Menyikapi Sejarah Sunyi Bangsa Papua, Bagian 1

Oleh Pendeta Dr. Benny Giay


Pengantar editor:
Tulisan ini merupakan pengantar untuk buku "Tanggapan Masyarakat terhadap Peristiwa Penculikan dan Pembunuhan Theys H. Eluay 10 Nopember 2001" (Jayapura: Penerbit Deiyai, 2003) yang dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan alasan "mengganggu ketertiban umum". Buku ini sendiri merupakan sebuah catatan sejarah korban atas pembunuhan pahlawan bangsa Papua, Theys H. Eluay. Editor hanya menyesuaikan sedikit bahasa tulisan ini agar lebih mudah dibaca sebagai artikel bebas. Tulisan ini akan terdiri dari dua seri. Seri kedua akan muncul satu minggu setelah tulisan ini terbit.


Arah dan spirit dari buku Sekitar Penculikan dan Pembunuhan Theys Eluay sama dengan keyakinan para penulis Kitab Suci Alkitab, yaitu untuk mengajak generasi muda agar tidak melupakan pengalaman masa lampaunya yang hidup di tengah-tengah bangsa Timur Tengah yang anti-Semitis yang memusuhi mereka. Pesan dan semangat generasi tua di balik kegiatan penulisan Kitab Suci ialah supaya generasi berikut “sadar akan diri dan masa lampaunya” pada saat menjalin hubungan dagang dan budaya dengan bangsa-bangsa lain. Karena itu, para penulis Kitab Suci ini mengutip Sabda Tuhan untuk mendasari pergumulannya. 

“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dengan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Dan haruslah engkau menuliskan pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu…
(Ulangan 6:7-9). 

Para penulis Kitab Suci itu bahkan mengingatkan bahwa sebelum memasuki tanah Kanaan (yang didiami berbagai suku bangsa lain), Allah telah bersabda,

“Maka apabila TUHAN, Allahmu, telah membawa engkau masuk ke negeri yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepadamu--kota-kota yang besar dan baik, yang tidak kaudirikan; rumah-rumah, penuh berisi berbagai-bagai barang baik, yang tidak kauisi; sumur-sumur yang tidak kaugali; kebun-kebun anggur dan kebun-kebun zaitun, yang tidak kautanami--dan apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan.”
(Ulangan 6:10-12)



Walter Benjamin

Walter Benjamin (1892-1940)
Ratusan tahun kemudian Walter Benjamin, seorang diaspora Yahudi dan filsuf berkebangsaan Jerman seperti bangkit mengangkat pemahaman yang sama: bahwa tugas kebudayaan manusia ialah membangun budaya, mengingat trauma penderitaan mereka yang menjadi korban dalam sejarah masa lampaunya. 

Walter Benjamin lahir di Berlin, Jerman pada tanggal 15 Juli 1892 dari keluarga kelas menengah Yahudi. Orang tuanya, Emil dan Paulina adalah pengusaha. Keluarganya beragama Yahudi yang tidak pernah mau dipengaruhi agama Kristen. Ia mendapat pendidikan elit di Sekolah Kaiser-Friedrich dan lulus dengan hasil yang memuaskan dalam bidang sastra –tetapi kurang dalam bidang matematika. 

Memasuki usia 14 tahun dan seterusnya, Benjamin berhadapan dengan berbagai organisasi kepemudaan di Jerman, mulai dari yang berhubungan dengan kepanduan, mendaki gunung hingga kelompok pemuda anti-Yahudi dan kelompok pemuda pro-NAZI. Benjamin terlibat dalam Gerakan Pemuda Berlin dan sering memberi kuliah di sana. Pada tahun 1912 saat berusia 20 tahun, Walter Benjamin mulai belajar filsafat di beberapa universitas, misalnya di Freiburg, Berlin dan Munchen (Munich). Benjamin juga belajar sosiologi dari sosiolog ternama Georg Simmel (1858-1915) dan filsafat fenomenologi di bawah Edmund Husserl (1859-1938). 

Walter Benjamin juga berlibat dalam perdebatan menyikapi sikap anti-Yahudi dan gerakan Zionisme yang berkembang di Jerman. Sebagian komunitas Yahudi bertekad untuk menjadi orang Yahudi yang lebih liberal dan mempertimbangkan berasimilasi dengan masyarakat Jerman yang Kristen. Sementara yang lainnya menolak. Walter Benjamin dalam hal ini berpendapat bahwa orang muda Jerman harus bebas memilih atau pun tidak memilih, bukan harus dipaksa untuk menentukan arah hidupnya. 

Ketika NAZI berkuasa di Jerman pada tahun 1933, Benjamin pindah ke Paris dan hidup di sana sampai tahun 1940. Ia sempat bergabung dengan pemikir kritis pada Institut Penelitian Sosial di Frankfurt. Tetapi ketika Perancis jatuh ke tangan NAZI, Benjamin mencoba melarikan diri ke Amerika Serikat lewat Spanyol. Ia kemudian bunuh diri pada tanggal 26 September 1940 dengan menelan morfin secara berlebihan karena diancam oleh pihak keamanan Spanyol bahwa ia akan diserahkan kepada penguasa NAZI hari berikutnya (lihat Caygill, Coles dan Klimoski 1998, Lechte 2001, Sindhunata 1994 dan 1999). 

Dengan latar belakang pengalaman sejarah demikian, yang menghadapi anti-Semitisme yang telah menyejarah (dalam budaya Jerman modern yang anti Yahudi) itu Walter Benjamin mengajukan beberapa pesan berikut yang amat relevan bagi bangsa Papua dalam menyikapi pengalaman penindasan oleh Indonesia. 


Kemajuan dan Masa Depan
Walter Benjamin mengkritik pandangan masyarakat modern bahwa kemajuan dan peradaban modern itu menjanjikan kebahagiaan masa depan. Ia justru pesimis terhadap kebudayaan modern yang memacu manusia untuk mengejar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penemuan-penemuan baru di segala bidang kehidupan manusia untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. 

Bagi Walter Benjamin, usaha menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi ini hanya mitos dan janji utopis masa depan, yang tidak seluruhnya benar. Menurutnya, obsesi terhadap kemajuan tidak saja merusak hubungan manusida dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, tetapi juga mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Lebih tragis lagi pengejaran terhadap kemajuan ini membawa kehancuran dan pemusnahan bagi pihak lain dan bagi kemanusiaan itu sendiri. “Tidak ada dokumen sejarah mengenai peradaban manusia yang tidak merupakan dokumen kebiadaban atau barbarisme.” Demikian kata Benjamin dalam Tesis-Tesis Filsafat Sejarah (1940).

Dari sisi sejarah, para penakluk dan penguasa atau yang menguasai teknologi membawa celaka atas kalangan yang dikuasai dan dikorbankan ‘atas nama kemajuan atau pembangunan’ dalam bentuk penjajahan, perbudakan, dan pengusiran yang melahirkan pengungsi dan perlawanan. Optimisme terhadap kemajuan kaum yang beruntung hanya mendorong mereka untuk bertepuk tangan dan pergi beristirahat, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Sehingga penderitaan dan kejahatan kemanusiaan yang mereka hasilkan dalam rangka memperoleh keuntungan dari penguasaan sumber-sumber produksi dan kekuasaan tidak pernah diusik oleh masyarakat korban. 

Contoh: Ideologi dan kebijakan pembangunan di Papua yang di atas kertas menjanjikan masa depan yang wah, tetapi dalam kenyataan di lapangan ia berubah wajah menjadi ideologi yang membenarkan perampasan tanah, pengusiran warga masyarakat, peternakan OPM dan GPK, pembunuhan, dan penghancuran identitas dan masa depan bangsa Papua. 


Pesan Penyelamatan Masa Lalu
Demi keadilan dan kedamaian, kata Walter Benjamin, tugas peradaban ialah menggumuli memoria passionis mereka yang ditindas dan diperbudak dan membangun budaya mengingat masa lalu mereka yang dikorbankan. Upaya untuk membangun tradisi mengingat masa lalu para korban penindasan atau perbudakan dan lain-lain merupakan upaya untuk menyelamatkan ‘masa lalu’ dan masa depan. 
Dengan upaya ‘penyelamatan masa lalu’ ini rasa ketidakadailan dan penderitaan yang tidak diselesaikan pada masa lampau dapat diselamatkan dengan membangun ingatan, merayakannya dan mempersoalkannya sekarang. 

Ini penting karena pertama, pengalaman penderitaan dan trauma yang tersimpan dalam ingatan masyarakat berpotensi merusak dan melemahkan kemampuan manusia untuk dapat melihat persoalannya dan masa depannya secara jernih dan menyeluruh. Sebaliknya, ia juga berfungsi sebagai pendorong bagi terwujudnya suatu masyarakat baru; dengan menghancurkan sekat-sekat yang dipasang untuk menyekat masyarakat korban, misalnya dengan jalan revolusi. 
Kedua, budaya mengingat dan mengingatkan ini perlu dibangun karena para penjahat dan petinggi negara dan penjajah serta rezim-rezim otoriter berhak diberi kesempatan lagi untuk mempertanggungjawabkan kejahatannya demi keadilan. 


Johann Baptist Metz


Johann Baptist Metz: Memoria Passionis dalam Perspektif Teologi dan Sejarah

Teolog Johann B. Metz mengambil alih tema memoria passionis ini dan membangun renungan iman Kristen melalui apa yang sering disebut teologi pasca-idealis (ed.). Johann Baptist Metz lahir di suatu kota kecil di Jerman, Auerbach pada tanggal 5 Agustus 1928, menjelang pemerintahan NAZI yang berkuasa sejak tahun 1933 sampai 1945. Pada usia 16 tahun, Metz direkrut sebagai kurir oleh pemerintah NAZI dan mengalami goncangan jiwa yang berat pada saat kembali ke kota kelahirannya, lantaran kawan sebayanya dibunuh. Ratapan dan tangisan tanpa kata yang tidak dapat didamaikan menghantui jalan hidupnya. Tempat dia lahir, kejadian-kejadian yang menyedihkan seperti pembunuhan terhadap golongan Yahudi yang jutaan jumlahnya, dan suasana kota itu menjelang kejadian-kejadian tragis di situ sangat berpengaruh dalam hidup dan pergumulan teologinya. 

Dengan latar belakang demikian, pemahaman tentang iman Kristen Metz selalu mengarah kepada penguatan ceritera-ceritera dan pengalaman korban orang-orang biasa dari pada pemikiran-pemikiran ahli-ahli teologi yang pintar (Metz 1999:3-5). Sehingga, renungan iman yang dikembangkan Metz menggumuli dan berupaya menunjukkan solidaritas terhadap identitas dan pergumulan mereka-mereka yang menderita lantaran penjajahan dan penindasan, mereka yang kalah dan mereka yang menjadi korban dalam sejarah di masa lalu. 

Teologi ini menggumuli sejarah sunyi mereka yang diperbudak dan dijajah, kaum minoritas yang sering tidak dihitung sebagai manusia, atau mereka yang oleh karena keganasan rezim-rezim yang brutal terpaksa harus mengungsi (Metz 1980:66); seperti Yesus Kristus sendiri yang pernah menjadi pengungsi dan dibesarkan sebagai anak pengungsi pada usia-usia pembentukannya. 

Beberapa renungan dari Metz yang bisa dipertunjukkan.
“Apabila saya memandang memoria passionis sebagai satu-satunya kategori universal mengenai kemanusiaan, saya tidak berpikir tentang suatu ingatan yang hanya menguatkan dan mendukung identitas kita (sebagai pihak yang menang dan beruntung, BG) tetapi sebaliknya ingatan yang mempertanyakan identitas kita yang telah terbangun dan dijaga ketat oleh kita yang maju dan menang. Ingatan ini adalah suatu ingatan yang berbahaya, ia melemahkan seseorang, ia membuka satu sisi kehidupan. Ia adalah peringatan yang tidak mau menjadikan penderitaan sebagai alasan untuk kita menjadi lebih agresif, tetapi merenungkan nasib mereka yang menderita pada masa lampau.” 
(Metz 1999:33-34)

“Di mana saja tradisi dan ingatan masa lalu diangkat secara serius, tradisi dan ingatan itu selalu amat berbahaya terhadap mereka yang memiliki tradisi dan ingatan itu, karena mereka menuntut pertobatan dan transformasi. Tepatnya atau kongkritnya, dalam lembaga Gereja perlu dibangun budaya anamnesik; melawan budaya lupa yang akan menciptakan Gereja yang ecclesia semper reformada.”
 (Metz (1999:37-38).

Metz menyatakan bahwa iman seharusnya ditafsirkan dalam kaitannya dengan rekoleksi atau ingatan. Dengan meminjam istilah [Herbert] Marcuse, Metz berkata bahwa ingatan ini harus kritis dan subversifsebagai oposisi terhadap status quo keadaan sekarang, untuk membebaskan masyarakat dari kesadaran diri dan kutukan satu dimensi yang dibangun oleh kelompok yang dominan. Sehingga, tradisi itu digunakan sebagai potensialitas yang kritis dan membebaskan (Fiero 1977: 178). 

Jelas masa lalu para korban kekerasan dan fasisme negara seperti ini yang sering diabaikan menjadi bagian dari perhatian teolog Johann Baptist Metz. Masa lalu atau lampau yang dibicarakan di sini tidak kosong, tetapi menurut Walter Benjamin, ini adalah masa lalu yang penuh penderitaan dan pengalaman-pengalaman penindasan. 



Tugas Sejarah dan Teologi di Papua Barat
Sudah menjadi kenyataan bahwa sejak Papua Barat diduduki, negara ini masih dipimpin oleh penguasa yang otoriter dan militeristik.  Tidak ada perubahan yang berarti dalam menyikapi aspirasi dan perbedaan-perbedaan pemahaman yang berkembang di masyarakat. Pada saat reformasi, terdengar suara-suara di dalam bidang sejarah di masa lampau agar “sejarah Indonesia diluruskan dan ditulis kembali.”  

Sejarah negara ini yang berlumuran darah lantaran ulah petinggi negara yang militeristis dan otoriter selalu disembunyikan. Ratapan mereka yang telah menjadi korban rezim Orde Baru dan rezim yang sedang berkuasa sekarang cenderung dilupakan. Penulisan sejarah hingga sekarang dilakukan untuk memenuhi selera mereka yang berkuasa. 

Sayangnya kita semua yang terkait dengan lembaga-lembaga Gereja, akademisi, atau pun pihak lain ikut dirangkul penguasa sehingga ikut mengembangkan dan mendukung budaya bisu dalam menyikapi suara mereka yang terkorbankan dan sejarah penderitaan rakyat. Akibatnya Gereja kehilangan peran profetisnya di masyarakat. 

Bagaimana akademisi? Setali tiga uang. Akademisi Papua Barat hanya berperan menjadi akademisi pembangunan Orde Baru yang tidak ada bedanya dengan para akademisi di Jakarta karena akademisi kita hanya tampil dan menyatakan kehadirannya pada saat pemilihan bupati atau calon gubernur. 

Dalam konteks itu, sering kali kita perlu belajar dari anggota masyarakat biasa yang lebih kritis terhadap penguasa yang sangat giat menyebarkan sejarah dari sudut pandangnya sebagai penakluk. Seperti sikap kritis seorang warga di Biak pada saat Amir Machmud berpidato di kota Biak mengenai tugas pemerintah melawan imperialisme, kolonialisme dan komunisme dengan berapi-api. Setelah selesai berpidato, seorang Biak setengah baya angkat suara dan berkomentar, “Bapa, sejak Indonesia datang ke Tanah Papua, kami senang bahwa pemerintah mengajar kami lewat pidato-pidato mengenai imperialism, kolonialisme, dan komunisme. Tetapi kami orang Papua terlebih senang dan lebih kagum terhadap ‘anggariisme’ yang diajarkan kepada kami oleh Indonesia, selain soal imperialism, kolonialisme dan komunisme tadi. Kami minta Bapa tolong supaya kami juga paham dan cepat melaksanakan ‘anggariisme’ ini.”

Anggar dalam bahasa Biak artinya menipu. Sehingga pada waktu mendengar tanggapan ini, pejabat pemerintah yang orang Biak semuanya malu. Semua tunduk dan tidak ada yang berani menjawab pada saat menteri Dalam Negeri bertanya, “Apa yang dia maksud dengan anggariisme?” Waktu pulang ke hotel, Bapak Mendagri yang mau tahu apa arti anggariisme bertanya lagi. Pejabat yang orang Biak itu, walaupun malu, terpaksa menjawab, “Anggar itu dalam bahasa kami itu menipu. “ Maksud penanya tadi ialah pejabat negara ini tukang tipu alias penipu-penipu kelas atas. Karena pidatonya bagus-bagus, tapi kelakuan di lapangan lain dari pidato indah berwibawa dan program-programnya yang dirumuskan di atas kertas secara rapi. 

Kembali kepada soal ‘penyelamatan masa lalu’, pertanyaannya ialah apa tugas kebudayaan dan Gereja ke depan? Menurut J.B. Metz, tugas teologi menghadapi masyarakat dengan sejarah sunyi demikian ialah: a) memandang memoria mereka yang terkorbankan tidak lagi sebagai hiasan atau pelengkap dari renungan teologi iman Kristen, tidak lagi sebagai pernyataan kekalahan dan sikap menarik diri dari realita; b) sebaliknya, sebagai suatu proyek Tuhan yang belum diselesaikan. Proyek apa? Proyek keadilan dan keselamatan terhadap identitas komunitas yang terancam yang belum diselesaikan. Gereja membangun solidaritas dengan mereka yang membawa ingatan penderitaan yang akan terus menghambat komunitas korban, baik dalam mengaktualisasikan dirinya maupun perjuangannya untuk menyelamatkan masa lalu dan merehabilitasi identitasnya dewasa ini dan seterusnya. 

Misi Gereja dan kebudayaan dalam konteks ini ialah penyelamatan sejarah masa lampau yang perlu dilakukan dengan membangun budaya mengingat dan merayakannya. Ini berarti berhadapan dengan mereka atau penguasa yang menang dan beruntung, dan para penakluk yang mempropagandakan sejarah kemenangan dan keberhasilannya dan menyebabkan masyarakat korban membangun budaya ‘bisu’. 

Apa pun resikonya, misi kebudayan dan Gereja dalam suasana ini menurut Romo Sindhunata ialah “membuat warganya tidak lupa akan sejarah. Karena masyarakat yang lupa akan masa lampaunya akan terus kehilangan arah dan orientasi diri dan identitasnya. Kebudayaan itu akan hancur apabila masyarakatnya lupa dan tertutup terhadap masa lalunya, terlebih terhadap penderitaan masa lalu”(Sindhunata 2001). Berlanjut di seri kedua.***

Posting Komentar

0 Komentar