Ruangan kelas itu
hening, seluruh siswa memusatkan perhatian ke depan, ibu guru Fani, ibu guru
kesayangan hampir seluruh siswa siap mengajarkan sejarah. Murid-murid menjadi
semakin tertarik, karena sejarah yang akan disampaikan hari ini menyangkut
tentang tanah kelahiran mereka, sejarah Maluku. Ibu guru Fani berkulit hitam
manis, ia baru datang setelah menyelesaikan pendidikan di Institut Keguruan.
Postur tubuh wanita itu tinggi semampai terbalut seragam berwarna abu-abu,
wajahnya yang oval disaput tata rias minimalis dengan lip stick warna merah sirih. Rambutnya yang legam dan berombak
disanggul dengan tusuk konde berwarna perak. Di leher yang jenjang itu
melingkar seuntai kalung salib yang berkilat kuning keemasan. Ibu guru itu
tahu, ia disayangi murid-muridnya, satu hal yang membuat ia mencintai pula
pekerjaannya. Sepasang matanya yang jernih menyapu seisi kelas, ia dapat
melihat murid andalannya Orin yang tengah duduk tertib, bersiap mengikuti
pelajaran. Sementara Betani, siswi tercantik yang cerdas itu nyata-nyata menghangatkan suasana di
kelasnya. Ibu guru Fani selalu bangga pada murid-muridnya. Ibu guru itu
tersenyum tipis sebelum akhirnya mulutnya yang mungil mulai berucap, “Selamat
pagi anak-anak, semoga semalam dapat tidur nyenyak dengan mimpi yang indah, tak
ada gangguan apapun, sehingga hari ini kita bisa belajar dengan baik.” Ibu guru
Fani berhenti bicara sejenak, ia menjadi bagian dari ketegangan kolektif di
wilayah ini, akan tetapi malam menjelang tanggal 25 April tahun ini ternyata
berlalu dengan tenang tanpa ledakan atau pertumpahan darah, sehingga hari ini
ia dapat mengajar seperti sedia kala.
“Baik, kita
teruskan pelajaran minggu lalu tentang sejarah Maluku. Nama Maluku berasal dari
kata Al Mulk yang berarti Tanah Raja-raja. Kepulauan ini amatlah subur, dari
ketinggian gugusan pulau tampak seakan untaian zamrud khatulistiwa yang
berserakan di antara biru air samudera. Tanah yang subur menghasilkan
rempah-rempah, hasil bumi ini mengundang pelaut-pelaut berdatangan. Awal abad
ke-7, pada zaman dinasty Tang pelaut-pelaut dari daratan Cina berdatangan ke
Maluku untuk mencari rempah-rempah. Kedatangan itu sengaja dirahasiakan untuk
mencegah hadirnya bangsa-bangsa yang lain. Rempah-rempah tidak mudah didapat”.Seterusnya
Bu guru Fani bercerita dengan gaya yang khas dan menarik, seisi kelaspun
tenggelam pada suatu masa ketika tanah ini menjadi bagian masa lampau.
Rahasia
kedatangan pelaut Cina ke Maluku tersimpan selama dua ratus tahun. Pada abad
ke-9 pedagang Arab berhasil menemukan
kepulauan Maluku setelah mengarungi Samudra Hindia. Pedagang ini pada akhirnya
menguasai pasar Eropa melalui kota-kota pelabuhan, seperti Konstantinopel. Dua
ratus tahun kemudian, tepatnya pada awal abad ke-12 Kerajaan Sriwijaya di Pulau
Andalas melebarkan wilayah kekuasaannya hingga mencapai kepulauan Maluku.
Selanjutnya pada abad ke-14 pedagang rempah-rempah dari Timur Tengah
berdatangan ke Maluku melalui pelabuhan-pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik
dengan membawa pula agama Islam. Penyebaran agama ini praktis mengubah perilaku
kehidupan beragama masyarakat setempat secara totalitas. Maluku menjadi sebuah
komunitas dengan basis agama Islam yang selanjutnya akan mengakar dengan kuat
pula dalam struktur pemerintahan tradisionil.
Pada abad ini pula Kerajaan
Majapahit menguasai seluruh wilayah laut Asia Tenggara, saat itu pula para
pedagang dari Jawa memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Selanjutnya
sejarah terus bergulir, rempah-rempah Maluku ditampilkan dalam berbagai karya seni,
Van. W.P. Groenveldt melukis Maluku
dengan judul Gunung Dupa. Dalam lukisan itu Maluku tampak sebagai wilayah
dipenuhi gunung-gunung, menghijau oleh gugusan pohon cengkeh dengan sebuah oase
di tengah laut sebelah tenggara. Adapun sang pelaut besar, Marco Polo telah
menggambarkan pula perdagangan cengkih di Maluku dalam kunjungannya ke Sumatra.
Rempah-rempah, sekali lagi
rempah-rempah menyebabkan kepulauan Maluku dikenal hingga ke negeri Cina,
bahkan Arab. Ketenaran itu terus meluas melewati batas benua, hingga akhirnya
sampai jua ke Eropa. Tahun 1512 dua armada Portugis di bawah pimpinan Anthony
d’ Abreu dan Fransisco Serau mendarat di Kepulauan Banda dan Penyu. Mereka
menjalin persahabatan dengan raja-raja dan penduduk setempat, Portugis mendapat
ijin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, negeri Hitu Lama, dan Manala di Pulau
Ambon. Akan tetapi, Portugis kemudian menerapkan sistem monopoli dagang
sekaligus melakukan penyebaran agama Nasrani.
Franciscus Xaverius, seorang
missionaris terkenal tiba di ambon pada 14 Februari 1546.satu tahun kemudian
Xavier tiba di Ternate, melakukan kunjungan ke pulau-pulau untuk melakukan
penyebaran agama Nasrani. Penyebaran agama Nasrani yang diterima secara damai
oleh masyarakat setempat, menyebabkan masyarakat Maluku memiliki dua aliran
kepercayaan yang berbeda, Islam dan Kristen. Kedua agama itu menyatu dan
mengakar di dalam kehidupan masyarakat, berdampingan dengan penuh permakluman
dari waktu ke waktu.
Sementara itu
persahabatan antara Ternate dan Portugis terus terjalin selama kurang lebih
enam dekade. Akan tetapi monopoli dagang
menyebabkan rakyat Ternate merasa dirugikan. Sultan Babullah melakukan
perlawanan selama lima tahun (1570 – 1575). Peperangan ini menyebabkan Portugis
pergi meninggalkan Ternate menuju ke Tidore dan Ambon.
Sampai di sini
ibu guru Fani berhenti, ia menarik napas berulang kali, menyusut keringat yang
mengembun di dahi. Tampaknya ia tengah berjuang melawan emosi, ia seakan ikut
menjadi bagian dari perjuangan Pattimura. Sementara anak-anak tak sabar
menanti, beberapa kali Orin melirik ke arah Betani. Gadis itu tampak tenang
seperti pada hari-hari biasa, ia siswi yang santun di dalam kelas, sebaliknya
ia akan berubah seakan burung walet ketika pelajaran telah usai. Orin tak
menyadari atau pura-pura tak menyadari, bahwa ketika ia tengah melirik Betani,
maka diam-diam Tian menatap ke arahnya.
Ibu guru Fani meneruskan cerita,
“Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis menguak celah bagi Belanda untuk
menanamkan kekuasaan di kepulauan ini. Taring pertama Belanda ditancapkan
dengan memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanan di Ambon kepada Cornelisz
Sebastiansz. Belanda menghancurkan pula benteng Inggris di Kanbelo, Pulau
Seram. Sebagian besar wilayah Maluku praktis jatuh ke tangan Belanda.
Tahun 1602 VOC berdiri,
organisasi dagang ini memperkuat kedudukan Belanda di seluruh wilayah Maluku
dan akhirnya VOC menjadi penguasa tunggal. Di bawah kepemimpinan Jan
Pieterszoon Coen, kepala operasional VOC Belanda melakukan monopoli dagang
rempah-rempah di Maluku selama 350 tahun. Dalam rangka kepentingan monopoli VOC
tidak segan-segan mengusir para pesaing, seperti Portugis, Spanyol, dan
Inggris. Keserakahan VOC berkelanjutan dengan pertumpahan darah rakyat Maluku,
puluhan ribu orang menjadi korban.
Pada permulaan tahun 1800
Inggris mulai menyerang dan menguasai wilayah yang semula menjadi daerah
kekuasaan Belanda, termasuk Ternate dan Banda. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya
pada tahun 1810 Inggris menempatkan seorang resimen jenderal bernama Beyant
Martin untuk menguasai Kepulauan Maluku. Akan tetapi, sesuai dengan Konvensi
London tahun 1814, maka Inggris harus menyerahkan kembali wilayah jajahan
belanda kepada Pemerintah Belanda. Tiga tahun kemudian, terhitung sejak tahun
1817 Belanda kembali membenamkan taring kekuasaannya di Maluku.
Selama dua abad terakhir
hubungan sosial antara VOC dan masyarakat Maluku terus memburuk, hubungan ini
berakibat fatal pada kondisi politik dan ekonomi, penderitaan masyarakat Maluku
di bawah tekanan VOC tak tertahankan. Di bawah pimpinan Thomas Matulessy, yang
diberi gelar Kapitan Pattimura –seorang mantan Sersan Mayor tentara
Inggris—pada tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku melancarkan serangan terhadap
Benteng Belanda “Duurstede” di Pulau Saparua. Dalam penyerangan ini Pattimura
dibantu pula oleh kawan-kawannya: Philip Latumahina, Anthony Ribok, dan Said
Perintah, Residen Van den Berg.
Berita kemenangan pertama ini
membangkitkan semangat perlawanan rakyat seluruh Maluku. Paulus Tiahahu dan
Sang Putri Chistina Martha Tiahahu berjuang di Pulau Nusa Laut, adapun Kapitan
Ulupaha berjuang di Ambon. Akan tetapi, dengan penuh tipu muslihat dan
kelicikan perlawanan ini dapat ditumpas kekuasaan Belanda. Pada tanggal 16
Desember 1817 Pattimura dan kawan-kawannya dijatuhi hukuman gantung di Fort
Niew Victoria, Ambon. Christina Martha Tiahahu, si jelita yang muda belia itu
meninggal di atas kapal dalam pelayaran pembuangan ke tanah Jawa. Jenazah
pahlawan itu dilarung di laut Banda. Kelak, nama dan lukisan Christina Martha
Tiahahu akan abadi, bukan hanya di hati masyarakat Maluku, akan tetapi di hati
seluruh Bangsa Indonesia.
Lebih satu abad
setelah perlawanan Paulus Tiahahu didampingi putri tercinta, tepatnya pada
tanggal 7 Desember 1941 perang Pasifik pecah sebagai bagian dari
kecamuk Perang Dunia ke-II. Perang ini mencatat era baru dalam sejarah
penjajahan di Indonesia. Gubernur Jenderal Belanda, A.W.L Tjarda van
Starkenburg membuat pernyataan melalui radio, bahwa Pemerintah Hindia Belanda
dalam keadaan perang melawan Jepang. Tentara Jepang kemudian merebut satu demi
satu kepulauan di Indonesia secara sistematis. Sejarah mencatat, bahwa
penderitaan masyarakat Indonesia selama 350 tahun dijajah Belanda tidak berarti
apa-apa bila dibandingkan dengan 3,5 tahun penjajahan Jepang yang bersifat
fasis.
Pemerintah Jepang harus membayar
mahal harga sebuah peperangan dengan hancur leburnya kota Hiroshima dan
Nagasaki oleh ledakan bom maha dasyat. Dunia terhentak! Jepang menyatakan
kekalahan dan menarik mundur pasukan dari seluruh Kepulauan Indonesia.
Pemuda-pemuda Indonesia memanfaatkan celah yang sangat penting bagi kemerdekaan
bangsa. Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari Pegangsaan
Timur. Era penjajahan berakhir, akan tetapi bangsa ini sedang mencari arah dan
bentuk dalam membina kehidupan bernegara, masalah selalu ada.
Pada tanggal 25 April 1950
Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan orang-orang bekas prajurit KNIL
dan pro-Belanda dengan presiden Dr. Chr. R. S. Soumokil, bekas jaksa agung
Negara Indonesia Timur. RMS bertujuan menjadi negara sendiri, terlepas dari
Negara Indonesia Timur atau –lebih tepat—RMS adalah salah satu politik adu
domba dari Pemerintah Belanda untuk memcah belah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang masih berusia muda belia. Politik ini ditanggapi masyarakat yang
belum mampu bersikap kritis terhadap intervensi Pemerintah Belanda. Pemerintah
pusat mencoba menyelesaikan persoalan ini secara damai dengan mengirim tim yang
diketuai Dr. Leimena. Selanjutnya pada tanggal 13 Juli 1950 diselenggarakan
konferensi Maluku di Semarang, para politikus asal Ambon meminta pengiriman
misi perdamaian ke Ambon yang terdiri atas politikus, pendeta, dokter, dan
wartawan. Akan tetapi, upaya perdamaian ini gagal. Pemerintah pusat akhirnya
memutuskan menumpas RMS dengan kekuatan senjata dengan membentuk pasukan
dibawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
Pada tanggal 18 November 1950
Kota Ambon dikuasai APRIS, Soumokil menyelamatkan diri, sisa-sisa RMS melarikan
diri ke hutan, tidak melakukan perlawanan dalam beberapa tahun. Tiga bulan
kemudian, tepatnya pada Februari 1951 Kabinet Belanda di Den Haag memutuskan
untuk mengangkut serdadu Ambon di Jawa untuk dimobilisasi ke Belanda dengan
sebuah janji, suatu saat akan dapat kembali ke Ambon yang “bebas”. Tanggal 21
Maret 1951 rombongan pertama bekas prajurit Belanda asal Maluku –KNIL—bersama
keluarga tiba di Rotterdam, Belanda dengan menumpang kapal laut. Kedatangan ini
disusul dengan kedatangan 12.000 orang selanjutnya dengan sarana angkutan kapal
laut pula. Melalui keputusan Februari 1951 Kabinet Belanda memberhentikan
prajurit Ambon dari dinas kemiliteran KL dan memberikan kebebasan kepada mereka
untuk menetap, beranak pinak di negeri Belanda. Kelak, setelah lebih setengah
abad berlalu jumlah itu akan membengkak menjadi sekitar 45.000 jiwa.
Pada tanggal 2 Desember 1953
Soumokil tertangkap, tahun berikutnya yang bersangkutan diadili dan dijatuhi
hukuman mati oleh Mahmilub. Eksekusi bagi Soumokil dilaksanakan pada tanggal 12
April 1966. ’Sang presiden’ telah tiada, akan tetapi RMS tidak ikut pula
terkubur ke dalam liang. Dalam lima bahkan enam dekade ke depan setelah
eksekusi bagi Soumokil, RMS terbukti tetap menampakkan keberadaannya. Gerakan
ini tak memiliki markas, tak memiliki tokoh terkemuka, namun tetap mengakar di
dalam kehidupan masyarakat. Sifat akar memang tersembunyi di bawah tanah,
batang dan pohon serta daun-daunnyalah yang senantiasa tampak”.
Akhirnya ibu
guru Fani menyudahi cerita, ia tampak lelah dan kepanasan, wanita itu
menggunakan sehelai buku tipis untuk mendapatkan udara kemudian
mengipas-ngipaskannya. “Baik, minggu lalu ibu ada memberikan PR tentang riwayat
singkat Cristina Martha Tiahahu, ketua kelas, Orin ayo kumpulkan”.
Maka, ruangan
kelas yang semula hening itu segera terpecah oleh helaan napas seluruh siswa.
Di antara mereka ada yang telah mengerjakan, ada pula yang belum, gerakan
tergesa dari siswa yang belum menyelesaikan PR membuat ibu guru tersenyum
simpul. Tentu, pendidikan ini pada prinsipnya adalah suatu proses pembangunan
sikap mental, dari sikap tidak tahu menjadi tahu. Untuk itu segala hal bisa
terjadi, termasuk mengerjakan PR di dalam ruangan kelas ketika “air telah naik
hingga ke batas leher”. Ah! Murid-murid
yang bandel!
Tak berapa lama
kemudian suara lonceng berbunyi tiga kali, tanda waktu untuk beristirahat, ibu
guru Fani mengemasi seluruh buku-buku pelajaran, memberikan salam kemudian
berlalu meninggalkan kelas. Di belakangnya murid-murid saling tolak mencoba
keluar dari kelas untuk mendapatkan udara segar. Sungguhpun cara mengajar dari
ibu guru Fani sangat menyenangkan, akan tetapi jam istirahat jauh lebih
menyenangkan. Cafetaria dengan aneka makanan menunggu, sementara lapangan sepak
bola tak kalah seru sebagai arena pertandingan dan tentu saja arena untuk
menarik perhatian gadis-gadis. Betani dan Tian bergandengan tangan menuju ke
cafetaria dengan langkah setengah tergesa, mereka tak mau kebagian bangku,
karena datang terlambat. Benar, bangku-bangku masih kosong, keduanya segera
memesan bakso dan es teh kemudian duduk rapi, asyik dengan hidangan
masing-masing.
“Aih
gadis-gadis, di sinilah engkau rupanya!” tiba-tiba Orin telah pula bergabung
disusul Bahtiar dan Elmo. Masing-masing memesan bakso, maka cafetaria yang
semula sunyi itu segera ramai oleh kasak-kasuk siswa siswi yang menjadi sibuk
dengan sendoknya masing-masing. Orin selalu tak mau jauh dari Betani, ia selalu
mencari kesempatan untuk mendekat, meski tak pernah mengatakan apa-apa, agaknya
gadis itu tak menolak keakrabannya. Hal itu sudah cukup menyenangkan hatinya.
Sementara di
atas langit teduh, kesiur angin menggugurkan daun akasia, menerbangkan ke
segala arah. Halaman dan koridor di sepanjang kelas yang semula sunyi pada jam
istirahat segera dipenuhi oleh bermacam aktivitas siswa-siswa SMA yang tengah
bersantai. Ada yang duduk bergerombol di bawah pohon, ada yang mengerjakan PR
di dalam kelas, ada pula yang bercengcerama di atas bangku-bangku di setiap
sudut sekolah. Lima belas menit setelah jam istirahat, lonceng tanda masuk tak
juga berbunyi, para guru agaknya mengadakan rapat mendadak. Kesempatan baik ini
tak disia-siakan oleh sekalian murid, mereka segera membentuk kesebelasan dan
bertanding secara spontan. Orin tampil kembali menjadi bintang lapangan, sorak
sorai Betani menambah semangatnya, ia pasti akan mencetak goal kemenangan. Tian
ikut pula menonton tak jauh dari Betani, ia ikut pula bersorak sorai, larut di
dalam kegembiraan masa muda.
Di lapangan
hijau bola terus menggelinding dari kaki ke kaki menuju gawang sama seperti rotasi kehidupan di antara semesta yang
luas tak berbatas. Tanah Maluku dalam situasi damai yang memberikan kesempatan
bagi anak-anak sekolah untuk bermain sepak bola pada jam bebas, ibu-ibu
mengandung kemudian melahirkan bayi dengan aman, petani mendangir tanah, nelayan
menangkap ikan, dan bapak-bapak mencari nafkah sebagai bentuk pertanggungan
jawaban mutlak dalam menghidupi keluarga.
Di luar hiruk
pikuk lapangan sepak bola, kesibukan belajar siswa-siswa, maka waktu terus
berputar sesuai dengan gerak edar bumi mengelilingi matahari. Hari berganti,
minggu terlewat, bulan berjalan. Setahun berlalu seakan dalam sekejap, karena
masing-masing individu tenggelam dalam kesibukan yang menuntut konsentrasi.
Tanah Maluku tetap damai dan menghasilkan rempah-rempah, ikan cakalang berenang
bebas di lautan kemudian tersangkut jaring nelayan.
Orin, Betani,
Tian, Bahtiar, Elmo, Gini, Santri, dan pelajar lainnya terkonsentrasi dalam
kesibukan belajar, mengejar prestasi demi prestrasi, mengikuti ujian per
semester hingga akhirnya mereka sampai di penghujung tahun, bersiap mengikuti
ujian kelulusan. Mereka telah merubah acara bermain menjadi saat untuk belajar
bersama, ketika hari ujian tiba mereka telah siap. Pengumuman ujian disambut
dengan suka cita, karena 99% dinyatakan lulus. Mereka saling menyemprotkan air,
menggoreskan tanda tangan pada pakaian seragam yang tak akan lagi dikenakan,
bertukar tanda mata, bercanda, dan bersuka ria. Sampai akhirnya merekapun
tersadar, bahwa hari perpisahan akan segera tiba.
***
Acara perpisahan
diselenggarakan di lapangan sepak bola sekolah, sebuah panggung lengkap dengan
dekorasi dan spanduk telah didirikan, kursi-kursi diatur melingkari meja
berhias keras krep dan balon warna –warni. Ketua OSIS telah membentuk panitia
dan mengatur seksi-seksi untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Malam itu
suasana sekolah seolah telah berubah menjadi malam gala, siswi-siswi tampil
tampil bak artis ternama, sementara siswa-siswa berubah bak selebritis. Dewan
guru tampil lebih rileks, mereka tak tampak angker seperti pada hari-hari biasa,
beberapa bahkan tampak tengah bercanda akrab dengan siswa-siswi yang harus
permakit pergi.
Seharusnya
suasana seperti ini membuat Orin gembira, tetapi pemuda itu tak ada menampakkan
senyuman. Ia sudah yakin akan kemenangan dalam merebut ranking pertama, Betani
pasti menempati urutan kedua. Kemenangan itu akan diumumkan malam ini di depan
seluruh siswa dan dewan guru. Mestinya Orin merasa bangga, tetapi pemuda itu
lebih banyak terdiam, ia datang bergoncengan sepeda motor dengan Bahtiar.
Setelah memarkir kendaraan, mereka berdua segera masuk ke arena perpisahan,
pandangan Orin mencari-cari ketika ia mendapatkan Betani duduk satu meja dengan
Tian, Gini, Santri, Elmo, dan Edo, pemuda itu segera mendekat. Iapun segera
bergabung, tanpa sepatah kata.
Di panggung
acara telah dimulai, pikiran Orin tak terkonsentrasi, pandangan matanya tak
pernah lepas dari Betani. Gadis itu mengenakan gaun panjang berwarna hitam
dengan tata rias wajah yang demikian alami. Tak ada perhiasan apapun melekat
pada tubuhnya kecuali seuntai kalung salib, Betani membiarkan rambutnya yang
sebahu lepas terurai. Betani juga tak banyak berkata-kata, ia sadar tak bisa
mempermainkan waktu, saat bersenang-senang dengan teman sepermainan telah
berlalu, demikian cepat. Kini, ia dihadapkan pada sebuah masa yang menuntutnya
untuk bersikap lebih dewasa. Ibunda memintanya untuk melanjutkan kuliah ke Sam
Ratulangi di Manado, ia bisa menumpang kapal atau kalau mau lebih cepat ia bisa
menumpang pesawat Twin Otter milik maskapai penerbangan Merpati dari bandara
perintis Kao. Nilainya yang tinggi tak akan membuatnya sulit dalam memilih
universitas, mengenai biaya kedua orang tuanya sudah menyiapkan. Ia akan
menjelang hari-hari yang penuh tantangan, seharusnya Betani gembira, tetapi
ketika sepasang matanya bertautan dengan Orin, gadis itu tersadar, apa yang
mebuatnya bersedih?
Betani tak
menolak ketika Orin menggenggam tangannya, menuju ke tempat yang lebih sunyi
tanpa kehadiran orang lain. Mereka duduk berdua di bangku, disinari jernih
cahaya bulan purnama. Angin berkelana
menuju setiap sudut yang paling meragukan sekalipun. “Engkau jadi ke
Manado setelah perpisahan ini?” Orin membuka pembicaraan.
“Mama
menghendaki demikian, beta harus bergabung dengan kakak yang sedang kuliah di
sana”, Betani merasa betapa telapak tangan Orin sedemikian dingin.
“Beta harus ke
Makassar, itu perintah papa. Beta mesti belajar ekonomi dan tinggal bersama
keluarga, tak ada beta punya keluarga di Manado. Kita berpisah Beta?” suara
Orin berubah seakan isak tangis. Pemuda itu memang tengah berjuang melawan
kecengengan, seorang laki-laki pantang menangis, terlebih meratap-ratap.
Sungguhpun ia harus berpisah dengan seorang Betani.
“Kita pernah berani untuk
bertemu dan saling mengenal, perpisahan tentu saja sebuah resiko untuk
keberanian itu. Kita masih bisa saling berkirim kabar”, Betani menghibur,
suasana pesta justru tak membuatnya gembira.
“Engkau akan balas setiap
suratku?” Orin bertanya.
“Pasti”, jawab Betani lirih,
gadis itu tak mengelak ketika dalam jarak yang sedemikian dekat Orin mencium
kedua pipinya. Ia merasa dadanya bergetar, ia tak pernah merasa seperti ini.
Keduanya hanyut di dalam suasana haru dan sendu, tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat.
“Aih, di sini kalian berdua
rupanya”, Bahtiar tampak datang tergopoh-gopoh. “Kalian dipanggil ke atas
panggung untuk menerima piagam, ayo tempo!” Bahtiar tak pernah tahu apa yang
sebenarnya tengah terjadi antara dua sijoli itu, ia tak mengerti, bahwa
kehadirannya telah mengacaukan seluruh suasana yang terbangun.
Di lain pihak Orin dan Betani
tergagap, mereka segera tersadar, acara di atas panggung masih sementara
berlangsung. Mereka segera mendengar namanya disebut berulang kali, tanpa sadar
Orin menggandeng tangan Betani, keduanya naik ke atas panggung sambil
bergandeng tangan. Seketika suasana pesta meledak oleh tepuk tangan dan sorak
sorai, mestinya Betani dan Orin merasa tersanjung, tetapi waktu seakan
terjungkal pada malam yang menampakkan diri bagai suasana musim dingin. Betani merasa tangannya
menggigil, hadirin tertipu oleh senyumnya yang tipis bagai peri yang cantik
berkelit lincah di antara ribuan bunga. Mereka harus bersandiwara –atau dunia
ini memang benar panggung sandiwara—dan setiap orang harus piawai memerankannya.
Orin dan Betani masih tetap tersenyum sambil bergandengan tangan ketika
keduanya turun dari atas panggung. Rekan-rekan langsung beramai-ramai
menyalami, tampaknya mereka merasa sungguh bergembira, akan tetapi siapa dapat
menduga kedalaman hati yang lebih terjal dari jurang yang paling curam?
Ketika Orin dan Betani kembali
duduk bersisihan, maka keduanya seakan terjebak ke dalam gelombang waktu yang
bergerak lebih cepat dari hari-hari biasa, mereka tak ingin pesta perpisahan
berakhir, tetapi siapa kiranya dapat menahan gerak pasti sang kala. Malam
runtuh pada gelap yang sempurna bagai sayap kelelawar raksasa yang mebentang,
mengungkung seisi dunia. Betani kehilangan kata-kata, tetapi dalam diam
seringkali seseorang sesungguhnya tengah berucap. Mereka siswa-siswa kelas III
yang telah dinyatakan lulus dipersilakan terlebih dahulu meninggalkan suasana
pesta. Lampu-lampu dipadamkan, api unggun dinyalakan, jilatan lidah si jago
merah bagai seekor ular naga yang tengah mengamuk, meliuk-liuk, menggapai gelap
malam. Dewan guru dan siswa-siswa kelas II dan III melambai-lambai melepas
kepergian siswa yang telah menyelsaikan pendidikan untuk melakukan penjangkauan sebuah keinginan
yang akhirnya disebut dengan cita-cita.
Betani terbungkam di belakang
goncengan sepeda motor Orin, kendaraan itu bergerak perlahan dengan raungan
membelah hening malam, sepi menghunjam bagai anak panah membenam pada kedalaman
sasaran. Ketika akhirnya Betani melepas Orin di depan pintu pagar rumah, gadis
itu tak dapat membendung air mata, tetapi ia tahu tangisannya tak bisa diketahui
orang lain, terlebih ibunda. Betani tak mengerti, sang ibu telah menanti,
perempuan setengah tua mengamati ulah
sikap kedua muda remaja itu dari balik gorden jendela. Tentu ia telah bersiap
mengambil tindakan apabila perilaku itu keluar dari tatatan, tetapi Nayla masih
bisa bersabar hati, ia hanya melihat Orin mengecup sepasang pipi Betani
kemudian berpamit dan tak pernah menoleh lagi.
“Engkau telah kembali Betani?”
Nayla membuka sepasang tangan untuk menyatakan cinta kasih, tak ada yang lebih
penting bagi seorang anak kecuali rasa
sayang seorang ibu. Sekejab kemudian gadis itu telah berada di dalam pelukan
ibunda sekaligus merasakan ketulusan yang luas tak berbatas dari wanita yang
melahirkannya. Ia terlambat mengusap air mata, tetapi untuk apa mesti berdusta,
bukankah kaum ibu selalu tahu segala isi hati anaknya. “Apa yang Beta tangisi,
engkau sedih berpisah dengan Orin?” pertanyaan itu membuat Betani terbungkam.
“Engkau masih sangat muda
sayangku, masa depanmu masih panjang, selesaikan pendidikanmu, jadilah wanita
yang mandiri, setelah itu engkau baru boleh menyatakan pilihan. Perkawinan akan
menjadi lebih mudah apabila engkau menjalaninya setelah benar-benar dewasa.
Sekarang engkau baru seorang bocah. Mama sayang Betani....” Nayla mengecup dahi
anaknya, kasih sayangnya demikian kukuh tak tergoyahkan, dan Betani memahami
akan hal itu. Gadis itu sadar, ia dan saudaranya adalah segala kekuatan bagi
kedua orang tuanya, ia anak yang baik, ia tak ingin membuat Nayla kecewa.
“Betani juga sayang mama”, Betani
melepaskan diri dari pelukan sang ibu, ia harus membersihkan diri, mengganti
pakaian untuk bersiap tidur. Ia akan menempuh hari dalam beda suasana dan ia
belum mengerti di mana nanti akhirnya. Ketika gadis itu akhirnya memanjatkan
doa sebelum tidur, maka malam telah benar-benar menghitam bagai tinta,
suara-suara kehidupan tak lagi ada. Betani merasakan keheningan membungkan dan
diam-diam menyakitinya, “Orin....” tanpa sadar Betani berbisik, suara itu
sedemikian lembut namun segera merasuki getaran waktu, hembusan angin mengombak
membawa bisikan meluncur ke suatu tempat tujuan.
***
Di dalam kamar,
Orin termangu, ia tak bisa mengelak datangnya hari ini, tak seorangpun akan
dapat mengelak dari hari yang akan selalu tanggal mengikuti rotasi sang sang waktu.
Ia harus menghadapi secara jantan bagi hari yang membuatnya gembira --karena ia
dinobatkan sebagai juara—sekaligus mengulitinya, karena ia harus bersandiwara
dengan jarak untuk menjangkau gadis yang dicintainya. Kapan ia akan dapat
menjadi bagian hidup dari Betani? Tiga tahun berlalu sedemikian cepat, ia
seolah berkejaran dengan waktu kemudian kalah. Gadis itu memilih jalan hidup
sesuai dengan cerita yang dikehendaki yang sutradara, sebuah skenario yang
berbeda dengan jalan hidupnya pula. Berpisah? Orin merebahkan dirinya di atas
pembaringan, matanya sayu menatap langit-langit kamar, ia seorang diri, sesisi
rumah telah tertidur, tak ada yang peduli dengan kegundahan hatinya. Tak
seorangpun perlu peduli! Ia cukup meratap seorang diri.
Di luar semesta menghangus dalam
malam yang senyap dikuliti angin, sinar bintang memucat kemudian sirna diterkam
mendung hitam yang menerjang secara tiba-tiba. Sesekali terdengar resah suara
daun kering gugur –ranting-ranting patah—selebihnya telinga Orin terasa tuli. Sekarang
ia harus mengerti, bahwa jarak memiliki kewenangan yang maha besar dalam
memporak pondakan jalan hidup seseorang. Akhirnya, ia cuma debu yang tersungkur
pada luas padang pasir, melayang-layang di atas samudera raya, tergelincir di
ujung musim dalam cengkeraman angin dingin. Ah! Wajah itu, senyum lembut Betani
tiba-tiba muncul di langit-langit kamar. Orin memejamkan mata, namun wajah
Betani semakin lekat, senyumnya tetap terukir, sekalipun ia tak dapat melihat
apa-apa. Akhirnya Orin merasa demikian
lelah, ketika angin berkesiur lemah, samar-samar pemuda itu mendengar suara
lembut berbisik, “Oriiin....”
Itu suara
Betani.
Sekejab Orin terpaku, tak lama
kemudian bisikan itu membawanya menuju mimpi yang membingungkan. Di luar
semesta tertidur dalam diam yang sempura.
***
Bersambung .....
0 Komentar