![]() |
Pesona Anggrek Papua, Kadang Tak Seindah Nasib Orangnya |
Oleh, Topilus B. Tebay
Engkau pergi dariku sepuluh
tahun yang lalu dan sejak itu, kecuali foto dengan diadi facebook yang menunjukkan kau benar-benar sudah pergi, aku tak
mendapat kabar apa-apa tentangmu. Kau juga tak kunjung datang saat jubah putih
ini tersemat tanda imamat. Mataku telah lelah bersusah payah menemukan senyum
dengan lesung di pipimu itu di tengah ribuan wajah yang terarah padaku. Mataku
mencari-cari tiada henti apakah kau akan datang dengan pakaian hitam yang kau
ambil dariku sepuluh tahun yang lalu itu, seperti janjimu. Aihh, sepuluh tahun
bukan waktu yang singkat. Aku tahu, Maria. Tapi di hatiku ini, di dalam taman
anggrek kita ini, kau telah menumbuhkan sepokok anggrek yang pernah mekar. Ia
masih ada. Pokoknya masih ada. Hanya saja tidak berbunga. Ia kekurangan
sari-sari nutrisinya. Sayangnya, hanya kau pemiliknya.
Kau tak datang juga.
Lalu sudah setahun sejak imamatku, kau masih tetap hilang. Tidak ada bahkan
sepotong pun kabar tentangmu.
Akhir-akhir ini kurindu
dirimu. Seminggu yang lalu, usai bermimpi aneh, aku duduk-duduk sambil
menikmati pokok anggrek di taman kita. Ia kelihatan getir di tengah
ketidakpastian: hidup tak mampu, mati tak sudi. Lihatlah daunnya, menguning.
Tangkainya telah mengering. Kupikir-pikir, ia harus mati. Tapi saat mataku
sampai hingga ke ujung-ujungnya, lihatlah Maria, ada sebuah kuncup bunga. Akan
ada anggrek mekar lagi di taman kita. Kaukah itu yang datang diam-diam,
menyelinap saat aku tak sempatkan waktu melihatmu karena sibuk dengan katakese,
pendidikan untuk peserta penerimaan komuni pertama dan permandian, lalu
menyiraminya dengan sari-sari nutrisimu lantaran iba pada anggrek di taman kita,
lalu pergi menghilang karena takut mengusikku yang kini telah memproklamirkan
diri menjadi milik semua umat Tuhan, aku tak mengerti.
Setelahnya, di depan notebook, aku terhenyak sesaat di depan
puisimu... . Ingatkah kau saat kita mendiskusikan judulnya? Engkau menginjak hari
kedua setelah HUT ke-18, ... kita saling tukar foto... dan novel. ... dalam
cerita itu, yang kau sukai adalah si anggrek dan si ular. Maka pagi itu kau
telpon aku, cerita, ‘aku ingin anggrek’.
Saat itu kita masih
remaja dan betapa polosnya, ...kita di kelas duabelas sekolah menengah atas
milik yayasan Muhammadiyah.
Kendati kita sudah
punya banyak anggrekmekar di taman kita, kau jawab, ‘aku mau satu yang jadi
milikku seorang, aku akan memeliharanya, menumbuhkannya’. Tentu saja di samping
anggrek, kaumenginginkan seekor ular. Lalu dengan kenakalan manjamu yang
dibuat-buat itu, kau sengaja mencampakkan keinginanku yang sederhana di hadapan
apa yang mustahil. Bagaimana mungkin aku menolak mencarikan seekor ular setelah
engkau berhasil mendapat angrek?
Kau dan aku sejak awal
sama-sama mengerti bakal jadi begini ujungnya: kita semakin jauh. Semakin terpisah.
Semakin hambar cintanya, cinta tanpa makna dan nyawa. Entalah. Tapi senyummu
itu selalu meluluhkan hatiku, berdaya magis mendinginkan mendidihnya darahku
saat kau dan ularmu itu menari-nari menginjak-injak angrek mekar di taman kita,
membuaiku dengan semua yang manis yang keluar dari mulutmu yang termanis. Aku
kau cocok hidung seperti induk sapi, lalu kau peras aku: ini dan itu.
Kusanggupi semuanya. Kuberikan semua. Benar-benar seperti itulah kau
sesungguhnya, sumpah, saya tidak tipu. Kau tuannya dalam cinta kita.
Susu yang kauperas dari
puting-putingku itu kau pakai buat besarkan ularmu di taman anggek kita. Kau
pakai buat menggemukannya. Kau pakai buat ... Aiihhh. Kampret! Kau tahu, aku
manusia dan bukan sapi perahmu. Kau tahu,
kala itu, doaku membubung tanpa kata-kata. Kau tahu, aku mencintaimu
dengan amat sangat dan kau sangat paham itu. Lalu kau nistai ketulusanku di
hadapan si ular yang mirip benalu menghabiskan setiap gelas susu yang kau dapat
dari putingku itu.
Sungguh, itu semua
bukan kenangan yang baik. Tak pantas kukenang di saat-saat seperti ini. Maafkan
aku, Maria.
***
Minggu lalu aku
bermimpi tentangmu. Kau menjelma jadi wanita gelandangan, terlihat tua.
Jorok! Pakaianmu, astaga...
compang-camping! Tak pantas bidadari asal Aikai yang diciptakan paduan
keindahan pagi danau Wissel dan pesona mistik yang menantang milik bukit
Bobaigo itu terlihat seburuk ini. Kau yang secantik tanjung Wisai itu tak layak
memakai baju dan rok kain yang kotor dan dekil, yang seakan-akan kau kenakan
setelah sebulan lamanya tertimbun di dasar tumpukan sampah pasar Karang Nabire.
Aku berdiri agak jauh darimu, bau amis menyegat. Dengan tangan kututup mulut
dan hidung.
Mataku tak lepas
sedetik pun darimu. Aku sungguh tak percaya. Sumpah!
Kau menunduk, berjalan
menyeberangi lalu lintas di malam yang basah. Sudah pukul dua subuh. Pundakmu...
kau menggendong tas plastik yang kau pungut dari comberan. Aku ragu pada
penglihatanku. Aku tak menyangka perempuan gila yang kumuh itu dirimu. Sehelai rok
kain nan tipis yang sudah berubah warna karena air dan panas, lembab karena
angin dan keringat, berlumuran oli, sperma dan sampah jalanan kau kenakan.
Mataku terbelalak. Kusebut namamu kuat-kuat. Langkah kaki gontaimu terhenti.
Kau tidak mengangkat kepala yang lemas tertunduk itu segera. Lalu dengan
gerakan lambat, kau sibakkan rambut acakmu yang mirip ijuk basah yang
meneteskan rintik hujan yang tidak kau hiraukan itu.
Aku yang kau pandang. Ini
aku. Aku. Aku yang dahulu itu, yang pernah mencintaimu itu!
Kau kaget lalu malu. Kau
pura-pura tidak mengenalku. Begitu gampangnya kau pergi lagi, seperti dulu,
alih-alih kau memang merasa super malu. Aku tak mengapa. Kuhampiri kau, kuajak
kau naik mobil. Kau begitu senang, aku gembira. ... begitu cepat kau mengambil
kendali, dan ... .
Astaga, kau masih
seperti yang dulu.
***
Tunggu! Mata indahmu
itu mengingatkanku pada mata yang sama. Ya, matamu, tiga tahun yang lalu.
Pemilik mata itu, kau tahu, semua teman-temanku memujinya. Ia seorang pelacur
di Belok Kanan, Samabussa. Aku penasaran kala itu, lantas mencuri pandang
sekali, dan itu kau, aku tak salah. Itu kau! Kau mengaku tak mengenalku, waktu
itu. Senyum tipis-tipis waktu itu kau rangkai, memandangku lebih rendah dari
deretan lelaki yang rela antri untuk beberapa menit indah bersamamu.
Kau bilang kau tak
mengenalku waktu itu. Malukah kau pada jiwa jujur dalam tubuh sederhana ini?
Para kumbang-kumbang tak sabaran yang bertengger di sekelilingmu, yang menunggu
giliran itu memandang nista wajah polosku. Tentu saja dengan pandangan
merendahkan. Saat itu, aku hanya ingin kau jujur, kutunggu kau berkata kau
mengenalku, aku tak malu apa kata para kumbang itu, aku tak malu apa kata manusia
penghuni dunia alim kalau aku mengenal seorang pelacur! Akumasih ....
Aih! Tapi senyum
merendahkanmu itu, ...cibiran dan cemoohan nista mereka yang menunggu jatahmu
itu, ... sorot mata merendahkan dari kalian semua, ... Sudahlah! Tetaplah
berpura-pura kau tak mengenalku. Selain masa lalu, memang aku bukan siapa-siapamu
selain sebagai diriku sendiri.Saat itu aku hanya ingin mengajak kau kau
tanggalkan gaun hitammu dan lahir baru.
Lalu sesalku jadi lebih
besar dari gunung Dogiyai dalam hati sejakdua hari lalu saat mengetahui kau
punya saudari kembar. Saya sudah
mengorek semua informasi tentangnya, Maria. Saya telah berdoa memohon ampun
pada Tuhan sejak saat itu karena selama tiga tahun terakhir hidup dengan
anggapan bahwa kini kau telah jadi pelacur. Betapa berdosanya diriku, Maria,
Maafkanlah aku. Tuhan, aku bahkan tak
tahu kau punya saudari kembar yang ikut pamanmu ke Timika. Maria... Maaf.
***
Sebenarnya aku tak
ingin datang ke sini hari ini.Malu!
Orang-orang bilang,
dari alam barumu itu, kalian tahu semua, pastilah kau tahu si ular kepunyaanmu
itu telahkeluar dan pergi... kini besar di taman lain.
Tadi pagi, kuhancurkan
taman kita. Lalu kusadari kaki melangkah, begitu saja, ...lalu tibalah aku
disini. Begini ceritanya, Maria. Baru dua hari lalu kudengar perihal dirimu.
Ternyata itu, dua minggu lalu kau pergi mendahuluiku ke alam sana. Kau bahkan
tak sisakan waktu sedetik pun untuk kulihat senyummu, kecuali semua impian dan
cerita-cerita remaja yang dibalut kenangan yang kadang membuatku tertawa,
tersenyum, sedih, lalu merasa bersalah dan berakhir dengan doa di tengah taman anggrek
kita. Tapi semuanya tak bisa kuulangi. Tak bisa.
Semua telah jadi masa
lalu kita, hanya bisa kita syukuri saat ini. Tapi kau tetap bidadari.
Masih kuingat namamu di
hatiku, dulu dan saat ini sama saja. Sejak kudengar kabar kepergianmu, setiap
kupersembahkan misa harian di kapel dan di setiap hari Minggu sebagai pastor
paroki di gereja, namamu kuselip di ujung doa.
Kau tahu, tak ada
kekekalan kebahagiaan dan kenikmatan yang dapat digenggam manusia, siapa pun
dia, sepanjang hidup. Segalanya hanya melintas, begitu saja, cepat, sesuai
irama dan usaha, semua seperti angin yang lewat di depan kita. Bila tak
meninggalkannya, kitalah yang ditinggalkannya. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa
segala yang kulalui, apa pun itu, akan berakhir cepat juga, masing-masing
dengan polanya sendiri.
Kadang aku menyesal tak
hadir dalam hidupmu. Kuingkari janji saat itu dengan memilih seminari karena
dunia yang membentukku mengarahkanku kesitu. Kuakui, aku kalah pada duniaku.
Duniaku menang atas kemerdekaan dan masa depanku. Bila kuingat semua itu,
hatiku sendu, bergetar, dawai-dawai pilu terpetik mengalunkan melodi perih,
lalu sayatan sesal-dosa mengiris kalbu. Maafkan jiwa penakut (betul katamu, aku
penakut dan tidak berani!) dalam tubuh ini bila salah-dosanya padamu telah kau
bawa pergi juga ke alam sana. Semoga Tuhan mengampuni kita.
Kau telah menitip
sepotong kata penghabisan yang berhasil membunuhku hingga hari ini. Aku bukan
orang baik. Kau bukan malaikat jahat yang telah mencoba menghalangi jalan
panggilan ini. Kita sama-sama manusia yang sedang di alam peziarahan menjawab
panggilan Tuhan ... .
Maria, taman anggrek
kita kini tak ada lagi. Ia telah kuhancurkan. Apa gunanya, coba. Ini tangkai anggrek
penghabisandari taman kita, kupetik tadi pagi sebelum ke sini, kuletakkan di
sisi kanan nisanmu. []
0 Komentar