Penulis: Sanimala B.
Inilah cerita paling
bodoh yang pernah kudengar. Beberapa saat saya diam mengulang-ulang
kata-katanya dalam hati, lalu pada ulangan yang keempat, urat geliku terangsang
juga. Tawaku jebol bak bendungan yang tak sanggup menahan debit air. Tawaku
menggelegar tak tertahankan. Selaput mataku basah. Titik-titik bening yang dari
kelenjar air mata itu berderai juga di pipi. Barangkali lelaki sinting itu
berkata-kata demikian akibat kadar alkohol yang tinggi menguasai tubuhnya, akibat
mabuk.
Hampir jam satu malam.
Di tempat ini, anak-anak
Papua lelaki dan perempuan telah menjelma jadi putera-puteri sang gelap. Mereka makin larut saja dalam pelukan pesona
keremangan lampu-lampu aneka warna yang kelap-kelip, berirama, bertenaga. Namun
terangnya tetap kalah dengan gelap ruangan cafe ini. Dalam perangkap gelapnya,
anak-anak manusia lupa daratan, hanyut dalam erangan-erangan kenikmatan,
teriakan gembira, canda-tawa lepas, goyang-goyang erotic dan tatapan-tatapan
birahi.
Menurut Mas Jo, si
pelayan cafe, ini jam-jam panennya. Biasanya para pemain di Belok Kanan
Samabusa akan menyempatkan diri ke cafe ini meneguk beberapa gelas bir usai
bercinta. Juga pemain-pemain pengganti yang tunggu giliran main. Samabusa bagai
kota idaman kumbang-kumbang kota Nabire kala malam. Lokalisasi Pekerja Seks
Komersial Belok Kanan itulah taman bunganya. Ini taman milik pemerintah daerah
Kabupaten Nabire bersama para iblis dari seberang sana. Ada bunga Manado, bunga
Jawa, bunga Ambon, bunga Toraja, bunga Batak, bunga Kalimantan dan bunga NTT di
taman ini. Bunga-bunga ini mekarnya tiap waktu.
Tapi kumbang Papua,
kumbang Toraja, kumbang Jawa, kumbang Manado, kumbang NTT, mereka itu beraninya
menghisap sari madu bunga-bunga tadi ketika subuh, saat bintang-bintang
tertidur lelap dan bulan asyik memadu kasih bersama sang surya pujaan hatinya. Ketika puteri bulan mencuri
waktu tidur pangeran surya dan asyik berduaan di balik tirai lan, anak-anak manusia menerobos pekatnya malam Nabire
yang ditinggal pergi sinar bulan itu, menuju Belok Kanan.
Lalu aku? Aneka soal
hidup yang mencekik hari-hariku belakangan ini membuatku rutin melarikan diri
dari satu cafe ke cafe lain. Rasanya semua cafe di kota kecil di bibir Teluk
Cenderawasih ini telah kusinggahi. Datang seorang diri, memesan bir sebotol,
lalu duduk berjam-jam melamun sambil menyaksikan beberapa pengunjung yang
bergoyang, atau menghempaskan tatapan kosong kepada para penyanyi panggung,
atau memandangi para penari yang menari erotic.
Tapi segala soal hidup
itu seolah telah jatuh cinta padaku. Mereka tak ingin berpisah dariku, ibarat
aku cinta pertamanya. Sedemikian kuat usahaku melepasnya, makin kuat pula ia
menggerogoti pikiran dan hatiku.
Lelaki sinting itu
datang ketika kurenungkan pemecatanku yang tak masuk akal itu. Pemecatanku
itulah pangkal krisis keungan yang melanda keluargaku. Ia pula pangkal anakku
yang pertama tak mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ia juga
pangkal nak kelimaku meninggal karena tak mampu biayai operasi ginjal. Dan
terakhir, isteriku yang rewelnya minta ampun itu sakit keras dan tergolek di
rumah tanpa mampu kurawat dari rumah sakit yang mahalnya tetap terasa walau
Otsus yang katanya untuk menadikan hidup bangsa Papua lebih baik itu sudah 13
tahun bergulir.
“Sungguh! Saya Lusifer.
Setan pencabut nyawa itu.”
“Aakhh! Stop sudah kau
banyak bicara. Kebanyakan minum!” Tapi muka temboknya itu membuatku cepat-cepat
terdiam. Ia serius. “Ssssstt!” Kini dia mulai merapatkan telunjuknya ke bibir.
“Jangan sampai ada yang menguping pengakuanku ini,” nyaris berbisik dari dekat
telingaku.
Aku masih tetap bikin
sikap cuek bebek. Kini ketenanganku mulai terganggu dan kubenci lelaki ini. Menambah
beban pikir. Tapi dia terus merancau tanpa memedulikanku.
“Hei, jadi kau tak
percaya aku Lusifer?”
Kutatap dia dalam-dalam.
Mengangguk padanya dengan harapan lelaki sinting dalam pengaruh alkohol itu
segera berlalu setelah mendapat anggukanku.
“Manusia memang tak
mudah percaya. Tidak sama dengan bangsa malaikat sepertiku. Manusia, oh
manusia.” Ia mulai merancau sendirian sambil pantatnya menindih kasur tipis di
atas bangku tinggi. Kini kami semeja, berhadapan. Ini hari yang sangat sial
bagiku. Beban pikirku pada posisi begitu beratnya, lalu lelaki ini datang
mengusik tenangku. Seberapa detik kemudian, kupikir-pikir, barangkali bisa melemaskan tegang urat syarafku.
“Akan kubuktikan
kebenaran kata-kataku. Jangan kaget setelah ini.” Ia bicara meyakinkan. Duduknya
dibetulkan, menghadapku penuh.
“Namamu Mikael. Mikael
Butu. Kau anak satu-satunya. Ayah dan ibumu telah meninggal, meninggalkan kau
dan empat saudara perempuanmu yang telah meninggal semuanya juga. Sejak 23
tahun yang lalu kau jadi pegawai negeri sipil, mengajar di Sekolah Dasar
sebagai guru. Enam tahun belakangan, kau diangkat bekerja di kantor dinas
pendidikan. Isterimu selalu cerewet dan ia sedang sakit keras saat ini, dan itu
sedang jadi beban pikirmu. Anakmu ada enam. Yang pertama kau tak mampu biayai
kuliahnya karena kau didepak keluar dari dinas dua tahun yang lalu dan kini
jadi guru biasa.”
Ada nada meremehkan diriku
dalam uraiannya. Selain takut dan heran karena semua uraiannya benar-benar
merupakan keadaanku, ada rasa geram dalam dada.
“Cuihhh! Kau bahkan
berpikir kau mungkin bukan seorang lelaki yang baik karena tidak menjadi suami
dan ayah dan baik dalam keluargamu,” dia memainkan jenggotnya dengan matanya
tak lepas dari wajahku, “Itu baik menurutku. Daripada sebagian lelaki lainnya
yang masa bodoh dan lari dari tanggungjawab, seperti yang kau lakukan ini.
Tapi, kau pikir alkohol dapat membawamu pergi dan melahirkanmu lagi di dunia
lain untuk hidup baru lepas dari semua beban hidupmu di dunia saat ini? Oh,
tidak! Onani saja kau! Seperti keinginanmu tidur dengan para wanita ini namun
tidak berani kau sentuh mereka karena kau ingat ajaran agamamu yang kau pegang
teguh. Sadarlah! Kau ada di dunia ini dan tetap ada di dunia ini sampai kau
melewati gerbang sakratul maut ...”
Kini bulu romaku
menegang. Semua yang dikatakannya itu benar. Darimana ia mengethaui semuanya
tentangku? Diam-diam aku tertarik bicara dengannya.
Dia menatapku. Ketika
kualihkan pandanganku pada botol anggur di depanku, ia menggeser botol itu ke depannya,
lalu mengambil paksa gelas yang ada di tanganku. Menuangkan bir ke dalamnya. Ia
meneguknya. Kuperhatikan saja tingkahnya yang semakin aneh. Benar-benar
sinting.
“Saya tahu kau makin
tak mempercayaiku.” Tiba-tiba telponnya berdering ... Ia meraba sakunya, mengeluarkan
sebuah benda berukuran Hp Nokia biasa tapi berbentuk aneh. Berbentuk tengkorak.
Lalu usai bicara sekitar dua menit dengan seseorang di seberang sana, ia
bergegas meneguk sisa bir di gelasnya sambil berdiri.
“Hei, jangan bengong.
Pergilah ke rumahmu. Istrimu mencemaskanmu saat ini. Lalu besok pagi, tanyalah
tetangga-tetanggamu. Ini telpon dari atasanku untuk mencabut nyawa Mosez, calon
bupati kabupaten Nabire nomor urut empat itu.”
Lelaki sinting itu
pergi meninggalkanku yang bingung dan tertawa kecil-kecil, menertawai
ketololannya itu.
***
“Mikael, kau dengar
soal kematian itu?” Keesokan harinya, sobat karibku yang anggota partai pohon
beringin itu bertanya padaku dari seberang sana.
“Belum. Kematian apa, siapa yang meninggal?”
“Itu, pimpinan partai
kami, Mosez, yang calon bupati Nabire itu. Tadi malam sekitar jam dua subuh dia
meninggal karena serangan jantung, jatuh dari lantai dua, jatuh melalui
anak-anak tangga hingga terhempas tak bernyawa di lantai satu.”
“Tuhann ...” Lelaki itu
langsung tergambar di depanku. Matanya yang merah. Bau alkohol yang menyegat.
Pakaiannya yang terlalu rapih dan harum. Potongan badannya yang biasa-biasa
saja tapi kekar dan berotot. Sorot matanya yang tajam di balik beberapa helai
gimbal rambutnya yang melingkar ke depan menutupi jidatnya. Hidungnya yang
mancung. Caranya mengaku kalau dia adalah Lucifer, malaikat pencabut nyawa itu.
Lalu terakhir, Hp tengkorak dan telponnya usai berpisah itu ...
Tubuhku merinding
membayangkannya. Buru-buru telpon kututup setelah satu-dua kata dengannya.
***
Di cafe yang lain dekat
Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire, saya sedang meneguk bir, entah gelas
keberapa, saat itu Lusifer muncul. Ia berada di depanku tiba-tiba saja, tanpa
saya sadari. Lalu ia duduk bersebelahan denganku.
“Bagaimana kabarmu?” Ia
bertanya padaku. Kali ini aku ketakutan.
“Ssstt! Jangan takut.
Belum sampai waktunya kucabut nyawamu,” ia tersenyum kecil, enteng, benar-benar
lepas, tanpa ada secuil beban dalam nada bicaranya.
“Kau jangan minta
kuambil nyawamu cepat-cepat. Umurmu masih panjang,” ia memandangku dengan
tatapan iba padaku. Diambilnya bir di hadapanku, lalu gelas yang di tanganku
dirampasnya juga.
“Jangan lagi minum
alkohol. Tubuhmu tidak lama lagi keropos karena alkohol. Kau tahu, aku sudah
bosan mencabut nyawa orang-orang Papua, kaummu itu. Terakhir seorang balita
tadi sore, ia terjangkit virus HIV dari ayahnya yang langganan sari bunga Belok
Kanan. Yaa, iba, tapi bagimana lagi, barangkali
atasanku iba lihat masa depan yang penuh derita di hadapan bayi kecil tanpa
nama itu.”
Kupandangi Lusifer.
Matanya agak berkaca-kaca. Baru kali ini ia terlihat sedih. Kubiarkan saja. Ia
menepis kasar tanganku saat kuraih gelas kaca kecil untuk menegak bir lagi.
Lalu ia menegak bir tiga kali tanpa jeda. Lalu menghempaskan nafas beratnya
sambil menggelengkan kepala, membuatku tertarik hendak mengetahui apa sebab
malaikat pencabut nyawa itu terlihat seperti manusia dengan banyak beban
pikiran.
“Sebagai malaikat
pencabut nyawa manusia, apa kesanmu saat mencabut nyawa?”
Dia diam sejenak.
Barangkali berpikir. Lalu tersenyum ditahan. “Tak ada yang luar biasa. Urusan
cabut-mencabut nyawa manusia itu memang merupakan tindakan tidak
berperikemanusiaan bila kita gunakan ukuran manusia. Dalam dunia kemalaikatan,
ia tetap berperikemalaikatan. Itulah tugasku.”
Saat kubuka mulut
hendak bertanya, ia telah melanjutkan ceramahnya. Ia memang suka bicara dan
ocehan Lusifer selanjutnya sudah pasti menjawab bakal pertanyaan yang hendak
terlontar dari mulut. Ia malaikat, seperti biasa, ia tahu isi hatiku.
“Tapi kadang sedih juga
saat menyadari kitalah penyebab tangis dan hati pilu lantaran ditinggal pergi
sanak-saudara mereka karena kita telah mencabut nyawanya. Disitu kusadari aku
benar-benar punya dosa teramat berat dalam dunia manusia menurut hukum
kemanusiaan. Satu-satunya yang menghiburku adalah bahwa dalam dunia
kemalaikatan, tindakanku sudah sepantasnya sebab ia sesuai kodrat dan tugasku.”
Setelah kalimat itu,
Lusifer terlihat sedih. Wajahnya muram. Sorot matanya yang selalu tajam subuh
ini terlihat sayu. Barangkali ia baru saja mencabut nyawa seorang terhormat
dari tempat yang jauh, dari Merauke atau Sorong, atau Jayapura, dan baru
kembali dengan beban pikir karena tangis pilu sanak-kerabatnya yang membekas di
hati. Aku mulai menduga-duga.
Ia menegak segelas bir
lagi.
“Aku ingin pensiun.”
Aku kaget bukan main.
Kutatap wajahnya.
“Serius! Aku ingin
pensiun.” Ia selalu tahu kegundahan hatiku, dia malaikat.
“Tapi aku patuh pada
apa kehendak atasanku. Bila ingin tetap pada tugasku mencabut nyawa manusia,
setidaknya aku dipindahkan ke pulau lain. Saya tidak ingin di tanah Papuamu
ini. Hitung-hitung, kaummu, orang-orang Papuamulah yang selama ini paling rajin
minta kucabut nyawa. Kaummulah yang paling banyak mengerumuni saluran-saluran
kematian. Bila kaummu musnah di atas tanah airmu sendiri, aku tak ingin
disalahkan. Itu saja.”
***
Aku tak mengerti
mengapa kami begitu dekat dan cepat akrab. Sebagai malaikat, ia paling lihai
meladeni setiap suasana hatiku. Aku jadi tenang setiap berdua dengannya. Ia
memberiku banyak masukan soal hidup. Lama-lama, aku jadi lebih senang
menghabiskan waktu berjam-jam dengan si Lusifer di beberapa tempat. Kami bicara
soal ekonomi, penjajahan Indonesia, kuasa kapitalisme global yang mencekik masa
depan bangsa Papua, soal kesehatan, pendidikan.
Lusifer paham betul
soal politik. Politik lokal Papua, politik nasional Indonesia. Politik dunia,
dia jagonya. Caranya menguaraikan segala soal perihal politik bagiku adalah
yang paling super. Barangkali Mata Najwa mengundangnya sebagai narasumber dan
mengiklankannya, trafic-rank Metro TV pasti naik drastis. Selain karena pasti
saja dunia malaikat heboh dan menggalang jutaan warga malaikatnya menonton Mata
Najwa lantaran salah satu dari antara
mereka diundang bangsa manusia untuk diawawancarai secara resmi, tapi juga
karena ulasan-ulasan politiknya pasti menyentak, membugkam para narator sejarah bermulut lebar itu, lalu membuka
semua cakrawala dan tabir pembungkus sekat-sekat pembalut segala kebusukan para
pejabat negara ini yang korup. Lebih-lebih saat Lusifer bicara soal sejarah
West Papua, proses aneksasi Papua menjadi bagian dari NKRI, Lusifer jagonya. Setidaknya,
itu penilaianku dari beberapakali kami diskusi. Dari para almarhum tokoh Papua
yang berdiam di alam baka setelah dibunuh militer NKRI itu, Lusifer telah
banyak tahu soal West Papua. Toh juga, ia Lusifer. Ia hanya cukup memandang
mata lawan bicara untuk mengetahui segalanya yang ada di batok kepala mereka.
... lalu obrolan kami selalu
berakhir pada persoalan selangkangan, soal seks. Kalau bicara soal ini, aku
selalu ketakutan. Penjelasan Lusifer soal yang terakhir ini akan berujung pada
kepunahan kaumku.
Tapi, hitung-hitung, beruntung
aku mengenalnya. Berbagai soal hanya perlu beberapa menit atau jam untuk
berdiskusi dengannya. Segalanya terurai bagai benang di tangan pemintal.
Soal pertemuan
kami? Ia malaikat. Ia bisa datang kapan
saja ia mau, muncul tiba-tiba di hadapanku, lalu menghilang tiba-tiba. Aku
sudah tahu, kedatangannya mungkin karena aku merindukannya dalam hati, ia selalu
serba tahu. Atau karena beberapa hal yang ingin dia diskusikan denganku atau
aku ingin diskusikan. Ia menghilang juga selalu tiba-tiba. Tapi ini tidak
membuatku kaget juga. Pasti karena tugas, itu saja pikirku.
Suatu kali Lusifer
datang, tentu saja tiba-tiba, dan duduk di depanku. Kali ini selera humornya
seakan-akan telah hilang. Ia tidak banyak bicara. Ia menemani aku minum sampai sebotol
bir di hadapanku tandas. Lalu ia mengajakku ke tempatnya. Ini kali pertama ia
mengajakku.
Ruangannya tidak
istimewa. Ada tempat tidur, lemari pakaian, kamar mandi, rak sepatu dan sandal,
lemari buku, AC dan kipas angin kecil. Ada jam alarm di meja kecil dengan
pasangan kursi artistik di sudut kanan kamar, membuat ruangan ini kelihatan
mewah. Yang aneh tentu saja tombak dengan ujung gagang berukiran tengkorak.
Kuduga itu tombak pencabut nyawa. Kubayangkan bagaimana setiap nyawa tamat di
ujung tombak itu. ...ngeri!
“Aku lelah jadi malaikat
pencabut nyawa!” Lusifer bicara tegas.
“Mengapa?”
“Sudah berkali-kali
kuajukan pensiun. Atasanku tidak menggubris. Bahkan membahas berkas
permohonanku saja tidak.” Terlihat dari wajah kecoklatannya karena malas,
bosan, lelah, persis lemon busuk.
“Mengapa begitu?”
tanyaku menyelidik.
“Kau tahu, selain
karena kucabut nyawa kaummu karena telah habis usia menurut ketentuan atasanku,
ada banyak hal yang membuat kaummu semakin sedikit saja jumlahnya di atas tanah
airmu. Aku tak ingin menanggung ini.”
Ia Lusifer, ia
malaikat. Lalu tanpa diminta, sebelum pertanyaan terlontar, ia telah mulai menceramahiku
yang tak mengerti alur bicaranya itu.
“Lihatlah bangsamu,
kaummu. Anak-anakmu lelaki lebih mudah kujumpai di cafe, diskotik dan
tempat-tempat prostitusi, tapi juga paling mudah kujumpai di Gereja, Masjid, di
tempat-tempat doa dan KKR. Tidakkah kau tahu, itu penistaan terhadap Tuhan
tingkat tinggi? Dari mulutmu sendiri keluar pujian penyembahan, puji-pujian
syukur dan doa mohon rahmat, lalu dengan kakimu kau arahkan tubuh menuju bar,
karote, tempat-tempat prostitusi lalu membiarkan dirimu hanyut dibalut dosa.
Heii, Mikael. Apa maunya kaummu itu?”
Matanya tajam
menatapku. Aku diam saja menyadari benarnya.
“Kau sama sekali tak
sadar, selain kematian karena sudah batas waktu hidupmu, kaummu juga mati
konyol karena virus HIV, alkohol, peluru militer, strum listrik, hingga racun.
Kaummu juga mati karena pembiaran atas bobroknya kesehatan, ekonomi dan
pendidikan yang semakin mecekik bangsamu, tapi yang tak kumengerti dan
membuatku pusing kepala ini, kau dan bangsamu malah terlalu gemar mencari dan
menjemput saluran-saluran kematian itu.”
Aku yang mulai memahami
arah bicaranya itu tetap tertunduk. Ada getaran malu merayapi hati. Ia seorang
malaikat pencabut nyawa yang iba padaku. Pada kaumku.
“Toh, jadinya aku tak
kerja. Kaummu telah mati sebelum waktunya kucabut nyawamu. Sudah kuminta
berkali-kali, aku tak ingin jadi kambing hitam dari kekonyolan bangsamu, Mikael.
Sudah kuminta mutasi kerja. Sudah kuminta pensiun. Ratusan kali, malah. Tapi atasanku
tak ingin memindahkanku ke daerah lain, juga tak ingin membuat surat pensiun
untukku. Cuti pun tidak.”
Ia menarik nafas
panjang lagi. Menatapku lekat-lekat.
“Aku ingin bunuh diri.”
Aku kaget bukan main.
Tapi gerakannya super cepat. Ia malaikat dan aku manusia, gerakan tangannya
seperti seratus kali lebih cepat dari gerakan tangan tercepatku. Saat
kuhindarkan tubuhnya dari gerakan tangannya yang bagai bayangan itu, tombak
bergagang tengkorak tadi sudah menancap di dadanya, tepat di jantungnya.
Aku salah tingkah,
bingung harus bagaimana. Hatiku berdebar-debar. Semua ini terjadi begitu cepat.
Kulihat darah keluar pelan-pelan dari
sisi tombak tengkorak yang merobek tulang dadanya hingga ke jantung itu.
Darahnya hitam agak kemerahan, kental. Tubuhnya terkulai lemas tak bernyawa di
depanku.
Saat itulah telpon tengkoraknya
berdering. Hatiku lebih berdebar-debar kali ini, “Bila benar ia Lusifer, apakah
mungkin ini panggilan Sang Tuhan dari surga?” [] END
0 Komentar