Oleh: Longginus Pekey
Doc. Majalah Selangkah, Longginus Pekey |
”Sangat menyakitkan hidup
bersama bangsa kolonialis, tetapi saya bersyukur dapat bersekolah dan mendapatkan
pendidikan dari kolonialis, saya semakin mengerti bahwa kaumku sedang ditindas
oleh kolonialis-imperialis, sehingga saya semakin mengertia untuk melawan kaum
kolonialis”[1]
A. Prolog
Perjuangan
menentang kolonial secara terorganisir telah digerakan oleh kelompok
terpelajar. Mengapa? Karena memang pengalaman di dunia menjadi potret sejarah
bahwa kesadaran selalu lahir sebagai proses pendidikan ( Latin: e-ducare).[2]
Melalui
pendidikan orang menjadi kritis memahami persoalan dan sadar akan ketidak
adilan, kekerasan langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh kaum
kolonialis – imperialis. [3]
Dengan
maksut agar tidak akan lahir kesadaran nasionalisme dikalangan penduduka asli
(terjajah), mereka (penduduk pribumi) diberi pendidikan yang memang tidak layak
secara prasarana maupun terutama melalui muatan kurikulum yang isinya muatan
politis hegemoni penjajaha/penguasa.
Hal
itu dimaksutkan supaya penduduk pribumi tidak cerdas, kritis dan supaya lebih
tunduk pada penjajah, pekerja sebagai kulih penjajah mengisi birorasi dan
perusahan-perusahan kolonial-imperialis.
Sama
juga seperti halnya, kebijakan pendidian Belanda maupun Indonesia dipraktekan
secara murni dan konsekuen agar univikasi dan asimilasi dapat terjadi bagi
orang Papua.
Kalau
kita boleh jadikan Belanda di Indonesia bagai pelajaran sejarah, maka disitu
akan tampaklah bahwa nasionalisme Indonesia (Jawa) pada masa politik etis telah
diawali kelompok terdidik.
Saat
ketika itu, walaupun praktek politik etik atau kesejateraan, dengan bersemboyan
demi penyatuan Indonesia-Belanda (univikasi) dan pembauran orang
Indonesia-Belanda menjadi warga negara Belanda (asimilasi).[4]
Seorang
Sejarawan Indonesia Moedjanto, (2003; 35) menuliskan mengenai politik etik
bahwa “Konseptor politik “etika” yang terkemuka, Snouck Hurgronje menghendaki
agar univikasi dan asimilasi dipraktekkan secara murni dan konsekuen.
“Mereka
yakin, dengan politik semacam itu Indonesia akan terikat dalam kesatuan
kerajaan Belanda secara wajar.”[5]
Bagaimana
dengan pendidikan kolonial-imperialis di Papua Barat? ataupun politik otonomi
ini, tentu saja sekolah dikelolah untuk kepentingan penjajah, namun rakyat Papua
Barat semakin menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang sedang terjajah
sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat, bahwa rakyat Papua Barat memiliki
identitas beda dengan bangsa lain.
Di
samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah
dasar perjuangan dan menyadari bentuk praktek meo kolonialisme Indonesia.
Dengan
begitu, kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas,
sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan)
menulis.
Semangat
juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri. Pendidikan
Belanda di Hindia Belanda dan Papua serta pendidikan Indonesia di Papua telah
melahirkan kesadaran nasional.
B. Pendidikan Kolonial
Belanda
Ketika
menjajah Papua Barat, Belanda tidak banyak berperan membangun pendidikan. Hal
ini lebih banyak dikerjakan Misi dan Zending yang melakukan pelayaan untuk
kristenisasi melalu karya-karya sosialnya gereja.
Pendidikan
moderen pun dikenalkan oleh kedua lembaga gereja di atas. Sedangkan pendidikan
modern ala pemerintah Belanda mulai dibangun di Papua Barat sejak tahun 1940an.
Sekitar
tahun 1942 waktu itu Jepang menguasai seantero Asia (cita-cita Asia Raya)
termasuk menduduki Indonesia.
Papua
Barat sebagai daerah yang dekat dengan kepulauan Pasifik menjadi daerah
stategis Jepang untuk melawan Sekutu. Sebagai bagian dari sekutu, tugas Belanda
adalah menghalau Jepang.
Ketika
itu, Belanda di Papua Barat kekuarangan personil untuk menghadapi Jepang dan
juga termasuk untuk menangani berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan.
Untuk
kepentingan dan kebutuhan itu, pada tahun 1944 Residen J.P. van Eechoud yang
waktu itu terkenal dengan julukan “vader der Papoea,s” (Bapak orang Papua)
mendirikan beberapa sekolah di Hollandia (Jayapura).
Selain
sekolah selain sekolha Pamong Praja di Hollandia ada juga sekolah pelayaran di
Hamadi, sekolah tehnik di Kotaraja Jayapura dan Abepura, sekolah Pamongpraja di
Yoka. Sekolah polisi di Base G, sekolah pertanian di Manokwari. Walaupun untuk
kepentingan Belanda, namun intinya Belanda berupaya melakukan Papuanisasi[6]
(menananmkan nasionalisme Papua).
Dalam
bulan Januari 1946, Pemerintah Belanda telah mendirikan sekolah Pamong Praja di
Kota Nicca (Kampung Harapan, sekarang). Jumblah siswa yang didik 400 orang antara
tahun 1944-1949.
Meskipun
sekolah-sekolah ini untuk kepentingan Belanda mengesploitasi Papua. Namun jutru
telah melahirkan elit-elit politik terdidik di Papua [7] yang bankita menentang
penjajah, menggantikan posisi dalam pemerintahan yang dipegang oleh orang
Belanda.
Mereka
siap mengisi jabatan-jabatan dan lowongan pekerjaan di Papua.[8] Pemerintah
Belanda mengirimkan sejumlah mahasiswa keluar negeri; antara lain ke negara
Belanda, Australia, dan negara-negara di Pasifik.
Mereka
dikirim dengan tujuan untuk memperoleh pendidikan tinggi dan kembali untuk
memimpin bangsanya. Salah satu mahasiswa yang dikirim keluar negeri (Negara
Belanda) dalam rangka Papuanisasi itu ialah Frits Kirihio.[9]
Pemerintah
Belanda yang memiliki sumbangan terhadap lahirnya nasionalisme Papua Barat
terutama pada masa Residen J.P. van Eechoud. ketika itu, karena ada
radikalisasi Indonesia, maka setiap orang yang pro-Indonesia ditahan atau di
penjarahkan dan dibuang keluar Papua.[10]
Tokoh-tokoh
nasionalisme Papua Barat saat itu antara lain adalah tokoh-tokoh yang duduk
dalam Dewan New Guinea Read, seperti Nicolas Jouwe, P. Torey, Markus Kaisepo,
Nicolas Tanggahma, Eliezer Jan Bonai dan ada yang belum disebut di sini.
Mereka
adalah kelompok nasionalis terpelajar Papua[11] yang turut memperjuangkan
kemerdekaan Papua Barat lepas dari cengkraman kolonial.
Selain
itu, Beberapa tokoh nasionalis Papua Barat yang telah mendapat pendidikan
Eechoud dan menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Marcus dan
Frans Kaisepo, Nicolaus Joue, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Mozes
Rumah inum, Baldus Mofu, Elieser Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Maten Iundey, Johan
Ariks, Heman Womsiwor dan Abdullah Arfan.[12]
Melalui
perantara mereka, rakyat Papua Barat menyampaikan berbagai pernyataan sikap
politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisepo (almarhum), bekas
gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan,
menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah
negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Johan
Ariks (alm.) tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan
secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Indonesia ke dalam Papua Barat
(Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Angganita
Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati
(alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij,
Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang
Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua,
Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.),
Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus
Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang
berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan
asing di Papua.
B. Pendidikan Kolonial
Indonesia
Pendidikan
sekolah banyak di buka Indonesia, namun pencerdasan rakyat tidak terjadi selama
tahun 1963 -1988.
Sekolah
yang di bangun pemerintah Indonesia di Papua Barat sebagai tempat melalukan
Indonesianisasi agar asimilasi dan akulturasi demi memperkuat Integrasi dapat
terjadi. Sementara saat itu kondisi Indonesia ribuan rakyatnya belum cerdas.
Di
Papua Barat lembaga pendidikan sekolah pemerintah Indonesia (Inpres), bukan
tempat menkecerdasan melainkan mencuci otak orang Papua Barat, berperan sebagai
lembaga untuk mensosialisasikan ideologi dan kebijakan penguasa.
Muatan
kurikulum mengarahkan kepada apa yang ingin dipasarkan oleh pihak penguasa,[13]
menjelaskan bahwa: ”Kita melihat Universitas Cendrawasih yang didirikan oleh
pemerintah RI pada tahun 1963 untuk mejujudkan agenda meng-Indonesia-kan Papua.
Pejabat
UNTEA di Papua, Rolls Bennet dan seorang pejabat lainnya yang diberi wewenang
membidangi pendidikan, pada awalnya keberatan karena kawatir jangan-jangan
pemerintah Indonesia memakai Universitas Cenderawasih untuk menghapus aspirasi
Papua Barat merdeka.”[14] Karena itu sekolah tidak melakukan proses
pencerdasan.
Isi
kurikulum dan corak pendidikan dasar disamakan dengan propinsi lain. Hal
seperti ini, sebagai bentuk hegemoni penjajah Indonesia. Pendidikan Indonesia
dii Papua Barat agar memperkuat integrasi. Pendidikan dasar dan tinggi yang
dikelolah untuk mengisi lowongan kerjaan dalam pemerintahan telah menjadi
tujuan utama.[15]
Ross
Garnaut dan Chris Manning bahwa Pendidikan di Papua Barat telah berkembang
dengan pesat di bawah pemerintahan Indonesia[16] Kedua intelektual itu
menggunakan data-data tertulis yang ada di Jakarta, mereka laporkan bahwa
disekolah-sekolah dasar pada tahun 1972 terdaftar 123. 700 murid, dua kali
lebih banyak dari pada tahun 1961.
Misi
dan zending memiliki lembaga pendidikan yang lebih baik, dibanding pemerintah
Indonesia di Papua Barat. Ini terbukti, meskipun banyak sekolah telah dibangun
pemerintah jakarta, namun sekolah-sekolah yang dikelolah misi lebih mononjol,
dan banyak muridnya dibandingkan dengan murid di sekolah negeri.
Seperti
tulis Ross Garnaut dan Chris Manning, bahwa: “walaupun sekolah dasar negeri
tumbuh dengan cepat, dalam tahun 1970 delapan puluh lima persen murid-murud
masi terdaftar di sekolah-sekolah misi. Angka ini dibandingkan dengan
propinsi-propinsi lainnya dimana kebanyakan murid sekolah dasar terdaftar di
sekolah-sekolah negeri.”[17]
Ketertarikan
masyarakat terhadap sekolah-sekolah Misi terkait erat dengan pendekatan Misi
disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Dengan begitu sangat dipercayai
masyarakat dibandingkan sekolah Pemerintah Indonesia. Lagi pula, Misi telah
lama dan sudah mempengaruhi pembangun peradaban masyarakat Papua Barat.
Selain
mutu dan kualitasnya lebih baik daripada pendidikan yang dikelolah pemerintah
Indonesia. Mutu dan kualitas tertinggal, karena sarana prasarananya tidak bagus
guru pun tidak disiapkan dengan baik. Tidak seperti pendidikan di daerah kota,
seperti di Jawa dan sebagainya.
Diskriminasii
seperti itu nampak dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. ”Walaupun jumblah
murud sekolah dasar di daerah pedalaman di kabupaten Jayawijaya bertambah
delapankali lipat diantanra tahun 1961 dan tahun 1969, jumblah murid Jayawijaya
hanya sepertiga angka rata-rata propinsi pada tahun-tahun belakangan ini. Dalam
tahun 1969, 6.400 dari 6.600 murid yang terdaftar di sekolah-sekolah di
Jayawijaya, adalah murid sekolah dasar.”[18]
Sekolah
Inpres yang dibangun pemerintah, tidak dilengkapi guru maupun fasilitas
belajar, sehingga sekolah-sekolah itu dibiarkan begitu saja sampai ditumbuhi
ilalang larena tidak ada guru, selain guru didikan Misi. Guru-guru pendatang
bertumpuk di kota-kota melalui sogokan kepada kepala dinas dan kepala
departemen setempat.[19]
Bagi
mereka, pendidikan yang sekarang di peroleh di sekolah dasar tidak
bermanfaat”[20] karena tidak mencerdaskan. Universitas Cenderawasih didirikan
dalam tahun 1963, sebelum secara sah Indonesia berintegrasi dengan Papua.
Setelah
Peperara 1969 sudah lebih dari lima puluh prosen mahasiswa telah masuk Fakultas
Hukum dan sebagian kecil belajar di Fakultas Pertanian atau Fakultas tehnik
pada tahun 1970. Universitas ini menghadapai banyak masalah seperti Universitas
lainnya di Indonesia ( terutama di daerah). Mutu pendidikan tidaklah tinggi,
kurang dana, buku-buku, perlengkapan dan fasilitas-fasilitas lain.[21]
Pendidikan
formal Indonesia belum diintegrasikan dengan cara hidup masyarakat di
desa-desa. Pendidikan sekolah menengah, kejuruan dan pendidikan tinggi, serta
usaha-usaha berbagai departemen dan organisasi-organisasi lainnya yang
bertujuan mempersiapkan tenaga trampil yang berguna dalam perekonomian modern
kurang terkoordinatif.
Dengan
begitu jelas bahwa usaha pemerintah untuk meningkakatkan kuantitas pendidikan
di Papua Barat tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. Ini dapat dilihat
misalnya dari kurangnya tenaga pendidikan, sehingga banyak siswa yang hanya
menempu sekolah dasar.
Sekolah
dikelolah untuk kepentingan menjalankan roda pemerintahan di Papua Barat, namun
karena rata-rata mayoritas masyarakat yang sekolah pada saat itu entah
disengaja atau tidak hanya mencapai sekolah dasar sehingga banyak dari mereka
hanya sebagai pekerja kasar.
Sekolah di Papau Barat bertujuan untuk melalukan Indonesianisasi dengan cara asimilasi dan akukturasi demi memperkuat Integrasi yang mengalami pendidikan pada jaman awal aneksasi.
Papua
mengemukakan mengenai pelaksanaan pendidikan Indonesia bahwa:“RI yang banyak
membuka sekolah di tanah Papua, tetapi sebagai alat untuk mengindonesiakan orang
Papua. Jadi tujuannya itu Indonesianisasi. Lihat saja banyak orang Papua yang
sedang mengangur setelah tamat dari ratusan sekolah yang dibuka oleh Indonesia.
Lembaga pendidikannya melimpah tetapi Papuanisasi nol. Karena sasaran
pendidikannya itu ialah Indonesianisasi tadi.”[22]
Anak-anak
Papua tidak bisa belajar dengan baik dan tenang, karena operasi-operasi militer
mengancam kebebasan dan telah mengorbankan ribuan orang Papua termasuk sisiwa
yang belajar.
Dalam
kondisi penindasan seperti itu lahirnya gerakan perlawanan menolak Indonesia di
Papua Barat. Benih-benih nasionalisme Papua Barat merembet dari para serdadu
didikan Belanda kepada mahasiswa Universitas Cenderawasih.
Dengan
begitu UNCEN menjadi salah satu tempat lahirnya pejuang dan tokoh-tokoh nasionalis
orang Papua Barat. seperti mahasiswa bernama Jakop Pray, dan juga seorang dosen
mudah Uncen Arnold Ap dan beberapa yang lain tidak disebutkan semua di sini.
Di
bawah pimpinan mereka berbagai aksi dilakukan untuk menentang NKRI. Juga
demonstrasi-demonstrasi yang sering dipicu oleh ulah para tentara dan birokrat
Indonesia, yang tanpa malu-malu mengangkut barang-barang mewah peninggalan
Belanda seperti kulkas dan mesin cuci listrik - ke tempat asal mereka.
Longginus
Pekey, Ketua Lembaga Pendidikan Papau (LPP)
Daftar
Pustaka :
[1]
Diary Pribadi,
[2] Educare Asal kata dari bahasa Latin artinya mengiring keluar.
[3] Jamil Salmi, Violence and Democratic Society, Yogyakarta: Pilar Media, 2005, hlm 32-33. Ia mengemukakan bahwa kekerasan langsung merupakan tindakan yang menyerang fisik atau fisikologis seseorang secara langsung. Yang termasuk dalam kategori kekerasan ini adalah semua bentuk pembunuhan individu atau kelompok, seperti pemusnaan etnis, kejahatan perang, pembunuhan masal dan juga semua bentuk tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik atau fisikologi seseorang (penusiran paksa terhadap suatu masyarakat, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan dan penganiayaan, perampokan dengan pemberatan) semua tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak benar yang menggangu hak-hak asasi manusia yang paling dasar, yakni hak untuk hidup.
Kekerasan
tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang
sampai ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara
korban dan pihak (orang, masyarakatatau intitusi) yang bertanggung jawab atas
tindakan kekerasan tersebut. Disini terdapat dua sub kategori yang bisa
dibedakan yakni kekerasan dengan pembiaraan dan kekerasan yang termediasi.
[4]
G. Moedjanto, Dari Pembentukan PAX NEDERNALNDICA sampai NEGARA KESATUAN
REPOBLIK INDONESIA. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma. 2003, hlm. 36.
[5]
Ibid. G. Moedjanto, 2003, hlm. 35.
[6]
Benny Giay, Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Seputar Emansipasi Orang
Papua, Jayapura Elsham Papua. 2000. hlm. 84-85.
[7]
Jopari. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. 1993, hal. 30.
[8]
Agus Alua, Papua Barat : Dari Pangkuan ke Pangkuan. Jayapura: Sekertariat Tim
100. 2000, hlm. 21. (Baca juga Giya, 2000: 85-86).
[9]
Jhon Djopari.Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. 1993, hlm. 48 (baca juga
Beny Giay, 2000: 86).
[10]
Jopari. Op.cit. 1993, hlm 30.
[11]
Syamsuddin Haris dkk. Indonesia di Ambang Perpecahan. Jakarta:Erlangga, hal.
185.
[12]
Jopari Op.cit, sumber asli dari Ernest, Urecht, Papoeas in Opstand, Uitgeverij
Ordeman, Roterdam, 1978, hlm 43-46.
[13]
Beny Guay (2001; 97).
[14]
Beny Giay. Op,cit. 2001, hlm. 97, (baca juga Poerbakawattja, R.S. 1977;. 20)
[15] Ross Garnaut dan Chiris Manning. Perubahan Sosial Ekonomi Irian. 1979, hlm 35.
[16]
Ibid. Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34. Dua ilmuan dan peneliti di
Papua Barat kurang lebih satu tahun dua bulan, mengenai pendidikan dan
meberikan komentar atas pelaksanaan pendidikan Indonesia di Papua Barat,
[17]
Ibid. Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34.
[18]
Ibid, Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34-35
[19]
Frits Ramandey,. 2005, hlm. 124
[20]
Ibid, Ross Garnaut dan Chiris Manning, 1979, hlm 35-36.
[21]
Ross Garnaut dan Chiris Manning, Op.cit. 1999, hlm. 40
[22]
Beny Giay. Op,cit. 2001, hlm 85
0 Komentar