E M P A T
Gayatri
berdiri di depan cermin, menatap seraut wajah yang sudah amat
dikenalnya. Wajah seorang wanita dewasa yang telah melalui proses demi
proses dengan gemilang, sehingga akhirnya ia akan disumpah sebagai
seorang dokter. Gayatri teringat pada buku-buku cerita yang mengisahkan
betapa mulia tugas seorang dokter dalam mengabdi pada kemanusiaan,
dengan menyembuhkan pasien demi pasien tanpa pandang bulu meski akhirnya
ia harus duduk di kursi roda. Cerita itu telah memacunya dari tahun ke
tahun, sehingga ia terkonsentrasi pada sebuah cita-cita, bekerja keras,
dan mencapainya. Gayatri mengenang tahun-tahun yang telah dilampaui, tak
pernah ada yang kurang dalam kehidupannya.
Ia
terlahir sebagai anak dari keluarga terpandang dengan komitmen yang
tinggi pada pendidikan. Orang tuanya berjuang untuk memberikan warisan
ilmu pada anak-anaknya, bukan harta benda.Dan ketiga anak dari keluarga
tersebut, benar mendapatkannya. Kaka tertua Gayatri telah mengambil
master di Australia, sedangkan adik perempuannya telah lulus seleksi
pada sebuah perguruan tinggi negeri.
Pada bayangan
cermin Gayatri mendapatkan seraut wajah dengan garis muka yang halus,
sepasang mata berbinar memancarkan kecerdasan, bibir yang mungil bak
buah delima. Selebihnya adalah citra diri yang mempesona. Dokter muda itu
terbangun pada suatu pagi yang cerah, pada sebuah kamar hangat di rumah
tinggal orang tuanya yang akan merubah seluruh hidupnya, hari yang
telah direncanakan bersama dan akan disambut dengan gelora. Gayatri tak
pernah ragu tentang hari itu, karena ia telah mengenal seorang Ardana,
teman kuliah yang disumpah pada waktu yang sama sebagai dokter.
Ardana
adalah sosok yang melengkapi seluruh hidup.Ia anak seorang petani,
tetapi selalu diliputi harga diri. Ardana tak mampu menandingi
kecerdasan dan kreativitasnya, tetapi ia memiliki ketekunan dan disiplin
tinggi, dan lulus dari fakultas kedokteran dengan predikat terbaik.
Dosen-dosen menyayanginya, rekan-rekan mahaiswa bersimpati kepadanya.
Tahun–tahun yang dilalui menyebabkab Gayatri semakin
yakin terhadap Ardana, ia tak memilih orang yang salah. Mereka akan
menikah dalam upacara adat yang harum oleh aneka bunga kemudian
mengambil PTT –Pegawai Tidak Tetap—di wilayah timur Indonesia dan
mengawali kehidupan baru di sana.
Ibu
Gayatri tak sepenuhnya menyetujui pipihan anaknya, ia mempunyai pilihan
sendiri lengkap dengan babad, bibit, dan bobot. Orang tua itu selalu
sadar, bahwa dalam membangun kehidupan keluarga, maka cinta saja
tidaklah cukup. Batas antara cinta dana benci amatlah tipis. Kedua belah
pihak harus memiliki keksesuaian.Sesuai dalam rupa, sesuai dalam
derajat, dan agama. Kesesuaian itu akan mengurangi timbulnya konflik
untuk membina kehidupan keluarga dengan baik.
Tetapi
Gayatri merasa telah hidup pada zaman yang berbeda, bukan lagi pada
zaman pewayangan, zaman ketika seorang wanita bahkan tidak berhak untuk
memilih teman hidup. Gayatri selalu sadar akan keyakinannya, juga cinta
yang amat kuat. Gayatri menolak calon lain, bukan karena sosok itu tidak
memenuhi persyaratan, tetapi karena ia tidak ingin orang lain ikut
campur menentukan jalan hidupnya, meskipun orang itu adalah ibunya
sendiri.
Sejak disumpah sebagai seorang dokter
Gayatri selalu mengenang Ardana dalam rindu. Kekasihnya itu untuk
sementara kembali ke desa untuk mempersiapkan perkawinannya. Tak ada
pesawat telepon di desa itu, Gaytri harus bersabar menunggu suara Ardana
bergema di telinga.Ia masih bertahan beberapa hari bagi mimpinya itu.
Gayatri
merapikan rias muka, menjepit rambutnya yang telah melewati bahu,
membetulkan tali kimono kemudian berjalan menuruni tangga. Ia hendak
menyeduh segelas cokelat untuk untuk mengawali paginya yang cerah.
Jari-jarinya yang lentik tengah menggenggam tangkai gelas Kristal yang
cantik ketika bel pintu berbunyi. Gayatri bergegas membuka daun pintu
dengan segelas cokelat tetap dalam genggaman. Ketika daun pintu terbuka
Gayatri menatap seraut wajah tak dikenal. Seorang gadis dalam pakaian
harian dengan tangan terulur. Gadis itu tak berdiri lama dan tak
mengatakan apa-apa, kecuali menyampaikan sepucuk undangan dalam warna
pastel, aroma mewangi, dan cetakan huruf emas berkilat-kilat. Setelah
undangan itu diterima Gayatri, gadis itu pun pergi tanpa sepatah kata
dan tanpa menoleh lagi.
Naluri Gayatri menangkap
sesuatu tak wajar dalam sikap gadis itu. Tiba-tiba suasana hatinya
berubah, tak lagi berbunga-bunga, tetapi diliputi tanda Tanya. Pandangan
mata gadis tak dikenal itu telah menyatakan sesuatu yang mengerikan sebelum ia dapat menterjemahkan
surat undangan yang diterimanya. Sesaat Gayatri terpaku hingga bayangan
gadis yang mengantar surat undangan itu berlalu pergi. Pandangan mata
Gayatri segera menatap sampul undangan itu, beberapa saat kemudian
sepasang mata yang jernih itu pun terbelalak lebar dengan mulut
ternganga.
Jantung Gayatri berdetak kencang, isi
kepalanya seolah berputar-putar, lutunya menggigil.Gayatri merasa langit
telah runtuh, mengubur tubuhnya yang kaku dan mati rasa. Ia mencoba
menyangkal sebuah kenyataan yang telah menghancurkan seluruh hidupnya,
seluruh rencana, dan impiannya. Tapi tulisan yang tertera di sampul
undangan itu tak pernah berubah. Dan itu berarti, impiannya telah
berserakan menjadi kepingan kecil tanpa sisa. Gayatri mengerjabkan mata
berulang kali, dan tulisan itu tetap dalam ujud serupa.
Telah Menikah
Sekar Nilasari dan Wibawa Ardana
Gayatri
sangat mengenal nama itu, Sekar Nilasari adalah sahabatnya yang sejati,
sedangkan Wibawa Ardana adalah dokter muda yang seharusnya datang
melamar menjadi pengantinnya. Tapi undangan ini? Gayatri membuka sampul
undangan dengan harapan yang sangat tipis, bahwa isi dalam undangan itu
akan menyatakan hal-hal lain, tapi harapan itu sirna ketika Gayatri
membaca nama keluarga yang mengundang dan alamatnya. Jadi ….
Ardana
telah menikah dengan sahabat karibnya NIlasari pada saat yang begitu
diyakini, bahwa perkawinan dengan Ardana adalah hak miliknya. Gayatri
memandang undangan di tangan seolah kertas itu adalah kain kafan bagi
kematiannya. Tangan gadis itu gemetar hingga genggaman pada tangkai gelas
terlepas. Suasana hening di dalam rumah itu segera terpecah, karena
suara benda jatuh menjadi serpihan kecil tak berbentuk dengan cairan
cokelat tergenang di lantai pualam.
Gayatri terpaku ia seolah tak
lagi dapat mendengar suara, ia menjalani seluruh hidup dengan cemerlang
dan sebuah rencana, dan undangan itu telah menamparnya, ternyata ia
bukan apa-apa. Ia bocah kecil yang terus bermimpi tak menyadari
kenyataan di sekitarnya. Dokter wanita itu masih terpaku dengan
pandangan kosong, kesadarannya bergoyang pada garis batass yang
mencemaskan, wajahnya seketika memucat. Gayatri seakan tak merasakan
apa-apa ketika sepasang tangan dengan amat perlahan memegang bahunya,
membimbingnya kembali ke dalam rumah, mendudukkan di sofa, dan
menyandarkan kepalanya. Gayatri juga tak sadar, bahwa surat undangan itu
tak ada lagi dalam genggamannya, tetapi telah berpindah tangan.
Mata
gadis itu terpejam, ia seakan melihat kembali rekaman peristiwa sejak
awal mula mengenal Ardana. Tujuh tahun lalu, mereka adalah mahasiswa
baru pada universitas tertua yang menjadi kebanggaan negeri ini. Mereka
saling mengenal pada hari-hari kuliah di tahun pertama. Gayatri adalah
mahasiswa cerdas dengan penuh cita-cita, ia tak pernah meluangkan
sedikitpun waktu kecuali bagi cita-citanya. Nilasari mahasiswi di kelas
yang sama, seorang gadis yang tak menarik seperti Gayatri, tapi ada satu
hal yang tak dimiliki oleh siapa pun di antara mahasiswa seangkatan
itu. Nilasari anak tunggal dari keluarga ternama.Ibunya pengusaha
kosmetik sukses dengan rute penerbangan ke luar negeri secara
rutin. Ayahnya dokter senior, memiliki yayasan yang mengelola rumah sakit
swasta dengan pelayanan nyaris sempurna bagi setiap pasien. Nilasari
bukan citra mempesona seperti Gayatri, tetapi ia selalu dilumuri harta
dan kemuliaan. Ia belajar dan menikmati hidup tanpa kesulitan kecil yang
berarti.
Gayatri dan Nilasari bersahabat. Bukan hal
aneh apabila Nilasari dating menjemputnya untuk pergi kuliah kemudian
pulang bersama untuk sekedar berjalan-jalan ke Malioboro atau keliling
kota dengan mobil sportnya. Selebihnya adalah label dari teman-teman di
kampus, bahwa keduanya seperti kakak beradik, tak terpisahkan.
Ketika
masa kuliah selesai, dan calon-calon dokter itu harus mengikuti co
asisten di rumah sakit milik universitas, Gayatri dan Nilasari masih
bersama-sama, seia, dan sehati. Ardana mulai memasuki kehidupan gayatri
dengan cara yang halus, sehingga Gayatri terlalu terpesona sekedar
untuk menolaknya. Ardana adalah karakter tulen seorang dokter. Ia jujur,
teliti, dan tak kenal lelah dalam mendengar keluhan pasien di rumah
sakit. Dengan perawakan tinggi tegap, kulit bersinar, dan wajah yang
tampan, Ardana memang idola. Ia bukan sekedar bersabar dengan keluhan
pasien, tapi juga dengan semua kesulitan teman-temannya, terlebih
Gayatri.
Calon dokter wanita itu selalu memperoleh
jawaban dari setiap kesulitan, sehingga dengan sangat perlahan gadis itu
menggantungkan harapannya. Sementara Ardana terlanjur jatuh cinta pada
pandangan pertama. Kesabaran menuntun untuk mendapatkan Gayatri kemudian
merencanakan hari depan yang akan dilalui. Di pihak lain Nilasari tetap
sebagai sahabat bagi Gayatri, praktis Ardana mengenal anak orang kaya
itu pada jarak amat dekat, seperti halnya ia mengenal Gayatri. Tetapi
Ardana telah menentukan pilihan, ia hanya memandang sebelah mata kepada
NIlasari dan tak akan pernah peduli akan isi hatinya.
Nilasari
termasuk mahasiswa yang memperhatikan Ardana, tetapi ia adalah pribadi
tertutup. Ketika tahun-tahun terus berjalan, tetapi Ardana tidak juga
memperhatikan, NIlasari masih bersabar. Tetapi ketika Ardana akhirnya
menentukan pilihan pada Gayatri, NIlasari sadar betul akan
kehancurannya. Gadis itu masih cukup pandai menyembunyikan isi hati,
tetapi ia tak berhenti sampai di sini. Hubungan dekat dengan Gayatri
membuat NIlasari semakin mudah mengenal Ardana, dan semakin hari
NIlasari semakin jatuh hati.
Gayatri yang
menghargai arti persahabatan menjadi dungu untuk sekedar memahami isi
hati NIlasari, terlebih dengan segala rencana di kepalanya. Nilasari
ibarat seorang puteri raja di istananya yang kecil, tak ada keinginan
yang tak dapat dicapainya, karena ia selalu dapat “membeli” segalanya.
Otak gadis itu cukup cerdas mencari celah untuk “membeli” sebuah
perkawinan dan mengirim selembar undangan yang elegant ke tangan
Gayatri.
Gayatri masih terhenyak pada sandaran sofa,
untuk sekali dalam hidup dokter muda yang cerdas itu menyadari akan
ketololannya. Undangan itu pasti bukan hanya jatuh ke tangannya, tapi ke
ratusan tangan yang lain. Ddan mulut dari tangan-tangan itu akan
berbicara satu sama lain, membicarakan kehancurannya. Menyadari akan hal
ini gayatri semakin rapat memejamkan mata, kepalanya tiba-tiba menjadi
pening, perutnya terasa mual, semakin mual. Terburu Gayatri pergi ke
westafel untuk memuntahkan seluruh isinya. Terengah-engah gadis itu
ketika ia menatap bayangan dirinya yang pucat di depan cermin. Hanya
beberapa saat, karena Gayatri melihat bayangan wajahnya semakin
mengabur. Dokter itu merasa ada gumpalan kapas maha putih menutup
pandangan mata, ia pun terkulai, menjatuhkan seluruh beban ke dalam
benda lembut yang menakjubkan itu.
***
Di
luar pagi masih cerah dengan bunga mekar aneka warna. Pada sebuah
tempat megah di kota yang sama, perhelatan agung masih dipersiapkan
dengan seksama. Tempat itu seperti sebuah istana mungil dengan sebuah
bangunan megah berlantai dua, taman bunga dan hamparan rumput hijau,
lampu-lampu taman yang cantik, deretan mobil di garasi, selusin kamar
lengkap dengan toilet, ruangan-ruangan dengan perabotan utama, dekorasi
yang artistic, dan kolam renang di halaman belakang rumah dengan air
yang biru. Nilasari adalah seorang puteri yang mengundang seorang
“pangeran” datang untuk menyempurnakan hidupnya. Ia telah mendekati
Ardana dengan cara yang manis, karena kemuliaan dan cinta. Ia menawarkan
peluang pegawai tidak tetap di rumah sakit ayahnya dan tentu saja
Nilasari tahu akan adiknya yang tuna daksa. Kasih sayang terhadap
saudaranya itulah yang memacu Ardana untuk menjadi seorang dokter, ia
ingin menjadi penyembuh bagi seorang adik yang dicintainya. Tetapi
ternyata gelar dokter saya tidak cukup, ia harus berjuang ke wilayah
timur bagi gaji pegawai tidak tetap dan hari depan itu. Ardana
menyadari, betapa kehidupan ini tidaklah sederhana.
Ketika pada suatu malam di musim penghujan Nilasari datang menjemput di tempat kostnya yang lembab dan membawanya menuju istana kecil yang hangat dan silau oleh cahaya, Ardana terkesima. Ia hanya anak seorang petani di dusun yang kecil dengan pondoknya yang sederhana. Kini, ia menjadi tamu undangan yang hanya dapat dilihatnya di layar-layar kaca. Ketika NIlasari menggandengnya, mengitari seisi rumah, Ardana seakan baru tersadar akan gadis yang ada di dekatnya. Bertahun-tahun ia mengenal NIlasari, tapi tak pernah merasa seperti ini. Apa yang tak ada pada gadis ini? Masa depan telah terpampang pada sebuah rumah sakit ternama dan adiknya yang tuna daksa akan menjadi pasien istimewa tanpa ia perlu bersusah payah mencari biaya.
Ardana tergagap ketika NIlasari membawanya tenggelam dalam kesunyian rumah yang megah ini, keharuman yang memabukkan, dan wajah pasrah dokter muda itu. Ardana terlena, ia membiarkan Nilasari memuaskan rindu, ia membiarkan dirinya hanyut dalam arus kehidupan yang mendebarkan. Nilasari ternyata begitu lihai dan memikat. Dan undangan-undangan itu membawa Ardana pada sebuah mimpi yang jauh. Ia segera terlupa akan Gayatri, akan rencana-rencana hidup, idealism, dan menjadi pegawai tidak tetap di wilayah timur yang penuh eksotisme. Nilasari telah member lebih dari sekedar idealism. Ia adalah pewaris tunggal “kerajaan ini” dan Ardana hanya tinggal mendampinginya kemudian meneguk anggur kehidupan sepuas-puasnya.
Suatu hari dalam kesunyian rumah yang indah itu, Nilasari duduk manja di pangkuannya dengan gaun tidur yang tipis menampakkan seluruh kulit putih di punggungnya. “Aku sudah sampaikan mama dan papa, kita akan menikah, kau akan tinggal di sini, bekerja di rumah sakit, dan memberiku anak-anak yang manis. Rumah ini terlalu sunyi tanpa anak kecil. Mama dan papa rindu akan seorang cucu. Sebuah pesta besar sedang dipersiapkan. Engkau keberatan?” Nilasari memandang Ardana dengan tatapannya yang lembut. Ia akan melakukan segalanya untuk Ardana, karena ia hanya memerlukan satu hal dalam hidup yang gemerlap.
Cinta!
Ardana terpana, ia merasa gumpalan daging lembut dan kenyal menempel tanpa jarak, harum napas menggelora, dan pelukan kuat penuh harap. Ardana salah kalau ia menilai Nilasari tak memiliki daya pikat, ia tak cantik memang, tapi menggiurkan. Seisi dunia telah ditawarkan, ia tak harus bekerja ekstra keras untuk meraih hari depan, segalanya telah tergenggam. Ardana hanya tinggal meremasnya.
“Engkau keberatan Ardana?” Nilasari terus menatap Ardana dengan matanya yang jernih, ia semakin merapatkan tubuh pada Ardana, seolah ia takut laki-laki itu akan menghilang dri kehidupannya.
Ardana balas menatap Nilasari seolah memandang bocah kecil yang kehausan dan memohon segelas air. Ia takk segera menjawab, karena ia sudah tak mampu berkata-kata. Tangannya yang kekar segera memondong tubuh lembut Nilasari, membaringkan di atas sehelai permadani Persia yang tebal dan halus. Ardana tahu apa yang diperlukn gadis itu sebagai jawaban. Ia pun membawa Nilasari mengikuti arus sungai yang deras tanpa kenal ampun. Suasana rumah seperti biasa hening dan bisu. Keduanya terlena. Ardana sudah benar-benar terlupa akan Gayatri, ia hanya perlu mengatakan satu hal untuk mendapatkan hidupnya, “Aku pasti akan menikahimu Nilasari”.
Dan, di pagi yang cerah itu, selembar surat undangan perkawinan sampai di tangan Gayatri.
Berhari-hari Gayatri mengurung diri di kamarnya yang terasa lebih sunyi.Kedua orang tuanya sibuk bekerja, adiknya kuliah. Seorang pembantu di rumah ini hanya dating di pagi hari kemudian kembali ke tempat tinggalnya setelah ia memasak, mencuci pakaian kotor, dan membereskan seisi rumah. Setelah itu di rumah ini tak ada lagi suara Gayatri terbenam dalam sunyi, ia telah kehilangan separuh dari kepercayaan diri, tubuhnya mengecil, matanya cekung, wajahnya pias, Dokter muda itu tak mengingat lagi hari dan tanggal, ia ingin melewatkan semua tanpa reaksi apa pun, kecuali diam. Ia bertahan dengan sisa tenaga untuk melamlaui hari-hari yang menyakitkan. Seluruh surat dan benda pemberian Ardana telah dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah timbunan, disiram dengan minyak kemudian disulut api.
Abu yang tersisa seakan isyarat, kenangan dengan Ardana telah hangus tak dikenali.Tapi semua itu belum cukup. Gayatri menyesali ketololannya, ia salah menilai Ardana. Dan pesta megah yang dihadiri ratusan tamu itu telah diliput media masa lokal. Gaytari merobek Koran, mematikan radio, dan menutup telinga terhadap komentar, betapa agung dan sempurna perhelatan itu.Kabarnya Nilasari telah menjelma menjadi putri cantik dalam busana pengantin dan pengantin laki-laki itu tampak begitu memuja. Sementara ruangan megah dalam sebuah hotel berbintang telah berubah menjadi ajang pertemuan selebritis dengan meja perjamuan yang ditata seindah-indahnya, harum bunga aneka warna, suara gending yang lembut mendayu, kue pengantin yang menjulang ke langit, dan timbunan kado seakan gundukan bukit. Semuanya tersenyum cerah, semuanya gembira, terlebih sang pengantin wanita. Ia telah memenangkan Ardana dengan sebuah tawaran bebas, dan ternyata laki-laki itu memilihnya. Ia akan melewati hari-hari yang dilumuri madu kehidupan. Adakah yang lebih berharga dalam kehidupan seorang wanita, kecuali menikah dengan laki-laki yang dicintainya? Dan ia telah mendapatkannya.
Nilasari bersyukur, ia tak mendapatkan Gayatri pada malam pengantinya, ia tak ingin Ardana menjadi terganggu dengan kehadiran itu. Nilasari tak peduli, bahwa ketika ia tengah tertawa bahagia, maka sahabatnya tengah meratapi kehancurannya. Ia telah berkeping-keping setiap hari selama bertahun-tahun sebelum ia mengatur siasat bagi perkawinan itu. Jadi semua impas.
Di kamarnya yang sunyi Gayatri tetap sendiri, ia sengaja tak menelan obat penenang, ia membiarkan rasa sakit merayapi seluruh tubuhnya. Setelah rasa sakit itu mencapai puncak dan air matanya berderai sendiri berderai seolah tanpa henti, Gayatri merasa sakit itu semakin berkurang, semakin tak terasa, dan akhirnya hanya tinggal sisa.Ia telah melewati saat-saat yang mencemaskan dengan selamat. Wajah gadis itu tetap memucat, sinar matanya menjadi padam, badannya tampak lebih ramping. Tetapi ada sesuatu yang tak berubah dalam dirinya, yaitu keinginan untuk tidak menyerah!
Gayatri bukan pribadi yang berlarut-larut dalam satu persoalan, sungguh pun perkawinan itu telah mengubur seluruh harapan dan rencananya. Gadis itu mulai berbenah, merapikan seisi kamar, mencuci rambut, dan seluruh tubuhnya, mendirikan sembahyang, dan berdoa dengan satu kesadaran, bahwa hari esok masih panjang. Gayatri tengah memandang keluar jendela dengan kimono mandi dan rambut basah terbungkus handuk tebal. Hujan baru saja turun, langit gelap dalam cuasa mendung. Gadis itu menatap bening embun yang mengkristal pada ujung dedaunan kemudian menetes, karena kekuatan alam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu dan tak lama kemudian ibunya masuk ke dalam kamar.
“Kau baik-baik saja?” teguran itu mengejutkan Gayatri, ketika membalikkan muka, ia segera berhadapan dengan Alya, seorang wanita menjelang usia tua dengan pakaian rapi, make up bersahaja, rambut tersanggul ke belakang, dan tatapan mata penuh keyakinan. Ia wanita yang telah menjadi matang, karena asam garam kehidupan. Sehari-hari ia selalu berhadapan dengan mahasiswa di ruang kuliah, ada satu hal yang tak pernah dilepaskan dalam keseharian perempuan itu, yaitu control diri yang kuat.
“Ibu tahu keadaanmu, ibu tahu pula perasaanmu. Semua bisa terjadi, tapi jangan pernah disesali. Kau sudah cukup mengurung diri di dalam kamar. Ibu tak rugi apa-apa, tapi ada begitu banyak hal yang bisa kau kerjakan di luar. Kau tahu kenapa harus disumpah sebagai seorang dokter?” wanita itu berhenti sejenak kemudian meneruskan kata-katanya. “Karena engkau harus menyembuhkan pasien, dan kalau engkau bisa menyembuhkan pasien, maka engkau harus bisa menyembuhkan dirimu sendiri. Dulu, ibu pernah memberimu pilihan pada seorang yang lebih segalanya dari Ardana, tapi engkau menolaknya. Engkau bertahan pada idealism dan pilihan. Dan ternyata Ardana lebih mementingkan kekayaan dari pada idealism. Dia memburu harta duniawi, sesuatu yang engkau justru pernah menolaknya. Syukur, bahwa semua ini terjadi sebelum perkawinanmu. Kau belum terlambat mengenali laki-laki itu. Dia bukan apa-apa! Dia cuma anak desa yang meletakkan harta benda di atas martabatnya.Jadi, jangan berlarut-larut menyesal, harapan dan rencana-rencana itu bukanlah takdirmu”. Kata-kata itu terlontar dengan lembut namun penuh kepastian.
“Engkau masih muda, masa depanmu membentang, masih banyak orang yang menyayangi dan mampu bertanggung jawab atas dirimu. Ada saatnya orang boleh menangis, tapi ada saatnya tangis itu harus dihentikan. Ibu berjuang untuk membesarkanmu, dan ibu tak mau perjuangan itu gagal sampai di sini, karena perkawinan itu. Semua sudah berlalu, suatu saat engkau akan dapat mengingatnya, bahkantanpa rasa sakit”, wanita itu memandang Gayatri dengan tatapan lembut, ia cukup mengerti bagaimana rasanya dikhianati. Ia pernah merasakan, karena laki-laki yang menikahinya itu diam-diam telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Seorang wanita yang tak lebih terhormat dari dirinya, karena ia hanyalah seorang sundal. Hubungan gelap itu akhirnya memang dapat dihentikan, karena sikap dan ketegasannya, tapi luka hati ternyata tak tersembuhkan. Ada saatnya, bahwa ia akan menatap suaminya dengan dendam —kobaran api yang tak jua padam.
“Saya hanya menyesal, telah salah menilai orang. Pribadi yang begitu dekat, tapi tak pernah dapat dikenali dengan benar”.
“Ibu ada undangan nanti malam, kau mau datang?”
“Saya pasti keluar dari rumah, tapi tidak hari ini. Ibu tidak usah khawatir, saya pun bukan orang yang akan terus berlarut-larut, karena satu persoalan. Saya akan memulai sesuatu yang baru, mungkin besok hari. Sementara biarkan saya sendiri”.
Gayatri merasa sepasang tangan halus, namun penuh kekuatan memeluknya, sebuah ciuman mendarat di keningnya, kemudian ia kembali sendiri. Adik bungsunya menyeruak masuk ke dalam kamar dengan batangan cokelat dan es krim. Bapaknya bergantian masuk dengan sekeranjang kecil buah-buahan. Semua itu makanan kesukaannya, dan tiba-tiba Gayatri merasa teramat lapar. Hari-hari terakhir jadwal makannya berantakan, ia pun sadar sudah saatnya menyusun kekuatan. Energy amatlah penting bagi kelangsungan hidup, dan ia harus mempertahankan.
Keesokan harinya ketika tiba waktu sarapan Gayatri telah bergabung di meja makan, menghabiskan segelas sari buah, roti bakar isi daging cincang, dan sepiring mangga. Sedikit demi sedikit kekuatannya mulai pulih. Gayatri membaca novel sambil memutar lagu-lagu klasik kemudian melihat bunga-bunga anggrek yang mekar di taman kecil samping rumah. Dokter itu menatapkelopak bunga berlama-lama, pikirannya menjadi jernih, inspirasi muncul, nalarnya kembali bekerja.
Hari berikutnya Gayatri pergi ke mall dengan Yasmi, adik perempuannya, ia harus melihat kembali kenyataan. Ketika tengah memilih buah-buhan segar, terdengar suara orang bercakap-cakap. “Pesta itu sungguh megah, maklum perkawinan anak tunggal dengan seorang dokter muda yang berbakat”.
“Tapi kudengar pengantin laki-laki itu mestinya menikah dengan sahabatnya, seorang dokter juga”, terdengar jawaban dari suara yang lain.
“Yang saya dengar juga demikian, tapi pengantin wanita itu pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarganya, dan siapa pun yang menjadi pengantin laki-laki, maka ia hanya tinggal mendampinginya”.
“Benar, pengantin laki-laki itu bukan hanya bekerja di rumah sakit ayahnya, tapi juga calon pemilik rumah sakit itu. Apa yang tidak bisa dibeli? Ha ….ha….ha….!”
Gayatri tertegun dengan percakapan itu, beruntung Yasmi tengah melihat-lihat makanan kering, sehingga ia tidak ikut serta mendengar percakapan itu. Gayatri memejamkan mata sekejab, ia bergegas menimbang buah, membayar ke kasir, dan segera mengajak Yasmi untuk meninggalkan tempat itu. Telinganya merah dan panas.
Sementara ketika berpapasan dengan tetangga, maka tampak sekali, bahwa mereka melihatnya dengan tatapan kasihan.Sebagian berbisik-bisik, sebagian membuang pandang. Diam-diam Gayatri mengeluh, ia telah menjadi buah mulut, karena tak mampumembeli perkawinan. Apa boleh buat? Ia masih harus pergi ke kampus untuk mengurus surat-surat dan administrasi, Gayatri harus menguatkan hati. Ketika tengah memarkir motor, maka kembali terdengar suara mahasiswa bercakap-cakap.
“Sebuah pesta perkawinan yang spektakuler dan mengejutkan.Pengantin wanita itu, ia telah merubah nasib seorang dokter muda, seorang anak desa”.
“Aku tak tahu, apa yang terjadi, mengapa tiba-tiba Ardana menikah dengan Nila? Bukankah semua orang tahu, bahwa calon istrinya adalah Gayatri?”
“Nila telah mempersiapkan semuanya, siapa yang dapat melawan cinta sekaligus harta?”
Tiba-tiba percakapan itu menghilang, para pemilik suara bubar, Gayatri mendapatkan tatapan aneh dari seisi kampus. Di setiap sudut di kampus ini orang masih hangat membicarakan perkawinan itu. Gayatri merasa sakit pada sepasang telinga. Ia tak bisa menutup mulut itu supaya berhenti bicara. Ia telah menjadi objek dalam setiap pembicaraan orang-orang di sekitarnya. Benar, ia bukanlah apa-apa.
Gayatri menyudahi seluruh urusan di kampus kemudian kembali ke rumah. Dokter itu merebahkan diri di pembaringan, memejamkan mata. Satu-satunya cara efektif untuk meredakan kelelahan psikis adalah tidur. Ia telah kehilangan begitu banyak hal penting dalam hidup, karena perkawinan itu. Sebelum pesta megah itu terjadi, Gayatri ibarat bunga mekar dengan keharuman dan sensasi, semua orang menyayangi dan menghormati. Ia selalu melangkah dengan keyakinan diri, terlebih setelah sumpah diucapkan. Ia telah meraih sebuah prestasi dan bersiap meniti karir, sampai undangan yang wangi itu jatuh ke tangan dan merubah penampilannya. Ia hanyalah seorang yang kalah dan kini hangat sebagai bahan pembicaraan. Sekarang Gayatri mengerti, bahwa dalam hidup ini hanya ada tempat untuk orang yang menang dan kuat, ia tersisih jauh ke tepian dalam sebuah perkawinan agung, karena tidak terpilih. Ia merasa menjadi lemah, hancur berkeping-keping tak berbentuk. Tak ada tempat untuk meminta kasihan, tak ada tempat untuk membangun kembali kekuatan. Dulu, ia akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkeluh kesah dengan Nilasari saat gelisah. Kini tempat itu telah runtuh, ia tak dapat dan tak akan pernah lagi dapat mengenali. Waktu terus berjalan, merubah segala sesuatu dengan cepat. Kepala Gayatri terasa semakin berat.Gadis itu pun tertidur.
Di luar gerimis turun dalam rinai yang luruh ke bumi, memantulkan suara alam. Tanah dan dedaunan kembali basah, udara dingin dan segar, langit gelap tanpa cahaya. Suasana rumah tetap sunyi, Gayatri masih terlelap. Gadis itu terbangun dalam udara dingin yang menggigit pori-pori, ia menarik selimut tebal hingga ke batas bahu. Hanya ada satu tempat berlindung, yaitu suasana di dalam kamar yang amat dikenali. Ruangan mungil dengan lantai putih, tempat tidur yang nyaman, meja belajar dengan seperangkat computer, meja rias, sehelai karpet dengan motif kupu-kupu, selebihnya pernik-pernik manis pada permukaan dinding.
Tiba-tiba Gayatri menjadi takut dengan suasana di luar rumah, ia seakan ingin menghilang dari dunia luar untuk mendapatkan kehidupan pribadi tanpa ada orang yang pernah mengenali. Pikiran dokter itu bekerja, mencari jalan keluar. Tanpa sengaja mata Gayatri menatap foto masa kanak-kanak dalam bingkai cantik di dinding, wajahnya masih polos tanpa beban, tanpa persoalan, tanpa sahabat yang berbalik menjadi musuh dan meruntuhkan seluruh harapannya. Pikiran dokter itu masih terus bekerja, ingatannya melayang pada situasi masa kanak-kanak, ketika ia terobsesi akan kehidupan di tempat yang jauh dari sebuah buku cerita: Genderang Perang dari Wamena.
Gayatri seolah menatap lembah hijau dengan benteng barisan bukit berlapis-lapis, kabut tebal bergulung-gulung seakan misteri yang tak pernah tersingkap, suku bangsa yang bertahan dalam sisa kehidupan zaman batu, dan sebuah petualangan. Gadis itu juga teringat dengan rencana untuk menjadi pegawai tidak tetap di wilayah timur Indonesia, sebuah tempat yang belum pernah sekalipun dikunjungi. Mengapa ia tak melakukan sesuatu untuk keluar dari persoalan ini?
Keesokan harinya ketika duduk di meja makan Gayatri telah sampai pada sebuah keputusan. “Saya harus mengambil tugas pegawai tidak tetap untuk memulai karir, tak bisa saya terus berdiam diri dalam situasi seperti ini”, Gayatri membuka pembicaraan.
“Itu bagus, engkau adalah seorang dokter berbakat”. Kadarisman, ayah Gayatri menanggapi. Laki-laki itu tahu persis suasana hati anaknya, meskipun mereka tak pernah berbicara secara langsung, ia terlalu sibuk dengan tugas rutin pada sebuah penerbitan sehingga persoalan anak-anak cenderung ditangani Alya, istrinya.
“Saya pernah berencana untuk mengambil tugas pegawai tidak tetap di wilayah timur, saya kira rencanaitu akan saya teruskan”.
“Kemana Gay?” Alya, ibunya tampak mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk bulan sabit, wanita itu tampak menerka-nerka jalan pikiran anaknya.
“Ke Wamena”.
Jawaban itu terlalu singkat, tapi Gayatri segera mendengar ibunya tersedak kemudian terbatuk-batuk, ayahnya meletakkan sendok dan garpu secara tiba-tiba, adiknya memandang bengong seolah tak percaya. “Saya sudah memutuskan, surat-surat akan diproses, itu tidak susah, karena saya sudah membaca peluang yang ada.Untuk sementara saya tidak mungkin bertahan di tempat ini, tugas pegawai tidak tetap bukan untuk selamanya. Bapak dan ibu tahu keadaan saya.Saya ingin melihat dunia luar”, Gayatri memberi penjelasan dengan tenang. Ia tahu keputusannya akan menjadi persoalan besar dalam keluarga ini. Sejak terlahir ia selalu berada di tempat ini, ia tak pernah lagi pergi kemana pun, kecuali tugas lapangan atau pergi berlibur. Ia selalu terikat dengan tempat kelahirannya, tapi surat undangan itu membuat tanah yang dipijak seolah menjadi bara, dan ia tak mampu berpijak lebih lama.
“Tempat itu jauh sekali sayangku….”, Alya mencoba membujuk, tapai jauh dalam hati kecil ia tahu, gadisnya telah menjadi seorang dokter yang keras kepala. Tipis kemungkinan untuk dapat membatalkan rencananya. Seandainya ia telah menikah dan berangkat dengan seorang suami yang mampu mendampingi.
“Engkau belum pernah sekali pun pergi ke tempat itu”, Kadarisman menimpali. Ia tak bisa membedakan, mana yang lebih berat, antara keterkejutan terhadap rencana itu atau kecemasan terhadap reaksi Alya yang tak akan mampu berpisah dengan anaknya.
“Saya mohon doa restu. Apabila terus menetap di tempat ini, saya bahkan tak dapat mengerjakan apa-apa lagi dan hal itu berarti saya mati!” pandangan Gayatri membeku, keputusan itu sudah bulat, ia ingin pergi ke tempat yang jauh dan sunyi untuk sebuah kehidupan baru.
Alya menatap Gayatri berlama-lama, ia tahu gadisnya telah sampai pada keputusan yang tak dapat dirubah. Wanita itu tak menghabiskan sarapan, ia segera meninggalkan meja makan. Kontrol dirinya tetap berjalan, ia tak ingin menumpahkan air mata di depan anak-anaknya.
“Bagaimana nanti kami dapat mengunjungimu?Bagaimana nanti bapak harus selalu menghibur ibumu? Uripiki ming mampir ngombe, hidup ini hanya sekedar menumpang minum. Bersabarlah”, Kadarisman tak dapat menyembunyikan kecemasan.
“Benar bapak, hidup ini hanya sekedar menumpang minum, tapi yang namanya menumpang minum, dalam situasi tertentu ternyata bisa menjadi lama sekali.Tugas pegawai tidak tetap ke Wamena bukan berarti saya telah kehilangan kesabaran. Saya harus menyelamatkan hidup saya. Semua orang di kota ini seakan terus membicarakan saya, karena Ardana menikahi orang lain, dan orang itu adalah sahabat saya sendiri. Saya tak dapat membungkam mulut mereka, mungkin juga semua salah saya. Perkawinan itu terjadi, tepat ketika saya sedang merencanakannya. Saya meninggalkan tempat ini bukan karena lari dari kenyataan hidup, tapi sudah sejak lama, sebelum mengenal Ardana saya memang sudah ingin pergi ke sana. Saya pergi bukan karena dikhianati, tapi karena cita-cita. Kebetulan saja situasinya seperti ini”.
“Gay….”
“Saya mohon bapak”.
Kemudian suasana di dalam rumah mungil yang cantik itu segera berubah menjadi sunyi, karena seorang penghuni memutuskan untuk pergi.
***
Ketika pada suatu malam di musim penghujan Nilasari datang menjemput di tempat kostnya yang lembab dan membawanya menuju istana kecil yang hangat dan silau oleh cahaya, Ardana terkesima. Ia hanya anak seorang petani di dusun yang kecil dengan pondoknya yang sederhana. Kini, ia menjadi tamu undangan yang hanya dapat dilihatnya di layar-layar kaca. Ketika NIlasari menggandengnya, mengitari seisi rumah, Ardana seakan baru tersadar akan gadis yang ada di dekatnya. Bertahun-tahun ia mengenal NIlasari, tapi tak pernah merasa seperti ini. Apa yang tak ada pada gadis ini? Masa depan telah terpampang pada sebuah rumah sakit ternama dan adiknya yang tuna daksa akan menjadi pasien istimewa tanpa ia perlu bersusah payah mencari biaya.
Ardana tergagap ketika NIlasari membawanya tenggelam dalam kesunyian rumah yang megah ini, keharuman yang memabukkan, dan wajah pasrah dokter muda itu. Ardana terlena, ia membiarkan Nilasari memuaskan rindu, ia membiarkan dirinya hanyut dalam arus kehidupan yang mendebarkan. Nilasari ternyata begitu lihai dan memikat. Dan undangan-undangan itu membawa Ardana pada sebuah mimpi yang jauh. Ia segera terlupa akan Gayatri, akan rencana-rencana hidup, idealism, dan menjadi pegawai tidak tetap di wilayah timur yang penuh eksotisme. Nilasari telah member lebih dari sekedar idealism. Ia adalah pewaris tunggal “kerajaan ini” dan Ardana hanya tinggal mendampinginya kemudian meneguk anggur kehidupan sepuas-puasnya.
Suatu hari dalam kesunyian rumah yang indah itu, Nilasari duduk manja di pangkuannya dengan gaun tidur yang tipis menampakkan seluruh kulit putih di punggungnya. “Aku sudah sampaikan mama dan papa, kita akan menikah, kau akan tinggal di sini, bekerja di rumah sakit, dan memberiku anak-anak yang manis. Rumah ini terlalu sunyi tanpa anak kecil. Mama dan papa rindu akan seorang cucu. Sebuah pesta besar sedang dipersiapkan. Engkau keberatan?” Nilasari memandang Ardana dengan tatapannya yang lembut. Ia akan melakukan segalanya untuk Ardana, karena ia hanya memerlukan satu hal dalam hidup yang gemerlap.
Cinta!
Ardana terpana, ia merasa gumpalan daging lembut dan kenyal menempel tanpa jarak, harum napas menggelora, dan pelukan kuat penuh harap. Ardana salah kalau ia menilai Nilasari tak memiliki daya pikat, ia tak cantik memang, tapi menggiurkan. Seisi dunia telah ditawarkan, ia tak harus bekerja ekstra keras untuk meraih hari depan, segalanya telah tergenggam. Ardana hanya tinggal meremasnya.
“Engkau keberatan Ardana?” Nilasari terus menatap Ardana dengan matanya yang jernih, ia semakin merapatkan tubuh pada Ardana, seolah ia takut laki-laki itu akan menghilang dri kehidupannya.
Ardana balas menatap Nilasari seolah memandang bocah kecil yang kehausan dan memohon segelas air. Ia takk segera menjawab, karena ia sudah tak mampu berkata-kata. Tangannya yang kekar segera memondong tubuh lembut Nilasari, membaringkan di atas sehelai permadani Persia yang tebal dan halus. Ardana tahu apa yang diperlukn gadis itu sebagai jawaban. Ia pun membawa Nilasari mengikuti arus sungai yang deras tanpa kenal ampun. Suasana rumah seperti biasa hening dan bisu. Keduanya terlena. Ardana sudah benar-benar terlupa akan Gayatri, ia hanya perlu mengatakan satu hal untuk mendapatkan hidupnya, “Aku pasti akan menikahimu Nilasari”.
Dan, di pagi yang cerah itu, selembar surat undangan perkawinan sampai di tangan Gayatri.
Berhari-hari Gayatri mengurung diri di kamarnya yang terasa lebih sunyi.Kedua orang tuanya sibuk bekerja, adiknya kuliah. Seorang pembantu di rumah ini hanya dating di pagi hari kemudian kembali ke tempat tinggalnya setelah ia memasak, mencuci pakaian kotor, dan membereskan seisi rumah. Setelah itu di rumah ini tak ada lagi suara Gayatri terbenam dalam sunyi, ia telah kehilangan separuh dari kepercayaan diri, tubuhnya mengecil, matanya cekung, wajahnya pias, Dokter muda itu tak mengingat lagi hari dan tanggal, ia ingin melewatkan semua tanpa reaksi apa pun, kecuali diam. Ia bertahan dengan sisa tenaga untuk melamlaui hari-hari yang menyakitkan. Seluruh surat dan benda pemberian Ardana telah dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah timbunan, disiram dengan minyak kemudian disulut api.
Abu yang tersisa seakan isyarat, kenangan dengan Ardana telah hangus tak dikenali.Tapi semua itu belum cukup. Gayatri menyesali ketololannya, ia salah menilai Ardana. Dan pesta megah yang dihadiri ratusan tamu itu telah diliput media masa lokal. Gaytari merobek Koran, mematikan radio, dan menutup telinga terhadap komentar, betapa agung dan sempurna perhelatan itu.Kabarnya Nilasari telah menjelma menjadi putri cantik dalam busana pengantin dan pengantin laki-laki itu tampak begitu memuja. Sementara ruangan megah dalam sebuah hotel berbintang telah berubah menjadi ajang pertemuan selebritis dengan meja perjamuan yang ditata seindah-indahnya, harum bunga aneka warna, suara gending yang lembut mendayu, kue pengantin yang menjulang ke langit, dan timbunan kado seakan gundukan bukit. Semuanya tersenyum cerah, semuanya gembira, terlebih sang pengantin wanita. Ia telah memenangkan Ardana dengan sebuah tawaran bebas, dan ternyata laki-laki itu memilihnya. Ia akan melewati hari-hari yang dilumuri madu kehidupan. Adakah yang lebih berharga dalam kehidupan seorang wanita, kecuali menikah dengan laki-laki yang dicintainya? Dan ia telah mendapatkannya.
Nilasari bersyukur, ia tak mendapatkan Gayatri pada malam pengantinya, ia tak ingin Ardana menjadi terganggu dengan kehadiran itu. Nilasari tak peduli, bahwa ketika ia tengah tertawa bahagia, maka sahabatnya tengah meratapi kehancurannya. Ia telah berkeping-keping setiap hari selama bertahun-tahun sebelum ia mengatur siasat bagi perkawinan itu. Jadi semua impas.
Di kamarnya yang sunyi Gayatri tetap sendiri, ia sengaja tak menelan obat penenang, ia membiarkan rasa sakit merayapi seluruh tubuhnya. Setelah rasa sakit itu mencapai puncak dan air matanya berderai sendiri berderai seolah tanpa henti, Gayatri merasa sakit itu semakin berkurang, semakin tak terasa, dan akhirnya hanya tinggal sisa.Ia telah melewati saat-saat yang mencemaskan dengan selamat. Wajah gadis itu tetap memucat, sinar matanya menjadi padam, badannya tampak lebih ramping. Tetapi ada sesuatu yang tak berubah dalam dirinya, yaitu keinginan untuk tidak menyerah!
Gayatri bukan pribadi yang berlarut-larut dalam satu persoalan, sungguh pun perkawinan itu telah mengubur seluruh harapan dan rencananya. Gadis itu mulai berbenah, merapikan seisi kamar, mencuci rambut, dan seluruh tubuhnya, mendirikan sembahyang, dan berdoa dengan satu kesadaran, bahwa hari esok masih panjang. Gayatri tengah memandang keluar jendela dengan kimono mandi dan rambut basah terbungkus handuk tebal. Hujan baru saja turun, langit gelap dalam cuasa mendung. Gadis itu menatap bening embun yang mengkristal pada ujung dedaunan kemudian menetes, karena kekuatan alam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu dan tak lama kemudian ibunya masuk ke dalam kamar.
“Kau baik-baik saja?” teguran itu mengejutkan Gayatri, ketika membalikkan muka, ia segera berhadapan dengan Alya, seorang wanita menjelang usia tua dengan pakaian rapi, make up bersahaja, rambut tersanggul ke belakang, dan tatapan mata penuh keyakinan. Ia wanita yang telah menjadi matang, karena asam garam kehidupan. Sehari-hari ia selalu berhadapan dengan mahasiswa di ruang kuliah, ada satu hal yang tak pernah dilepaskan dalam keseharian perempuan itu, yaitu control diri yang kuat.
“Ibu tahu keadaanmu, ibu tahu pula perasaanmu. Semua bisa terjadi, tapi jangan pernah disesali. Kau sudah cukup mengurung diri di dalam kamar. Ibu tak rugi apa-apa, tapi ada begitu banyak hal yang bisa kau kerjakan di luar. Kau tahu kenapa harus disumpah sebagai seorang dokter?” wanita itu berhenti sejenak kemudian meneruskan kata-katanya. “Karena engkau harus menyembuhkan pasien, dan kalau engkau bisa menyembuhkan pasien, maka engkau harus bisa menyembuhkan dirimu sendiri. Dulu, ibu pernah memberimu pilihan pada seorang yang lebih segalanya dari Ardana, tapi engkau menolaknya. Engkau bertahan pada idealism dan pilihan. Dan ternyata Ardana lebih mementingkan kekayaan dari pada idealism. Dia memburu harta duniawi, sesuatu yang engkau justru pernah menolaknya. Syukur, bahwa semua ini terjadi sebelum perkawinanmu. Kau belum terlambat mengenali laki-laki itu. Dia bukan apa-apa! Dia cuma anak desa yang meletakkan harta benda di atas martabatnya.Jadi, jangan berlarut-larut menyesal, harapan dan rencana-rencana itu bukanlah takdirmu”. Kata-kata itu terlontar dengan lembut namun penuh kepastian.
“Engkau masih muda, masa depanmu membentang, masih banyak orang yang menyayangi dan mampu bertanggung jawab atas dirimu. Ada saatnya orang boleh menangis, tapi ada saatnya tangis itu harus dihentikan. Ibu berjuang untuk membesarkanmu, dan ibu tak mau perjuangan itu gagal sampai di sini, karena perkawinan itu. Semua sudah berlalu, suatu saat engkau akan dapat mengingatnya, bahkantanpa rasa sakit”, wanita itu memandang Gayatri dengan tatapan lembut, ia cukup mengerti bagaimana rasanya dikhianati. Ia pernah merasakan, karena laki-laki yang menikahinya itu diam-diam telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Seorang wanita yang tak lebih terhormat dari dirinya, karena ia hanyalah seorang sundal. Hubungan gelap itu akhirnya memang dapat dihentikan, karena sikap dan ketegasannya, tapi luka hati ternyata tak tersembuhkan. Ada saatnya, bahwa ia akan menatap suaminya dengan dendam —kobaran api yang tak jua padam.
“Saya hanya menyesal, telah salah menilai orang. Pribadi yang begitu dekat, tapi tak pernah dapat dikenali dengan benar”.
“Ibu ada undangan nanti malam, kau mau datang?”
“Saya pasti keluar dari rumah, tapi tidak hari ini. Ibu tidak usah khawatir, saya pun bukan orang yang akan terus berlarut-larut, karena satu persoalan. Saya akan memulai sesuatu yang baru, mungkin besok hari. Sementara biarkan saya sendiri”.
Gayatri merasa sepasang tangan halus, namun penuh kekuatan memeluknya, sebuah ciuman mendarat di keningnya, kemudian ia kembali sendiri. Adik bungsunya menyeruak masuk ke dalam kamar dengan batangan cokelat dan es krim. Bapaknya bergantian masuk dengan sekeranjang kecil buah-buahan. Semua itu makanan kesukaannya, dan tiba-tiba Gayatri merasa teramat lapar. Hari-hari terakhir jadwal makannya berantakan, ia pun sadar sudah saatnya menyusun kekuatan. Energy amatlah penting bagi kelangsungan hidup, dan ia harus mempertahankan.
Keesokan harinya ketika tiba waktu sarapan Gayatri telah bergabung di meja makan, menghabiskan segelas sari buah, roti bakar isi daging cincang, dan sepiring mangga. Sedikit demi sedikit kekuatannya mulai pulih. Gayatri membaca novel sambil memutar lagu-lagu klasik kemudian melihat bunga-bunga anggrek yang mekar di taman kecil samping rumah. Dokter itu menatapkelopak bunga berlama-lama, pikirannya menjadi jernih, inspirasi muncul, nalarnya kembali bekerja.
Hari berikutnya Gayatri pergi ke mall dengan Yasmi, adik perempuannya, ia harus melihat kembali kenyataan. Ketika tengah memilih buah-buhan segar, terdengar suara orang bercakap-cakap. “Pesta itu sungguh megah, maklum perkawinan anak tunggal dengan seorang dokter muda yang berbakat”.
“Tapi kudengar pengantin laki-laki itu mestinya menikah dengan sahabatnya, seorang dokter juga”, terdengar jawaban dari suara yang lain.
“Yang saya dengar juga demikian, tapi pengantin wanita itu pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarganya, dan siapa pun yang menjadi pengantin laki-laki, maka ia hanya tinggal mendampinginya”.
“Benar, pengantin laki-laki itu bukan hanya bekerja di rumah sakit ayahnya, tapi juga calon pemilik rumah sakit itu. Apa yang tidak bisa dibeli? Ha ….ha….ha….!”
Gayatri tertegun dengan percakapan itu, beruntung Yasmi tengah melihat-lihat makanan kering, sehingga ia tidak ikut serta mendengar percakapan itu. Gayatri memejamkan mata sekejab, ia bergegas menimbang buah, membayar ke kasir, dan segera mengajak Yasmi untuk meninggalkan tempat itu. Telinganya merah dan panas.
Sementara ketika berpapasan dengan tetangga, maka tampak sekali, bahwa mereka melihatnya dengan tatapan kasihan.Sebagian berbisik-bisik, sebagian membuang pandang. Diam-diam Gayatri mengeluh, ia telah menjadi buah mulut, karena tak mampumembeli perkawinan. Apa boleh buat? Ia masih harus pergi ke kampus untuk mengurus surat-surat dan administrasi, Gayatri harus menguatkan hati. Ketika tengah memarkir motor, maka kembali terdengar suara mahasiswa bercakap-cakap.
“Sebuah pesta perkawinan yang spektakuler dan mengejutkan.Pengantin wanita itu, ia telah merubah nasib seorang dokter muda, seorang anak desa”.
“Aku tak tahu, apa yang terjadi, mengapa tiba-tiba Ardana menikah dengan Nila? Bukankah semua orang tahu, bahwa calon istrinya adalah Gayatri?”
“Nila telah mempersiapkan semuanya, siapa yang dapat melawan cinta sekaligus harta?”
Tiba-tiba percakapan itu menghilang, para pemilik suara bubar, Gayatri mendapatkan tatapan aneh dari seisi kampus. Di setiap sudut di kampus ini orang masih hangat membicarakan perkawinan itu. Gayatri merasa sakit pada sepasang telinga. Ia tak bisa menutup mulut itu supaya berhenti bicara. Ia telah menjadi objek dalam setiap pembicaraan orang-orang di sekitarnya. Benar, ia bukanlah apa-apa.
Gayatri menyudahi seluruh urusan di kampus kemudian kembali ke rumah. Dokter itu merebahkan diri di pembaringan, memejamkan mata. Satu-satunya cara efektif untuk meredakan kelelahan psikis adalah tidur. Ia telah kehilangan begitu banyak hal penting dalam hidup, karena perkawinan itu. Sebelum pesta megah itu terjadi, Gayatri ibarat bunga mekar dengan keharuman dan sensasi, semua orang menyayangi dan menghormati. Ia selalu melangkah dengan keyakinan diri, terlebih setelah sumpah diucapkan. Ia telah meraih sebuah prestasi dan bersiap meniti karir, sampai undangan yang wangi itu jatuh ke tangan dan merubah penampilannya. Ia hanyalah seorang yang kalah dan kini hangat sebagai bahan pembicaraan. Sekarang Gayatri mengerti, bahwa dalam hidup ini hanya ada tempat untuk orang yang menang dan kuat, ia tersisih jauh ke tepian dalam sebuah perkawinan agung, karena tidak terpilih. Ia merasa menjadi lemah, hancur berkeping-keping tak berbentuk. Tak ada tempat untuk meminta kasihan, tak ada tempat untuk membangun kembali kekuatan. Dulu, ia akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkeluh kesah dengan Nilasari saat gelisah. Kini tempat itu telah runtuh, ia tak dapat dan tak akan pernah lagi dapat mengenali. Waktu terus berjalan, merubah segala sesuatu dengan cepat. Kepala Gayatri terasa semakin berat.Gadis itu pun tertidur.
Di luar gerimis turun dalam rinai yang luruh ke bumi, memantulkan suara alam. Tanah dan dedaunan kembali basah, udara dingin dan segar, langit gelap tanpa cahaya. Suasana rumah tetap sunyi, Gayatri masih terlelap. Gadis itu terbangun dalam udara dingin yang menggigit pori-pori, ia menarik selimut tebal hingga ke batas bahu. Hanya ada satu tempat berlindung, yaitu suasana di dalam kamar yang amat dikenali. Ruangan mungil dengan lantai putih, tempat tidur yang nyaman, meja belajar dengan seperangkat computer, meja rias, sehelai karpet dengan motif kupu-kupu, selebihnya pernik-pernik manis pada permukaan dinding.
Tiba-tiba Gayatri menjadi takut dengan suasana di luar rumah, ia seakan ingin menghilang dari dunia luar untuk mendapatkan kehidupan pribadi tanpa ada orang yang pernah mengenali. Pikiran dokter itu bekerja, mencari jalan keluar. Tanpa sengaja mata Gayatri menatap foto masa kanak-kanak dalam bingkai cantik di dinding, wajahnya masih polos tanpa beban, tanpa persoalan, tanpa sahabat yang berbalik menjadi musuh dan meruntuhkan seluruh harapannya. Pikiran dokter itu masih terus bekerja, ingatannya melayang pada situasi masa kanak-kanak, ketika ia terobsesi akan kehidupan di tempat yang jauh dari sebuah buku cerita: Genderang Perang dari Wamena.
Gayatri seolah menatap lembah hijau dengan benteng barisan bukit berlapis-lapis, kabut tebal bergulung-gulung seakan misteri yang tak pernah tersingkap, suku bangsa yang bertahan dalam sisa kehidupan zaman batu, dan sebuah petualangan. Gadis itu juga teringat dengan rencana untuk menjadi pegawai tidak tetap di wilayah timur Indonesia, sebuah tempat yang belum pernah sekalipun dikunjungi. Mengapa ia tak melakukan sesuatu untuk keluar dari persoalan ini?
Keesokan harinya ketika duduk di meja makan Gayatri telah sampai pada sebuah keputusan. “Saya harus mengambil tugas pegawai tidak tetap untuk memulai karir, tak bisa saya terus berdiam diri dalam situasi seperti ini”, Gayatri membuka pembicaraan.
“Itu bagus, engkau adalah seorang dokter berbakat”. Kadarisman, ayah Gayatri menanggapi. Laki-laki itu tahu persis suasana hati anaknya, meskipun mereka tak pernah berbicara secara langsung, ia terlalu sibuk dengan tugas rutin pada sebuah penerbitan sehingga persoalan anak-anak cenderung ditangani Alya, istrinya.
“Saya pernah berencana untuk mengambil tugas pegawai tidak tetap di wilayah timur, saya kira rencanaitu akan saya teruskan”.
“Kemana Gay?” Alya, ibunya tampak mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk bulan sabit, wanita itu tampak menerka-nerka jalan pikiran anaknya.
“Ke Wamena”.
Jawaban itu terlalu singkat, tapi Gayatri segera mendengar ibunya tersedak kemudian terbatuk-batuk, ayahnya meletakkan sendok dan garpu secara tiba-tiba, adiknya memandang bengong seolah tak percaya. “Saya sudah memutuskan, surat-surat akan diproses, itu tidak susah, karena saya sudah membaca peluang yang ada.Untuk sementara saya tidak mungkin bertahan di tempat ini, tugas pegawai tidak tetap bukan untuk selamanya. Bapak dan ibu tahu keadaan saya.Saya ingin melihat dunia luar”, Gayatri memberi penjelasan dengan tenang. Ia tahu keputusannya akan menjadi persoalan besar dalam keluarga ini. Sejak terlahir ia selalu berada di tempat ini, ia tak pernah lagi pergi kemana pun, kecuali tugas lapangan atau pergi berlibur. Ia selalu terikat dengan tempat kelahirannya, tapi surat undangan itu membuat tanah yang dipijak seolah menjadi bara, dan ia tak mampu berpijak lebih lama.
“Tempat itu jauh sekali sayangku….”, Alya mencoba membujuk, tapai jauh dalam hati kecil ia tahu, gadisnya telah menjadi seorang dokter yang keras kepala. Tipis kemungkinan untuk dapat membatalkan rencananya. Seandainya ia telah menikah dan berangkat dengan seorang suami yang mampu mendampingi.
“Engkau belum pernah sekali pun pergi ke tempat itu”, Kadarisman menimpali. Ia tak bisa membedakan, mana yang lebih berat, antara keterkejutan terhadap rencana itu atau kecemasan terhadap reaksi Alya yang tak akan mampu berpisah dengan anaknya.
“Saya mohon doa restu. Apabila terus menetap di tempat ini, saya bahkan tak dapat mengerjakan apa-apa lagi dan hal itu berarti saya mati!” pandangan Gayatri membeku, keputusan itu sudah bulat, ia ingin pergi ke tempat yang jauh dan sunyi untuk sebuah kehidupan baru.
Alya menatap Gayatri berlama-lama, ia tahu gadisnya telah sampai pada keputusan yang tak dapat dirubah. Wanita itu tak menghabiskan sarapan, ia segera meninggalkan meja makan. Kontrol dirinya tetap berjalan, ia tak ingin menumpahkan air mata di depan anak-anaknya.
“Bagaimana nanti kami dapat mengunjungimu?Bagaimana nanti bapak harus selalu menghibur ibumu? Uripiki ming mampir ngombe, hidup ini hanya sekedar menumpang minum. Bersabarlah”, Kadarisman tak dapat menyembunyikan kecemasan.
“Benar bapak, hidup ini hanya sekedar menumpang minum, tapi yang namanya menumpang minum, dalam situasi tertentu ternyata bisa menjadi lama sekali.Tugas pegawai tidak tetap ke Wamena bukan berarti saya telah kehilangan kesabaran. Saya harus menyelamatkan hidup saya. Semua orang di kota ini seakan terus membicarakan saya, karena Ardana menikahi orang lain, dan orang itu adalah sahabat saya sendiri. Saya tak dapat membungkam mulut mereka, mungkin juga semua salah saya. Perkawinan itu terjadi, tepat ketika saya sedang merencanakannya. Saya meninggalkan tempat ini bukan karena lari dari kenyataan hidup, tapi sudah sejak lama, sebelum mengenal Ardana saya memang sudah ingin pergi ke sana. Saya pergi bukan karena dikhianati, tapi karena cita-cita. Kebetulan saja situasinya seperti ini”.
“Gay….”
“Saya mohon bapak”.
Kemudian suasana di dalam rumah mungil yang cantik itu segera berubah menjadi sunyi, karena seorang penghuni memutuskan untuk pergi.
***
0 Komentar