Gula-Gula Merah Putih Untuk Papua


Oleh, Beny Mawel
 
IST
Suva, (17/8)–“Pertempuran ekonomi ke pertempuran politik, atau sebaliknya, pertempuran ekonomi ke pertempuran politik,”tulis Rosa Luxemburg, dalam tulisan yang ditulis  Agustus 1906 berjudul “The Mass Strike”.

Di sini kita tidak cerita Rosa Luxemburg, aktivis sosialis Eropa kelahiran Polandia 1871. Kita cerita wanita keriting gimbal di Abepura, Papua. Ia bertubuh kecil, langsing, berambut keriting gimbal terurai di pundak, memikul noken menelusuri jalanan di Abepura.

Parasnya cantik menggoda. Matanya hitam bersih, menyaksikan setiap langkah, setiap gerakan kerumunan manusia. Ia membiarkan telinganya  mendengarkan setiap kata  yang terlontar dari setiap mulut. Kata-kata mereka kadang terlontar tidak terukur dan lebih dari yang termankanai dan terucap.

Saat mendengar suara-suara obral, langkahnya sangat pasti dan meyakinkan. Ia nampak hati-hati, tiba di depan Gereja Gembala Baik. Gerja tidak jauh dari kantor polisi. Ia tidak mau menggangu aktivitas doa yang sedang berlangsung di gereja.

Ia berdiri sopan. Ia mengatur nokennya.  Rambutnya yang sudah acak-acakan akibat diterpa  angin kencang di sore menjelang malam. Ia menatap salib yang terpampang di depan dereja. Ia menundukkan kepala, memejamkan mata sesuai ajaran imannya.

Mulutnya mulai komat-kamit membaca doa. Kata-katanya seperti suara orang berkumur-kumur. Terkadang  menghasilkan gemuruh angin saja. Namun, itu  sangat menggangu kantor polisi. Polisi menjadi siaga sekian hingga siaga satu.

“Doa itu urusan pribadi. Orang lain tidak boleh menggangu dengan alasan apa pun.” Itu adalah satu tulisan yang sama-samar terbentang di jalanan, di setiap lembaran warta gereja, dan warta pemeluk agama yang menjamur di seluruh negeri. Di kantor  polisi pun ada tulisan itu.

Saat gadis gimbal itu berdoa, belum lima menit, suara seorang wanita yang nampak gila-gilaan terdengar seantero jagad, tidak jauh dari jalanan tempat dia berdoa.

“Mace ko buka mata dulu,” kata wanita itu, mengganggu aktivitas doa gadis gimbal.

“Kenapa Mace?” tanya gadis gimbal,  datar.

“Ini…” ujar wanita itu sambil menyodorkan tiga gula-gula dua warna: merah dan putih.

Gadis gimbal hanya menatap gula-gula. Ia mempertimbangkan menolak atau menerima. Ia perlu waktu satu jam untuk mempertimbangkan.  Wanita yang memegang gula-gula tanpa rasa capek dan malu terus menawarkan gula-gula.

Gadis gimbal mengeluarkan kamera Nikon dari nokennya. “Stret, stret…” blits kamera berpendar. Ia mengabadikan gula-gula dua warna. Lalu ia memasukkan kembali kameranya ke dalam noken.
“Ibu, saya tidak butuh gula-gula Anda. Saya hanya butuh sejarah,”tuturnya serius.

Ibu itu tanpa kata-kata membolak-balik gula-gula sambil memberi pesan. Pesan gula-gula: “Indonesia Bangkitlah, Indonesia Bersinar, dan Indonesia Makmur,”tertulis di sampul gula-gula.

“Ibu. Dalam rangka apa ini?”tanya gadis gimbal.

Wanita, alis Mace terdiam, sejenak lalu merespons.

“Nona ini dalam rangka ‘PAPUA SELAMAT’!”

“Selamat dari apa Ibu? Konkretnya?”

Mace tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.

“Senyumannya menertawakan, menyembunyikan kemunafikan, dan fakta….”gumam gadis Gimbal.

Angka penderita malaria, jumlah rumah sakit yang kekurangan tegana medis kesehatan terus meningkat. Anak-anak yang putus sekolah, buta aksara dan jumlah sekolah yang kekurangan faslitas, kekurangan guru terus bertambah.

“Pembangunan Karut-Marut” begit bunyi judul berita utama koran sore  pada suatu sore yang mendung itu.

Berita itu tambah membakar emosi gadis gimbal yang sudah tersulut emosinya oleh  wanita pembagi gula-gula merah putih.

“Ooo…. berarti di Ibu dong pu daerah semua su Slamat jadi datang mau bersaksi di Papua…,”sindir sang gadis gimbal.

“Renungkan dalam hati bahwa Papua ini sudah jadi lahan bisnis, sampai orang pakai nama Tuhan lagi. Kasbi tumis seeeee..,”tulis gadis gimbal, 18 Mey 2014.

***
Empat bulan berlalu. Bulan Agustus telah tiba. Persiapan pengibaran Merah Putih merayakan HUT ke-69  NKRI  berlangsung.

“Warga kota harus mengibarkan merah putih di depan rumah,”Pemerintah  Kota mengumunkan kepada warga Kota Jayapura, termasuk warga Abepura tempat gadis gimbal berdomisili.
Sejak pengumuman itu, koran pagi hingga sore memberitakan aktivitas pemerintah. Pemerintah bagi-bagi bendera merah putih gratis hingga warga jualan bendera di pingiran jalanan kota.

“Bendera pusaka mestinya dijual dengan hormat di toko-toko, bukan dijual murah meriah di pinggiran jalanan ini,” ujar gadis gimbal.

Ia terus membaca  halaman kehalaman berikutnya tertulis betapa hormatnya sang perwira kepada Merah Putih yang rakyat obral di pinggir jalan. “Seberanggi Rawa-rawa, TNI Antar Merah Putih ke Kampung Kiakiuw dekat PNG,”tulis sang jurnalis.

Ia berhenti membaca koran. Kata ‘TNI’ mengingatkannya pada penembakan dan pembunuhan atas nama mempertahankan pengibaran Merah Putih di Port Numbay. Ingat pada ribuan nyawa yang melayang, tulang belulang yang berserakan di hutan rimba Papua.

Kebencian menumpuk, namun tidak ada alasan yang kuat untuknya mengatakan kalau dia benci. Ia hanya merenung di balik Gubuk zaman pemerintahan Belanda yang penuh dengan catatan sejarah itu.

Tok. Tok. Tok…

Pintu palang kayu itu diketuk orang, Begitu dibuka, seorang pria yang tidak pernah dia kenal berdiri  di muka pintu, memikul satu tas hitam.

“Selamat sore, Mbak….”

“Sore juga. Silakan masuk…”

“Bagaimana? Ada apa ya?”

“Saya hanya cek Nona”.

“Kok cek saya! Ada apa ini?”

“Nona saya iseng saja. Yang benar saya antar undangan untuk upacara 17 Agustus besok,” ujar si tamu.

“Besok jadwal saya ke Gereja. Saya tidak bisa hadir,”jawabnya.

“Ibadah kan bisa ditunda sore,” pria itu tampak agak ngotot.

“Mengapa saya yang harus batalkan ibadah saya?”

Pria itu membisu dan memasukkan tangan ke tasnya. Ia menyodorkan uang 100.00, berupa lembaran uang pecahan lima puluh ribu rupiah.

“Saya menjadi warga negara  karena kesadaran saya, bukan karena rayuan gombal. Sampai kapan kamu terus memaksakan saya dengan gula-gula dan uang?” tanya gadis gimbal. (*)

Posting Komentar

0 Komentar