Prolog
Gayatri
terpaku dalam udara Lembah Baliem yang membeku. Matanya menatap lurus
ke depan dengan pandangan hampa. Ia tengah menyaksikan tragedi
kehidupan, akhir dari sebuah peristiwa ketika seorang wanita terjebak ke
dalam mata rantai persoalan, kalah, dan berputus asa. Gayatri tak tahu
dengan pasti, berapa lama ia berdiri di tepi jurang dengan air sungai
yang sangat dalam. Di atas bebatuan tersangkut sali –pakaian
tradisionil wanita Suku Dani –melambai-lambai dihembus angin. Gayatri
merasa jarum jam tak lagi bergerak, waktu pun berhenti. Sali itu
sudah mengatakan semuanya, ia tak perlu lagi jawaban dan tak perlu lagi
bertanya-tanya. Segalanya sudah selesai. Tapi, apakah kenangan terhadap
wanita yang dikasihinya itu berakhir?
S A T U
ia masih terlalu kecil untuk kehilangan tempat berlindung, tapi apa daya? Sementara anggota kerabat yang lain segera memenuhi seisi honai, melakukan hal yang sama, meraung-raung. Kesunyian di Kampung Dani itu pun segera berubah menjadi jerit kedukaan. Kesunyian terpecah sudah.Setelah suara raungan, maka kerabat yang berduka itu segera menghambur keluar untuk mengolesi wajah dan tubuhnya dengan lumpur sebagai tanda duka cita. Seorang anggota puak telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi, meninggalkan semua yang masih hidup.
Malam
panjang dan senyap telah berlalu. Matahari pagi di Lembah Baliem tampak
sebagai bola raksasa merah membara yang didorong kekuatan maha dasyat
dan melambung perlahan ke angkasa. Kabut tipis melilit perkampungan Suku
Dani bagai sehelai kain sifon yang melambai, lembut, dan kacau. Cahaya
matahari membuat kabut itu tampak sebagai tirai yang terus
bergerak-gerak dan akhirnya lenyak sama sekali. Dan pegunungan yang
mengungkung lembah itu adalah benteng alam berlapis-lapis yang membeku
diselimuti kabut putih. Kemudian hutan tanpa batas akhir seolah kebun
brokoli yang ditanam sejak awal masa purba.
Perkampungan Suku Dani adalah sekelompok silimo yang berjauhan satu sama lain. Silimo itu berpagar kayu dengan humus yang berfungsi sebagai pelindung pada ujung-ujungnya. Di dalamnya terdapat pilamo –honai laki-laki— ebe ai –honai
perempuan—honai adat yang terletak lurus dengan pintu masuk. Di dalam
honai adat tersimpan berupa senjata dan perlengkapan perang yang harus
dijauhkan dari jangkauan tangan wanita. Konon, darah kotor wanita yang
datang selalu setiap bulan dapat menyebabkan perlengkapan perang itu
kehilangan tuah dan tak dapat dimanfaatkan untuk memenangkan lawan dalan
sebuah pertarungan. Sebab itu wanita Dani tak diijinkan untuk mendekat,
terlebih perlengkapan perang itu. Ada pun bngunan lain dalam bentuk
sederhana yang terdapat di dalam silimo adalah dapur dan kandang babi. Honai adalah
rumah adat Suku Dani yang berbentuk seperti jamur dengan dinding kayu
dan atap ilalang. Dari kejauhan perkampungan itu tampak seperti
sekumpulan cendawan pada musim penghujan yang tumbuh di sela-sela perdu.
Perkampungan
Suku Dani terjaga dalam udara dingin. Embun masih mengkristal pada
ujung dedaunan, membiaskan tujuh warna pelangi. Suasana hening dan bisu,
tak juga tampak tanda-tanda kehidupan, kecuali asap tipis yang mengepul
perlahan dari atap honai yang terbuat dari jalinan ilalang. Ketika
matahari terus membumbung tinggi, suasana masih tetap sunyi, kabut tebal
berarak dengan cepat mengepung matahari, alam seakan gelap. Pada sebuah
honai tampak seorang wanita terbaring dalam keadaan lemah. Wajahnya
memucat bagai kertas, ia telah menangkap isyarat, bahwa hari-harinya tak
akan lama lagi. Demikian juga dengan janin yang belum genap tujuh
bulan dalam kandungan. Pada sebuah mimpi wanita itu telah ditemui
anak-anaknya yang telah meninggal. Anak itu melambaikan tangan,
mengulurkan selembar Sali kemudian membawanya pergi, melewati
terowongan waktu, menuju dunia yang lain sama sekali. Dalam dunia yang
lain itu, segalanya berwarna putih. Wanita itu tak merasakan apa-apa
lagi, juga rasa sakit yang mencambuknya bagai cemeti setiap hari. Dan ia
pun merasa tenang.
“Mama....” sebuah suara halus menyadarkan
Aburah dari lamunannya. Ia menatap Liwa, anak perempuannya dengan sayu.
Anaknya itu mengulurkan ubi manis yang telah dibakar dengan tangannya
yang mungil. Tiba-tiba Aburah mendapatkan kembali sebuah kekuatan, bibir
yang pucat itu pun tersenyum. Hanya sekejab, tangan Aburah terlalu
lemah untuk menerima pemberian itu. Ia hanya dapat menatap sepasang mata
bening milik Liwa, sedemikian dekat, sehingga ia dapat melihat bayangan
diri yang tak berdaya pada sepasang orang-orangan mata anaknya. Tak ada
yang lebih berharga dari kehidupan seorang ibu, kecuali bayi yang telah
dilahirkan kemudian dibesarkan. Demikian pula dengan Aburah. Ia masih
memiliki sisa keinginan untuk membesarkan Liwa hingga dewasa kemudian
menikahkan dalam upacara adat yang ramai oleh pemberian babi dari pihak
laki-laki. Tapi Aburah terlalu lemah untuk memenuhi keinginan itu. Ia
teringat pada saudara tua Liwa yang telah tiada, karena malaria,
kemudian pada bayi yang dikandungnya. Mata Aburah menjadi basah, ia tak
pernah menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ia tak pernah punya
pilihan lain dalam hidupnya.
Hidup ini adalah kekalahan, bahkan
setelah ia memberi segala bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan
babi-babi pada hari perkawinan itu, maka seorang wanita Suku Dani
hanyalah budak. Ia harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan
makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika ia berada dalam
keadaan lemah, karena kehamilan. Ia harus tetap bekerja di kebun,
membelah kayu bakar, sehingga bara api menyalaa dan bi manis itu masak
sebagai bahan makanan. Bila tak ada makanan, maka Kugara suaminya akan
mengamuk dan memukulnya.
Setelah kerja berat itu pun Aburah merasa
lelah tak terkira, tulang-tulangnya ngilu, badannya menggigil dalam
demam yang tinggi dan ia tak dapat lagi berdiri. Dalam keadaan seperti
ini, ia baru dapat dinyatakan sakit dan diperbolehkan berisitirahat.
Sungguh pun i merasa lemah, tetapi selama ia masih mampu berdiri, maka
ia masih dianggap sehat dan harus tetap bekerja.
“Mama, makanlah”,
Liwa menyuapkan ubi manis ke mulut ibunya, tapi Aburah tampak tak
berselera. Ia hanya mengunyah sedikit kemudian memuntahkannya. Aburah
pun kembali terbaring, memejamkan mata. Wanita itu merasa ada sebongka
batu menindih kepalanya, bara api menempel pada sepasang kelopak
matanya, dan panas api tungku membakar tubuhnya. Aburah hanya melilitkan
sali pada seputar pinggang tanpa penutup dada. Peluh terus
mengucur membsahi tubuhnya yang gempal, sebagai pertanda, bahwa ia
tengah berjuang melawan rasa sakit yang dalam. Sekejab wanita itu
membuka mata, pandangannya sayu ketika ia menatap Liwa, satu-satunya
anak yang dapat dibesarkan.
Adat di kampung ini membenarkan
seorang duda yang kehilangan istri, karena kematian, untuk menikah
dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Dengan demikian, maka ikatan
keluarga dengan pihak istri dapat tetap diteruskan. Sementara anaknya
akan menjadi anak tiri dari saudara kandung istrinya sendiri. Hal itu
berarti Liwa tidak akan dibesarkan oleh seorang wanita yang tidak
dikenal.
Mengingat hal ini Aburah merasa bongkahan batu yang
menindih kepalanya menjadi lebih ringan selama menderita penyakit. Ia
tak memikirkan apa pun, kecuali nasib anaknya. Kini, ia telah
mendapatkan jawaban. Aburah pun melepaskan segala beban pikiran dan
tiba-tiba ia mengalami mati rasa.
“Mama bangunlah....”, Liwa terus
mengguncang-guncang bahu Aburah. Ia tak memiliki apa pun di dunia ini
kecuali ibunya. Aburah lah yang menjaganya sejak kecil, membaringkannya
di dalam noken –tas tradisionil Suku Dani—dan memikulnya kemana
pergi. Aburah selalu memberinya makan, berjenis-jenis hasil kebun dan
binatang hutan serta buah-buahan. Dan ia pun terus bertumbuh. Wanita
yang menjadi pelindungnya itu itu kini terbaring tanpa gerak dan suara.
Hati kecil gadis itu membisikkan sesuatu yang menakutkan. Liwa terus
memandang Aburah dalam risau dan gelisah yang tak bisa dikendalikan. Ia
masih terlalu bocah untuk memahami semua ini.
Di lain pihak Aburah
merasa kesadarannya semakin jauh, badannya seakan melayang seperti
kabut putih yang mengapung di dalam ruangan hampa. Ia tak lagi merasakan
sakit, karena beban hidup sehari-hari yang terus menindih. Ia merasa
begitu ringan seakan gumpalan kapas yang melayang diterbangkan angin
musim. Ketka tiba-tiba sebuah kekuatan dasyat menyedot badan halus yang
berkuasa akan seluruh hidupnya, napas wanita itu pun tersengal-sengal.
Hanya beberapa saat, sebab Aburah segera melihat tubuhnya terbring lemah
di lantai honai, sementara ia tengah melayang di langit-langit yang
rendah. Aburah pun mencoba membujuk Liwa supaya anak kecil itu
menghentikan tangisya, tapi suaranya tak dapat lagi didengar. Ia telah
hidup di alam lain dan tak mampu lagi berbicara dengan orang-orang yang
ditinggalkan. Ia telah mati.
Sementara suara meraung-raung Liwa
telah memanggil seluruh anggota kerabat berdatangan untuk menyaksikan
apa yang telah terjadi. Badan Aburah masih hangat, meski wajahnya kian
memucat, napasnya terhenti. Liwa dicekam ketakutan yang tiada terkira.
Mamaknya telah menutup mata untuk selama-lamanya.
Sementara Kugara segera menangis
dengan lolongan yang sangat panjang. Ia adalah seoranag laki-laki dengan
postur tinggi dan tegap, dan seluruh rambut dijalin menjadi
kelabang-kelabang kecil. Tak ada pakaian dikenakan sebagai penutup tubuh
kecuali koteka yang mencuat melindungi kemaluan sekaligus melambangkan kejantanan.
Laki-laki
itu tak dapat melindungi hatinya yang lemah, ia telah kehilangan teman
hidup. Seorang wanita yang melahirkan anaknya, menyediakan makanannya,
merawat kebun dan babi-babi serta membelah kayu bakar. Kugara tak yakin,
bahwa ia akan dapat meneruskan hidup setelah kematian itu. Ia tak akan
pernah dapat melakukan pekerjaan yang pernah diselesaikan Aburah.
Bagaimana hidupnya nanti? Kugara benar-benar merasa malang. Ia tak
pernah menyadari, bahwa kematian itu secara tidak langsung merupakan
hasil kesewenangnnya. Bahwa secara adat ia memang berhak memerintah
Aburah, karena telah membayarnya dengan babi-babi pada hari perkawinan
itu. Ia telah membeli seorang wanita dengan harga yang sangat mahal.
Seperti halnya setiap laki-laki di kampung itu, ia berhak memperbudak
wanita yang dinikahi, sekalipun wanita itu telah hamil atau baru saja
melahirkan anak yang dikandungnya. Kugara terlalu bebal untuk memahami
persoalan apa yang telah terjadi pada diri Aburah, sehingga ia harus
menangisinya.
Kugara terus melolong hingga keesokan harinya,
ketika orang-orang satu kampung mulai beramai-ramai menebang kayu di
hutan bagi upacara pembakaran. Akhirnya sampailah saat-saat terakhir
ketika Aburah dapat tampak dalam keadaan utuh sebagai manusia. Tumpukan
kayu bakar telah dipersiapkan. Perdebatan mengenai segala kesalahan
Aburah semasa hidup telah digelar, berjam-jam lamanya hingga diperoleh
jalan damai dan kesepakatan, pembakaran jenazah dapat segera dilakukan.
Kayu bakar telah disusun tinggi-tinggi, seisi kampung tengah berkumpul
di halaman silimo untuk ikut serta berkabung menyatakan duka
cita. Segala pekerjaan di kebun untuk sementara ditinggalkan. Tak ada
aktivitas apa pun di kampung itu kecuali upacara pembakaran. Keseluruhan
yang berkabung itu adalah wajah-wajah duka berlinang air mata. Kaum
wanita hanya melilitkan Sali di seputar pinggang tanpa penutup dada. Sementara kaum laki-laki, semuanya mengenakan koteka, kulit labu kering yang berwarna kemerah-merahan, menutupi bagian tubuh yang sangat rahasia dn mencuat ke angkasa.
Liwa
memeluk erat jenazah Aburah, ketik wanita yang dicintai digotong
beramai-ramai menuju tumpukan kayu yang siap menyala-nyala. Ia tak
sanggup ditinggalkan, tangisnya meledak seakan bilah-bilah bambu yang
terus digesek secara bersama-sama, memekakkan gendang telinga. Liwa
kehilangan tempat berpijak dan keseimbangan hidupnya bergoyang. Ketika
jenazah Aburah dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar, kemudian kayu
dinyalakan, semakin lama semakin membesar, dan asap tebal pun mengepul.
Gadis kecil itu menangis sejadi-jadinya, ia merasa sakit di tenggorokan
dan kering suara. Pembakaran jenazaah aburah telah menghanguskan pula
masa kanak-kanak dan nalar kebocahannya. “Mama jangan pergi mama....!”
jeritan Liwa tenggelam dalam tangis yang meraung. Bau sangit daging
hangus mulai tercium, kemudian suara letusn yang memporak porandakan
seluruh isi perut termasuk cabang bayi yang belum sempat dilahirkan.
Selebihnya api yang terus menyala tanpa kenal ampun dan asap hitam yang
semakin tinggi. Langit semakin gelap.
Kugara terus melolong dan
berguling-guling melumuri seluruh wajaaah dan tubuhnya dengan lumpur,
hingga sulit dikenali sebagai pribadi yang asli. Sementara badan halus
Aburah telah melayang tanpa menjejakkan kaki di atas tanah. Upacara
pembakaran itu telah menghanguskan badan kasarnya sebagai abu. Ia telah
diperllakukan dengan baik sesuai dengan adat setempat, rohnya pun
menjadi tenang. Tetapi tangis gadis kecilnya membuatnya terpana. Ia
terus mencoba membujuk dan menghibur Liwa, tetapi kata-katanya tak lagi
dapat didengar, sentuhannya tak lagi dapat dirasakan. Ia telah terpisah
dari alam lain, alam yang tak memungkinkan manusia dapat melihat atau
mendengar kata-katanya.
Akhirnya api yang menyala-nyala itu pun
semakin lama semakin mengecil, kemudian padam menyisakan bara. Jenazah
Aburah hanya tinggal bubuk putih yang terpisah dari abu dan segera
disimpan di dalam tabung. Liwa kini bersimpuh di depan abu putih Aburah,
tangisnya terhenti hanya tersisa rintihan. Ia telah kehabisan tenaga,
suara, dan kekuatan, karena kematian itu. Di seputar Liwa seluruh isi
kampung masih ramai berkumpul, ia tak menangis seorang diri, tetapi Liwa
merasa seakan terlempar pada sebuah padang luas yang sunyi. Ia tak
mendapatkan tangan-tangan kuat yang memeluknya, manakala angin dingin
menerpa, Liwa pun menggigil, semakin lama semakin kuat. Dan tiba-tiba
pandangan gadis kecil itu menjadi kabur, Liwa melihat ada gumpalan kabut
putih bergulung-gulung di seputarnya, seluruh rasa sakitnya terlupakan.
Dengan kepasrahan Liwa menjatuhkan diri ke dalam gumpalan kabut,
melepaskan segala beban. Gadis kecil itu pun terkulai, ia pingsan di
depan bu jenazah Aburah.
Lapina, adik perempuan Aburah segera
merangkul tubuh mungil Liwa. Ia sungguh merasa belas kasihan terhdap
seorang anak kecil yang harus ditinggal mati ibunya. Denga kematian itu,
maka Lapina memegang tanggung jawab terhadap pengasuhan anaknya.
Tergesa Lapina membawa Liwa menuju honai dan membaringkannya di dekat perapian. Wanita muda itu mengurut-urut seluruh tubuh Liwa hingga gadis kecil itu tersadar.
“Mama Aburah....” suara Liwa merintih.
“Mama Aburah telah pergi, tak usah kau bersedih, ada saya, mama adik
akan menjagamu”, Lapina mencoba menghibur Liwa, ia menatap mata gadis
itu dekat-dekat. Hatinya teriris ketika ia mendapati rungan kosong pada
sepasang mata keponakannya. Liwa tak banyak bicara, kecuali
memanggil-manggil nama Aburah, tetapi tatapan matanya yang kosong sudah
cukup membahasakan kehacuran hatinya, “Mama Aburah telah tenang, jangan
engkau terus menangis, nanti rohnya tidak dapat terbang ke langit,
sekarang tidurlah”, Lapina mengambil selembar kulit kayu yang sangat
tipis dan kering kemudian mengipaskn di atas tubuh Liwa. Angin sejuk
seolah menerpa, Liwa merasa amat lelah dengan semuanya, perlahan-lahan
ia memejamkan sepasang mata. Rasa sedih dan duka membawa kesadaran gadi
itu menuju alam lain. Sebuah kehidupan semu yang muncul tanpa kendali
dan penolakan. Tak lama kemudian gadis kecil itu pun tertidur.
Lapina menyandarkan punggug ke dinding honai,
matanya terus mengamati gadis kecil yang terbaring damai dalam duia
mimpi. Ia teringat akan kata-kata Aburah sebelum jenazah wanita itu
dbakar dan menyiskan abu putih. “Kalau terjadi apa-apa deganku,
kutitipkan Liwa kepadamu. Engkau ikut menjaganya selagi ia masih berada
di dalam kandungan, kemudian menimangnya ketika dilhirkan. Aku tak punya
siapa-siapa lagi untuk menjaga anakku, kecuali dirimu”.
Lapina
terlalu galau dengan kata-kata Aburah, sehingga ia hanya terdiam terpku
menatap saudara tunya dengan segala tanda tanya.”Engkau mendengar
kata-kataku Lapina?” Aburah bertanya.
“Saya mendengar”, Lapina
menjawab singkat, kemudian bertatapan Aburah segera memejamkan mata
dengan sebuah helaan napas lega, ketika dari tatapan mataya Lapina telah
mengiyakan kata-katanya. Lapina tak menghendaki kematin itu, tapi siapa
pula yang dapat menolak takdir-Nya? Kini Lapina harus menepti janji,
meluluskan permintaan dari orang yang sudah tiada. Yah! Ia harus menjaga
bocah kecil itu, Liwa.
***
Menjelang
gelap Liwa baru terjaga, cahaya redup di balik mendung yang sebentar
lagi akan berubah menjadi kehitaman seakan pertanda, betapa muram hari
esok gadis kecil itu. Di luar kesunyian mengungkung seisi lembah. Angin
berhembus menebarkan suasana beku, mematahkan ranting-ranting kering.
Tak berapa lama kemudian hujan pun turun. Seluruh isi silimo segera berlindung di dalam honai masin-masing. Lapina tinggal berdua dengan Liwa di dalam honai perempuan, wanita muda itu mengulurkan ubi manis yang telah dibakar kepada Liwa.
“Makanlah, seharian ini engkau belum makan apa-apa”.
Semula
Liwa menolak pemberian itu, tapi Lapina terus membujuknya. Liwa
menerima pemberian ubi itu dengan lemah. Tiba-tiba perutnya terasa
lapar, ketika ia melihat bahwa Lapina tengah memejamkan mata, maka Liwa
segera mengunyah ubi manis itu dengan rakus. “Air Lapina, aku haus
sekali”, Liwa merengek, Lapina segera menyerahkan kantung air, sehingga
bocah kecil itu pun terdiam sudah.
Keesokan harinya Liwa hanya
dapat berbaring dan berbaring, ia tak mampu berdiri. Rasa sedih telah
melumpuhkan kekuatan gadis kecil itu, ia tak mampu berbuat apa-apa,
kecuali menatap langit-langit honai dengan muram. Lapina selalu
menjaga setelh pulang dari kebun. Kugara menjenguk Liwa di dalam honai,
tetapi laki-laki itu tak dapat berbuat apa-apa, ia terlalu bingung
dengan dirinya sendiri. Sementara keadaan Liwa berangsur-angsur membaik,
Lapina terus menjaga dan menyediakan makanan bagi Liwa, sehingga bocah
itu mendapatkan kembali kesehatannya.
Setelah keadaan Liwa ulih,
Lapina membawa gadis itu ke kebun.”Kau ikut saya ke kebunkah?” demikian
Liwa membujuk. Liwa tak segera menanggapi, matanya yang bening menatap
lurus ke wajah Lapina seolah mencoba memperoleh kepastian. Ketika naluri
kebocahan Liwa mendapatkan isyarat ketulusan hati pada tatatapan
Lapaina, maka gadis kecil itu menganggukkan kepalanya, “Baiklah, aku
ikut denganmu”, keduanya kemudian berjalan beriringan menuju kebun milik
kerbat yang terletak tak jauh dari silimo, melewati jalan setapak. Di seputar jalan kecil itu adalah belukar, selebihnya rimbun belantara yang belum dijamah.
Liwa
melangkahkan kaki dalam diam, ia merasa ada sesuatu yang aneh di
seputar tempat tinggalnya. Semak belukar dan hijau belantara adalah
suatu hal yang biasa, demikian juga dengan suasana sunyi yang terpecah
oleh suara binatang hutan. Suasana ini telah menyatu dalam hidupnya.
Tetapi Liwa merasa seolah-olah hutan gis anaknya terhenti.
Kugara datang tak lama kemudian dengan
dahi berkerut, ketika ia melihat tungku di honai belum juga menyala.
Matanya berkeliaran menjelajahi seisi ruangan. Kerutan di dahi laki-laki
itu menghilang ketika ia mendapat sisa ubi manis yang dibakar semalam.
Tanpa banyak bertanya Kugara segera menyambar ubi manis dan memamahnya
dengan nikmat. Tetapi agaknya persediaan ubi manis semakin menipis,
seisi honai pasti akan kelaparn seandainya tak ada seorang wanita pun
yang bersedia pergi ke kebun untuk mencungkil ubi manis.
“Saya
tahu kau baru melahirkan Lapina, tapi coba kau lihat persediaan makanan
kita semakin menipis. Kalau engkau tak pergi ke kebun kita akan
kelaparan”, Kugara membuka pembicaraan.
“Engkau tahu badanku
masih sangat lemah, tidakkah untuk sementara lau dapat menggantikan
pekerjaanku?” Lapina menyanggah sambil menyusui anaknya yang mungil, ia
sungguh merasa kasihan dan sayang terhadap anak tak berdosa yang telah
dilahirkan.
“Bekerja di kebun dan mencari makan adalah urusanmu.
Maaf sekali, aku tak dapat menggantikanmu. Kalau engkau tak segera pergi
ke kebun untuk mencari makanan, kau akan tahu akibatnya”, Kugara
menyatakan ini menjadi lebih sunyi, ia tak
sedang berjalan dengan wanita yang tlah melahirkan kemudian membesarkan,
tetapi dengan wanita yang menjadi saudara Aburah “Ayo cepat
sedikit”, Lapina menarik tangan Liwa, ia dapat merasakan duka pada hati
gadis kecil itu. Secara adat, maka ialah yang bertanggung jawab atasnya.
“Itu kebun sudah tampak, engkau bisa bermain-main di sana”, telunjuk
Lapina menunding ke depan. Pandangan Liwa mengikuti arah telunjuk Lapina
dan gadis kecil itu pun tersenyum.
Di langit sebelah timur,
cahaya matahari masih condong kekuning-kuningan. Kabur putih melambai
seakan tirai sutera yang tersibak oleh kearifan semesta. Selebihnya
adalah hijau pepohonan yang mengurung lembah dengan barisan perbukitan.
Lapina dan Liwa melompati pintu kebun dengan hati-hati dan mereka segera
berhadapan dengan berjeis-jenis sayur yang terawat rapi. Di sekeliling
kebun dalah pagarr rendah dengan perlindungan humus pada atasnya.
Kebun-kebun harus selalu dilindungi dengan pagar. Tanpa pagar pelindung,
maka hantu dan roh jahat akan datang mengganggu, sehingga tanaman di
dalam kebun itu akan kecil atau mati sama sekali.
Lapina segera meletakkan noken dan mulai bekerja merawat tanaman seperti hari-hari yang telah lalu. Wanita muda itu megenakan Sali yang
masih baru tanpa penutup dada, sehingga sepasang bukit kembar itu
tampak telanjang, seakan sebuah tantangan ketika menjadi berkilat-kilat
oleh keringat. Wajah Lapina masih sangat muda, ia belum sepenuhnya
terjamah oleh kekerasan hidup. Sementara Liwa hanya duduk berdiam diri
di bawah rindang sebatang pohon, ia tak melakukan apa-apa kecuali duduk
mematung tanpa kehendak. Kabut seolah menutup paras bocah tak berdosa
itu.
Liwa mulai bergerak ketika ia melihat seekor kupu-kupu
berwarna ungu dengan titik-titik kuning pada sayapnya, hinggap pada
kelopak setangkai bunga liar. Liwa tertarik untuk menangkapnya, tetapi
kupu-kupu itu segera terbang menghindar. Liwa terus mengejarnya, tetapi
kupu-kupu itu segera mengepakkan sayapnya dengan elok, menjauh dari
jangkauan tangan kecil Liwa. Bocah itu menjadi gemas, ia terus memburu
tanpa jemu, hingga kupu-kupu itu membumbung pada sebuah dahan yang
tinggi. Tiba-tiba Liwa merasa lapar, sementara matahari semakin tinggi
dan bocah kecil tu merasa lelah. Dari kejauhan Lapina sesekali
memperhatikan ulah Liwa sambil terus bekerja. Ia merasa senang, ketika
Liwa tampak asyik mengejar kupu-kupu, melupakan sejenak kedukaannya.
“Lapina,
saya lapar!” Liwa berteriak dari kejauhan, teriakan itu menyadarkan
Lapina akan kelelahannya. Wanita muda itu mengusap peluh, meneruskan
pekerrjaan sejenak, kemudian segera menjelang Liwa dengan pisang,
pepaya, dan ubi manis di tangan.
Angin semilir ketika kedua orang
itu menyantap hasil kebun. Tetapi pepaya dan pisang tak cukup
mengenyangkan, sehingga Lapina harus menyalakan api untuk membakar ubi
manis itu masak di dalam abu panas. Ia pun kembali bekerja hingga
matahari terik dan tergelincir perlahan di langit sebelah barat.
Akhirnya Lapina telah mengisi berjenis-jenis hasil kebun di dalam noken.
Ia merasa lelah tiada terkira dan segera duduk beristirahat di dekat
Liwa. Ubi manis telah masak dalam abu panas, Liwa tampak benar-benar
rakus menyantapnya. Ia menjadi kenyang setelah meneguk air dari kantung
dari labu, demikian pula dengan Lapina. “Aku ingin bermain air Lapina”,
Liwa memohon.
“Ayo, saya pun harus mencuci ubi manis ini”, Lapina mengemasi isi noken, meletakkan tali noken di kepalanya, sehingga seluruh bobot noken memberat di punggungnya. Keduanya meninggalkan kebun, menuju anak sungai yang tak jauh dari silimo.
Liwa segera tertawa girang ketika mendengar suara gemercik air sungai. Ia menanggalkan noken
dan segera meloncat ke dalam air dengan suara berdebur. Anak kecil itu
bermain air sambil membersihkan seluruh daki di badan dengan
sebaik-baiknya, sehingga tubuhnya terasa segar. Sementara Lapina segera
mencuci seluruh hasil kebun, ubi manis itu pun berubh warna menjadi
putih cemerlang. Matahari terik, sedangkan air sungai itu sejuk dan
segar. Entah berapa lama Liwa dan Lapina bersenang-senang dengan air
sungai, tetapi tiba-tiba senja telah turun dalam warna jingga.pelangi
melengkung dalam tujuh warna maya, seolah selendang bidadari yang
tersangkut di antara gumpalan mega dan pepohonan. Liwa telah mengenakan
kembali Sali, ia tengah memetik bung-bunga kertas yang tumbuh
bebas di antara semak belukar. Bunga itu ada yang berwarna ungu, kuning,
jingga, dan merah muda dengan putik sari kuning keputih putihan. Bunga
yang tengah kuncup akan digantung supaya mekar dalam kelopak-kelopak
canti abadi. Orang-orang Dani ada yang menyebut bunga kertas itu sebagai
bunga seribu hari, karena bunga itu tak pernah layu bahkan setelah
berhari-hari mekar.
“Hari hampir gelap, cepat pulang, nanti roh jahat datang mengganggu anak kecil dan kau dapat sakit”, Lapina bersiap pulang.
“Tunggu
sebentar Lapina, saya hendak memetik bunga yang ada di sana”, Liwa
menyanggah sambail melangkah menuju bunga kertas yang terletak agak jauh
di tepi jurang. Tapi Lapina segera menarik tangan gadis kecil itu dan
membawanya kembali ke silimo. Ia sungguh takut akan kegelapan sebagai sumber muasal hantu dan roh jahat yang dapat mencelakai bocah-bocah.
“Saya mau bunga kertas itu”, Liwa masih mencoba memberikan perlawanan.
“Tidakah
kau lihat, gelap akan segera datang. Di dalam gelap hantu-hantu akan
berkeliaran. Mereka senang anak-anak yang masih kecil, ayo cepat
pulang”, Lapina mempercepat langkah. Kali ini Liwa tak lagi melawan, ia
pun takut akan roh jahat yang selalu datang bersama gelap.
Cahaya matahari telah reduk, membekaskan teja ketika Lapina dan Liwa memanjat pintu silimo. Sekawanan
burung melintas langit dengan suara mencecet kemudian sunyi. Lapina
masih mempunyai kerja, memberi makan babi-babi setelah itu ia baru dapat
beristirahat, seharian membuatnya sangat lelah.
***
Kugara
telah membakar batu sedemikian lama, sehingga batu-batu itu menjadi
amat panas dan berwarna keputih-putihan. Tak jauh dari tempatnya
membakar batu, ia telah menggali lubang bersama anggota kerabat laki-aki
yang lain. Telah lama ia tak pernah berkumpul dengan kerabat-kerabat
yang telah menyebar pada silimo yang jauh. Hari ini setelah
masa berkabung bagi kemaian Aburah selesai, maka ia telah mengundang
kerabat untuk berkumpul dalam adat bakar batu.
Lapina dan kaum
wanita linnya telah memetik hasil kebun dalam jumlah besar dan
mencucinya degan air kali. Hari ini suasana di dalam silimo
menjadi lebih ramai. Duka telah berlalu dan keadaan kembali seperti
sediakala. Liwa juga tidak lagi menampakkan tanda duka yang berlebihan,
ia selalu menempel pada Lapina untuk mendapatkan kembali bayang-bayang
mamaknya, sehingga hatinya yang gundah dapat kembali kepada rasa tenang.
Perilaku
Liwa dan Lapina tak pernah lepas dari pengamatan Kugara. Mata laki-laki
itu selalu memandang dalam jarak yang dekat maupun jauh dan segera
dapat memperoleh jawaban dari kerisauan hati, karena kematian Aburah.
Lapina telah bersikap seolah-olah Liwa adalah anak kandungnya, kasih
sayang terhadap anak itu tampak begitu nyata. Hal itu berarti hanya ada
satu perkara yang harus dilakukan untuk mengesahkan hubungan, yaitu
mengawini Lapina.
Yah, mengawini Lapina. Dari balik asap rokok
Kugara dapat terus memperhatikan Lapina. Gadis muda itu tengh
mengalaskan rumput pada lubang yang digali. Batu-batu yang memutih itu
diletakkan di dasar lubang dengn kayu sebagai alat bantu, kemudian
berjenis-jenis hasil kebun ditimbun secara beraturan ke dalam lubang.
Setelah seluruh hasil kebun masuk ke dalam lubang, ditutup dengan batu
panas dan rerumputan, maka semua orang harus menunggu.
Kugara
masih memperhatikan Lapina dengan dadanya yang telanjang. Wajahnya yang
muda remaja, sungguh merupakan daya tarik yang tiada tara, kemudian
sepasang bukit kembar yang mencuat dengan Sali yang melillit pada pinggangnya yang ramping kemudian pemandangan di balik Sali
itu. Kugara menelan ludah. Ia harus melakukan sesatu bagi gadis yang
menjdi adik almarhum istinya itu. Adat di kampung ini membenarkan
seorang duda untuk meikahi saudara perempuan istrinya setelah tiada,
sungguh pun gadis itu masih belia. Tiba-tiba Kugara merasa seluruh
kepedihan akan kematian Aburah terobati. Lapina!
Ketika lubang itu
dibuka, maka makanan di dalamnya sudah masak dan segera dikeluarkan
dengan asap yang masih mengepul serta aroma yang menerbitkan selera.
Seorang wanita di dalam silimo telah memeras buah merah (Pandamus sp)
sedemikian rupa, maka mecairlah saus berwarna merah darah yang
dituangkan di atas sayur. Makanan yang tampak dalam ukuran besar
dibagikan kepada kepada pihak laki-laki, sedangkan yang berukuran kecil
diberikan kepada perempuan dan anak-anak. Adat selalu menempatkan
laki-laki sebagai pihak yang harus dihormati, sehingga mereka selalu
mendapatkan makanan yang terbaik.
Demikian pula dengan Kugara,
sambil menyantap hidangan yang lezat, matanya selalu mengawasi Lapina.
Dalam pandangan Kugara, gadis itu tiba-tiba menjema menjadi setangkai
bunga liar yang telah mekar penuh daya pikat. Ia sungguh-sungguh tak
dapat lagi menguasai diri. Semenjak kematian Aburah, ia harus melewatkan
malam yang membeku di honai laki-laki. Ia tak dapat lagi bermalam di honai
perempuan, karena jenazah Aburah telah memutih sebagai abu. Kugara
masih terus menatap Lapina, sementara orang-orang yang terlibat dalam
adat bakar batu asyik bercakap-cakap sambil menyantap hidangan
masing-masing. Demikian pula dengan Liwa, ia terus mengunyah sayur dan
labu yang telah masak sambil menyandarkan punggung pada badan hangat
Lapina.
Di lain pihak, Lapina tiba-tiba merasa ada sepasang mata
yang terus mengawasi. Ketika pandangannya beradu dengan tatapan Kugara,
gadis muda itu segera membuang pandang. Ia merasakan sebuah debaran yang
tak bisa dipahami, dan wajahnya bersemu merah. Kugara menyeringai, ia
pasti akan mendapatkan gadis itu. Pasti!
Adat bakar batu itu pun
akhirnya selesai, masing-masing orang meninggalkan tempat sambil
mengemasi sisa-sisa makanan. Hasil kebun yang menjadi masak oleh panas
batu itu pun tandas sudah. Kugara menunggu suasana menjadi sunyi, ketika
ia melihat Lapina duduk seorang diri, maka ia segera berjalan
mendekati.
“Lapina”, Kugara duduk tepat berhadapan dengan Lapina,
ia apat menyaksikan keremajaan Lapina sedemikian rupa, seolah buah segar
yang dapat dikunyah-kunyah.
“Kenapa Kugara?” Lapina menjawab, matanya yang bening terus menatap laki-laki di depannya seolah ia ingin menjenguk is hatinya.
“Kau
pasti tahu, bahwa kini aku adalah seorang duda. Istriku telah tiada,
anakku tak punya ibu, kau juga tahu, bahwa sebagai laki-laki aku tak
bisa mengasuhnya. Masa berkabung telah selesai. Tak dapat selamanya aku
tanpa istri dan menderita begini”, Kugara mulai berbicara.
“Apa
maksudmu Kugara?” Lapina bertanya, hati kecilnya mengatakan, bahwa
Kugara menginginkan sesuatu yang sangat penting dari dirinya.
“Adat
kita membenarkan seorang laki-laki yang kehilangan istrinya, menikah
dengan adik kandungnya. Hal itu berarti, dapatlah kiranya aku menikah
denganmu dan Liwa dapat pula menjadi anak tirimu”, Kugara menatap
Lapina dengan penuh permohonan. “Ingat, engkau tak punya siapa-siapa
lagi di dunia ini, bapa ibumu sudah tiada. Saudara pun engkau tak punya.
Kau hanya memiliki aku dan Liwa”, Kugara bicara dengan hati-hati, ia
berusaha sedapat mungkin untuk tidak menerjang Lapina dan memperlakukan
sebagai istrinya.
“Aku mengerti akan hal itu Kugara”, Lapina
menjawab perlahan-lahan, pandangan matanya menatap jauh pada barisan
bukit yang tampak berlapis-lapis di dalam kabut. Ia adalah bagian dari
adat di kampung ini. Ia juga mengasihi Liwa, tetapi menjadi istri
Kugara? Lapina tak pernah mimpi.
“Jadi, kau memenuhi permintaanku?” Kugara semakin mendekat, memegangi tangan Lapina erat-erat.
“Aku
tidak tahu Kugara”, Lapina menjadi bingung, ia tampak seakan seekor
kelinci yang terdesak pada sebuah sudut, menunggu beberapa detik sebelum
pemburu menangkap dan mencincangnya.
“Tidak usah kau bingung, kau
harus tunduk kepada adat. Aku akan membayarmu dengan babi. Bila engkau
menolak, maka masyarakat yang tunduk kepada adat akan mengucilkanmu”,
Kugara tampak girang, ia yakin telah memenangkan kehendaknya, karena
adat pasti membelanya. Ia terus menempel pada gadis muda yang tak
berdaya itu, sehingga Lapina tak kuasa lagi menolaknya.
Ketika
akhirnnya Kugara membayarnya dengan dua puluh ekor babi, Lapina hanya
terdiam. Ia tak bersuara bukan karena menjadi bersuk cita dengan
pemberia itu. Tetapi ia telah limbung, ada suara yang memerintahkannya
untuk berontak, tetapi ia terlalu belia bagi pemberontakannya terhadap
adat yang sudah berlaku sejak zaman purba. Ia tak memiliki kekuatan
apa-apa, daya tarik sebagai gadis remaja telah menjadi bumerang, ia
harus menikah dengan laki-laki yang tak dikehendakinya. Lapina tak
pernah bisa mengerti, mengapa adat dapat berlaku seperti itu dan mengapa
pula ia harus menjalaniya.
Lapina tetap membisu sampai hari
perkawinan tiba. Dua puluh ekor babi diserahkan sebagai mas kawin
kemudian Kugara mengunjunginya pada kegelapan honai setiap malam
menuntut haknya. Lapina tak dapat memahami ketika tabir tersingkap.
Kisah-kisah yang sering dibisikkan sesama gadis remaja ternyata menjadi
saat-saat yang membingungkan, aneh, dan dipenuhi halimun. Lapina seolah
tak sadar terhadap perlakuan Kugara, atau ia memang taak pernah ingin
menyadarinya. Kegelapan di dalam honai telah mengurangi ketakutan,
karena ia tak harus melihat wajah Kugara yang menjadi begitu dekat tanpa
jarak. Ia tak pernah merasa sebagai suami istri, ia hanyalah pelaku
adat. Pelaku yang kehilangan sukma dan akhirnya tampil sebagai patung
hidup.
Setiap malam ketika Kugara mengunjunginya di dalam honai.
Lapina hanya memejamkan mata. Ada rasa sakit yang menyentak, karena ia
kehilangan hak akan kebebasan diri. Lapina ingin menjauh, tetapi ia tak
tahu kemana harus berlari. Ruangan di dalam honai ini terlalu sempit
untuk mengelak dari belenggu adat. Setiap gelap tiba, akhirnya Lapina
hanya dapat menyerah. Ia merasa dirinya melambung ke langit tinggi
kemudian terbanting ke dasar ngarai tanpa dasar. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama Lapina segera berubah, ia bukan lagi setangkai bunga liar
yang meliuk-liuk dalam hembusan angin lembah. Ia hanyalah sebatang
tangkai yang telah patah. Wajahnya yang pucat dan sorot matanya yang
muram telah cukup sebagai bahasa.
Beban kerja Lapina semakin
berat, ia harus bangun pagi, menyediakan makanan bagi Kugara, pergi ke
kebun sambil menjaga Liwa, memberi makan babi-babi, dan bersikap sebagai
layaknya seorang istri. Berbulan kemudian Lapina merasa dirinya semakin
lemah dan sakit-sakitan. Meski demikian ia harus pergi ke kebun demi
babi-babi dan makanan sehari-hari.
Suatu pagi Lapina tak dapat
lagi bangkit, ia terbaring dan terus muntah. Perutnya mual, kepalanya
pening, raut wajahnya pucat menguning. Demikian berhari-hari hingga
persediaan makanan habis sudah, ia harus kembali pergi ke kebun untuk
merawat tanaman dan memetiknya. Liwa seolah mengerti kesulitan Lapina,
ia diam mengikut dan tak banyak menuntut ketika Lapina membawanya pergi
ke kebun dengan tubuh yang lemah. Liwa membantu Lapina bekerja, hanya
sedikit hasil kebun yng dibawa pulang, Lapina memilih berbaring dengan
Liwa di atas rumput, di bawah pohon yang rindang. Ia sengaja pulang
menjelang gelap untuk menghindari sesuatu yang terasa ganjil dalam
kehidupannya kini.
Demikian berhari-hari, Lapina menghabiskan
waktu di kebun dengan berbaring menatap biru langit, ia memahami
persoalan yang menimpa hidupnya, tapi ia terlalu dungu sekedar untuk
menjawab pertanyaannya. Sementara Liwa hanya dapat memperhatikn Lapina
dengan mata kanak-kanaknya. Wanita yag menjadi ibunya itu, kini lebih
senang berbaring di atas rumput dengan sedikit hasil kebun. Sementara
babi-babi semakin banyak yang harus diberi makan. Sampai suatu hari
Kugara menegurnya.
“Engkau selalu seharian di kebun, tetapi
mengapa ubi manis yang kau bawa hanya sedikit?” demikian Kugara menegur
Lapina di depan pintu silimo.
“Tidakkah engkau melihat, badanku kian hari kian lemah?” Lapina balik bertanya.
“Aku
telah membayarmu dengan babi, kau harus bekerja untukku dan untuk
babi-babi itu”, Kugara memberi tekanan dalam suaranya, tampak sekali
bahwa ia tidak senang.
“Memang betul, tapi babi-babi itu tidak
membuatku menjadi kuat”, Lapina menghempaskan seluruh bobot noken ke
lantai honai dan ia pun mulai sibuk menyalakan kayu bakar. Ubi manis
harus masak, bila tidak Kugara akan mengomel dan bukan tidak mungkin
akan memukulnya.
“Aku tidak mau tahu, besok engkau harus pulang
dengan hasil kebun yang lebih banyak, bila tidak kau akan tahu
akibatnya!” Kugara mengancam, ia berlalu pergi sambil menyambar pisang
masak dan mengunyahnya dengan lahap.
Sepeninggal Kugara, Lapina
duduk mematung, ia mulai merasa ada kebencian menggumpal perlahan-lahan
di dadanya. Wanita itu ingin menumpahkan rasa benci, tapi ia tak punya
cukup keberanian untuk menyatakannya. Sepasang mata itu pun menadi muram
dan mulai basah. Tak lama kemudian embun pun terjatuh.
“Saya
lapar Lapina”, suara Liwa mengejutkan Lapina. Wanita yang menjadi ibu
tirinya itu mengusap air mata dan segera mmbenamkan ubi manis ke dalam
abu panas. “Kau makanlah pisang dulu sambil menunggu ubi masak”, Lapina
menyorongkan dua sisir pisang kepada Liwa dan ia pun segera terbenam
dalam gumpalan asap, mengutuki nasibnya.
Dari luar honai asap
tipis terus bergerak menembus atap ilalang, menjadi pertanda, bahwa di
dalam rumah berbentuk jamur itu telah terentang benang kehidupan.
Seorang wanita telah dibayar dengan babi, ia harus menyalakan api supya
ubi manis masak dan orang yang telah membayar dengan babi dapat
menyantap jerih payahnya. Demikian Lapina harus terus bekerja sampai
akhirnya ia menyadari, ada makhluk kecil tak berdosa telah hidup di
dalam rahimnya. Wanita yang telah menikah dan tak lagi mendapatkan drah
kotor biasa mengalami hal semacam ini sebelum akhirnya melahirkan
seorang anak.
Lapina adalah seorang gadis belia, tetapi ia harus
siap menjadi seorang ibu. Semakin hari perut Lapina semakin membesar,
badannya kian lemah, tetapi Kugara tak peduli, Lapina harus terus
bekerja di kebun, memberi makan seisi honai dan babi-babi serta membelah
kayu bakar hingga hari kelahiran itu pun tiba. Lapina merasa seakan
maut tengah menjemputnya, ketik bayinya berontak dari dalam rahim hendak
bersinggungan langsung dengan kehidupan di dunia nyata. Ia telah
merasakan sakit selama hari-hari yang panjang, dn kini rasa sakit itu
sampai pada situasi yang paling menakutkan. Lapina sendiri di pinggi
hutan, peluh membasahi seluruh tubuhnya. Dengan lolongan yang sangat
panjang ras sakit itu terpecah sudah. Seorang bayi laki-laki terlahir,
darah menyembur. Konon, drah yang mengalir dari rahim seorang ibu yang
melahirkan dapat menghilangkan tuah dari alat-alat berperang yang
tersimpan di honai adat. Sebab itu Lapina harus melahirkan seorang diri,
jauh dari silimo.
Liwa menyambut kedatangan Lapina dengan suka
cita. Lapina membaringkan bay kecil itu di dalam noken, menempel di
punggungnya. Wajah Lapina tak dapat menyembunyikan keletihan, ia
membiarkan Liwa menggendong bayinya yang kecil. Dengan sebuah hempasan
Lapina menghempaskan dirinya di lantai honai kemudian menyambar
gumpalan rumput kering untuk menampung darah yang masih mengalir dari
bagian tubuhnya yang paling rahasia. Senja turun dalam udara yang kian
dingin. Seorang kerabat perempuan telah menyalakan kayu bakar untuk
menghangatkan ruangan di dalam honai, Lapina tertidur melepaskan segala
keletihan dan saat-saat yang paling mendebarkan dalam hidupnya. Ia telah
menjadi seorang ibu.
Keesokan harinya Lapina terbanngun dengan
lunglai, ia seakan menyesali datangnya matahari. Seandainya malam tak
berakhir, maka ia akan dapat tertidur dan bermimpi selamanya. Kehidupan
dunia nyata terlalu menakutkan dan ia memerlukan tempat untuk
bersembunyi. Lapina memaksa dirinya bangkit ketika ia mendengar tangis
bayinya. Seperti halnya ibu-ibu yang lain ia harus menyusui, supaya
tan
ancaman.
Seketika Lapina merasakan kebencian semakin
menggumpal di dadanya, napasnya mendadak sesak dan memburu, matanya yang
sayu sekejab berkilat. Beban hidupnya nyata-nyata semakin bertambah. Ia
harus menikah dengan Kugara karena adat, babi-babi memang telah
dimiliki sebagai mas kawin, tetapi ia harus memberi makan babi-babi itu
setiap hari, juga laki-laki yang telah membayarnya dengan mas kawin itu.
Ketika ia semakin lemah, karena kehamilan dan melahirkan ia harus tetap
bekerja di kebun. Kini, ia harus menjaga pula anaknya, suatu hal yang
tidak mudah, dan kerja kebun harus tetap diteruskan. Lapina menghela
napas dengan satu tarikan berat, ia membuang pandang keluar pintu honai,
bibirya yang tebal bergetar. Wajahnya menjadi muram.
Liwa yang
kecil terus merekam kejadian demi kejadian di dalam benaknya dengan
perasaan janggal. Nalar kebocahannya menangkap adanya ketidakadilan itu,
meski ia tak sepenuhnya mengerti. Liwa teringat akan Aburah yang
meninggal dengan bayi di dalam kandungannya, karena ia harus bekerja
dan bekerja. Kini, Lapina pun harus terus bekerja dengan bayi kecil yang
baru dilahirkan. “Apa yang terjadi dengan kehidupan ini?” bocah itu
bertanya-tanya di dalam hati. Rasa sayangnya kepada Lapina kian
bertambah, ia tak mau kehilangan Lapina seperti ia pernah kehilangan
Aburah, gadis itu pun selalu membanttu Lapina menjaga bayi kecil.
Pagi
hari ketika Lapina pergi ke kebun dengan bayi terbaring di dalam noken
di belakang punggungnya, Liwa akan terus mengekornya. Sementara Lapina
bekerja di kebun, maka Liwa menjaga anaknya, sehingga bayi kecil itu
dapat tinggal dengan tenang, terbebas dari gangguan serangga liar. Liwa
selalu mendapati Lapina selesai bekerja di kebun dengan wajah yang
letih dan keringat bercucuran. Wanita itu tak dapat lagi berkata-kata,
ia seakan akan tengah menyimpan suatu rahasia. Liwa masih terlalai
kanak-kanak untuk dapat menjenguk isi hati Lapina, tapi hati kecil gadis
itu tak pernah berhenti bertanya, beginikah nasib seorang wanita?
Adakah suatu saat ia akan menglami hal yang sama?
0 Komentar