T I G A
Pada
akhir tahun 1970-an, ketika sebuah peristiwa berdarah di Lembah Baliem
telah beberapa tahun berlalu dan situasi kembali normal. Sistem
pemerintahanpun terus berjalan, Wamena berkembang menjadi ibu kota
Jayawijaya dengan potensi wisata alam yang mempesonakan, maka kehidupan
pada tiap-tiap silimo terus bertahan sesuai dengan bermacam arus
perubahan. Turis domestik dan manc negara, fotografer, peneliti, dan
para voluntir terus berdatangan, karena eksotisme, kemurnian alam, dan
budaya Suku Dani yang langka serta layak dicermati. Lembah Baliem
beserta seluruh isiny menjadi sesuatu yang unik dan tak pernah selesai
untuk diteliti. Sebagian masyarakat Suku Dani yang dapat mengikuti arus
perubahan, mengambil peranan sebagai subyek, sedangkan lapisan
masyarakat yang sulit dijangkau, bertahan padaa kehidupan zaman batu.
Sementara
Wamena terus menata diri sebagai ibu kota dengn gerak yang perlahan.
Pusat pemerintahan, kantor-kantor, sekolah, rumah sakit, dan pasar terus
dibangun. Pesawat udara merupakan satu-satunya sarana transportasi yang
dapat digunakan untuk menjangkau lembah ini. Di barisan bukit sebelah
utara, menganga sebuah celah yang disebut Pass Valley, melalui celah ini
setiap pilot dari bermacam jenis pesawat, melakukan perhitungan untuk
memasuki lembah, memutar, kemudian mengkondisikan pesawat mencapai
landasan pacu dengan selamat.
Arus perdagangan adalah dampak
langsung dari kehadiran pesawat dan para pendatang dengan bermacam
kepentingan. Dan masyarakat Suku Dani akhirnya mengenal suatu bentuk
alat tukar nasional yang disebut uang merah –uang kertas sertus rupiah
yang berwarna merah. Pasar Nayak yang terletak di tengah-tengah kota
perlahan-lahan menjadi konsentrasi ekonomi. Suatu kehidupan tradisionil
yang memberikan harapan lebih, karena masyarakat setempat dapat menjual
hasil kebun yang semakin beragam untuk memperoleh alat pembayaran yang
disebut dengan uang. Lembaran kertas yang sungguh ajaib dapat
dipergunakan untuk menukar segala jenis barang di dalam pasar.
Lembah
Baliem seakan tersentak di dalam sebuah perubahan, suatu perliaku yang
kontras akhirnya tampak berdampingan dalam suatu kurun masa. Turis-turis
dengan pakaian tamasya, kamera, kaca mata, dan kendaraam bermesin
selalu tampak berjalan bersama penduduk setempat yang hanya mengenakan
sali dan koteka. Ada pun Wamena adalah lembah menghijau yang diliputi
kabut, seakan tantangan bagi setiap pendatang untuk menyingkap misteri
di sebaliknya.
Di dalam silimo Liwa masih bertahan pada kehidupan
masa lampai. Arus perubahan tak seluruhnya menyentuh hidupnya, kecuali
suatu upaya untuk mendapatkan uang merah dengan menjual hasil kebun di
Pasar Nayak. Di luar kebun dan pasar, maka Liwa adalah seorang gadis
yang telah dewasa, ia tak tahu dengan pasti berapa umurnya, seperti
halnya orang-orang di sekitarnya, ia tak perlu mengenal umur dan tanggal
lahir.
Semakin hari, sepasang bukit kembar di dada Liwa semakin
tampak ranum, pinggangnya semakin ramping dengan pinggul padat membayang
di balik Sali yang cantik. Pada ibadah di gereja pastor selalu memberi
pesan tentang perlunya mandi bagi kesehatan. Sementara Liwa amat senang
bermain air dengan teman-teman sebaya di sebuah anak sungai, terutama
ketika matahari bersinar terik. Setelah bermain air badan gadis itu
semakin tampak segar.
Sementara Lapina, perempuan yang
membesarkannya selalu melihat Liwa sebaga makhluk ajaib. Seakan baru
kemarin ia merangkul gadis kecil itu, ketika Liwa pingsan dalam
kedukaan, karena kematian Aburah. Kini, gadis kecil itu sudah dewasa, ia
seakan bunga seriu hari yang tengah mekar dan sempurna sebagai hiasan.
Lapina telah tampak sebagai perempuan tua, sudah berulang kali orang
tertarik dan berniat melamarnya, tetapi Lapina selalu menolaknya, ia tak
ingin mengulang kehidupan dengan Kugara. Segalanya telah cukup baginya.
Rambut Lapina cepat memutih bila dibandingkan dengan usia yang
sebenarnya dan keinginan untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki,
telah kandas sama sekali. Lapina telah merasa cukup meneruskan hidup
bersama anak laki-lakinya dan Liwa.
Hari itu, Lapina baru saja
menuruni pintu silimo hendak menimba air sungai, tapi langkah wanita itu
segera berhenti. Matanya tak berkedip menatap lurus ke depan, pada
sebuah pemndangn yang menyentak hatinya sekaligus memancing api
kemarahan. Lapina seperti seorang penonton yang melihat adegan drama
tanpa suara, tetapi ia seakan ikut tersedot ke dalamnya.
Liwa
tampak tengah bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang mengenakan
koteka. Lapina mengenal pemuda itu sebaga penghuni silimo di kampung
sebelah. Setelah percakapan itu, maka keduanya tampak tarik menarik, dan
akhirnya Liwa mengikuti ajakan pemuda itu, mengilang di balik
semak-semak dalam waktu yang lama. Lapina tetap berdiri mematung di
depan pintu silimo, ia tak bergerak sama sekali sampai samar-samar ia
melihat bayangan Liwa bergerak mendekat dengan wajah bersemu dadu.
Langkah Liwa begitu ringan dan ceria, gadis itu bermaksud menerobos
pintu silimo dengan hati dipenuhi bunga. Tapi tiba-tiba langkahnya
terhenti. Ia melihat Lapina berdiri di depan pintu silimo dengan tatapan
dingin tak bersahabat.
“Jadi, ini yang engkau lakukan? Sejak
kapan ada seorang pemuda dapat menyentuh seorang gadis tanpa terlebih
dahulu membayarnya dengan babi dan memintanya secara adat kepada orang
tuanya?” Lapina menyampaikan teguran, matanya menatap tajam pada Liwa,
seolah kilatan pisau yang siap menyayat-nyayat. Liwa terpengarah,
mulutnya terkunci, matanya yang berbinar seketika padam, ia tersadar
akan kesalahannya.
“Sejak kapan Liwa?” suara Lapina halus dan
teratur, tapi Liwa seakan teriris. Ia terdiam seperti bocah kecil yang
tertangkap basah, karena sebuah kenakalan, wajah Liwa menunduk matanya
menatap lurus ke tanah, tak kuasa memandang Lapina.
“Kalau sekali
lagi engkau berani melakukan hal seperti itu, maka aku tak segan-segan
akan memukulmu. Kau mengerti Liwa? Aku bukan hanya ibumu, tapi juga
bapakmu. Jangan engkau mengira aku begitu mudah mebesarkanmu hingga
engkau menjadi seorang gadis dan seorang laki-laki dapat tertarik
kepadamu. Ingat akan hal itu Liwa!” Lapina terus menatap Liwa, tapi
kemarahannya masih terkendali, setelah itu ia berlalu pergi menuju
sungai, meninggalkan Liwa mematung seorang diri.
Di lain pihak
Liwa merasa begitu masgul, ia baru saja melewati saat-saat mendebarkan
dalam hidup bersama seorang pemuda. Ia tak pernah merasa begitu gembira
setelah ia mengenal Ibarak. Hari-harinya yang membosankan di seputar
lembah menjadi penuh bunga saat ia berdua saja dengan Ibarak dan berbuat
menurut dorongan hati. Bukankah pemuda-pemudi di kampung ini melakukan
hal yang sama? Tapi Lapina telah nyata-nyata menegurnya, Liwa menjadi
kecut, Lapina tak pernah semarah ini. Wanita itu sungguh-sungguh
menyayanginya, sehingga Liwa dapat mengobati sakit hati, karena kematian
orang tuanya.
Tapi Liwa tak berlama-lama dengan keadaan ini, ia
selalu pandai mengatur waktu untuk berdua saja dengan Ibarak,
bersembunyi pada rimbunan semak-semak. Liwa benar-benar terlena, ia tak
sadar, bahwa Lapina terus mengawasinya. Suatu hari, ketika Liwa dan
Ibarak tengah berbaring saling merapat di bawah sebatang pohon yang
rindang, menatap kabut putih yang berarak perlahan, tiba-tiba Lapina
telah berdiri di depannya. Wanita itu datang tanpa suara seakan hantu di
siang bolong.
“Kau masih juga keras kepala Liwa!” Lapina setengah
berteriak. Liwa terperanjat, ia tak percaya, bahwa Lapina dapat
menemukan tempat persembunyiannya. Dengan tergagap Liwa berdiri diikuti
Ibarak, tangannya gemetar ketika mengibas rumput liar yang menempel pada
Sali yang dikenakannya. Wajah Liwa seketika memucat, ia tahu betul
perangai Lapina apabila sedang dilanda amarah. “Sudah kukatakan, jangan
pernah ada seorang laki-lakipun yang menyentuhmu sebelum ia meminta
kepadaku secara adat dan membayarmu dengan babi-babi. Engkau harus sadar
siapa dirimu, atau engka harus menghargai dirimu sendiri!” mata Lapina
menatap Liwa dengan berapi-api, dan “plak!” sebuah tamparan keras
mendarat di pipi Liwa.
Gadis remaja itu tergagap, ia memandangi
Lapina sambil memegangi pipinya yang terasa panas. Sulit bagi Liwa untuk
mempercayai, bahwa Lapina telah mengangkat tangannya tinggi-tinggi
kemudian menampar pipinya keras-keras, di depan Ibarak, di tengah hutan
pula. Lapina memang kerapkali memukulnya, karena kesal dan
kesalahan-kesalahan, tapi bukan dengan cara seperti ini. :”Mamak ....!”
suara Liwa terbata-bata.
“Jangan sekali-kali menentangku, aku tak
punya siapa-siapa dalam hidup ini kecuali anak-anakku. Sekarang cepat
engkau kembali atau aku akan menghajarmu!” mata Lapina berarpi-api, ia
tak pernah ragu dengan ucpannya, ia sama sekali tidak rela, bahwa anak
perempuannya telah disentuh seorang laki-laki tanpa seijinnya.
Liwa
terisak, seperti tersihir ia melangkahkan kaki, tangannya masih
memegangi pipinya yang panas. Kepalanya tetap tertunduk ketika
bayangannya berlalu meninggalkan Lapina dan Ibarak yang berdiri terpaku.
Sementara Lapina seger menatap Ibarak dengan pandangan penuh tuntutan,
kepala wanita itu tegak, tanpa sedikit pun keraguan, kemudian
kata-katanya meluncur. “Aku peringatkan engkau anak muda. Jangan pernah
mengganggu orang punya anak gadis, bukan mudah aku membesarkannya. Kalau
engkau memang bersungguh-sungguh dengan anakku, engkau harus memintanya
secara adat dan membayarnya dengan babi. Ingat tu! Kalau aku masih
mendapatimu sedang mengganggu anakku, maka aku tak segan-segan akan
mengadukan pada tua-tua adat supaya mereka mengadilimu!”
Setelah
kata-kata itu Lapina membalikkan badan tanpa menoleh lagi, dadanya teras
sesak, ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Liwa, yaitu
mengawasinya. Lapina tak ingin Liwa mengndung kemudian laki-laki yang
mesti bertanggungjawab meninggalkannya.
Di lain pihak Ibarak
berdiri dalam diam, ia masih mencoba memahami kejadian yang baru saja
berlalu dengan pikiran yang sederhana. Pemuda itu sungguh-sungguh tak
menyangka, bahwa Lapina akan mengetahui segala perbuatannya bersama
Liwa, melayangkan tangan dan mendaratkan dengan keras pada pipi anak
gadisnya, dan mengancamnya dengan sebuah tuntutan. Membayar babi pada
seorang gadis secara adat kepada orang tuanya berarti menikahinya. Dahi
pemuda itu berkerut, menikahi seorang gadis bukanlah perkara mudah, ia
harus berbicara sebagai laki-laki dewasa, meminta kesediaan kerabatnya,
dan babi-babi itu ....
Ibarak kembali ke silimo degan gontai, ia
dihadapkan pada tanggung jawab hidup yang maha berat, seekor babi adalah
harta pusaka dalam setiap silimo. Pada sebuah perkawinan diperlukan
sekitar dua puluh ekor babi. Dari mana ia akan mendapatkan babi sebanyak
itu? Ibarak pun membisu. Pemuda itu mencoba menenangkan diri dengan
menjauhi Liwa, tapi bayangan gadis dengan dada yang ranum terbuka serta
Sali di seputar pinggangnya yang ramping selalu menggodanya. Ibarak
teringat saat-saat ketika ia berdua saja dengan Liwa, di tengah
kesunyian hutan, dada pemuda itu menggelegar. Ibarak mencoba
mencari-cari Liwa dengan harapan dapat kiranya membawa gadis itu
bersunyi-sunyi di tengah hutan, tetapi Lapina selalu membawa Liwa ke
kebun bersama-sama. Gadis itu selalu berada di dalam pengawasannya.
Ibarak teringat pada kemarahan Lapina dan tamparan itu serta kesungguhan
kata-katanya, Ibarak menjadi kecut. Ia tak dapat lagi menguasai debaran
jantung manakala secara sembunyi ia terus menatap Liwa. Ibarak
termangu-mangu, ia telah dihadapkan pada sebuah tanggung jawab, dan
sepertinya ia harus memenuhi tuntutan Lapina untuk menguasai debaran
jantungnya.
Sementara Liwa tak dapat membantah lagi, ia tahu
Lapina bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Liwa tak dapat lagi
mencuri waktu untuk bertemu dengan Ibarak, karena Lapina selalu
bersamanya, baik di silimo maupun di kebun. Di lain pihak, maka Liwa pun
selalu teringat manakala ia hanya selalu berdua dengan Ibarak,
bersembunyi di antara semak-semak, di bawah langit biru. Gadis itu
merasa jantungnya berdebar, ada suatu kekutan yang mendorongnya untuk
memacu debaran jantung hingga sampai pada detak yang paling keras untuk
kemudian menurun kembali. Akan tetapi sikap tegas dari Lapina selalu
mengurngkan niatnya. Liwa selalu mencuri kesempatan supaya dapat bertemu
Ibarak, sampai akhirnya kesempatan yang ditunggunya itu pun datang.
Lapina
jatuh sakit, ia terus berbaring di honai dalam keadaan demam.
Persediaan ubi manis dan hasil kebun telah lama habis. Apabila Liwa
tidak pergi ke kebun, maka penghuni honai itu tak dapat memproleh bahan
manakan. Liwa tahu akan kesempatan itu, ia tak mengalami kesulitan untuk
pergi ke luar, karena Lapina terlalu sibuk dengan penyakitnya.
Seharian
Liwa pergi ke kebun, pandangan matanya selalu mencari-cari apabila ia
dapat melihat Ibarak, tetapi pemuda yang dicarinya itu tak kunjung
datang. Liwa menjadi kesal, tapi ketika tengah mencuci ubi manis dan
sayur mayur pada sebatang anak sungai, maka kekesalannya segera berubah
menjadi kegembiraan.
“Liwa ....!”
“Ibarak ....!”
“Ibarak ....!”
Keduanya
seakan dihantui rindu seribu tahun, Liwa seger melupakan hasil kebun
yang telah dicucinya dengan bersih. Ia tak lagi melawan ketika Ibarak
menariknya ke dalam semak-semak, di bawah sebatang pohon yang rindang.
Keduanya tak banyak lagi bicara, bunga-bunga liar di tepi hutan itu
adalah saksinya. Liwa seakan tak mengingat lagi pada tamparan pedas di
pipi dan kemarahan Lapina. Ia hanya menginginkan Ibarak, seorang pemuda
tegap yang telah menguak misteri kehidupan baginya. Liwa dan perlu
memuaskan diri terhadap air kkehidupan dari seorang Ibarak. Liwa
merasaa dirinya sebagai seorang wanita dewasa, ia sungguh-sungguh tak
ingin kehilangan Ibarak, seorang pemuda yang dapat memberi arti
kehidupan baginya.
“Esok aku akan ke kebun lagi, engkau bisa
menungguku. Lapina sedang saakit, ia terbaring di honai dan tak bisa
mengawasiku”, Liwa membuk pembicaraan, sambil menyeka keringat yang
meleleh pada sekujur tubuhnya.
Aku pasti akan mencarimu, aku
bingung tak dapat menemuimu sehari-hari, aku bisa mati karena rindu”,
Ibarak tampak begitu bersemangat, duduk melekat di samping Liwa. Mereka
tak sadar, bahwa hari telah menjelang gelap, ketika angin dingin bertiup
barulah Liw teringat akan Lapina yang terbaring lemah, karena sakit,
gadis itu pun tergesa puulang ke silimo sambil membawa serta hail kebun.
“Besok kita bertemu lagi”, demikian pesan Liwa.
“Pasti”, Ibarak menjawab dengan yakin.
Keesokan
harinya Liwa pergi ke kebun, Ibarak telah menunggunya, dan mereka
mengulang kembali misteri demi misteri, seolah dalam hidup ini tak ada
yang lebih menarik kecuali kesunyian masa purba dengan pohon raksasa dan
semak-semak di sekitarnya. Baik Liwa maupun Ibarak seolah tak pernah
merasa puas meneguk air kehidupan dan selalu merasa kehausan.
Hari
berikutnya mereka mengulang pertemuan demi pertemuan tanpa pernah
merasa bosan. Dan akhirnya kesehatan Lapina mulai membaik, ia pun siap
pergi ke kebun untuk rutinitas sehari-hari. Kesembuhan ini membuat Liwa
tersadar , ia harus berhati-hati supaya tamparan Lapina tak terulang
lagi. “Lapina telah sembuh, dia akan bersamaku pergi ke kebun, dan kita
tak bisa bertemu lagi. Kumohon Ibarak lakukan sesuatu”, Liwa membuka
pembicaraan, keduanya tengah berendam dalam air sungai yang dingin,
sementara matahari panas menyengat.
“Apa yang harus aku lakukan?” Ibarak bertanya.
“Benar
kata Lapina, kau harus memintaku secara adat dengn babi-babi, sehingga
kita bisa hidup sebagai suami istri, tanpa sembunyi seperti ini”, suara
Liwa tampak jelas penuh permohonan.
“Tapi babi-babi itu banyak
sekali, tak mudah aku mendapatkannya”, Ibarak menjawab, ia seakan
dihadapkan pada dua pilihan hidup yang sangat sulit, dari mana ia akan
mendapatkan babi-babi untuk menikahi seorang gadis?
“Semua
laki-laki di kampung ini melakukan hal seperti itu untuk medapatkan
isteri, mengapa engkau tak dapat melakukan?” Liwa kembali memohon.
“Tapi Liwa ....”, Ibarak tampak kebingungan.
“Baiklah
Ibarak, engkau mempunyai waktu untuk berpikir. Bukan aku tak mau
menemuimu, tapi aku tak mau Lapina mendapati kita kemudian memukulku.
Maaf Ibarak, hari sudah sore, aku harus kembali ke silimo. Aku akan
menunggumu, apakah engkau benar bersungguh-sungguh kepadaku?” Lapina
melepaskan diri dari Ibarak, naik ke tepi sungai, mengenakan Sali,
mengemasi isi noken kemudian melangkah pergi tanpa pernah menoleh lagi.
Ibarak
terdiam di dalam air sungai yang tiba-tiba terasa amat dingin tanpa
Liwa, ia berharap Liwa akan menoleh, tapi bayangan gadis itu terus
berjalan lurus dan akhirnya menghilang di balik dedaunan. Ibarak
meloncat dari dalam sungai dengan gamang, ia tertantang untuk melakukan
sesuatu yang amat sulit dan mengubah seluruh hidupnya. Ibarak masih
bertahan untuk tidak menemui Liwa, karena ia bimbang dengan
permintaannya. Tapi makin hari bayangan gadis itu semakin menggoda.
Ibarak selalu teringat pada suasana sunyi di tengah hutan manakala ia
tengah berdua dengan Liwa. Pemuda itu tak mampu lagi menguasai dorongan
yang begitu kuat yang mengusik ketenangannya.
Setelah
mempertimbangkan segala sesuatu akhirnya Ibarak menyatakan keinginan
untuk melamar Liwa kepda seluruh anggota kerabatnya. Ibarak tak segera
memperoleh jawaban, ia harus segera menunggu berhari-hari, hingga
akhirnya seluruh kerabat berkeputusan mengumpulkan babi yang ada untuk
melamar Liwa bagi sebuah pernikahan.
Setelah perdebatan,
penantian, dan hari-hari perpisahan akhirnya saat yang ditunggu-tunggu
itu pun tiba, Liwa dan Ibarak dinikahkan secara adat. Sepasang pengantin
itu segera menjadi pusaran arus sungai yang berbenturan dengan
gelombang laut pada garis muara. Keduanya kemudian menyingkap misteri
demi misteri setiap malam pada kegelapan honai selama kurun waktu yang
panjang. Setelah misteri demi misteri tersingkap dan tak terdapat lagi
rahasia yang tersisa, maka masing-masing pihak kembali pada posisi
semula, sepasang anak manusia yang bertahan hidup pada hasil kebun.
Liwa
telah pindah ke silimo Ibarak, babi-babi menjadi milik Lapina, wanita
itu harus memelihara bagi anak laki-lakinya, suatu saat anak itu akan
melamar seorang gadis bagi kehidupan perkawinannya. Liwa harus
memelihara tanaman yang yang tumbuh di kebun keluarga Ibarak. Semula
Liwa melakukan dengan segala senang hati dalam usia perkawinannya yang
sangat muda, tetapi semakin hari tubuhnya semakin melemah. Ia mengalami
hal serupa seperti Lapina setelah perkawinannya dengan Kugara. Seorang
janin telah hidup dalam rahimnya, pingganggnya yang semula ramping
semakin hari semakin membesar, bayi di dalam kandungannya
menyentak-nyentak, menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Liwa merasakan
tubuhnya demikian letih dan lunglai, tapi ia tak berhak akan istirahat,
karena hal itu berarti tak ada hasil kebun yang dapat dimakan. Liwa
teringat akan nasib yang menimpa Lapina, ia pun menghela napas,
menyadari beban hidup yang mulai berat, karena perkawinan. Ia telah
dibayar dengan mas kawin yang amat mahal. Kini, ia kembali kepada adat,
sebagai perempuan maka tugasnya adalah menyiapkan makanan.
Liwa
pernah berbaring seharian di dalam honai, karena kandungannya yang kian
membesar, tetapi ketika persediaan ubi manis telah habis, maka Ibarak
menegurnya, “Engkau harus kembali kepada tugasmu, atau kita akan
kelaparan”.
“Tidakkah engkau tahu keadaanku?” Liwa membela diri.
“Aku
tahu, tapi inilah adat dalam keluarga. Bukankah aku telah membayarmu
dengan harga yang mahal? Engkau tak bisa mengelak dari tanggung jawab.
Dan aku tak mau terus menerus memarahimu”, Ibarak berkata seolah-olah
Liwa adalah seorang wanita sehat yang dapat melakukan segalanya.
Diam-diam
Liwa mengeluh dalam hati, untuk yang pertama kali setelah mengenal
Ibarak, ia mulai meras kesal. Tapi, apa boleh buat? Liwa harus memikul
tugas ganda, memelihara kebun sambil menjaga anaknya. Pagi hari Liwa
meletakkan bayinya di dalam noken, menyarungkan tali noken di kepala,
sehingga bobot bayi menempel pada punggungnya. Sore hari Liwa pulang
dalam keadaan letih, ia harus meneruskan tugas rutin, yaitu membelah
kayu bakar dan memberi makan babi-babi kemudian menidurkan bayinya yag
kecil.
Tahun berikutnya, Liwa meengandung bayinya yang kedua,
anaknya yang pertama masih kecil, baru belajar berjalan. Beban hidupnya
kian bertambah, ia tak dapat membagi beban hidup dengan Ibarak, karena
pekerjaan di kebun dan merawat anak adalah tugas perempuan. Liwa harus
berbaik-baik dengan seorang nona kecil di dalam silimo ini untuk ikut
serta pergi ke kebun sambil menjaga bayinya.
Setiap malam Ibarak
selalu mengunjunginya di dalam honai dan akibatnya Liwa terus
mengandung, hingga tak terasa akhirya ia memiliki tujuh orang anak.
Ketujuh orang anak itu secara perlahan-lahan telah mengubah penampilan
Liwa. Ia bukan lagi gadis dewasa dengan wajah lugu tanpa dosa, pinggang
yang ramping, dan buah dada yang segar menantang. Wajah Liwa kini adalah
garis-garis menua yang tidak sesuai dengan usia yang sebenarnya, sorot
mata yang padam tanpa kerinduan akan hadirnya seorang pemuda bagi arti
hidupnya. Sementara pinggangnya telah membesar, karena tujuh kali
melahirkan tanpa adanya upaya perawatan. Ada pun tujuh anak yang
dilahirkan itu selalu kenyang dengan air susu, sehingga buah dadanya
menjadi lembek tanpa isi dan terjatuh ke bawah. Ketika berkaca di atas
permukaan air, Liwa seakan tak kenal lagi akan dirinya. Tak ada daya
tarik tersisa dari masa muda ketika Ibarak begitu tergila-gila akan
dirinya, memutuskan untuk menikahi dengan membayar babi-babi. Liwa telah
menjadi seorang perempuan tua dengan tujuh anak yang harus diberi makan
setiap hari.
Sementara di luar silimo keadaan terus
berubah, Wamena semakin tertata sebagai ibu kota dengan segala perangkat
pemerintahan dan kelembagaan. Bermacam suku bangsa menetap di wilayah
ini dengan kontras kehidupan antara perilaku modern dan tradisionil.
Missionaris menjadi pendukung utama bagi pengembangan masyarakat dengan
komitmen yang tinggi. Gereja, sekolah, serta fasilitas sosial lainnya,
terlebih pesawat cessna menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung
bagi harapan-harapan ke depan. Ada pun penerbangan pesawat Merpati,
Airfast, dan Hercules dengan rute penerbangan Jayapura – Wamena telah
menjadi sarana utama bagi mobilitas penduduk serta arus masuk barang
industri yang kian beragam. Pasar Nayak semakin ramai dengan banyak
pedagang dan berjenis-jeis barang yang dapat ditawarkan, dari barang
industri yang didatangkan dengan Hercules, kerajinan tangan buatan lokal
serta berjenis-jenis hasil kebun yang dijual masyarkat setempat. Arus
wisatawan telah memacu berdirinya hotel dan penginapan, sehingga
pelancong yang datang ke tempat ini tidak keculitan dalam mendapatkan
tempat tinggal. Pembangunan monumen masuknya Injil yang pertama kali
tahun 1954, Ukumiarek arso menjadi situs wisata yang menarik dikunjungi.
Selebihya adalah budaya lokal dan alam Lembah Baliem yang masih murni.
Sementara
LIPI membangun stasiun dengn komitmen penelitian dan pengembangan
masyarakat. Segala sisi kehidupan masyarakat dicatat dan dibukukan
menjadi deretan literatur yang menarik untuk dibaca. Dalam mengebangkan
potensi wisata LIPI mengupayakan ketrampilan membuat cindera mata dari
tanah liat berbentuk honai. Sementara bunga seribu hari adalah nuansa
alam yang menggenapi kemurnian suasana di lembah itu.
Arus Sungai
Baliem merupakan potensi alam bagi pembangkit tenaga generator, bolam
lampu berpijar, alat-alat elektronik bekerja, meskipun listrik tidak
menyala sepanjang hari. Dan Bupati JB. Wenas mendatangkan becak dari
Surabaya dengan Hercules, becak yang sedianya akan ditenggelamkan ke
laut menjadi rumpon. Becak menjadi sarana transportasi lokal, dengan
syarat pegemudi becak harus putra daerah, sehingga mereka dapat pula
memperoleh lapangan kerja. Dalam empat dekade setelah kehadiran
missionaris kemudian berdirinya lembaga Permerintah, Wamena telah
berubah menjadi kota dengan kehidupan tradisionil masyarakat Suku Dani
dan pesona wisata Lembah Baliem.
Liwa hanya bagian yang sangat
kecl dari perubahan itu, ia harus membesarkan ketujuh orang anaknya dan
tugas rutin sehari-hari yang melelahkan. Sementara kemauan Ibarak
membuat Liwa sekan tak memiliki hak dalam hidupnya, ia harus melupakan
adanya hak, karena hal penting yang harus diselesaikan setiap hari
adalah kewajiban. Masuknya barang-barang industri menyebabkan satu
ketergantungan yang tinggi terhadap rokok. Maka Liwa harus pandai-pandai
menjual hasil kebun ke pasar supaya ia dapat memperoleh uang merah demi
tembakau bagi Ibarak. Bila tembakau tak dapat dibawa pulang ke Siimo,
maka Ibarak akan mengamuk, mengomel, dan memukulnya. Perselisihan hampir
selalu terjadi setiap hari dan Liwa selalu sebagai pihak yang kalah.
Suatu
hari setelah menjual hasil kebun di pasar, Liwa memutuskan untuk
membeli pakaian bagi Kika, anaknya yang paling kecil dan sakit sakitan.
Pakaian itu akan melindungi badannya yang rapuh dan lemah. Tapi
akibatnya ia tak lagi punya uang untuk tembakau bagi Ibarak.
“Mana tembakau?” Ibarak meuntut ketika liwa baru saja duduk melepas lelah di dekat honai.
“Tak ada”.
“Bukankah engkau baru saja menjual hasil kebun ke pasar?” ibarak tampak tidak senang.
“Betul”
“Terus kemana hasilnya? Mana tembakau buatku?” Ibarak menatap Liwa dengan tajam.
“Apakah
engkau tidak melihat. Bahwa anakmu sakit-sakitan? Ia memerlukan pakaian
buat pelindung”, Liwa mulai tampak ketakutan, tapi benar bahwa ia harus
menganggap pakaian itu lebih penting dari pada tembakau. Mestinya
Ibarak tahu pula akan hal itu, bukankah ia juga orang tuanya?
“Jadi?!” suara Ibarak mulai meninggi.
“Jadi
kenapa? Kau juga orang tua dari anak yang kulahirkan, mestinya kau
harus ikut pula bertanggung jawab atas anak itu. Benar, engkau telah
membayarku dengan babi, tapi lihatlah aku bekerja setiap hari sepanjang
tahun seperti budak. Aku telah tujuh kali mengandung dan melahirkan
kemudian membesarkn anak-anak, aku meratap memberi makan anak-anakku.
Lalu engkau? Apa yang dapat kau lakukan selama hidup bertahun-tahun
denganku? Engkau tak perlu lagi menyabung nyawa pergi berperang.
Seharusnya engkau mengerti akan penderitaan hidupku!” Liwa bersuara
denga lantang, ia bahkan menjadi heran dengan kata-katanya yang baru
saja diucapkan. Di pihak lain, Ibarak terhenyak, ia tak menyangka, bahwa
suatu saat setelah ia membayar dengan babi-babi, maka Liwa dapat
melawan dengan cara seperti ini.
“Hai perempuan! Kau sudah berani
bicara rupanya. Tak sekali-sekali engkau dapat menentangku, karena
memang benar aku telah membayarmu. Jadi, mana tembakau buatku?” Ibarak
menadahkan tangan.
“Engkau lebih memikirkan tembakau dari pada
anakmu? Bukankah engkau bisa pergi ke kota, menjual gendewa dan anak
panah untuk harga rokokmu?”
“Berani benar engkau Liwa!” tangan
Ibarak pun terayun dengan amat kuat, mendarat di pipi Liwa. Perempuan
itu segera merasa sakit, kemudian rasa sakit itu menyebar ke seluruh
tubuh, mengobarkan kemarahan. Selama ini ia selalu mengalah dengan
setiap perlakuan Ibarak, tapi hari ini kesabarannya telah musnah. Liwa
harus melakukan sesuatu, ia pun menerjang Ibarak dengan membabi buta dan
mencakar-cakar Ibarak dengan kukunya yang tajam. Ibarak terkejut dengan
serangan Liwa, ia tidak menyangka bahwa perempuan itu akan dapat
menyerangnya.
Dengan sekali tolak Liwa jatuh ke tanah, Ibarak
langsung menyepaknya. Ia mengira, bahwa Liwa akan menjadi ketakutan dan
melolong-lolong karenanya. Ternyata tidak, dengan kalap Liwa menyambar
kayu bakar dan menghantam tngkuk Ibarak keras-keras. Laki-laki itu
tersungkur ke tanah, ia tak bergerak hingga beberapa saat lamanya. Liwa
terpaku ketika melihat Ibarak tak bergerak-gerak, wanita tu telah
dikuasai amarah.
Tapi Ibarak tak berdiam lama, ia segera bangkit
dan menatap Liwa dengan geram. Ibarak tak berpikir lebih lama lagi, ia
menghajar Liwa dan Liwa pun tak mau mengalah. Keduanya saling memukul
hingga darah mulai mengucur dan orang-orang datang melerai. Ibarak
seakan tak percaya, bahwa Liwa berani menyerangnya, wanita itu kini
telah dipenuhi memar dan cucuran darah. Dan sebaliknya Ibarak pun
mengalami hal yang sama.
“Kalau masih berani melawanku, aku akan membunuhmu!” Ibarak mengancam.
“Aku
tidak takut mati”, jawab Liwa, wanita itu melepaskan diri dari pegangan
orang banyak dan pergi dengan langkah pasti meninggalkan silimo. Liwa
berjalan ke dalam hutan, tanpa sadar arah yang dituju sampai akhirnya ia
merasa letih. Wanita itu terduduk di bawah sebatang pohon dengan luka
berdarah dan sakit pada sekujur tubuhnya, matanya menatap lurus ke depan
dengan pandangn berapi. Ia tak pernah memiliki lagi hidupnya sendiri,
orang lain telah merampasnya. Dan ia adalah Ibarak.
Liwa teringat
pada hari-hari yang telah lampau, ketika ia pernah memohon pada Ibarak
supaya datang memintanya dengan membayar babi. Permohonan itu ternyata
telah menghancurkan hidupnya sendiri. Babi-babi itu telah membuatnya menjadi benda mati, sehingga Ibarak dapat memperlakukannya dengan sesuka
hati. Sementara ke tujuh orang anaknya harus diberi makan dan tak
pernah berhenti berselisih setia hari. Liwa selalu bekerja keras, tetapi
ia tak memperoleh hak akan waktu bagi dirinya sendiri.
Tanpa
terasa tiba-tiba hari telah menjdi gelap, Liwa merasa lapar, ia pun
berdiri sambil berpegangan pada pohon dan membersihkan darah yang
mengotori tubuhnya. Ia kembali berjalan, langkahnya tak menuju pada
silimo yang menjadi tempat tinggalnya. Tiba-tiba Liwa merasa rindu akan
Lapina, lama sudah ia tak mengunjungi wanita itu, karena terlalu sibuk
dengan kebun, anak-anak, dan Ibarak.
Cahaya matahari yang silau
kekuningan masih tersisa ketika Liwa sampai di silimo tempat Lapina
tinggal . Lapina kini telah menjdi seorang nenek dengan rambut yang
telah memutih dan kulit berkerut. Tak ada lagi yang tersisa dalam diri
Lapina kecuali ketuaan. Wanita itu segera berdiri dengan tangan
mengembang ketika melihat Liwa datang dengan langkah gontai. Ia telah
cukup mengerti apa yang telah terjadi dengan Liwa, bocah kecil yang
dibesarkan kemudian memisahkan hidup darinya. Lapina pun memeluk Liwa
seakan induk ayam yang tengah melindungi anaknya.
Kau pasti
berkelahi dengan Ibarak, dimana anak-anakmu?” Lapina membuka
pembicaraan, hatinya teriris ketika ia melihat luka memar di tubuh Liwa.
“Anak-anak kutinggalkan di silimo, aku sudah tidak mampu dengan semuanya”, Liwa mengeluh.
“Aku
tahu, semua wanita di lembah ini mengalami nasib sepertimu, sebab itu
aku memilih menjanda setelah kematian Kugara”, setelah kematian Kugara
Lapina memilih hidup sendiri, ia tak menerima lamaran dari pihak
laki-laki, karena ia telah merasa cukup pahit ketika hidup dengan
kugara. Babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinan telah membuat
hidupnya menjadi budak.
Sehari-hari Lapina memang harus bekerja di
kebun, tapi tak ada orang yang memerintah, kecuali sebuah dorongan
untuk menghindarkan diri dari rasa lapar. Lapina dengan gembira menjual
hasil kebun ke pasar kemudian membeli pakaian, benang untuk merajut
noken, dan kebutuhan sehari-hari. Ia memang telah tua, tetapi masih
memiliki cukup tenaga.
“Betul, mama telah memilih jalan hidup
sendiri, tetapi aku tak punya lagi pilihan. Aku harus mengandung,
melahirkan, memberi makan, kerja kebun, menjual ke pasar, memberi makan
babi-babi, membelah kayu bakar, dan membeli rokok buat Ibarak. Sedangkan
laki-laki itu tak mmengerjakan apa-apa, kecuali menghisap rokok dn
mengunyah makanan. Aku lelah dengan semua ini. Sendainya ia tak pernah
memukulu ....” Liwa melepas napas berat, ia merasa begitu kalah.
“Itulah
takdirmu. Engkau akan lebih mudah menghadapi semua ini apabila rela
menjalani. Semuanya menjadi berat, karena engkau memberi perlawanan”,
tenang suara Lapina, seolah ia sudah sangat ahli dalam setiap masalah
kehidupan.
“Sulit bagiku merelakan, karena Ibarak lebih
mementingkan tembakau dari pada pakaian anaknya yang sakit sakitan. Dia
tidak akan mati, karena tidak mengisap tembakau”, Liwa masih diliputi
amarah, alangkah baiknya kalai Ibarak mati, karena kehidupannya tidak
akan memberikan apa pun kecuali beban.
“Itu sebabnya kau pergi meninggalkannya? Terus bagaimana anak-anakmu?”
“Sementara
aku ingin pergi dari semuanya, aku ingin pergi Lapina ....” Liwa
merebahkan diri di lantai honai, memejamkan mata, ia ingin melupakan
kehidupan sehari-hari yang kini sudah tak berbentuk lagi. Lapina agaknya
mengerti akan kesusahan Liwa, ia membiarkan wanita itu tertidur,
menenangkan keguncagan diri. Tak berapa lama tangan Lapina kembali
bekerja untuk menyalakan tungku di dalam honai. Hari telah gelap, udara
semakin dingin. Hangat api tungku membuat Liwa semakin pulas tertidur,
wanita itu tertidur lebih pulas dari hari biasa, karena Ibarak tak ada
mengunjunginya.
Keesokan harinya anak-anak Liwa berdatangan
mencarinya. Kedatangan itu tentu saja menyenangkan hati Lapina, karena
anak-anak Liwa berarti cucunya. Lapina segera merebus ubi manis dalam
kuali besar, memotong seekor ayam jago, dan memetik buah-buahan. Ketujuh
anak Liwa pun makan dengan sekenyang kenyangnya kemudian segera
menghambur ke jalanan. Anak-anak selalu memberi kekuatan bagi Liwa meski
belum hilang sungguh rasa sakitnya. Liwa hanya berdiam diri di dalam
honai membantu Lapina merajut noken.
Sementara Ibarak menjdi
masgul ketika mendapati Liwa tidak berada di dalam honai hingga keesokan
harinya. Anak-anaknya juga telah menghilang diam-diam, sehingga suasana
di dalam honai akhirnya menjadi sunyi. Mulut Ibarak terasa asam, ia
perlu tembakau. Laki-laki itu termangu sebelum beranjak pelan-pelan
mengambil seikat gendewa dan anak panah kemudian pergi berjalan kaki
menuju ke kota. Turis-turis, baik asing maupun domestik amat tertarik
kepada senjata tradisionil Suku Dani, sehingga perlengkapan perang itu
menjadi komoditi menarik untuk diperdagangkan.
Tak berapa lama
kemudian Ibarak telah sampai pada suasana ramai Pasar Nayak. Mula-mula
ia mondar mandir menyaksikan keramaian sebagai hiburan kemudian ia
segera mencari turis-turis yang sekiranya tertarik untuk membeli gendewa
dan anak panah sebagai cindera mata. Ibarak tak begitu pandai berbahasa
Indonesia, ia harus menggunakan bahasa isyarat supaya turis-turis itu
tertarik membeli. Ibarak juga menuliskan Rp. 1,000,- pada salah satu
lengannya dan memberi isyarat pad turis-turis sebagai harga pembayaran
berfoto bersama dirinya –sosok seorang Suku Dani—
Usaha Ibarak ini
ternyata berhasil, gendewa dan anak panahnya terjual, bebrapa orang
turis tertarik berfoto bersamanya dan memberikan selembar uang ribuan
sebagai tanda pembayaran. Ibarak sungguh merasa girang dengan lembaran
uang di tangan. Ia segera pergi ke sebuah warung, makan sekenyang
kenyangnya kemudian membeli tembakau dan menghisapnya dengan penuh
kenikmatan.
Ibarak masih terus mondar mandir di seputar pasar
melihat-lihat keramaian sampai uang dalam genggamannya habis tiada
bersisa. Hari mulai gelap, Ibarak berjalan kembali pulang ke silimo.
Liwa dan anak-anaknya tak juga tampak, mereka belum juga kembali, Ibarak
mulai bingung, tak biasanya Liwa pergi dari rumah dengan cara seperti
ini. Siapa yang akan merebus ubi manis baginya? Ibarak terpaksa meminta
makanan pada honai perempuan yang lain untuk mengatasi rasa lapar. Ia
juga tak dapat bermalam di honai Liwa, karena perempuan itu kini tak
ada, ia pun tidur di honai laki-laki. Hari berikutnya Liwa dan
anak-anaknya tak juga kembali, demikian seterusnya. Sampai akhirnya
Ibarak berkeputusan mencari. Ibarak tahu kemana Liwa pergi.
Sementara
Liwa tengah menjelang hari-harinya dengan damai bersama Lapina. Ia
pergi ke kebun beramai-ramai dengan anaknya tanpa rasa takut dan
tekanan. Ia baru dapat merasakan, betapa tenang hari-harinya tanpa
Ibarak, tetapi ketenangan itu tidaklah lama. Ibarak segera datang
memintanya pulang kembali ke tempat semula. Liwa menolaknya, tetapi ia
harus mempertimbangkan kata-kata Lapina. “Aku tak rugi apa-apa bila
engkau dan anak-anakmu tinggal menetap di sini, tetapi Ibarak telah
memintamu dariku dengan babi-babi itu. Aku tak mengusirmu, tapi aku
menyalahi adat apabila tak memberi ijin pada Ibarak untuk mengambilmu
dan anak-anakmu”.
Kata-kata Lapina membuat Liwa termangu,
sepenuhnya ia tersadar, ia tak memiliki tempat tinggal lagi kecuali
harus menetap bersama Ibarak. Liwa segera kehilangan expresi wajah, ia
tidak senang, tidak sedih, tidak marah, dan tidak jua melawan. Ia
berjalan dengan tatapan kosong tanpa pemberontakan. Liwa mengerti sudah,
bahwa ia tak memiliki apa-apa, kecuali nyawa yang masih bersarang dalam
dirinya.
Hari-hari pertama setelah kembali ke silimo,
perselisihan memang tak pernah terjadi. Tapi tak lama kemudian Ibarak
kembali pada perangai yang sebenarnya, terutama ketika ia memerlukan
rokok dan Liwa tak mampu membelinya, karena ia harus menutup kebutuhan
yang lain. Sementara pekerjaan sehari-hari yang melelahkan mesti
diteruskan. Suatu hari Ibarak dan Liwa kembali berselisih, semakin lama
semakin hebat, sehingga tangan Ibarak kembali melayang. Liwa masih
mencoba melawan, tapi Ibarak tak memberinya kesempatan. Laki-laki itu
menyepakkan kaki hingga Liwa tersungkur tak mampu lagi berdiri. Liwa tak
dapat lagi merasakan apa-apa, kecuali bahwa ia telah binasa.
0 Komentar