Aku tahu, kau
berusaha sangat keras untuk rencana sore ini. Mengumpulkan uang dari hasil
menggambar sketsa wajah pesanan teman-temanmu di kampus, juga beberapa orang
yang baru kaukenal. Katamu, bayaran menggambar itu tak seberapa.Jadi, bukan
sesuatu yang sederhana ketika sore ini kita akhirnya sempat ke toko buku. Kau
akan membelikanku satu buku dengan uang hasil kerja kerasmu. Bagiku, itu adalah
muara dari segala romantisme yang pernah tercacat dalam sejarah para pencinta.
Sedapat mungkin
aku mengekang debaran jantungku ketika kita melewati jalanan menanjak
berkelok-kelok, yang berawal dari sisi kampus Universitas Cenderawasih. Ini
jalan alternatif dari Waena menuju Jayapura.
Aku sudah pernah melewatinya. Tetapi seperti senja, kelokan jalan di lereng Cycloops ini selalu menampilkan pesona baru setiap harinya.
Aku sudah pernah melewatinya. Tetapi seperti senja, kelokan jalan di lereng Cycloops ini selalu menampilkan pesona baru setiap harinya.
Entah sebab kau
berkonsentrasi mengendara dan aku sedang membayangkan toko buku, sehingga kita
tak bicara satu kata pun. Kita melaju membelakangi matahari. Tetapi jalanan ini
tampak rumit, sehingga sesekali matahari kelabu dengan sedikit bercak-bercak
lembayung itu bergeser lambat di samping kiri kita. Jajaran pohon kersen yang
semampai di sepanjang tepi tanjakan panjang, atau tonjolan-tonjolan bukit yang
berselingan dengan padang rumput, kawanan pohon purba, juga angin yang tempias
di tubuh kita, kuringkas buru-buru ke dalam namamu.
Zach. Sesingkat
itu. Hanya empat huruf. Tetapi pada satu “z” atau satu “a” dan dua huruf
sisanya, bagiku adalah simbol-simbol belantara perpuisian paling gelap dan
sunyi. Kau dan sepasang matamu, bagiku adalah jagad kesusastraan, tempat
kembali segala yang bernama perenungan, tragedi, juga berbagai perihal lain
menyangkut kemanusiaan.
Ah, aku sedikit
menyesalkan sifatku yang mirip belaka dengan perempuan pada umumnya.
Mencintaimu sama halnya dengan memuja. Mencintaimu adalah rindu yang harus
kutuntaskan seketika. Kenapa pula aku tak mencintaimu dengan diam dan sunyi,
atau mencintaimu dengan sederhana seperti sajak Sapardi? Sebenarnya aku tak begitu
paham makna metafora yang merujuk pada kata sederhana itu. Aku hanya berpikir, itu
adalah sebuah penerimaan yang total atas apa pun dalam diri kekasihnya.
Penerimaan tanpa syarat.
Kau melenturkan
tangan kirimu setelah turunan yang menikung cukup tajam, sedetik menyentuh sisi
lututku seolah memastikan aku baik-baik saja. Kau takkan menduga, dari
jantungku tiba-tiba semburat ribuan bunga api menjalari sekujur tubuh. Aku
percaya, demikian itulah bahagia. Sementara kau tetap berkonsentrasi dengan
kecepatan, sehingga semua yang diam terlihat agak mengabur.
Di sisi kananku
padang rumput sudah tertinggal jauh, berganti perdu-perdu berdaun bulat,
berselingan dengan kawanan pohon pinus. Pada batas pandanganku, sepetak
perairan begitu diam diapit bukit-bukit. Itu Teluk Youtefa. Aku pun sibuk
memantas-mantaskan lanskap Jayapura dalam otakku. Jelas bahwa teluk itu berada
di sisi kanan Distrik Heram, sedangkan jalan ini memisah agak jauh ke kiri, kemudian
mendaki, panjang sekali. Kecerdasan ruangku tentu tidak terlalu bagus. Aku
hanya tahu bahwa jalan ini terletak pada ketinggian yang cukup ekstrim.
Di depanku,
bekas bukit yang digerogoti untuk keperluan membangun jalan ini menyisakan
tebing di sisi kiri dan kanan. Warnanya keemasan. Kuperhatikan sekilas pada
kecepatan laju motor, teksturnya seperti tanah bercampur kerikil, atau tanah
liat, atau entah apa. Aku kembali sadar, pengetahuan geografiku sangat payah.
Sudahlah, kau sudah tahu semua soal itu. Tak perlu kubahas lebih panjang satu
per satu.
Aku hanya
berpikir, di mana orang-orang yang pernah menumpahkan keringatnya untuk
membangun jalan ini? Mereka yang dulu menebang pohon-pohon, membelah bukit,
menata pondasi, melelerkan aspal, dan seterusnya. Apakah mereka pernah
berkeinginan membaca buku? Jalanan berkelok-kelok ini adalah karya mereka, yang
dikategorikan buruh. Sedang apa mereka sekarang? Masih buruh ataukah di antara
mereka sudah ada yang menjadi tuan? Kurasa tidak terlalu mengenakkan kau menyimak
semua pertanyaanku yang berjejal-jejal mengenai mereka. Sebaiknya aku membuat
kesimpulan, meski kesannya tergesa-gesa. Bagiku, buruh juga berhak disebut
sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Dalam konteks jalanan ini, karya mereka luar
biasa. Tetapi adakah satu nama saja di antara mereka yang diketahui oleh
masyarakat luas? Ah, jangankan mengingat nama, kita tampaknya lupa mereka
pernah ada untuk jalanan panjang ini. Dunia memang sering begitu, hanya
mengenang orang-orang yang memiliki ide.
Tak perlu juga
kujelaskan padamu, siapa yang biasanya memuntahkan ide pembangunan semacam itu.
Rakyat jelata seperti kita hanya bisa sejenak mengerutkan dahi, setelah itu
kembali ke ladang masing-masing, yang kurasa sudah tak subur lagi. Tragis bila
ternyata mereka kembali ke emper-emper toko atau sudut-sudut trotoar,
mengkhidmati kartu-kartu lusuh atau biji-biji dadu, sembari mencecap air
kencing di gelas-gelas plastik. Puncak dari semua itu adalah kutukan, bila
mereka tak sanggup lagi berdiri kemudian tidur di selokan. Pertanyaanku sama,
apakah mereka pernah berkeinginan untuk membaca buku?
Ah, pikiranku
meliar. Tapi kau sudah sangat tahu impianku, Zach. Aku menginginkan potret lain
Jayapura, yang sama sekali berbeda dengan fakta-fakta dalam gambaranku itu. Aku
harus menunggu apa atau siapa untuk bisa mendapatkannya?
Sejenak aku
tengadah. Pandanganku disambut kabel-kabel listrik bergayutan centang perenang
dari tiang ke tiang. Kau memelankan laju motor, mewaspadai berbagai arah,
kemudian memilih kiri di percabangan jalan kesekian yang kita temui. Sejak awal
kita selalu memilih kiri pada setiap percabangan jalan. Sebab memang itulah
yang harus kita tempuh untuk mencapai toko buku. Initak pernah mungkin bisa
disepadankan dengan perjalanan mana pun. Aku mencatatnya sebaik yang aku bisa,
agar kelak kita memiliki kenangan yang dapat kita baca. Tidak sekadar sesuatu
yang mengawang-awang di dalam ingatan.
Kita melewati
Padang Golf Cenderawasih, dan aku melihat beberapa kendaraan mungil yang
tampaknya hanya pantas dinaiki lelaki-lelaki dengan jam tangan mewah di
pergelangan kirinya, juga nona atau nyonya muda cantik bertubuh sintal. Meski
mungil, kendaraan-kendaraan itu menampakkan keangkuhan sama kuat dengan senyum
culas orang-orang yang memuntahkan ide pembangunan. Semua
yang terdapat di area ini seperti meneguhkan sifat kuasa dan semena-mena. Aku
tak ingin memandanginya lebih lama, juga karena jalanan kemudian menurun tajam.
Aku ingin sekadar berpegangan pada pinggangmu, tapi aku tak pernah memiliki
keberanian untuk itu. Aku percaya kau akan menjagaku setara dengan menjaga
dirimu sendiri.
Kota Jayapura
sudah terlihat di bawah sana. Rumah-rumah berdesakan, saling berhimpitan seolah
semakin hari semesta semakin menyempit. Beberapa gedung tinggi di sela-selanya
berdiri pongah. Aku tiba-tiba membayangkan Samudera Pasifik di sebelah utara
kota ini tumpah ruah tanpa aba-aba. Gulungan badai mengamuk dan Jayapura luluh
lantak.
Orang-orang ikut
tersapu, terlempar-lempar ke udara kemudian jatuh dan lenyap. Samudera Pasifik
menyeret semua yang tersentuh amukannya, membawanya, menelannya ke dalam perutnya.
Ketika badai reda, Jayapura lengang tanpa meninggalkan puing-puing. Hanya
jajaran pegunungan yang kesepian, beberapa rumah ibadah, dan pondasi sebuah
pasar tradisional masih tersisa. Lainnya hanya serupa padang luas yang siap
dibangun suatu kota baru, yang tidak seperti sekarang.
Apakah aku harus
menunggu kengerian dan tragedi untuk mendapatkan potret Jayapura yang baru,
Zach?
“Kita sudah
sampai,” katamu. “Kau lelah?”
Aku hanya
menggeleng dan memberimu senyuman.
“Semuanya
terjadi di dalam buku, yang kaupikirkan, yang kauimpikan itu. Semuanya.
Cepatlah,”
Kau tak menunggu
aku berkata-kata, dan semua yang aku pikirkan seolah sudah bisa kaumengerti
hanya dari sepasang mataku. Itu sudah menjadi kebiasaanmu. Meski kita sangat
jarang bertemu, tapi aku tahu kau melebihi aku tahu warna senja di belakang
rumahku.
Kita menaiki
tangga menuju lantai dua toko buku. Debaran jantungku seperti deru. Benar kata
orang, kualitas kebahagiaan paling tinggi terletak pada dua atau tigainchi
sebelum titik yang dituju. Aku sedikit cemas dengan tingkahku sendiri. Tapi
kukira kau cukup mengerti situasi ini dan mengendalikanku.
Ketika kaki
kananku menapak di ujung anak tangga paling atas, pandanganku nanar menyapu
deretan rak dan etalase. Aku disergap berbagai macam aroma, seperti udara yang
terperangkap, debu tipis yang mengendap, pembersih lantai, lem kertas, parfum
dan keringat pengunjung yang hanya satu dua, dan mungkin wangi penghapus pensil
yang berwarna-warni. Semua itu membuatku gugup.
Kau menuju meja
kecil, yang di situ terdapat sebuah layar monitor tipis dengan lampu biru
berkedip-kedip di bagian kanan bawah. Kau mengetikkan nama seorang pengarang
pada keyboard yang tersimpan di laci meja. Beberapa judul buku muncul satu per
satu, yang ditulis oleh pengarang itu. Pada kolom keterangan yang paling tepi,
sebagian buku itu sudah tidak tersedia lagi. Tetapi buku yang akan kita beli
masih tersisa tiga eksemplar.
Kau mendekati
penjaga toko dan menanyakan letak buku yang kuinginkan. Penjaga itu membawa
kita ke tengah ruangan. Di antara ratusan buku yang berderet-deret, tampak satu
yang bersampul hitam dengan ornamen keemasan. Gambar sampul buku paling elegan
yang pernah kulihat. Mungkin karena aku jarang tahubuku-buku di kota kecil ini,
atau mungkin aku tidak terpikat kepada buku lain sebagaimana aku terpikat
kepada buku ini. Aku mengetahui judul dan nama pengarangnya dari salah satu
dosenku di kampus.
Tak biasanya aku
bersikap begini terhadap seorang pengarang dan bukunya. Tetapi cerita mengenai
kesunyian kurasa adalah misteri paling besar yang harus dipecahkan. Aku selalu
punya obsesi menaklukkan kesunyian seperti orang-orang Papua mengunyah pinang.
Tetapi kesunyian tetaplah makhluk paling berkuasa yang selalu memenangkan
pertempuran.
“Ke sini dulu,”
katamu langsung beranjak meninggalkan buku tentang kesunyian itu, setelah
sekali dua kau membolak-baliknya. Aku bahkan belum berani menyentuhnya. Tetapi
aku mencermati buku itu di tanganmu.
“Kau ingin tahu
bagaimana Che Guevara mati, bukan? Kita akan membacanya sebentar. Dua bulan
lalu masih kutemukan bukunya di sana. Segelnya sudah lepas.”
“Mungkin itu
buku sudah lama, tapi belum laku,” kataku ringan.
“Mungkin juga,
Cerewet.”
Aku cemberut
sejenak sembari menyipitkan mata kiri setiap kali kaupanggil aku Cerewet.
Tetapi bagiku, panggilan itulah yang paling romantis, paling tulus, manusiawi,
dan alamiah sepanjang sejarah percintaan di belahan bumi mana pun.
“Bagimu, siapa
Che Guevara itu?” tanyamu. Jujur, aku tidak punya jawaban. Aku hanya tahu
sedikit, bahwa dia pejuang. Semua pejuang di dunia ini, pada masa-masa
berikutnya, mengelu-elukan Guevara. Selebihnya aku tak tahu apa-apa.
“Kau tidak bisa
jawab?”
Aku hanya
menatap sepasang matamu sekilas. Kau, seperti biasa, membatu sejenak sebelum
bicara datar saja. “Setiap orang besar, ingat baik-baik, Cerewet, setiap orang
besar selalu dipandang dari dua sisi: pengagumnya dan pembencinya.”
Aku ingin angkat
bicara, adakah orang yang membenci Gandhi? Tapi tatapanmu menelusup ke dalam
mataku, membuatku hanya menunggu.
“Bahkan Gandhi
juga punya musuh.”
Kupikir kamu
sedikit kurang ajar. Bagaimana mungkin mengetahui yang kupikirkan.
“Guevara itu, di
mata Rodriguez, agen CIA yang menangkapnya, cuma seorang kriminal. Guevara
menikmati ketika membunuh orang. Kau mengerti sekarang?”
Aku merasakan
kengerian dalam ucapanmu. Bagaimana mungkin ada pandangan seperti itu bagi
seorang Guevara. Aku ingin bertanya, bagaimana pandanganmu sendiri mengenai
dia? Tapi kupikir itu akan mengurangi romantisme kita. Jadi aku urung bicara.
“Ayo pulang,”
ajakmu.
“Pulang?
Bagaimana dengan kesunyian dalam buku itu?”
Tatapanmu kali
ini sangat membingungkan. Aku seperti dijalari sulur-sulur gaib yang menancapi
sepasang mataku, agar bisa kau kendalikan sepenuhnya dengan sepasang matamu.
Bila aku tak menuruti langkah kakimu, sepasang mataku akan tercongkel, sebab
sulur-sulur itu sudah rekat sedemikian kuatnya. Tiba-tiba kau mengulurkan
dompet lusuhmu sembari menelan kekecewaan.
“Cepatlah, akan
kubelikan kau cappuccino cincau di Kotaraja. Kesukaanmu, kan? Aku selalu ingat
itu.”
Kuikuti
langkahmu yang setangah putus asa menuruni anak tangga. Kubiarkan jariku
merenggangkan pengait dompetmu, dan kuintip di situ dua lembar kertas yang
sangat rapi, seperti kausimpan dengan penuh cinta kasih. Aku tahu pasti,
nilainya seratus lima puluh ribu rupiah.
Kutelan ludahku,
terasa seperti darah dari puting ibuku mengucur deras, dan memaksa masuk
kerongkonganku. Anyir dan pilu. Bayangan deret angka pada buku kesunyian itu
menggerus pikiranku. Angka dua paling depan, disusul angka tiga, kemudian empat
angka nol mengikutinya. Aku mengerti sekarang, uangmu tak cukup untuk
membelikanku buku kesunyian.
Tetapi, untuk
apa kita terluka, Zach? Kau harus percaya kepadaku, ketika kita berdiskusi
mengenai waktu kairos, aku tahu manusia harus berdaya guna. Jari-jariku masih
utuh, dan aku bisa memegang pena. Sumpahku kepada kertas-kertas yang dikelupas
dari kulit pohon-pohon penderitaan, aku akan membanjirinya dengan
sajak-sajakku.
Aku percaya satu
hal, bahwa tak seorang pun semahir dirimu mengajariku tentang kesunyian. Dari
cerita-ceritamu, kesunyian itu sekekal kisah Adam dan Hawa dalam sejarah
manusia, disampaikan melalui siutan angin dan setiap udara yang kita hirup.
Kesunyian selalu merayu-rayu, meniupi ubun-ubunmu dengan rasa ngilu yang
merasuk ke jantung, dan berakhir di dalam sumsum. Aku akan menuliskannya. []
Kampung Yoka, 19 Februari 2016
Pernah dimuat di Rubrik Sastra Koran Jubi
0 Komentar