Angkringan dan Kisah


Oleh : Manfred Kudiai


Foto : Dok. Pace Ko'Sapa
Siang ini hujan turun lagi. Tidak seperti hari-hari di minggu ini yang tanpa titik-titiknya. Aku berteduh di angkringan di pinggir jalan raya. Menyenangkan. Hujan dengan titik-titiknya yang turun deras itu di lain sisi membuat susana di luar terlihat damai, menenteramkan. Hujan kali ini turun sangat deras. Jalan yang tadinya ramai dilintasi kendaran seketika berkurang. Ramainya kini berpindah ke pinggiran toko-toko dan ruko-ruko milik pengusaha di pinggir jalan. Ada yang berpasangan, ada pula yang menyendiri sambil menanti berhentinya hujan. Jalanan banjir lagi. Sebenarnya tidak banjir karena air  pun jarang-jarang, tetapi cukup untuk menutupi jalan. Entahlah, tapi semua pemandangan ini membuatku tenang. Aku mulai menguap lagi. Dingin seketika merayap naikdari ujung jari tangan dan kaki, mengalir ke telapak tangan, melalui pergelangan, menerobos siku, bahu, kemudian ke hatiku.

Tengorokan kering.  Ternyata aku haus. Sekian lama aku telah membekukan seluruh perasaan. Telah kubiarkan detak dunia di depanku ini membawa lalu membuaiku asyik  di alam hayalan.

***
Setiap pulang kampus, Aku selalu datang ke angkringan ini.

Sudah menjadi ritual setiap hari aku ke kampus.  Mas penjaga angkringan, yang sering disapa Aaa itu, sudah kenal baik denganku. “Pace-pace sudah jarang sekali kau minum Es Teh, akhir-akhir ini kamu suka minum kopi Hitam,” begitu komentarnya saat dia melihatku memasuki angkringan.

Sudah lama saya di angkringan.  Menyentuh layar Handphone, membuka file PDF sebuah novel,  September. Tempat ini benar-benar berarti bagiku. Menyimpan kenangan.

“Pace, Nnggak  mesan minum ?”  Aaa menegurku.

“Kopi Hitam satu. Yang panas, Aaa.  Dingin jadi...”
Kutunggu Aaa bikin kopi sambil nikmati September tadi.

***

Salah satu dari  orang-oarang yang berdiri di sepanjang jalan itu, sambil membawa payung, melangkah menuju tempat dimana aku tinggal. Dia tidak kukenal, lurus menuju angkringan. Semakin dekat, dekat.... dan ternyata,  ... dia temanku. Namanya Roy. Teman kampus. Roy datang dari Timor Leste.

Roy masuk ke angkringan lalu duduk sampingku.Berbincang denganu dengan nada timor yang bagi orang Jawa mungkin terdengar kasar. Orang-orang Jawa yang tadi duduk di angkringan itu, mengabaikan hujan,  menatap kami lama-lama, lalu pergi satu per satu meninggalkan kami.

***
Biasalah! Di Jogja, orang-orang dari bagian timur selalu ditakuti. Dalam batok kepala mereka, sudah tertanam streotype, orang timur kasar, pemabuk, tukang buat onar, dan kasar.

“Aaaa, bikin satu lagi kopi buat kawaku.”

Aaaa langsung bikinkan kopi untuk kawan Roy.

“Aaaa, maaf, ingin tanya,” kataku akhirnya.

“Santai saja Pace. Tanya apa?”

“Aaaa, menurutmu, kami orang Timur itu terlihat kasar kah?”

“Ah, nggak gitu juga kok, orang Papua itu baik-baik, suka humor, bercanda. Soal Miras itu kembali kepada setip individu masing-masing. Orang-orang disini juga suka Miras kok.” Aaaa menjelaskan sambil tangannya cekatan bikin kopi.

“Biasanya itu, satu orang timur buat salah, selalu saja semua Orang Timur pada umumnya jadi ikutan nanggung. Sering yang disebut itu anak Papua. Orang sini susah bedakan itu orang Ambon,  Maluku, NTT atau Papua, tapi yang aku sering dengar itu Orang Papua, walau bukan orang Papua yang lakukan,” lanjut Aaa.

Di luar, hujan yang tadinya gerimis itu  mulai berubah lagi menjadi hujan deras. Hujan kali ini benar-benar lebat. Angkingan tempat yang kami tempati ikutan kebanjiran.  Hujan lebih besar dari yang awal.

***

Roy masih disini. Sekarang hanya kami berita, tapi Aaaa telah tertidur di atas kursinya.

“Adakah semangat nasionalisme orang Papua untuk keluar dari segala intimidasi NKRI itu, masih?” Roy bertanya padaku tiba-tiba. Sebuah pertanyaan yang tidak kuduga.

Aku jadi serba keliru hendak apa yang akan kukatakan. Aku terpaku menatap lantai, duduk diam untuk beberapa waktu. Aku bingung hendak menjelaskannya bagimana, sementara  Roy duduk menatapku, sabar dalam penantian akan jawaban dariku. 

Kira-kira sikap itulah yang bisah saya tunjukkan pada dia ketika pertanyaan itu terlontar.
Selain kesulitan dalam menjawab pertanyaan, sejujurnya, secara pribadi,ada sedikit rasa yang aneh melingkupi tubuhku, membuat aku kehilangan kata-kata di hadapan Roy yang juga pernah berjuang dan merdeka dari kungkungan penjajahan Indonesia. Mereka Bangsa Timor Leste juga turut prihatin dengan perjuangan panjang yang makan puluhan tahun bangsa Papua untuk lepas dari jajahan NKRI.  Menurutku, pertanyaan itu secara terselubung mengandung nada ejek, mengandung pertanyaan, “Kapan Bangsa Papuamu itu akan merdeka seperti bangsaku Timor Leste?”  secara tersirat.

Kujawab pertanyaannya. Lalu kami diskusi.

Sungguh, sebuah diskusi yanghidup. Banyak hal yang kami bicarakan.

“Mengenai perjuangan Papua yang sedang diperjuangkan ini, saya kuatir akan hilang. Kenapa hilang?  Yah, hilang karena  ditelan masa dan waktu.  Kalau orang Papua hidup terus-menerus seperti ini tanpa menyadari kalau sedang diarahkan oleh NKRI dan kapitalisme global dalam jurang pemusnahan etnis demi motivasi ekonominya.” Roy membantu menyakinkanku.

Aku menelan ludah. Pahit rasanya.

“Semangat nasionalisme orang Papua dalam memperjuangkan kemerdekaannya begitu kelihatan rapuh,” nilai Roy.

“Ada dua hal tidak baik dalam perjuangan yang saya nilai.”

Kudengarkan.

“Pertama, sudah termakan bahkan tertelan dengan sistem yang ditanamkan NKRI di tanah Papua, padahal mereka kalian perangi karena sadar kalau merekalah yang menjajah. Kedua, orang Papua sepertinya sedang rame-ramemengejar jabatan, karir, pangkat, dan lainnya dalam sistem pemerintahan.”

“Orang Papua diikat sistem penjajahan. Menjadi sekrup yang menguatkan sistem penjajahan. Kalian tak akan mampu leluasa bergerak, berjuang!”

Tatapan mata yang membahayakan kini terarah kepadaku. Dia serius tampaknya. 

“Mengapa bisah demikian? Menurut saya, karena pada umumnya dalam pikiran orang Papuayang ada adalah setelah wisuda, saya akan tes PNS (pegawai negeri spil) agar bisa mendapatkan gaji untuk menghidupi keluarga, lalu Aku juga akan mencoba tes Anggota DPR. Kalau sudah tembus, kumpulkan uang sebanyak-banyaknya  untuk maju mencalonkan diri menjadi wakil bupati atau bupati,”  kataku mencoba meladeni dominasi bicaranya.

“Yah ...kalau Cara ini (momotong pembicaraan saya) akan berlaku dari generasi-generasi. Dan tanpa disadari secara tidak langsung orang Papua sendirilah yang menyerahkan diri untuk disiksa dan dibunuh.  Singkatnya, tak ada kemauan dari yang terpelajar untuk bebas 100%. Padahal yang saya dengar dari berapaorang Papua katanya ingin keluar dan bebas atau merdeka dari segala bentuk kejahatan,” lanjut Roy sambil senyum kecut.

“ Kalau sudah seperti itu, bisa dibilang bahwa NKRI berhasil mencapai tujuan mereka yang jauh sebelumnya,” nada biacara Roy meninggi.

Secara manusiawi, saran dan kritik pada titik tertentu kadang sulit diterima, karena kadang yang memberi saran terlihat menggurui dan sok tahu. Itu biasa. Dan aku merasakannya hari ini.

***

Hujan Berhenti. Kami pun berpisah.

Memahami kata-katanya, seakan-akan mendalami energi besar. Pertemuan kami tidak biasa-biasa. Ia tidak sekedar duduk di angkringan. Di dalam semua bicaranya, ia menumbuhkan harapan akan kemerdekaan. Bila semua bangsa punya hak untuk merdeka, punya hak, derajat, akal budi dan ciri-ciri pembentuk unsur manusia yang sama, selama itu pula bangsa Papua bisa seperti Timor Leste, maksudku, dapat bebas dan merdeka dari segala bentuk dan dinamika penjajahan. []


Posting Komentar

0 Komentar