Pada cerita tiga hari berturut-turut tentang hidup yang salah waktu dan ingatan lamat-lamat pekat oleh merah darah menghitam memerah lagi oleh tumpahan nyawa-nyawa belia teriak merdeka.
Pada pinggir hutan yang dibabat rapi membentuk sandaran helipad tanpa pernah disandari dan tak kunjung tampak wujudnya ditunggu dengan sumringah kepala tegak lalu tunduk berlalu tak mengerti mengapa tak jadi datang bawa kabar gembira kemerdekaan.
Pada tangis makan siang menyesali tamu tak diundang memaksa hidup diubah seperti tirani dan penjara membungkam protes mengurung cita-cita kehidupan.
Ingatkan aku,
Pada pelatuk yang kutarik, kepal yang kuhujam, telapak tangan yang kulayangkan
tepat di pipi dan keningmu ketika kau terlalu kepala batu pertahankan prinsip
dan kelewat kurang ajar hantui ketakutanku.Pada perempuan-perempuan hitam yang mungkin kucinta tapi tak cukup layak kusandingkan di pelaminan kuning kecoklatan bersama anak-anak yang lahir tanpa sebab, tubuh yang rusak oleh kebencian dan kebejatan tanpa nama.
Pada masa-masa aneh saat kebaikan harus kubalas dengan jahatnya, senyum putih ramah kuanggap tipuan penyebar curiga, tatap marah adalah dosa… hingga kucungkil kedua mata, kuseret-seret punggung dan kepala: dasar monyet!
Ingatkan aku,
Pada birunya air laut putihnya buih ombak kokohnya kaki-kaki gunung lindungi tawa lepas anak-anaknya dari kejahatan manusia akibat kuasa senjata, harta dan tahta.
Pada tutur kata halus yang tak kumenerti, gerak gerik rikuh yang tak kupahami, tatap mata was was yang tak mau kudekati, namun luruh di dalam rengkuh panjang tanpa kata, tanpa gerak, tanpa tatap.
Pada suatu masa, kini dan nanti, saat cerita lamatmu didengar seksama, tarian bebasmu dilihat dalam decak kagum, suara indahmu diresapi hingga relung sanubari, lalu kita terdiam dalam hening…hingga menjadi tahu kehendak kita satu: kebebasan.
Ingatkan aku,
Jika aku lupa.
House of Bougenville,
7 Juni, 2015
Ingin membaca tulisan Zely yang lainnya? Langsung saja ke; https://4riane.wordpress.com/
0 Komentar