Maria Ulang Tahun

Cerpen, Topilus B. Tebai

Ilustrasi
Pukul satu malam. Jarum jam panjang telah menunjuk angka tiga, tergelincir lima belas menit dari angka dua belas. Hari itu Maria ulang tahun. Sejak tadi pukul dua belas malam ia telah terjaga. Ia memang tak berencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Untuk apa? Ia bahkan merasa hidupnya sia-sia. Hambar. Tak punya arti. 

Ia telah berusia dua puluh dua tahun mulai hari ini. Ia merasa tak ingin hidup. Pikiran itu tiba-tiba saja munculnya, datang merasuki pikirannya. Maria tetap terbaring di atas kasur tipis di atas tempat tidur kayu. Pintu letaknya di sudut barat. Sebelah kanannya ada lemari pakaian, lalu meja dan sebuah kursi. Di Sebelahnya ada meja rias dengan sebuah cermin besar, ukuran dua kali satu meter. Sebuah cermin dari masa lalu. Lalu ada rak dengan beberapa buku catatan. Di tengahnya adalah tempat tidurnya. Sebuah kamar kos yang sempit, dua kali dua meter. 

Di luar suasana tampak sepi, hanya angin subuh yang berseliweran, menerpa kamarnya melalui jendela yang telah sengaja ia buka. Teman-teman kosnya telah tertidur lelap. Abepura pasti sedang dibalut gelap dan dibuai mimpi.

Sesaat pikirannya melayang ke Iikebo, Moanemani, Dogiyai. Ia melayang-layang melewati masa kecilnya yang bahagia, masa taman kanak-kanaknya yang lucu di St. Teresia Kecil, lalu hinggap sesaat di enam tahun masa kecil di SD YPPK St. Petrus Nabire, terbang lagi melintasi pegunungan Koboure hingga sesaat singgah menikmati nostalgia masa SMP St. Fransiskus Asisi Moanemani. Tapi ia tak ingin singgah di SMAN 2 Dogiyai. Ia jadi begitu takut, tiba-tiba.

Maria bangkit dari tempat tidurnya lalu menuju cermin raksasa itu.

“Kau tahu?!” Ia bicara pada dirinya sendiri dalam cermin. Nadanya gamang. “Empat tahun bukan waktu yang singkat menanggung semua ini.” Maria mulai mencopoti pakaian yang membungkus tubuhnya. “Saya kasihan sama kau. Banyak hal yang mestinya tidak perlu kau lihat dan kau alami dalam hidup ini, nyatanya kau harus hadapi juga,” sambung Maria. Malam beku tanpa suara. Jarum jam panjang telah tergelincir hingga ke angka enam, jam satu lewat tiga puluh menit. Suara cecak di langit-langit kamar terdengar timbul tenggelam, ia mungkin terbangun oleh tingkah Maria. 

Kaos hitam yang melengket di tubuhnya ia lepas. Begitu juga celana pendeknya, BH, hingga celana dalam warna pingnya itu berguguran satu-satu ke lantai, sampai tak ada seutas benang pun tersisa.  Inilah seremoni sederhana menyambut ulang tahunnya. Ia sama sekali tak kuatir bila ada yang mengintipnya dari luar melalui jendela.

Barangkali cecak di langit-langit itu yang bernasib mujur. Setelah terbangun tengah malam karena ribut Maria di bawah sana, akhirnya ia dapat tontonan gratis. Binatang kecil itu berdecak kagum sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Sementara Maria dibawah sana tak peduli pada ocehan cecak. Matanya tajam pada wanita di cermin tanpa busana itu, bayangan dirinya sendiri.

Dirinya jelas-jelas tergambar di cermin. Kulitnya cokelat manis. Dalam keremangan malam, tubuhnya seolah memancarkan sinar gaib. Hidungnya agak kecil, mancung. Pinggulnya ramping. Andai Maria menoleh sambil tersenyum, lelaki mana tak meleleh hatinya. Rambut keritingnya berkilat, panjangnya sebahu, diikat satu konde ke belakang. Di Universitas Cendrawasih, banyak yang terpesona pada rambutnya kala ia kepang dua, atau dibiarkanya terurai sehingga berombak, mirip wambut wanita bibir danau Sentani. Apalagi saat diurai angin senja. Lalu lihatlah dua bukit kembar yang misterius, yang siap menerkam para petualang, memerosokkannya ke dalam jurang sebelum sampai ke puncak, membuatnya tersesat, lupa jalan pulang, hilang ingatan. Ialah sepasang buah dada mencuat, dihiasi puting cokelat segarnya yang menyembul malu-malu.
Tapi Maria muak melihat itu semua. 

Maria muak melihat tubuhnya yang ramping tanpa cacat itu. Maria muak pada hidungnya yang ramping dan mancung itu. Maria benci pada pinggulnya yang ramping. Maria tidak ingin rambutnya yang keriting sebahu itu. Maria benci pada rambutnya yang berkilat indah. Maria benci pada payudaranya yang menggantung indah. Maria paling tak suka pada vaginanya. Maria benci semua unsur-unsur yang menjadikannya perempuan. 

Maria benci jadi perempuan. Iya, ia tak ingin jadi perempuan. Menjadi perempuan bukan kemauannya.  Ia kini butuh sesuatu yang bisa melindunginya dari hujatan, cemooh, vonis dosa dan cibiran yang keluar dari nuraninya sendiri. 

*** 

Melihat tubuhnya di cermin, ia ingat lelaki itu. Martin namanya. Seorang yang beragama Katolik. Ia dari Jawa, menjadi anggota Kopassus. Tugas di Moanemani, menjelang empat bulan saat ia menegur Maria jam enam sore saat ia pulang usai les sore untuk persiapan ujian nasional SMA. Ia selalu nongkrong di depan rumah dinas petugas bandar udara yang tak berpenghuni itu.

Ia lelaki baik, itu menurut Maria saat itu. Setiap hari Rabu dan Jumat, usai les sore dan tiap pukul enam sore, Maria selalu melihatnya nongkrong di dipan rumah itu. Selain rumah itu letaknya di depan asrama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, katanya, agar lebih leluasa bicara dengan isterinya jauh di seberang sana, Bandung, tanah Jawa.

Awal tahun, Moanemani selalu lebih sering diguyur hujan. Begitulah lembah Moanemani yang memang terletak di ketinggian tiga ribu kaki dari atas permukaan laut. Letaknya lembah hijau itu diapit beberapa pegunungan dengan gunung Dogiyai, Maago, Deiyai dan Waiyai, udara terperangkap, pengap, selalu tertutup awan dan sering hujan. Maria dengan kondisi ibunya yang telah ditinggal pergi ayah sudah tak mungkin membeli payung. 

Maka bersama kedua temannya, Linda dan Berta, mereka selalu berdiri di teras SMA, atau di rumah tempat Martin biasa menelpon itu, atau di emper kios di komplek pasar Moanemani sebelum tiba di rumah yang tetaknya di Iikebo, tak jauh di ujung selatan pasar. 

Potongan sore yang kelam itu adalah soatu sore saat hujan terus mengguyur Moanemani dan Maria sendirian berteduh di rumah dinas tak berpenghuni itu. Martin datang dengan payungnya. Ia menarik Maria dengan kasarnya ke dalam rumah itu, ke salah satu biliknya, dan menyuruhnya menanggalkan pakaiannya satu demi satu, sementara Martin merancau selalu tergoda melihat tubuh mulusnya itu kala pulang les sore. Martin mengaku terpesona dengan mata indahnya, rambut yang dikonde ke belakang dan terawat itu, bukit kembarnya yang kenyal itu, pinggulnya yang melenggak lenggok sempit itu... .

Maria tak punya pilihan. Depannya ada pistol terarah ke jidatnya. Ia perempuan. Ia tak kuasa melawan. Lalu di luar, hujan makin deras saja dan malam semakin kelam tanpa setitik cahaya memberi sinarnya mengusir gelap. Ia terlentang dan lelaki itu menggagahinya. Lalu ia terkulai lemas tak bertenaga saat Martin pergi ke asramanya tanpa sedikitpun peduli pada Maria. Seekor anjing melolong mengiris hati saat titik-titik air mata Maria jatuh ke pipi, menyatu dengan guyuran air hujan. Dengan gontai dan menahan sakit, Maria pulang menuju rumahnya. Si Ibu sibuk memasak, tak peduli pada Maria yang pulang lebih malam dari biasa, sementara Maria juga tak kuasa menceritakan semuanya. Apa daya.

Cepat-cepat Maria ke meja riasnya. Mengambil lipstik dan menuliskan sesuatu di dinding cerminnya, bertenaga, dengan segenap kekuatan yang ada padanya: “Aku benci Martin. Aku benci tentara Indonesia.”

*** 

Maria masih dalam keadaan telanjang saat tetak jarum jam menyadarkannya bahwa ini sudah pagi jam empat. Beberapa menit berselang, nada dering Hpnya beraung-raung kecil, suaranya tertahan bantal yang menindihnya. SMS dari Daniel. 

“Selamat ulang tahun, Yumabeuu[1]. Selamat tambah tua. Ketemu jam 8 di kantin kampus pagi ini. Saya ingin traktir ko makan. Jangan terlambat. Oke? Aniya dimi akeepa[2].”

Siapa sangka di balik senyum menawan dan kecantikan alaminya itu, ia menyimpan rahasia sengeri ini? Tak ada. Bahkan Daniel pun tak tahu. Tentu saja Maria menutup rapat-rapat perihal ini agar tidak diketahui Daniel Iyai. Ia tentu tak ingin lelaki itu mengetahui semua itu. Ia tak ingin cerita ini menjadikan lelaki itu pergi darinya, tak ingin. Bahkan Maria selalu berusaha melupakan semua perihal ini, tapi semua usahanya selalu sia-sia.

Ia melempar Hp ke ujung kasurnya dan menghempaskan tubuh bugilnya di atas kasur. Mencoba tertidur tapi tak bisa. Matanya mencoba menggerayangi langit-langit kamar. Hanya ada lampu philips yang tak bercahaya. Lalu sarang laba-laba yang kentara samar-samar.

Tiba-tiba ada yang jatuh tepat di paha Maria. Menggerayangi kulitnya yang sensitif. Seperti disegat arus listrik, Maria tersentak dan memekik. Semua bayangan tentang masa lalu kembali tergambar. Ia mencari apa yang membuatnya demikian. Ketika pandangannya ke arah lantai, ia melihat seekor cecak lari terbirit-birit menuju lorong di bawah lemari.

*** 

Maria tidak tidur malam itu. Tapi setelah seremonial tadi malam, ia merasa perlu meminta maaf pada Daniel yang benar-benar mencintainya. Ia sebenarnya tak sudi kejadian itu menimpanya, tapi apa daya.

Benar. Daniel ada di kantin. Hanya dia sendiri dengan segelas teh hangat di depannya, sedang ia duduk di bangku pojok tempat biasa mereka duduk dan menghabiskan waktu saat menunggu kuliah berikutnya tiap hari. 

“Saya minta maaf.”

“Hahaha... Kenapa minta maaf?”
 
“Cinta ko. Aniya dimi akeepa.” 

“Sa cinta ko juga. Selamat ulang tahun, Yumabeuu.”

Tangan saling terulur. Keduanya saling berjabat tangan lalu berpelukan mesra. Di luar, daun kersen kering berguguran saat angin timur menerpanya sedikit kencang. []


[1]Yumabeu: bahasa Mee, sebuah panggilan sayang untuk kekasih.
[2]Aniya dimi akeepa: Segenap pikiranku ada padamu. Dipakai umumnya oleh lelaki atau perempuan untuk menggambarkan bagaimana kuat ia mencintainya. Bahasa Mee.

Posting Komentar

0 Komentar