tidak menyambung pembicaraannya. Ia juga
melihat mendung itu di wajah bidadarinya.
“Marcellia, maukah kamu
menungguku pulang 1 tahun lagi?”
Muka Marcellia memerah.
Ia menunduk. Mengangguk dalam malu-malu yang dibuat-buat, tersipu dan bahagia.
Kalimat dengan nada-nada demikianlah yang ditunggunya dari tadi. Marcellia
sudah ingin lebih dulu mengatakan padanya bahwa ia punya perasaan yang tak
dapat ia jelaskan dengan kata-kata. Ia ingin celalu dekat dengannya. Ia ingin
Reoland menemaninya dalam hidup. Ia ingin mengatakan ia telah jatuh cinta
padanya. Tapi siapa dia? Dia hanya seorang wanita Nedherland berdarah Timur. Ia
merasa tak pantas mendahului lelaki mengutarakan perasaannya.
“Marcellia, 1 tahun
lagi, aku akan pulang. Aku akan kaya dengan Gaharu, Kayu Manis dan Damar dari West
Papua. Kita akan menikah.”
Marcellia bahagia.
Matanya berbinar.
“Reoland. Saya janji akan setia menunggu kedatanganmu dari menara
gereja. Ketika kapalmu merapat, hanya Tuhan yang tahu, betapa bahagianya aku.”
***
15 JUNI 1941, St.
Monicca angkat jangkar. Reoland, sejak kecil ia menjadi anak kapal. Ketika itu,
ia masih berusia 7 tahun, ketika kapal yang mereka tumpangi karam di laut
India. Reoland kecil memeluk sebuah papan, mengapung bersamanya, terombang
ambing di tengah gelora samudera Hindia, sampai akhirnya, ia sadar ketika ia
berada di rumahsakit Amsterdam. Ia diselamatkan ayah dari ibunya Marcellia,
yang juga adalah pedagang rempah.
Ayahnya meninggal pada
kejadian itu. Ia kemudian menjadi penguasa St. Monicca, kapal yang ditinggal
pergi oleh ayahnya. Bersama ibunya ia hidup tidak lama juga karena tidak lama
berselang, meninggal juga, kembali
bersatu dengan suaminya di alam baka. Reoland yang baru 10 tahun kala itu harus
hidup mandiri.
Ia dengan anak buah
kapalnya tidak lagi berdagang rempah Nusantara sejak saat itu. Mereka merintis
dan menekuni usaha baru: berdagang gaharu, kayu manis dan damar. Sejak saat itu, ia tidak
lagi berlabuh di pelabuhan Banten seperti ayahnya untuk rempat-rempah. Tidak
juga di Pasundan dan Ternate-Tidore. Ia kini ke sebuah pulau baru yang aneh,
kaya, unik dan misteri, jauh ke timur: West Papua, sebuah pulau dalam kawasan
pasifik.
Oh, ya. Soal gadis
berambut pirang keriting itu! Sejak 3 tahun yang lalu, ia mengenal seorang gadis
Melanesia di pinggiran pelabuhan Hollandia. Ayahnya hanya seorang anak buah kapal yang kerjanya membongkar
muatan. Anak gadisnya itu biasa datang ke pelabuhan mengantar makanan buat
ayahnya. Oleh kebaikan hati ayahnya, Reoland juga mendapat jatah makan setelah
mereka kenal.
Siapa gadis Melanesia
itu? Reoland tak tahu siapa namanya. Ia hanya kenal ayahnya, David. Siapa
ibunya? Ia tak tahu juga. Dimana rumahnya? Tak penting bagi Reoland. Ia hanya
tahu, ia biasa datang ke pelabuhan. Pasti rumahnya tak jauh dari pelabuhan. Ia
wanita berkulit cokelat dengan rambut pirang keriting, kemerahan, selalu
tergerai setiap angin pantai berhembus. Kaos-kaos tipis yang dikenakan memang
kalah kelas dari gaun bertabur pernik hiasan milik Marcelia, tapi kecantikan
alamiahnya justru tampil natural dan itu ada di tingkatan tertinggi dalam
klasifikasi kecantikan menurut Reoland dalam hatinya.
Apalagi matanya dan
bulu mata lentiknya saat ia mengedipkan mata. Lenggokan pingulnya kala
melanggah anggun. Kelincahan dan gestur tubuh yang lepas-bebas dan ekspresif
itu, semua menjadikan wanita West Papua ini semakin melebihi gambaran bidadari
dalam imaji Reoland. Wanita itu telah mengambil seluruh perhatiannya sejak
pertama matanya bertemu mata gadis itu.
Pada pertemuan
terakhir, Reoland ingat betul, ia pernah duduk bersama dengan gadis itu. Dengan
ayahnya, mereka makan bersama di pelabuhan itu. Tatapan dan kedipan mata gadis itu
yang tak mampu ia usir jauh dari bayang-bayang sosok wanita ideal menurutnya.
Di hadapan wanita West Papua ini, Marcellia jelas jauh tersingkir. Wanita
cokelat manis itu tampil tidak dengan satu kelemahan pun di meja pertimbangan
dan keputusan dalam hati Reoland.
Kenyataannya, ia lebih
dulu telah mengenal Marcellia. Janji akan melamarnya telah terucap. Maka
Reoland punya misi khusus untuk perlayarannya
ke West Papua kali ini: ia ingin mengenal lebih dekat gadis Melanesia tak
bernama itu. Ia ingin menemukan minimal satu saja kelemahan dalam diri gadis
Melanesia itu. Ia ingin menjadikan kelemahan gadis Melanesia itu untuk mengusir
bayangannya dari dalam hatinya. Ini semua agar dirinya dapat mencintai
Marcellia sepenuh hati.
***
AWAL November 1941, St.
Monicca dengan selamat membuang jangkar di pelabuhan Hollandia, West Papua. Ia
adalah daerah jajahan baru Nederland, yang secara administrasi dan kepengurusan
terpisah dengan wilayah jajahan Nederland lainnya.
West Papua adalah pulau
misteri yang menggoda banyak pelaut Nederland, sejak tahun 1600, ketika Willem
Janz melaporkan perjalanannya menelurusi pantai barat dan selatan Papua, dan
penemuannya terhadap sungai Digul, sebuah sungai utama dari pulau misteri
itu. Janz lalu menginspirasi Le Maire
dan Schouten untuk tahun 1616, menjelajahi Teluk Geelvink dengan Byak dan Serui
sebagai dua pulau utama di tengah teluk ini. Lalu giliran Jan Carstenz pada
Februari 1623. Bertolak dari Maluku, ia menemukan sebuah gunung salju, lalu
menamainya Carstenz.
Setelahnya, pada 24
Agustus 1828, pemerintah Belanda dirikan benteng Fort du Bus di teluk Triton,
Kaimana. Benteng yang didirikan oleh komisaris A.J. Van Delden ini jadi simbol
kekuasaan Belanda atas West Papua, yang peresmiannya bertepatan dengan ulang
tahun raja Belanda, Willem I. Lalu tahun 1875, Belanda resmi mencatat West
Papua yang saat itu bernama Nieuw Guinea sebagai wilayah jajahan. Rambatan
perdagangan mulai memasuki West Papua sejak 1890, kala berusahaan pelayaran Belanda,
Koninklijke Paketvaart Maatschappij/KPM
mulai melayari pesisir pantai utara West Papua, dilanjutkan pada 1894, pos
perdagangan Belanda didirikan di Manokwari.
Pada 23 Mei 1894, agama
Katholik sudah masuk ke West Papua melalui Le Cocq d’Armandville SJ di Sekeru,
Fak Fak. Lalu pada 16 Mei 1895, Inggris dan Belanda membagi Nieuw Guinea
menjadi dua. Belanda membagi West Papua yang telah menjadi bagiannya tahun 1898
menjadi dua wilayah afdeling, yakni Afdeling Noord Nieuw Guinea berpusat di
Manokwari dan Afdeling West en Zuid Nieuw
Guinea berpusat di Fak Fak. Lalu tahun 1901, satu afdeling lahir, Zuid Nieuw
Giunea berpusat di muara Kali Maro, Merauke. Lalu tahun 1904, status
Hollandia menjadi sub-afdeling dari Afdeling Noord Nieuw Giunea.
Pada 7 Maret 1910,
dicetuskan Deklarasi Batavia oleh Belanda. Isinya, wilayah Nederlands Nieuw Giunea tidak termasuk wilayah Hindia Belanda. Batas Hindia
Belanda adalah dari Aceh sampai Maluku. Sementara Nederlands Nieuw Guinea bersana Suriname
langsung di bawah pengawasan Belanda. Maka St. Monicca memang tidak susah untuk
mendapatkan akses kepada penduduk setempat di Hollandia karena ia telah
berkembang cepat sejak 1890-an karena perdagangan dan pelabuhan laut telah
dibangun.
Sejak pagi, anak buah
kapal St. Monicca sudah sibuk dan hilir mudik bongkar muatan. Beberapa barang
yang dititipkan orang-orang di Nederlands untuk pemerintah dan orang-orang di
West Papua diturunkan. Ayah dari gadis itu juga turut kerja. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, anak gadisnya datang di siang hari mengantar makan buat
ayahnya.
Dengan cerdik, Reoland
mendekati gadis Melanesia itu, yang belakangan diketahui bernama baptis Maria
Imaculatta. Berhari-hari ia mendekati, duduk bersama, bercerita panjang dan
lebar, makan bersama, Reoland tak menemukan setitikpun kelemahan pada wanita
Melanesia itu. Dalam pandangannya, penilaiannya, Maria Miaculatta tampil
sempurna di hadapannya!
Tapi ia berusaha sekuat
tenaga agar ia sendiri tak yakin dengan penilaiannya. Pasti ada satu kelemahan
dari Maria, pikirnya. Maka sederet wanita yang selama ini ada dalam daftar
wanita ideal dalam batok kepalanya itu (tentu saja Marcellia ada di urutan
pertama daftar ini) ia hadirkan sebagai pembanding. Wanita Melanesia asal bibir
pantai utara West Papua ini tetap tak tertandingi. Kecantikan naturalnya, budi
baiknya, senyum meronanya, kesederhanaan dan kesopanannya, gerak ekspresif yang
energik dengan tetap mempertahankan gemulai standar seorang wanita itu, semua
hanya membuat Reoland terpana: ia temukan wanita yang pantas berada di urutan
pertama daftarnya. Maria mengalahkan semua wanita yang ia puja!
Semakin ia mendekati,
berusaha menggali segala sesuatu tentang diri Maria, ia semakin jatuh hati
padanya. Semakin gigih ia mencari kelemahan, semakin banyak pula kelebihan dan
hal-hal positif yang ditampilkan Maria, makin kuat pula cintanya. Bayangan
Marcellia awalnya hadir duapertiga dalam imajinya. Semakin ia mengenal Maria,
bayangan Marcellia menjadi setengah. Kini, hampir seperempat saja tersisa
bayangan Marcellia. Lebihnya? Maria, gadis West Papua itu telah merebutnya.
Segala yang baik yang
mesti dimilik seorang wanita ideal dalam imajinya sepertinya telah menjadi
bahan-bahan yang digunakan Sang Tuhan membentuk wanita West Papua yang satu ini.
Setelah barang
dibongkar, dagangan telah laku, kini Reoland memerintahkan anak buahnya membeli
gaharu, damar, dan kayu manis dari beberapa tengkulak yang didatangkannya dari
beberapa daerah terpencil di sekitar Teluk Triton.
Setelah muatan penuh,
St. Monicca bersiap untuk berlayar kembali. Dan kenyataan bahwa ia akan
berlayar kembali meninggalkan Maria Imaculatta itu membuat malam itu menjadi
malam terberat bagi Reoland. Ia tidak dapat tidur malam itu. Betapa tidak, ia
akan segera tinggalkan gadis itu, Maria,
seorang anak dara pulau Sorga yang sempurnanya melebihi bidadari, yang
keseluruhan tubuh dan jiwanya seakan-akan dibentuk dari segala unsur-unsur
dalam kriteria wanita idaman menurut seorang Reoland.
Yang terbaik ada di
depan mata. Haruskah ia meninggalkannya? Pikiran ini membuat matanya tak
terpejam. Lalu berlahan-lahan terpejam tapi tak kunjung dibawa lelap.
Asisten mandor dek
gudang yang mengontrol semua aktivitas barang masuk dan keluar kapal yang
bertanggungjawab pula atas keberadaan semua barang di atas St. Monicca yang
tetap terjaga hingga larut malam itu telah mencurigai kegelisahan kaptennya,
Reoland. Ia terlihat seperti orang yang punya beban pikiran, berkali-kali
mondar mandir di gelandak kapal, lalu masuk lagi ke biliknya. Tiga kali. Tapi
siapa dia di kapal dagang ini? Ia tidak berani bertanya.
***
1 DESEMBER 1941. Pagi-pagi,
di ufuk timur, fragmen-fragmen sinar matahari yang berhasil menerobos
pohon-pohon kelapa dan bakau di bibir pantai utara telah berhamburan hingga ke
dalam kapal. Matahari semakin meninggi. Lalu lihatlah, St. Monicca yang diam
manis di bibir pantai Hollandia dengan pasir putih indah West Papua itu kentara
dirusak pemandangannya oleh aktivitas anak buah kapal yang siap-siap. Sangat
sibuk.
Di pelabuhan, ciumlah
aroma ikan bakar dari kelompok anak buah kapal yang sedang bakar-bakar, acara
tetap anak kapal St. Monicca sebelum meninggalkan West Papua. Numpung ada di
pulau Surga, pikir mereka. Ikan sesegar itu jarang di Amsterdam. Lalu lihatlah
barisan anak buah kapal yang sibuk mengangkut sayuran hijau, umbi-umbian dan
tepung sagu untuk bekal perjalanan. Beberapa anak buah kapal sibuk dengan bibir
yang tak henti berolahraga: bernegosiasi dengan penduduk West Papua untuh harga
beberapa jenis burung Cenderawasih untuk dibawa pulang ke Nederland sebagai
oleh-oleh.
Matahari telah di atas
kapal saat St Monicca siap angkat jangkar. Tapi sang kapten, Reoland, ia tidak ada di kamarnya sejak pagi.
Ia hilang tanpa jejak. Di atas mejanya dalam kamar, hanya ada secarik kertas
yang ditandatangani Reoland, yang isinya memerintahkan asistennya, Van Boegar,
yang tak lain adalah pamannya sendiri,
untuk memimpin St. Monicca kembali menuju Amsterdam, karena mengikuti
situasi dunia antara Jepang dan Amerika akhir tahun itu, Reoland telah
berfirasat buruk.
Satu bulan, seluruh
anak kapal St. Monicca mencari Jhon Reoland Van Loursef. Hollandia geger dengan hilangnya seorang anak bangsawan
bernama Jhon Reoland Van Loursef. Segala usaha dilakukan. Namun Ia tidak
ditemukan. Lalu tibalah putaran waktu pada Minggu pagi tanggal 7 Desember 1941.
Perang Pasifik pecah, dimulai oleh serangan armada Jepang terhadap pangkalan
Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawai. Pagi itu, 19 kapal dan
122 pesawat milik Amerika dihancurkan Jepang. Setidaknya Amerika yang sesumbar mulut
memproklamirkan diri jadi jawara dunia tunduk dengan menjadi mayatnya 2.400
pasukannya di ujung keganasan barisan Samurai Jepang. Dengan cepat Jepang
menguasai pasifik, sudah termasuk hingga ke West Papua. Belanda di West Papua
segera menyingkir ke Australia.
St. Monicca segera
menghentikan pencarian dan bersiap balik ke Nederlands. Tapi tanpa Reoland. Ya,
tanpa sang kapten dan pemilik kapal. St. Monicca kini sepenuhnya dalam kendali
Van Boegar.
Sekembalinya, di
Amsterdam, St. Monicca disambut seorang gadis jelita yang telah lama menunggu
kapal putih itu merapat di pelabuhan. Dialah Marcellia Sudhorf. Dengan
dandanannya yang teramat menawan, gadis itu terlihat bagai bidadari.
Kapal merapat. Anak
kapal turun satu demi satu. Boegar yang tak mengerti maksud Marcellia di dermaga
pelabuhan yang ramai itu hanya meliriknya sekilas saja sambil berdoa dalam
hati, semoga anak perempuanya itu kelak secantik dia.
Tidak bertemu yang
ditunggu, Marcellia naik ke menara gereja. Selama hidup ia tidak menikah. Ia
tolak belasan lelaki yang mendekatinya. Hanya satu yang dia cintai: Jhon
Reoland Van Loursef. Ia menunggu Reoland dari menara gereja, seperti janjinya, sampai ajal menjemput Marcellia
pada usia 57 tahun. []
0 Komentar