3. Orang Asli Papua: Mereka yang Memikul Salib Bersama
Tetapi
ada juga “orang asli Papua” kategori kedua. Mereka adalah kelompok yang
selain (a)
menyelami sejarah “orang asli Papua” dalam kategori di atas
dan (b) menjadikan impian Papua menjadi impiannya lalu memikul salib
bersama mereka dari awal hingga akhir. (c) Tetapi yang juga sering
menantang warga Papua untuk berpikir kritis dan tidak emosional dalam
perjuangan. Mereka inilah yang saya kira harus diterima secara adat
untuk menjadi warga Papua asli. Saya kira “orang asli Papua” dalam
kategori ini amat banyak. Mereka tersebar di Indonesia dan di seluruh
dunia. Saya hanya sebutkan beberapa “orang asli Papua” dalam kategori di
sini yang mewakili orang asli Papua kategori ini.
![]() |
Foto; www.antaranews.com |
3.a. George Junus Aditjondro Dan Pembentukan LSM Pertama di Papua
George
Junus Aditjondro yang terlahir di Pekalongan pada tanggal 27 Mei 1946
di Pekalongan dari ayah seorang Jawa dan ibu seorang Belanda. Sejak
kecil George berpindah-pindah dari kota ke kota di Indonesia. Ayahnya
belajar studi Hukum di Negeri Belanda selama 9 tahun, sambil menjadi
aktivis politik perjuangan kemerdekaan Indonesia di Belanda, sampai
pernah menjadi Sekretaris dari Mohammad Hatta yang kemudian menjadi
Wakil Presiden RI yang pertama.
Melewatkan
masa kecilnya di Belanda, George yang kembali dari Belanda bersama
orang tuanya mengikuti pendidikan di SD di beberapa kota, ayahnya yang
bertugas. Selesai pendidikan SLTa ia memilih bidang Teknologi di
Surabaya dan Salatiga di Jawa Tengah, tetapi tidak sampai menyelesaikan
pendidikannya dalam bidang itu di sana. Ia memilih bidang Sosial Kemasyarakatan[15].
Ia kemudian bekerja sebagai wartawan Berita Mingguan Tempo
dalam tahun 1970an dan kemudian merintis pendirian LSM pertama (YPMD)
di Papua dalam bulan Desember 1980 dan sejak itu bekerja tanpa mengenal
lelah mengangkat suara “orang asli Papua” di tingkat Nasional.
Tagal kerja tsb, beberapa kali ia diteror baik saat bekerja di Papua
maupun di luar Papua. Ia menerbitkan buku: Cahaya Bintang Kejora[16].
Karya dan dedikasinya menujukkan bahwa ia menyelami dan berjuang
bersama bangsa Papua (dari awal sampai akhir) mewujudkan idealisme dan
impian Papua untuk menjadi dirinya sendiri.
3.b. Carmel Budiardjo dan Tapol Inggris
Orang
asli Papua yang lain dalam kategori ini ialah Carmel Budiardjo. Siapa
dia dan mengapa dia masuk kategori “orang asli Papua”? Carmel Budiardjo,
seorang Inggris yang mendapat gelar dalam bidang ekonomi dari London
University tahun 1946 dan pergi ke Indonesia tahun 1951, setelah
menikahi seorang pejabat pemerintah Indonesia. Di Indonesia Carmel
bekerja di Deplu Republik Indonesia sampai tahun 1965. Tahun tersebut
suaminya ditahan dan dipenjarakan saat Soeharto mengkudeta Soekarno
pada tahun 1965. Ia melewatkan 12 tahun hidupnya di penjara tanpa
melalui proses hokum. Carmel sendiri ditahan dan dipenjarakan selama 3
tahun tanpa proses hokum sebelum diperintahkan meninggalkan Indonesia
pada tahun 1971. Dua tahun kemudian, setelah tiba di London, tepatnya
tahun 1973 dengan dukungan dari beberapa aktivis lainnya Carmel
Budiardjo mendirikan TAPOL sebuah organisasi untuk mengkampanyekan
pelanggaran HAM di Indonesia.
Sampai saat ini, ia sudah menjalankan
tugasnya selama 35 lebih tahun dengan setia melalui lobi, aksi protes
dan menerbitkan bulletin berkala (dwi bulanan) tanpa henti-hentinya
sejak tahun 1973. Tujuan dari kampanye dan bulletin ini ialah pembebasan
ratusan ribu orang tapol yang ditahan tanpa proses hokum yang dituduh
sebagai pendukung komunis sejak tahun 1965. Tetapi cakupan kampanye
diperluas dengan pembelaan terhadap mahasiswa Indonesia yang ditahan dan
dipenjarakan tanpa proses hokum sejak tahun 1974 sampai 1978.
Di Papua
nama Carmel dikenal karena perjuangannya mengangkat suara orang Papua di
Eropa, tanpa henti-hentinya. Ia dan Tapol lah yang memulai menyuarakan
pembunuhan masal di Biak pada awal tahun 1970an. Pada tahun 1983 Tapol
menerbitkan sebuah buku: West Papua: The Obliteration of a people (1983) bersama-sama dengan Buku dari Robin Osborne: Indonesia’s Secret War (1985) Buku West Papua: The Obliteration of a people
dalam tahun 1983 dst berperan sebagai pembuka mata bagi dunia barat
sehingga bisa melihat kejahatan pemerintah Indonesia di Papua. Dampak
buku ini terlihat dengan dukungan masyarakat internasional dalam tahun
1980an untuk kampanye menekan pemerintah Indonesia mengirim ratusan ribu
transmigrasi ke Papua Barat. Perjuangan terakhir Carmel yang tidak
mengenal lelah ialah menyurati Deplu Inggris untuk menekan pemerintah
Indonesia mengadakan penyelidikan yang professional terhadap kasus
pembunuhan terhadap Kelly Kwalik pertengahan Desember 2009 tahun lalu,
dan terror terhadap keluarga serta bangsa AMungme. Atas jasanya yang
konsisten terhadap perjuangan bangsa Papua menegakkan HAMnya di tanah
ini, tahun 2009 lalu Carmel Budiardjo menerima penghargaan: John
Rumbiak Human Right Award dari jaringan pendukung HAM Papua di Amerika Serikat. Carmel Budardjo ialah seorang asli Papua.
3.c. Pdt. Don Richardson Penyiar Injil yang Dalam Tahun 1977 Meramalkan Pemusnahan Etnis Papua
Pdt.
Don Richardson salah satu orang asli Papua dalam kategori ini. Ialah
salah seorang utusan injil pertama yang setelah menyaksikan ribuan warga
Lani yang korban/terbunuh saat penyerangan dari ABRI mulai bulan April
1977, ia
memberi peringatan kepada semua pihak bahwa bangsa Papua bisa punah
apabila kekerasan Negara dalam skala ini terjadi, ditambah dengan
kehadiran pendatang dari luar dalam jumlah yang besar, tanpa pemeriksaan
kesehatan di pihak pendatang, maka proses pemusnahan Papua akan
berlangsung lebih cepat dari pada yang terjadi di daeah lain di dunia.
Siapa Don Richardson?
Ia
memberi peringatan tersebut melalui sebuah makalah yang ia sampaikan
dalam seminar yang diseleggarakan oleh KNPI Kabupaten Jayawijaya dalam
tahun tahun 1977. Don Richardson dan keluarga datang ke Papua tahun 1962
sebagai utusan injil di antara suku bangsa Sawi, Pantai Selatan
Provinsi Papua. Ia memberitakan Injil di sana selama 16 tahun. Tahun
1977 setelah menyampaikan ceramah tadi, ia dan keluarganya kembali ke
Amerika. Sambil menjadi pendeta keliling ia juga mengajar di Pusat
Penyiaran Injil Amerika Serikat (US Center for World Mission). Ia
mengepalai Program Studi-Studi Kebudayaan Masyarakat Suku. Ia
menerbitkan banyak buku tentang pekabaran Injil di antara masyarakat
suku. Salah satunya ialah: Anak Perdamaian sebagai terjemahan dari Peace Child,
yang telah lama beredar di Indonesia dan sempat difilmkan.
Ia memperingatkan bahwa Papua akan mengalami nasib serupa
dengan suku bangsa lainnya yang sedang menuju kepunahan apabila tidak
ada usaha yang serius dari pemerintah untuk melindungi Papua. Selain
dari kekerasan Negara 1977 yang menewaskan ribuan warga, ia juga
mengatakan bahwa pembangunan yang dijalankan oleh Indonesia di Papua
bisa membawa banyak penyakit yang bisa mempercepat proses pemusnahan
etnis Papua. Pertama, karena dengan pembangunan pasti migrant/pendatang
akan bertambah dan mereka akan menyebarkan penyakit-penyakit yang
biasanya diderita oleh orang-orang kota yang sudah maju. Kedua,
pembangunan juga menciptakan ketidak-seimbangan ekologis/lingkungan yang
dalam masyarakat suku terpelihara baik. Ketiga, tujuan pembangunan yang
tidak tercapai (misalnya: pengangguran, yang menyebabkan perkumuhan)
akan memawa dampak langsung: mengganggu system social ekonomi
masyarakat suku. Don Richardson seorang asli Papua. Ia telah merasakan
kegusaran orang asli Papua jauh sebelumnya.
3.d. Pdt. S. Titihalawa Ssi Theo, Msi
Orang
asli Papua yang ke 4 dari kategori ini ialah Ny. Pdt. Selvi Titihawala,
(selanjutnya Ibu Titi) yang dewasa ini menjabat sebagai pendeta jemaat
GKI Sion, Dok 8, Jayapura, yang sejak Maret 2010 aktif dalam Fordem
(Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu[17])
yang mendesak pemerintah untuk mengakomodir SK No. 14 dan agenda-agenda
lain yang berpihak kepada kepentingan dan kesejahteraan orang asli
Papua dalam kategori pertama tadi. Tidak sedikit kerikil yang ia alami
saat bergabung bersama Fordem. Pendeta orang asli Papua (yang dalam
makalah ini dimasukkan sebagai “bukan” orang asli Papua, lihat butir 4
berikut) pada awal Mei 2010 yang berkali-kali menteror Ibu Titi, dan
keluarga pertelpon pada malam hari dan menekan ibu ini untuk mundur dari
terlibat dalam kegiatan Fordem yang dianggap mengancam kenyaman mereka. Sementara pihak lain mewanti-wanti Rika Korain Bleskadit, penggerak
Fordem agar berhati-hati terhadap langkah dan sepak terjang Ibu Titi.
Karena katanya, mungkin dia punya proyek memulai kerusuhan Ambon di
Tanah Papua. Sedikit catatan tantangan yang dihadapi Ibu Titi yang
terdorong karena keyakinannya bahwa, “para pendeta dan Gereja Papua
tidak boleh menutup diri, ia harus angkat bicara menyuarakan penderitaan
orang asli Papua” karena kalau mereka (orang asli Papua dalam kategori
pertama tadi) bersuara “mereka akan dengan mudah dicap separatis” pada
hal mereka hanya meminta hak mereka dan meminta “keadilan”.
Siapa dia
Ibu Titi dan apa yang mendasari perjuangannya? Ibu
Titi lahir di Sorong tanggal 18 Desember 1951 dari orang tua yang
bekerja di NNGPM di Sorong. Sekolah Dasar diselesaikan di SD YPPK di
Sorong dan SMP Negeri Sorong. Pendidikan lanjutan atas diselesaikan di
SPG YPK Sorong. Ketika selesai pendidikan Guru, Lantaran Ibu Titi dan 4
orang lainnya pelajar ikatan dinas, dalam bulan Februari 1972, dikirim
ke Jayapura melanjutkan kuliah di Uncen. Pihak Uncen disurati. Setibanya
di pelabuhan Jayapura mereka bukan diantar ke Uncen sesuai permintaan
tetapi ke STT IS Kijne. Sopir setelah menyadari kesalahannya bermaksud
untuk mengantarnya ke Uncen. Tetapi Ibu Titi angkat bicara: “stop. Biar
sudah kami di sini saja”, dengan suara itu, mereka berlima mendaftar di
STT IS Kijne.
Pihak orang tua, Uncen dan SPG YPK Sorong baru
mengetahuinya 3 bulan setelah kuliah di sana. Di STT itu Titi bergabung
dengan Herman Awom, Mawene, dan 5 orang lainnya. Tahun 1975, Titi
menyelesaikan pendidikannya di STT dan menjadi vikaris di jemaat
Ebenezer Jemaat GKI Sanggeng, Manokwari sejak Januari sampai Mei 1975.
Pada tanggal 14 Desember 1975 Titi diteguhkan menjadi pengerja GKI dalam
suatu ibadah di jemaat GKI Shalom Pasir II Base G Jayapura; dan
selanjutnya ditempatkan di Jemaat GKI Shalom Klademak Sorong. Titi
berkarya di sana sebagai pelayan jemaat dari tahun Januari 1976 sampai
1978. Empat tahun berikutnya (Januari 1979 sampai September 1982) Titi
ditempatkan di Jemaat GKI Marantha, Biak dan bersama umat menggumuli
persoalan jemaat di sana. Dan dari Oktober 1982 sampai tahun 1999
diangkat Ketua Majelis jemaat GKI Eden, Base G Jayapura.
Sudah beberapa
kali Titi menyampaikan niatnya untuk pindah tetapi jemaat menolak. Dari
tahun 1999 sampai tahun 2007, diangkat menjadi Ketua Majelis Jemaat GKI
Harapan Abepura. Sejak pertengahan 2007 hingga 2011 menjadi Ketua
Majelis Jemaat GKI Sion Dok 8 Jayapura. Riwayat kerja demikian yang
menggumuli persoalan umat di akar rumput berpengaruh terhadap cara
bagaimana pendeta ini melihat persoalan tugas bagaimana menggumuli
persoalan umat yang kebanyakan warga bangsa Papua. Inilah yang
menggerakan Ibu Titi terlibat dalam Fordem. Saat ditanya apa yang
mendorong Ibu Titi terlibat dan bersuara kritis terhadap kenyataan
social hidup orang Papua, ia menjelaskan.
(a) Saya seorang pendeta jemaat yang bekerja dengan hati nurani. Saya tidak
suka melihat ketidak-adilan. Sehingga terganggu saat banyak warga
diperlakukan secara tidak adil dan janji-janji yang diberikan tidak
dipenuhi. Saya melihat banyak janji yang diberikan pemerintah dan
pejabat yang tidak dipenuhi. Saat umat memprotes ketidak-adilan dan
janji-janji yang tidak digenapi, mereka bisa dengan mudah dituduh
separatis. Sehingga lebih baik saya sebagai pendeta yang bersuara
menyuarakan keresahan mereka. Supaya jangan umat terus-menerus dituduh
separatis dan supaya dana Otsus yang banyak lain bisa dipakai untuk
mensejahterakan umat.
(b)
Di dalam Gereja kita memberi pembinaan dan pelayanan rohani secara baik
dan terencana pada hari minggu dan hari-hari tertentu dari saat ke
saat. Tetapi system dan kenyataan hidup di luar tidak mendukung. Sistem
yang menindas dan tidak adil kalau tidak meliliti umat kita dari Senin
sampai hari Sabtu. Sehingga kehidupan moral dan spiritual juga ikut
pecah kiri kanan. Saya terlibat dalam beberapa aksi untuk menyikapi
system yang munafik dan tidak berpihak kepada Papua tadi.
(c)
Saya juga terlibat dalam aksi demikian juga untuk memperluas wawasan
pendeta dan pelayan yang terlalu memfokuskan diri pada masalah-masalah
internal Gereja.Agar Gereja bisa melihat ke luar, ke system yang memeras
dan tidak adil.
Ini
orang asli Papua kategori yang kedua. Setelah menjawab pertanyaan
“siapa orang asli Papua”, kita juga harus bisa menjawab pertanyaan
:siapa yang bukan orang asli Papua. Tetapi sebelum itu, kita perlu
mengambil contoh “orang pribumi Indonesia” dari sejarah Indonesia
sebagai bahan perbandingan terhadap “orang asli Papua” kategori kedua
ini.
3. Poncke Prinsen Dalam Sejarah Indonesia: Orang Pribumi Jawa”
“Orang
asli Papua” dalam kategori kedua barangkali tidak begitu jelas.
Sehingga untuk memperjelas, bagian ini mengangkat pengalaman hidup
Poncke Princen yang orang Belanda tetapi saya memandangnya sebagai
“orang pribumi Indonesia”. Siapakah Poncke Princen? 1925 -2002. Nama
lengkapnya, Johan Cornelis Princen lahir 21 November 1925, di Den Haag,
Belanda. Ia pemeluk agama katolik. Tidak heran kalau saat remaja ia
masuk Seminari Katolik untuk menjadi imam. Saat mengikuti pendidikan di
Seminari tsb tahun 1940, ia terlibat dan aksi pembebasan negerinya yang
diduduki Jerman. Tahun 1943 ia ditangkap tentara Jerman dan ditahan
dalam penjara. Tahun 1945 setelah kekalahan Jerman ia bekerja di Biro
Keamanan Nasional Belanda, sambil memtai-matai warga Indonesia di
Belanda yang terlibat dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Dalam bulan
Maret 1946 ia direkrut untuk menjadi anggota KNIL (Angkatan Darat
Kerajaan Belanda) dikirim ke Indonesia untuk merebut kembali Indonesia.
Ia melarikan diri ke Perancis karena tidak mau perang, tetapi karena
mamanya sakit keras sehingga ia kembali ke negeri Belada. Tetapi sebelum
tiba di rumahnya, ia ditahan dan dikirim ke Indonesia untuk terlibat
perang merebut kembali Indonesia, dalam bulan Desember 1946.Setelah tiba di Indonesia dalam bulan Oktober 1947, Princen dihukum pnjara selama 12 bulan tetapi dipotong menjadi 4 bulan tahanan di Penjara Tjisarua, setelah itu ditugaskan kembali dalam angkatan Darat Kerajaan Belanda. Ia menyaksikan pertempuran berdarah dan pada bulan September 1948 di Sukabumi memutuskan untuk desersi pergi ke Yogyakarta dan bergabung dengan gerilyawan Indonesia dan berperang melawan Belanda dibawah Komando operasi Kemal Idris dan Divisi Siliwangi A. H. Nasution, Jawa Tengah. Dalam bulan Agutsus 1949, Princen kehilangan isterinya yang ditembak tentara BeLanda. Sebagai anggota tentara Republik, ia berjuang habis-habisan melawan tentara Belanda.
Pada tanggal 5 Oktber 1949, Poncke mendapat medali Bintang Geriya oleh Presiden Soekarno. Tetapi setelah merdeka Princen dipenjarakan baik oleh Soekarno maupun Soeharto, lantaran tekat dan komitmennya membela nasib orang kecil dan yang ditindas oleh pemerintah Republik yang baru mengusir penindas dan penjajah Belanda.
Tahun 1950 – 1953, Poncke Princen menjabat sebagai pejabat Imigrasi di Jakarta. Tahun 1956, Poncke menjadi anggota DPR RI mewakili IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Ia dianggap sebagai wakil dari minoritas orang asing yang tinggal di Indonesia. Sebagai anggota parlemen, Poncke mengkritisi kebijakan pembagian sumber pendapatan negara yang tidak adil, karena Soekarno yang berkensentrasi membangun Jawa dan melupakan daerah di luar Jawa. Kritik tsb membuat Poncke dipenjarakan antara tahun 1955 – 1958, dan dipenjarakan lagi dari tahun 1962 – 1966.
Kudeta Soeharto membawa harapan baru dalam pikiran Poncke. Poncke sendiri dibebaskan oleh Soeharto dan berharap Soeharto akan memperbaiki kinerja pembangunan yang lebih adil terhadap daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Madura. Akhir tahun 1960an ia menjadi korespondent beberapa surat kabar dan radio di negeri Belanda, terkait berita-berita pelanggaran HAM di Indonesia. Tahun 1971, ia menikahi Sri Mulyati yang melahirkan 4 orang anak. Niatnya untuk benar-benar menjadi bagian hidup dari rakyat Indonesia, ia wujudkan pada tahun 1970an dengan memeluk agama Islam.
Saat pelanggaran HAM di Timor Leste mulai terjadi Poncke mengambil posisi mendukung Timor Leste dan menantang pemerintah Indonesia untuk mempertanggung-jawabkan pelanggaran HAM yang terjadi di sana. Di bawah pemerintahan Soeharto Poncke ditahan lagi beberapa kali dan dipenjarakan. Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Februari tahun 2002. Ia dalam masa hidupnya terlibat dalam membela nasib rakyat di Indonesia yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah. Sehingga ia mendirikan YLBHI bersama: Adnan Buyung Nasution. Sebelumnya bersama Jopie Lasut ia menerbitkan laporan pelanggaran HAM terhadap rakyat di sana yang dibunuh tanpa proses hukum. Demikian ia terlibat dalam mengkampanyekan pembebasan Pramudiya Ananta Toer, dan korban kekerasan HAM lainnya. Itulah kisah seorang pribumi Indonesia. Orang asli Papua yang saya sebutkan di atas adalah karena kerja kemanusiaan dan keberpihakannya kepada rakyat kecil seperti yang ditunjukkan oleh Poncke Princen.
4.Siapa Yang Bukan “Orang Asli Papua”
Sekarang
tiba saatnya kita menjawab pertanyaan “siapa yang bukan orang asli
Papua”. Orang yang tinggal di Papua dewasa ini dengan criteria berikut.
(a)
mereka yang termasuk dalam kategori (a di atas) keturunan dari leluhur
bangsa Papua yang telah tinggal di tanah ini ribuan tahun sebelum yang
satu makhluk bernama Indonesia lahir, (a1) dan memangku jabatan sebagai
Kepala adat dan Kepala suku Papua dari tanah yang dewasa ini dan masa
lalu yang punya hobi mengangkat menteri-menteri orde baru dan petinggi
militer sebagai kepala perang atau kepala suku. (a2). Atau yang
memperjuangkan impian dan idealisme pemerintah ini yang diskrinatif dan
rasis, (a3) Gubernur wakil gubernur dan kepala Dinas, Bupati/Wakil
Bupati, Wali kota dan wakil dan DPRP Provinsi dan Kabupaten /Kota
singkatnya elit Papua (yang memenuhi criteria a) tadi yang “bicara lain
main lain” yang sangat pintar berjualan obat saat kampanye tetapi dalam
praktek melaksanakan kebijakan/program pembangunan yang mempergemuk
pendatang, dan pengusaha kaya, yang menjadi perkakas dari Jakarta untuk
memusnahkan Papua. Kelompok ini bukan “orang Papua asli”.
(c)
warga pendatang di tanah ini yang lahir di tanah ini puluhan tahun lalu
tetapi tidak mengalami kekerasan Negara melalui operasi-operasi
militer dan dan steril terhadap politik stigma: seperti separatisme,
bodoh, monyet, dll.
(d)
Siapa saja mereka yang menggunakan ketidak-berdayaan Papua dan mencari
makan dari korban kekerasan yang dialami orang asli Papua yang
digambarkan di atas.
[1] Souter Gavin (1978). New Guinea. The Last Unknown. Sydney: Angus and Robertson, hal.17
[2] Martin O’Hare (1986). Majapahit’s Influence Over Wwanin in New Guinea, MA Thesis: Hal. 37
[3] N. Miklouho Maclay (1982), Travels to New Guinea. Moscow: Progress Publishers, hal. 19 – 21.
[4] F.C. Kamma (1953) “Land en volk der Papoea’s”, dalam F.C. Kamma. Kruis en Korwar. Den Haag: Voorhove.
[5] [5] Eliezer Bonay, Nasionalisme Papua Barat, Catatan 2 halaman, tidak diterbitkan, tt; (Lihat juga, John Jansen Van Galen, (1984), Ons Laastse Oorlogje: Nieuw Guinea: De Pax Neerlandica, de Diplomatieke Kruistocht en de Vervlogen Droom van Een Papua Natie. Weesp: H&W Dossier. hal. 24
[6] Rk, Jayapura, 12 Mei 2010
[7] Diambil
dari berbagai sumber: MABES ABRI Pusat Sejarah dan tradisi ABRI (1995)
Jakarta, TRIKORA PEMBEBASAN IRIAN BARAT; PRAJA Ghupta Vira (Ksatrya
Pelindung Rakyat), Dinas Sejarah Militer, KODAM XVII Tjenderawasih,
1971.
[8]
Jarahdam XVII/Cenderawasih (1983), Praja Ghupta Vira Membangun Bakti
TNI AD di Irian Jaya Pada Periode Tahun 1970 – 1982. Jayapura (hal. 238)
[9]
Jarahdam XVII/Cenderawasih (1983), Praja Ghupta Vira Membangun Bakti
TNI AD di Irian Jaya Pada Periode Tahun 1970 – 1982. Jayapura (hal. 238)
[10] Carmel Budiardjo Liem Soei Liong (1984), West Papua: An Obliteration of a People, London: Tapol: hal.80
[11] Carmel Budiardjo & Liem Soei Liong (1984), West Papua: An Obliteration of a People,hal.86
[12] Amapon Jos Marey, Menangis di Atas Pesawat, dalam Leontine Visser, Amapon Jos Visser (2008) Bakti Pamongpradja Papua. Jakarta: Kompas, hal.361
[13] Wawancara dengan Adolfine Zonggonao, Sydney/Canberra, 4 Desember 2001
[14] Lihat, Peter Worsley (1968) The Trumpet Shall Sound. Schocken Books: New York; Vittorio Lanternari (1963) The Religion of the Opressed. An Mentor Book
[15] Tifa Asrianti, George Junus Aditjondro: Of Watchdogs and Octopi, The Jakarta Post, January 3, 2010
[16] Geroge J. Aditondro (2000) Cahaya Bintang Kejora. Elsham Jakarta.
0 Komentar