Zombie


Oleh; Yuyun Kusdianto
PERCAYALAH Fathem, hal ini pasti akan terjadi. Suatu waktu nanti: ketika bulan sebesar tampah di atas langit Canberra semerah warna darah, saat itulah bumi akan berguncang hebat dan Parliament House yang katamu gagah itu akan amblas tertelan tanah. Kalau saat itu kau masih di sini, aku akan memintamu untuk menjadi sang penyaksi, bahwa seluruh kaumku yang tertimbun di pemukiman yang dulu bernama Narrabundah yang lantas ditenggelamkan sedemikian rupa dan dijadikan Telaga Burley Griffin itu akan bangkit kembali, memenuhi danau buatan yang katamu indah itu. Jumlahnya puluhan, kawanku. Bukan, jumlahnya ternyata ratusan. Oh, tidak, bahkan sangat mungkin ribuan. Ya, ribuan kaum kami akan hidup kembali. Mereka akan berenang-renang ke tepian danau, kemudian mereka akan berjalan, perlahan dan sempoyongan selayaknya zombie. Persis sebagaimana yang kita dengarkan pada kuliah Profesor Nicolas Peterson tentang bagaimana orang-orang yang telah mati di pedalaman Afrika konon bisa bangkit kembali. Dan itu sama sekali bukan lantaran mantra, Fathem. Aku menolak cerocos Nicolas bahwa zombie bangkit karena guna-guna dukun hitam yang menghamba pada iblis atau setan. Juga aku menyanggah bahwa zombie sejatinya hanyalah teori rekayasa para antropolog berhati kolonial. Tetapi aku yakin bahwa mayat-mayat itu kembali setengah bernyawa lantaran dendam yang menuntut pelampiasan. Dan hal itu akan juga terjadi di sini, di Canberra, kota yang katamu paling manusiawi di seantero Australia yang menurutmu adil dan makmur ini.

Kubuka sedikit tabir masa depan untukmu Fathem, karena kau selalu bercerita padaku: bahwa kau ingin tinggal agak lama di sini. Untuk menyusun siasat. Meracik strategi. Sebagai bagian perjuangan. Untuk mengumpulkan modal, mengobarkan perlawanan. Maka kuungkap sepenggal masa depan, kawanku. Sebagai pelajaran bagi bangsamu. Dan biarlah ramalan itu sekaligus melengkapi serapah masa lalu yang selama ini selalu kuembuskan kepadamu. Agar kau percaya padaku bahwa sebuah lintasan peradaban hanyalah sebatas dialektika balas dendam. Ya, sekalian untuk melengkapi agitasi yang selalu kaukoarkan: bahwa peradaban adalah dongeng usang penindasan dan ketidakadilan.

Tetapi, Fathem…. Betapa api tidak akan pernah menyala tanpa musabab. Kebakaran belukar tidak mungkin terjadi di musim dingin yang menggigil. Namun api hanya akan berkobar ketika musim panas benar-benar menyengat. Masih ingatkah kau, kita berdua terjebak di belantara Tidbinbilla ketika lidah-lidah api menjilat angkasa Canberra lantaran angin panas beradu dengan keringnya dahan Jacaranda. Untung kau bisa gesit memacu Toyota tuamu itu, hingga nasib kita tidak sama seperti kawanan koala yang ada di pucuk-pucuk Ecalyptus. Menjadi daging panggang yang sia-sia. Jangan katakan aku pendusta jika ramalanku tidak bermuara kenyataan. Jangan juga katakan aku pembual jika ramalanku melenceng dari realita. Kutegaskan padamu, sama seperti kebakaran di Tidbinbilla saat itu: bahwa ramalanku akan menjelma nyata ketika pemantik itu tiba.

***

DIA adalah perempuan paling nyeleneh yang pernah kutemui. Atau tepatnya perempuan misterius. Perempuan berkulit abu-abu, berambut cenderung biru. Fahey. Dia selalu memintaku memanggilnya begitu. Teman-teman lain melafal namanya “Sera”, meski tertulis Sarah di daftar absen yang diedarkan di ruang tutorial kuliah. Dia selalu bungkam di setiap sesi presentasi, bergumul dengan pikiran dan dunianya sendiri. Acuh pada dosen dan cuek pada sesama teman. Dan tangannya lebih suka menarikan markermerah di atas papernote kuliah.

Ia selalu menggambar dan hasil gambarnya selalu tidak jelas. Ruwet, semrawut. Setidaknya bagiku. Ia mengaku bahwa ia tidak menggambar, namun melukis. Ia juga mengaku mewarisi darah biru kesenimanan kakek dan ibunya. Fahey pernah bergumam padaku (dan sebenarnya ia memang selalu bergumam lirih dan singkat kepadaku), bahwa kakek dan ibunya adalah pelukis yang melukis jiwa. Pelukis yang melukis dengan sepenuh hati. Ya, mungkin setara dengan tokataraki dalam bahasa orang Papua Nugini, sebuah istilah yang kami pelajari di mata kuliah Antropologi Seni. Tokatarakiadalah seniman yang mampu mentransformasi jiwa dan makna, sedangkan Tokabitam adalah seniman yang hanya menjual imajinasi tanpa isi. Tetapi apakah pelukis yang melukis jiwa dengan segenap rasa hanya menghasilkan gambaran carut-marut didominasi warna merah membara seperti dilakukan Fahey, aku tidak tahu. Aku acap melihat pameran lukisan di National Gallery of Australia, tentang lukisan dan karya seni kaum Aborigin Australia. Karya-karya mereka khas, luar biasa: dalam dan bermakna. Tapi coretan-coretan Fahey? Ah… tak lebih serupa merahnya amarah yang berbalur dendam dan kegelapan.

Yang paling misterius dan sekaligus menyeramkan, ia pernah berkata sedikit ketus kepadaku seusai diskusi tentang etnografi horor dan terrornya Michael Taussig yang bercerita tentang pembantaian kaum Indian lokal Amerika Selatan: betapa ia suatu saat nanti akan melukis dengan darah di atas kanvas kepala manusia. Ya, Fahey akan melukis cakrawala Canberra yang dinaungi bulan sebesar tampah dan berwarna merah darah! Dan ia menatapkan matanya yang tajam itu kepadaku. Kilatan matanya adalah belati yang mengunjam lubuk jantung sekaligus relung ingatan.

Kalau ingat hal itu, aku menganggapnya perempuan yang sedikit gila, atau perempuan yang terlalu terobsesi dengan sesuatu. Mungkin masa lalunya teramat pekat. Hingga membuatnya selalu membayangkan yang aneh-aneh. Tentang pembunuhan, tentang pemusnahan sebuah bangsa, tentang peradaban yang berkeping.
Aku kasihan kepadanya yang selalu sendirian, maka aku mencoba mendekatinya: berteman dengannya. Tetapi kisah-kisah yang selalu digumamkannya secara lirih dan singkat itu, juga tentang lukisan-lukisan merahnya itu… memaksaku menganggapnya tak lebih dari seorang teman yang suka membual.

***

PERCAYALAH, Fathem, aku bisa melihat sejarahmu. Aku juga mampu meramal masa depanmu. Kau dan aku ada semacam telepati antar kaum dan antar peradaban. Aku bisa menjadi semacam titik terang atas kegelapan yang terus menaungi kaummu. Tetapi kau tampaknya cenderung malu-malu. Baiklah kusingkapkan lagi sekuel masa lalu, supaya kau yakin tentang apa yang aku percayai.

Pada saat itu, ketika orang-orang pendatang memulai pekerjaan membendung Sungai Molonglo dan mengalirkan air bah ke sekitaran tempat yang kau akrabi sebagai Burley Griffin itu, mereka sejatinya tidak pernah menghormati kami bahwa situs itu adalah tempat keramat moyang kami. Tempat pertemuan para tetua kami ketika musim perburuan menjelang. Kau tahu betapa pentingnya musim perburuan bagi kami. Memburu Kanguru bukanlah sebatas mencari makan, mengisi perut. Tetapi berburu Kanguru juga mewantahkan jiwa kami, kehidupan kami. Itu adalah substansi “spiritual” kaum kami. Cita rasa seni kami, citra religiositas kami, ciri kebudayaan dan peradaban kami, semuanya terinspirasi oleh aspirasi perburuan. Dan tempat pertemuan para tetua yang lantas ditenggelamkan itu adalah semacam tanda, monumen sekaligus museum peradaban yang semestinya kami jaga. Namun, pada saat air raya menggenangi tempat keramat itu, tepat saat rembulan bergoyang-goyang oleh terjangan awan hitam, tetua dan moyang kami seakan menjerit dan jeritan mereka tak ubahnya lolongan serigala yang kehilangan pasangan jiwa. Pahit dan getir. Sepahit kehidupan kami sesudah itu. Segetir perasaanku melihat kaumku perlahan-lahan menyusut lantaran kami kehilangan patron peradaban yang kami yakini kebenarannya.

Fathem, rasanya kita perlu memulai hal-hal yang konkret. Akan kutunjukkan padamu bahwa kau dan aku tidaklah berbeda. Akan kubeberkan kepadamu bahwa nasibmu sama dengan nasibku. Akan kusingkapkan kepadamu bahwa masa depanmu tak akan lebih baik dari seperti keadaanku sekarang. Perjuanganmu adalah kesia-siaan. Ikhtiarmu tak lebih usaha menjerat topan dengan jala berlobang.

Tetapi masa depanmu masih bisa dirubah, Fathem. Terutama jika kau mau menurutiku. Bantulah aku, kawanku, untuk membuat jiwa para moyang lolos dari rahim ibu bumi dan kembali merasuki raga-raga mereka yang terkubur di seluruh tanah Australia: agar mereka bangkit, mengubur Parliament House yang kaukagumi itu!

***

FAHEY bercerita kepadaku tentang perburuan kepala. Ia mengaitkannya dengan adat kaum Ilongot di pedalaman Filipina yang suka memenggal kepala sesorang ketika mereka ditikam oleh kesedihan yang parau. Bukan sembarang orang yang bisa diburu dan dipenggal, namun orang yang layak dipenggal adalah orang yang dianggap mampu dan mumpuni untuk melampiaskan sekaligus mengobati kesedihan yang parau tersebut. Ia tidak menemukan cerita seperti itu di peradaban kaumnya, namun ia mencoba meyakinkan aku bahwa nenek moyangku juga mempunyai kisah yang setara dengan perburuan dan pemenggalan kepala yang dilakukan kaum Ilongot. Entah benar atau tidak aku tidak peduli. Setiap budaya memiliki alur logika sendiri-sendiri. Dan setiap tindakan yang dijamin peradaban tentu mempunyai legitimasinya masing-masing.
Ya, perempuan itu kembali bergumam kepadaku, namun gumamnya kali ini adalah sebuah permintaan. Ia ingin aku menyaksikan sebuah mimpi yang menjelma kenyataan. Fahey ingin aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa apa yang selama ini diujarkan kepadaku adalah benar adanya. Katanya ia ingin membangkitkan arwah leluhurnya. Ia percaya raga mereka masih utuh meski tertimbun tanah selama berpuluh tahun. Hanya jiwa mereka yang terperangkap oleh ketidaktenangan dendam. Maka ia butuh melepaskan sukma moyangnya dari kungkungan kesumat.

Ia mengatakan itu sembari melirik kepalaku. Perempuan Fahey kurasa benar-benar gila. Tatapan matanya tak ubahnya tatapan mata kaum Ilongot yang dibekap kesedihan yang parau! Yang meminta semacam pelampiasan.

***

FATHEM, tak kusangka kau sedungu itu. Mimpimu tidak akan pernah mewujud. Perjuanganmu adalah kehampaan. Permintaanku sederhana: agar kau datang kepadaku di malam yang telah kita janjikan. Kita akan bertemu di tengah semak belukar di sekitaran Yaralumla di tepi Burley Griffin. Sudah kusiapkan seluruh perangkatnya. Sudah kugali seluruh emosi dan nyali. Sudah kumantapkan hati. Juga kuyakinkan diriku bahwa akulah jalan terang bagi kelamnya peradaban kaumku. Sama seperti kau meyakini bahwa kau adalah salah seorang pembawa perubahan kaummu. Tetapi Fathem… kau ternyata memang dungu!

***

AKU tidak hendak ingkar janji, namun aku pergi karena sesuatu yang sangat mendadak. Ada sesuatu yang mesti kuselesaikan di tempat asalku. Aku bahkan masih penasaran terhadap permintaan Fahey yang ingin melukis sesuatu dengan aku sebagai kanvasnya. Sebuah permintaan gila tentu saja, karena ia ingin melukis bulan di batok kepalaku dengan tinta darah yang bakal ia curahkan lewat nadinya. Katanya hanya dengan cara demikian, ia bisa membangkitkan kejayaan peradaban kaumnya. Mungkin suatu waktu aku akan kembali menemui Fahey, tentu untuk mencari tahu tentang kebenaran cerita-ceritanya itu. Mungkin….
Lima menit lagi pesawat mendarat di Jayapura. Dari balik jendela aku melihat kerdipan bintang masih mampu menyelinap di tengah teriknya matahari pagi. (*)

Canberra-Surakarta, 2010-2011
Yuyun Kusdianto adalah dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret Surakarta, alumnus Sekolah Antropologi The Australian National University (ANU), Canberra, Australia.

Sumber; Suara Merdeka, 11 Desember 2011

Posting Komentar

0 Komentar