Festival Perang-Perangan Biadab di Negeri Kaum Beradab


credit: kosapa

Oleh; Nico R. Lokobal
Pemulung Limbah Kearifan Lokal Pegunungan Tengah, Papua

Pengantar editor:
Tulisan ini dibuat untuk mengkritisi Festival Lembah Baliem yang diselenggarakan setiap tahun di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Tulisan telah diedit, dengan beberapa tambahan informasi yang semoga bisa membantu memahami konteks perang suku Hubula dan penyelenggaraan Festival Lembah Baliem.

Ledakan judul ini tidak sebanding dengan adegan-adegan yang dibujuk/dirangsang dengan hadiah menggiurkan untuk tampil mempesona. Namun bukannya daya pesona yang disajikan, melainkan adegan-adegan menjijikkan bahkan melampaui batas kewajaran dan tidak berperikemanusiaan. Seperti adegan pornografi seks di tanah lapang terbuka, ibu menyusui anak babi, [adegan] seolah-olah mencincang jenazah dengan peralatan besi, [adegan] mempermainkan yang dianggap sebagai jenazah, dan merampas paksa istri orang lain. Adegan-adegan ini merupakan sinopsis dari fakta nyata yang mestinya dilupakan oleh anak cucu, yakni hatigi-natigin, “saya telah membunuh kamu dan kamu pun telah membunuh saya.” Hal ini perlu dirawatkah? Belum lagi [adegan-adegan] uang menampilkan adegan kekerasan di depan anak-anak dan perempuan.

Jika hal-hal tersebut di atas yang justru diperankan oleh para pelaku kebudayan itu sendiri dianggap wajar maka bagi saya, ini adalah kebiadaban. Karena menurut kebudayaan Jayawijaya, pranata perang hatigi-natigin layak dan harus dihapus dari memori generasi orang Hubula dengan penampilannya sekarang yang lebih dari pranatanya yang telah tiada, dengan membawa nama-nama besar tokoh terdahulu yang saya indikasi mengandung pelecahan terhadap jasa dan kebesaran para mendiang. Jasad manusia adalah sakral, maka harus dikremasi/diperabukan, bukannya dicincang tanpa bentuk. Adegan itu memang pengaruh peradaban, namun ini adalah jelek.

Pranata perang di Lembah Agung terbagi atas sele wim (perang antar aliansi) dan uma wim (perang dalam satu konfederasi). Intern konfederasi dapat berdamai cepat melalui ritual rekonsiliasi dengan sejumlah kewajiban dari kedua belah pihak. Sedangkan perang antaraliansi membutuhkan proses dan kemauan perdamaian dari banyak pihak.

Jika menengok latar belakang adanya festival perang-perangan, dari laporan tertulis saudara almarhum Muridan S. Widjojo (LIPI), Damianus Wetapo, Henky Tebay, almarhum Yafet Yelemaken, dan Nico R. Lokobal, festival ini merupakan rekomendasi dari proses perdamaian di Hubula pada masa kepemimpinan mantan bupati J.B. Wenas. Atas inisiatif beberapa tokoh lokal seperti Bapak Damianus Wetapo, Yafet Yelemaken, Henky Tebay, Niko Huby, bersama tokoh-tokoh dari Kurima, Husage, Asso Lokobal, Uwelesi, Agamua, bekerjasama dengan LIPI, tim perdamaian melakukan perjalanan dari satu honai perang ke honai perang lain.

[Setelah operasi militer dan gejolak sosial pada tahun 1977, pecah perang antar aliansi dan konfederasi suku Hubula di Lembah Balim, di Pegunungan Tengah, Papua. Perang ini melibatkan aliansi dan konfederasi perang besar di seluruh lembah, seperti Wetipo-Heselo, Assolokobal, Siep, Husage, Mukoko, Welesi, Soba dan Pasema/Husage). Jumlah korban yang meninggal dari rentang tahun 1984 hingga 1989 mencapai 200 orang. Sejak tahun 1985, telah diinisiasi proses perdamaian yang melibatkan bupati Jayawijaya saat itu Albert Dien dan Kodim 1702 serta Polres 1702 Jayawijaya. Editor. Dari laporan “Perang Suku dan Pembangunan” yang disusun oleh Tim Perumus Perdamaian, Wamena, 1993]


Setelah melalui proses panjang selama tiga bulan, maka pada tanggal 14 Desember 1992 aliansi-aliansi perang tersebut sepakat untuk menggelar perdamaian di Hulim. Pada waktu itu, penulis berperan sebagai pemimpin doa rekonsiliasi sehingga masih membekas kuat di memori suasana seperti memasang tungku api bersama, saling berangkulan, memasang rokok dari tungku api yang satu dan sama. Tidak ada rekayasa dari siapa pun dan dari pihak manapun. Murni ketulusan masyarakat di bawah kepimpinan kepala suku “tanpa baret kuning, topi merah atau pun kopiah hitam.” Agama (baca: gereja) antusias mendukung karena misi perdamaian. TNI dan Polri iklas mendukung secara santun.

Rekomendasi proses perdamaian itu antara lain:
Pertama, mengumpulkan ap warek yang kini membusuk di Museum Wesak Aput.
Kedua, melakukan perang-perangan dengan merekayasa sinopsis (cerita perang) tanpa meniru adegan-adegan dari perang dan korban masa lalu. Tujuannya adalah untuk tetap menyalurkan secara positif serta berdaya guna semangat, gelora, strategi, dan teknik perang Hubula sambil “melupakan hatigi-natigin” di masa lalu.
Rekomendasi ketiga adalah masyarakat diajak untuk menyediakan beragam kerajinan tangan untuk dipasarkan pada saat festival. Instansi terkait seperti Dinas Pariwisata diwajibkan melibatkan berbagai pihak untuk merancang hal-hal lain yang diperlukan.

Namun kini seiring waktu, dalam ragam gaya kepemimpinan dari bupati ke bupati, terkesan kuat festival justru melecehkan kesejatian manusia Balim dalam kebudayaan Lembah Agung. Pranata perang bersifat sakral, diselenggarakan dalam dan melalui tahapan berbagai ritual, dari pembukaan hingga penutupan atau peneguhan. Esensi perang adalah keseimbangan hidup. Perang sendiri memiliki nilai-nilai religius, kesetaraan, kecerdasan/ketangkasan dalam mengatur strategi, perlindungan atas hak milik, dan lain sebagainya. Perang untuk menciptakan perdamaian di antara kelompok bersengketa pun ada, yakni dalam dan melalui kawin-mawin.

Judul artikel ini akan lebih santun dan layak jika diturunkan dengan topik “Festival Perang-Perangan yang lebih Beradab” dengan muatan kisah korban tokoh-tokoh inspiratif di Pegunungan Tengah, Papua, Kabupatan Jayawijaya.  Ada sejumlah kisah sadis yang mengubah secara total hidup masyarakat namun kemudian didamaikan dengan proses rekonsiliasi. Pihak-pihak yang berperang bertobat lalu membangun hidup baru. Dan setiap penampilan adegan dari sinopsis mengandung pesan-pesan untuk para penonton dan disertai dengan kesimpulan. Dan hal demikian harus melalui pedoman penuntun sederhana dari Dinas Pariwisata.

credit: kosapa

Festival perang-perangan yang digelar setiap tahun ini adalah rekomendasi dari proses Perdamaian di Hulim pada bulan Desember 1992, dengan tujuan untuk “tetap memelihara semangat dan gelora perang” dan mengalihkannya ke hal-hal positif. Lalu di bawah kepemimpinan bupati J.B. Wenas, dengan bekerjasama dengan LIPI,  pemerintah berkampanye untuk menarik wisatawan lokal, regional, nasional dan internasional. Masyarakat diarahkan untuk menyiapkan kerajinan tangan yang dijual sebagai cenderamata.

Namun hal ini tidak terjadi. Mungkinkah para inspirator asyik dengan pergelaran pelecehan manusia dengan menggunakan kebudayaan Jayawijaya? Ingat, manusia Pegunungan Tengah Papua di Jayawijaya bukanlah bangsa barbar. Perang di Jayawijaya tidak memusnahkan secara total pihak yang kalah. Kalau pun ada insiden di wilayah tertentu yang memotong jenazah, itu bukan karena suku kita adalah suku bangsa kanibal sehingga melakukan kanibalisme.

Belumlah terlambat untuk meramu secara lebih baik festival ini, demi harga diri manusia dan kebudayaan Jayawijaya. Jika kita mau, kita pasti bisa, sesuai dengan karakteristik kepemimpinan Bupati Wempi Wetipo dan Jhon R. Banua alias “lintas generasi Jayawijaya.” Para cerdik cendekia di berbagai level sudah siap. Namun bila lambat, jangan malu dicaci maki anak cucu negeri***

Posting Komentar

0 Komentar