Membaca “Kibaran Sampari”


Oleh: Onny Wiranda

Judul asli: Indonesia’s Secret War: Guerilla Struggle in Irian Jaya
Penulis: Robin Osborne
Penerjemah: Tim Penerjemah Elsam
Tahun terbit edisi terjemahan: 2001Penerbit: ElsamTebal: 451 halamanGenre: Sejarah-politik




Buku dengan judul asli “Indonesia’s Secret War: Guerilla Struggle in Irian Jaya” ini diterbitkan tahun 2001 oleh Elsam. Aku menikmati sekali membaca buku ini. Terutama ketika membaca sebuah premis menarik di halaman awal, “yang unik dari penduduk Melanesia adalah dengan populasi hanya 0,1% dari populasi penduduk dunia, kekayaan bahasa mereka sekitar 25% dari seluruh bahasa yang ada di dunia.” (Hal.2) Aku jadi ingin bertemu dan bicara-bicara dengan Bapa Franz Albert Joku, yang menurut Robin Osborne adalah seorang penulis modern Papua Barat (Hal. 16).

Jauh-jauh hari Bung Hatta sudah mengingatkan kita soal Papua, bahwa “bukan tidak mungkin kita belum puas dengan Papua saja, tetapi mungkin juga akan menginginkan kepulauan Solomon dan wlayah-wilayah lain sampai sejauh pertengahan Samudra Pasifik” (Hal. 29). Sekarang memang kita tidak mengembangkan imperium NKRI ini sejauh yang dibayangkan Bung Hatta. Kita terlalu sibuk meremukkan yang sudah masuk ke dalam NKRI.

Di Papua, proses itu, atau tepatnya disebut, perang rahasia itu, terjadi sejak tahun 1963 hingga tahun 1969 saat Pepera dan şemakin menghebat pada pertengahan tahun 1970-an. Saat itu, tentara Indonesia mengerahkan berbagai macam peralatan tempur untuk melawan orang-orang Papua yang tinggal di pedesaan. Seorang paitua Amungme masih ingat sekali dengan pesawat Bronco OV yang mengebom desa-desa di dataran tinggi Mimika, “S104 dan S105 adalah nomor pesawat tersebut…” (Hal. 146).

OPM (Organisasi Papua Merdeka) melakukan perlawanan secara sporadis. Gerakannya tidak sesolid Fretilin di Timor Leste. OPM terdiri dari banyak faksi berdasar etnis dan tidak saling berkoordinasi. Ada yang di bawah Seth Rumkorem, Joseph Prai, dan faksi-faksi dari dataran tinggi Papua, serta faksi yang lebih ideologis yang berbasis di luar negeri seperti di Belanda dan Senegal. Wajah OPM dijelaskan dengan baik di Bab 3.

Orang-orang terpaksa mengungsi. Menghindari perang yang dilancarkan di luar batas pengertian mereka dan masyarakat beradab manapun di muka bumi ini. Yang di dataran tinggi Mimika melarikan diri ke hutan dan hingga ke Timika. Yang berada di dekat perbatasan Papua dan Papua Nugini memilih melarikan diri ke Papua Nugini, seperti yang dijelaskan Robin Osborne, “Selama periode antara usaha pertama pengibaran bendera sampai bulan Mei 1984, pemerintah Papua Nugini menyatakan bahwa ada sekitar 8000 orang Papua telah melintas ke PNG untuk mencari kehidupan” (Hal. 210)

Aku pernah ke Wutung, menginjakkan kaki di wilayah Papua Nugini. Perjalanan dengan mobil sewaan dari Jayapura memakan waktu sekitar 2 jam. Tentara di pos terakhir sebelum masuk ke PNG memintaku tidak membawa kamera DSLR. “Nanti dirampas sama tentara PNG,” kata seorang di antara mereka. Aku menuruti anjuran bodoh itu dan berjalan ke tapal batas. Meninggalkan gerbang Papua Indonesia disambut gerbang Papua Nugini. Sebuah menara air tinggi mengawasi aku dari jauh. Aku berdiri di sebuah tempat yang menyajikan pemandangan indah. Sebuah kampung yang asri menghadap pantai pasir putih dan Samudra Pasifik.

Aku sudah melintasi sebuah perbatasan yang nampak seperti garis lurus di peta, membelah Pulau Papua menjadi dua, dari utara ke selatan. Garis batas Papua yang lurus seperti garis batas negara-negara bagian di Amerika Serikat ini bisa diurut sejarahnya hingga ke Perjanjian Tordesillas antara Spanyol dan Portugis pada tahun 1494. Perjanjian yang membelah dunia menjadi dua, milik Spanyol dan Portugis. Papua, yang saat itu belum didatangi pelaut-pelaut Spanyol dan Portugis, ikut terbelah. Dan kini, garis lurus yang tertutup rimba raya Papua itu menjadi batas antara ketakutan dan pembebasan bagi orang-orang Papua yang menghindari kekerasan.

Sementara mereka meninggalkan tanahnya, datanglah kami-kami ini dari Barat. Mencoba mengadu peruntungan di Papua. Menariknya, ada juga kisah soal “kami-dari-Barat” di buku ini. Pada tahun 1974, pemerintah Indonesia merasa bahwa kepercayaan orang Papua bahwa tanah tidak bisa dibeli bisa dipecahkan dengan kompensasi pembelian tanah dengan pembangunan infrastruktur, seperti sekolah dan jalan. Banyak tanah milik suku-suku asli dibeli dan dijadikan lahan transmigrasi dari luar Papua.

Dari sebuah transkrip rahasia yang diperoleh Robin Osborne, terungkap kisah penyerobotan tanah tranmisgrasi milik Suwarno, veteran perang kemerdekaan Indonesia dan sukarelawan pembebasan Irian Barat. Pada tahun 1973, Suwarno “menemukan” sebuah lahan seluas 10.000 hektar yang bisa dijadikan lahan transmigrasi. Atas “penemuan”nya itu, Suwarno diberi hadiah tanah. Pada tahun 1980, tanah tempat Suwarno bekerja didatangi oleh Gubernur Papua dan Pak Gubernur, yang kesengsem dengan usaha pembuatan tempe milik Suwarno, menawarkan akan membantu Suwarno. Singkat cerita, Suwarno kemudian mendapatkan bantuan sebesar Rp.250.000 tapi setelah pertemuannya dengan Gubernur muncullah masalah. Seorang Kapten dari unit Intel Korem 172 mengatakan uang itu harus dibayar dalam waktu 6 bulan dengan tanah Suwarno sebagai jaminnya. Kapten itu kemudian membawa seorang sersan mendatangi Sumarno membawa amplop berisi uang Rp.20.000 dan pistol yang ditodongkan di kepala Suwarno. Pria malang itu berusaha mengadu ke Gubernur tapi rupanya sia-sia saja (Hal. 277).

Untuk apa Robin menulis kisah transmigran itu? Karena menurut Robin, “kasus ini menunjukkan bahwa cara-cara itu sudah umum terjadi di Papua (Hal.279). Mungkin yang ingin disampaikan Robin adalah, dengan pendatang saja seperti itu apalagi dengan orang Papua, dalam suasana perang pula. Perang rahasia yang dikenal oleh “kami-dari-barat” sebagai DOM (Daerah Operasi Militer).

Sekalipun DOM sudah berakhir pada pertengahan tahun 1980-an, perang rahasia di Papua masih terus berlangsung. Robin Osborne menjelaskan dengan baik dan detil sekali mengenai peristiwa pembunuhan budayawan Papua, Arnold Ap (Hal. 315) dan intimidasi terhadap Sam Kapissa, bekas rekan kerja Arnold Ap (Hal. 327)

Masihkah buku ini relevan dibaca di jaman Jokowi? Bukankah sudah ada banyak buku soal Papua dan bukankah Jokowi sudah sering ke Papua, lebih sering dibanding presiden sebelumnya. Jawabannya adalah, masih sangat relevan. Aku pribadi menghargai niat dan perhatian Pak Jokowi kepada Papua. Tapi aku ingin Pak Jokowi juga melihat Papua bukan sekedar melihat Papua sebagai provinsi yang tertinggal, dan karena itu mengkompensasinya dengan berbagai proyek pembangunan infrastruktur, tapi di saat yang bersamaan masih menggunakan “pendekatan keamanan”. Sebuah pendekatan yang, menurut Ikrar Nusa Bakti, “hanya memfokuskan aspek stabilitas telah banyak menyengsarakan rakyat dan menimbulkan trauma yang begitu mendalam dari satu generasi ke generasi berikutnya” (Hal. xix). 

Pendekatan itu, saran Ikrar kemudian, harus digantikan dengan “Keamanan Manusia”, yang memberi ruang gerak yang sangat besar bagi warga negara untuk hidup tenang, dapat berkreasi secara bebas, dapat mengembangkan budaya lokalnya di dalam Kebhinekaan bangsa, dan berkehidupan agama yang bebas pula (Hal. xix).

Semoga yang dipandang Jokowi di fajar pertama 2016 di Raja Ampat itu bukan hanya keindahan dan kekayaan alam Papua, tapi juga kekayaan kemanusiaannya. Kekayaan yang sudah diremukkan selama beberapa dekade dengan kekerasan militer, yang perlahan tercerabut dari akarnya, tapi juga yang tak pernah berhenti lahir kembali. Seperti fajar di Raja Ampat dan bintang pagi yang mendahului kemunculannya.

Posting Komentar

0 Komentar