oleh : Philemon Keiya
Bunyi musik di ruangan itu riuh. Mendekat, makin terdengar lumayan
keras. Ramai. Ruangan itu dipadati anak-anak. Kira-kira belasan tahun usia
mereka. Mereka sedang bermain funstation. Manfaatkan waktu luang untuk
menghibur diri mereka di akhir pekan.Tampak beberapa orang tua sedang menemani anak-anak mereka. Ada yang jalan bergerombolan, ada yang jalan berdua, ada yang jalan seorang diri. Ada yang jalan sambil cerita, sambil tertawa, ada yang jalan tanpa berbicara. Berbagai orang dengan cara masing-masing ada di sana.
Saya bersama adik saya, Mabipai, berjalan santai berdua dari lantai satu mulai naik hingga di lantai tiga. Sudah hampir dua bulan saya belum ketemu Mabipai, sehingga malam itu saya habiskan waktu bersama dia.
Saya, Mabipai, bersama beberapa orang, naik pakai eskalator ke lantai dua. Memang malam itu orang sangat banyak dalam toko itu. Para pelayan toko kelihatan sangat sibuk melayani.
"Malam minggu di sini itu memang selalu ramai. Kami juga biasa main-main dengan teman kalau di asrama tidak ada kegiatan," kata Mabipai menjelaskan tanpa saya bertanya.
Borobudur Mall di Sentani memang sangat ramai, apalagi malam minggu seperti malam itu.
Setelah saya membeli beberapa kebutuhan adik saya, kami berdua sempatkan diri untuk singgah di ruang funstation untuk sekedar lihat-lihat. Ruangan ini, dipadati anak-anak yang berumur belasan tahun. Mereka bermain sangat asyik. Tampak petugas mengawasi permainanan anak-anak ini.
Sambil ngobrol, kami berdua asyik sekali nonton berbagai permainan yang ada di sana.
"Kaka, kita dua juga main sudah," ajak Mabipai.
Tanpa tunggu waktu yang lama, kami berdua bermain funstation tembak-tembak. Sangat asyik sekali.
Sebelah kami dua, ada banyak anak yang bermain juga. Saling rebutan permainan, tertawa, saling ejek, saling kejar. Dunianya anak selalu ada warna.
Kami berdua sedang asyik main, salah satu dari anak-anak samping kami menangis. Saya menoleh sambil melihat.
"Kam kenapa, tong juga su tahu," ucap anak itu sambil menangis, yiiii..yiiii....
Ternyata, dia mau diajar teman-temannya. Tetapi karena sudah biasa main dan cara bermainnya sudah tahu, dia tidak perlu lagi diajar. Sama sekali dia tidak membutuhkan bantuan, apalagi diajar.
Setelah beberapa saat, teman-temannya sadar kalau temannya juga bisa, mereka pergi berlalu. Mereka merasa malu diperhatikan orang buat temannya menangis.
***
"Kam kenapa, tong juga su tahu". Sepenggal kalimat yang anak itu keluarkan, mengingatkan saya diskusi saya dengan teman saya di Abepura, beberapa waktu lalu. Saat itu, saya dengan teman saya berdiskusi tentang "kapan akan terwujud slogan 'menjadi tuan di atas negerinya sendiri' yang selalu dibicarakan di tanah Papua berdasarakan Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada orang Papua, namun hingga kini slogan tersebut dan UU Otsus hanya sebuah sandiwara belaka".
Slogan itu menurut kami dua, hanyalah slogan belaka; yang tidak akan terwujud selama orang Papua tidak diberikan kesempatan seluas-luasnya dan selama orang Papua tidak memanfaatkan kesempatan. Kapan akan terwujud?
***
Di sepanjang jalan, di terminal, di atas taksi, di media cetak maupun elektronik dan berbagai tempat sangat ramai dengan bermacam-macam jenis baliho, poster, foto, para calon anggota legislatif hingga calon kepala negara.
Khusus di Jayapura, sepanjang jalan mulai dari Angkasa sampai di Genyem, sangat ramai dengan berbagai baliho, poster, foto para caleg dengan berbagai kata-kata indah. Isinya, janji-janji manis.
Ya, tahun 2014 merupakan tahun politik. Di negara ini akan ada dua agenda besar: Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden.
Di berbagai poster, baliho, foto yang ada, tampak aneka wajah. Ada ras Melayu, ada ras Melanesia. Ada yang rambut lurus, ada pula rambut keriting (maaf, saya tidak bermaksud untuk membeda-bedakan). Semua ganteng dan cantik. Kata-kata yang ada di dalam media kampanye, pasti berbeda. Saya pikir, kalau ada lomba kata-kata indah, pasti para caleg yang akan juara hehehe....
Bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tapi satu jua. Lantunan 'dari Sabang sampai Merauke' memang benar-benar ada di atas tanah ini. Dari berbagai etnis yang berbeda, ada di sini. Di berbagai kantor juga, Bhineka tunggal ika masih sangat terjaga dengan baik. Sudah dipupuk baik. Itu realita yang ada di atas tanah Papua yang tidak bisa dipungkiri.
Namun, menjadi pertanyaan bagi saya pribadi sebagai anak asli Papua, apakah Bhinneka Tunggal Ika itu benar-benar diterapkan di belahan Indonesia yang lain atau hanya berlaku khusus di tanah Papua saja?
Adakah pejabat orang asli Papua menjadi pimpinan di daerah Indonesia yang lain? Adakah anggota DPR, KPU, Sekda, Bupati/Walikota, Kepala Dinas, Kabag, Kabid, Kasie, Kepala Badan, Kepala Distrik, dll, orang asli Papua di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, hingga di Maluku? Kalau memang ada, berapa orang Papua di sana?
Kalau memang tidak ada, kenapa orang Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Maluku mau datang ke tanah Papua dan mau jadi DPRP, DPRD, KPU, Sekda, Bupati/Walikota, Kepala Dinas, Kabag, Kabid, Kasie, Kepala Badan, Kepala Distrik?. Kenapa orang Papua sangat berbaik hati untuk berbagi jabatan dengan begitu mudah? Sedangkan di luar Papua, hanya mau urus sebuah KTP saja, mahasiswa asal Papua dipersulit. Cuma bisa diijinkan untuk urus KTP Sementara saja. Untuk di tanah Papua, dalam pengurusan apa saja, serba bisa dan serba murah bagi pendatang baru sekalipun!
Lantas, dimanakah affirmative action buat orang asli Papua? Dimana kekuatan UU Otsus? Kapan benar-benar diterapkan UU Otsus di atas tanah Papua? Mengapa ruang gerak untuk orang asli Papua di atas tanah sendiri begitu sangat tertutup?
Pengangguran untuk orang asli Papua di atas tanah Papua, tanahnya sendiri semakin tahun semakin meningkat, sementara di berbagai kantor, orang dari luar Papua dengan sangat mudah akan keluar masuk? Bukankah hal ini tidak adil?
Mengapa para pejabat orang asli Papua tidak memperhatikan UU Otsus dan mengabaikan begitu saja? Mengapa KPU kabupaten/kota dan Provinsi dengan sangat mudah mengijinkan orang luar Papua berkarir politik di atas tanah Papua? Tidak adakah politikus asal Papua? Dimana harga diri orang asli Papua jika masih saja orang dari luar Papua yang selalu mendominasi di berbagai lini, termasuk pada musim Caleg?
Mengapa KPU membiarkan orang dari luar tanah Papua maju dalam Caleg dari berbagai partai politik? Mengapa Undang-undang Otsus dibiarkan oleh KPU Provinsi maupun Kabupaten/Kota?
Saya memang sadari, kita semua sebangsa dan pikiran itu yang ada di benak para pejabat orang Papua. Namun, pejabat orang Papua sama sekali tidak menyadari bahwa hak-hak orang asli Papua di atas tanah emas ini sedang diperkosa!
Bagi saya, hal-hal tersebut merupakan sebuah pelecehan bagi orang Papua dimana pergerakan karier di bidang apa saja dikuasai di atas tanah Papua oleh orang luar Papua. Orang dari luar Papua berbondong-bondong dan berlomba untuk mencalonkan diri dari berbagai parpol dengan kata-kata manis.
***
"Kaka, kita pulang sudah. Kaka harus pulang ke Waena too," Mabipai menyadarkan saya yang sudah terlanjur dalam lamunan. Entah berapa waktu saya melihat dunia yang sudah tidak adil lagi ini.
"Ya," jawabku sembari melangkah keluar ruangan.
Saya bersama Mabipai menuruni tangga. Minuman kesukaan saya, Extra Joss Susu yang saya beli tadi, saya nikmati. Kami bersalaman beberapa saat sebelum kami berpisah. Saya kembali ke Waena malam itu dengan berbagai pertanyaan yang belum bisa saya jawab.
0 Komentar