Oleh; Indra J. Piliang
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku (besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta, perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua” sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet, sembari “melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi, terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku (besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta, perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua” sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet, sembari “melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi, terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai
keindonesiaan, terutama terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat
perkawinan antarsuku Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak.
Sebaliknya, proses asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga
“nasionalisme etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya
asimilasi suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan
kembali argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung
Irian Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Namun,
karena Papua secara administrasi sudah lama menjadi bagian dari Belanda dan
lalu Indonesia, persoalan kultural bisa dijadikan sebagai unsur penguat, bukan
penghambat. Hanya, sampai sejauh ini Papua terlalu didekati sebagai masalah
keamanan, ketimbang kesejahteraan. Penyebutan nama “gerakan separatis”,
misalnya, tidak diimbangi dengan upaya-upaya lain untuk membatasi gerak
ekspansi modal ke Papua, yang semakin memperkeruh situasi. Konsesi yang
diberikan kepada kaum pemodal di dalam dan luar negeri ternyata menjadi alasan
bagi munculnya “gerakan separatis”, yang sebetulnya berakar dalam kesenjangan
ekonomi.
Ras Melanesia memang sudah diakui eksistensinya di
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Bahkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dijadikan sebagai lembaga kultural
satu-satunya di tingkat provinsi di Indonesia. Masalahnya, MRP menghadapi
ganjalan, baik dari sisi regulasi di bawah UU Nomor 21/2001 yang tidak selesai
maupun dari luasnya wilayah yang mereka harus wakili. Tetap terus dicatat bahwa
luas Papua adalah 3,5 kali Pulau Jawa, dengan infrastruktur yang minim.
Penelitian
Papua adalah lokasi penelitian yang termasuk paling baik di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian itu sudah dipublikasikan di dalam dan luar negeri.
Setiap tahun, selalu saja terbit buku-buku yang bercerita tentang Papua, dari
masyarakat, kekayaan alam, sampai penghuni lain berupa hewan dan tumbuhan.
Padahal proses penelitian itu belum dimaksimalkan, mengingat keringnya visi riset
para pengambil keputusan di Indonesia.
Sejumlah buku menyebutkan besarnya peran tentara
dalam proses pembangunan Papua. Lembah Baliem, yang dihuni suku Dani, misalnya,
sudah dimasuki pada 1964 lewat Operasi Karya Kodim 1712 dari Kodam
XVII/Cenderawasih (Koentjaraningrat: 1993: 297). Para mahasiswa juga dilibatkan
dalam proses itu, terutama untuk percepatan di bidang pendidikan. Belakangan
proses itu dilakukan secara “normal” oleh pejabat-pejabat pemerintah dan
swasta. Akibat yang muncul adalah semakin banyak penduduk dari luar Papua yang
masuk ke Papua. Persentasenya diperkirakan sama, 50 persen : 50 persen, dalam
waktu dekat.
Tidak mudah
untuk memulai lagi suatu proses pembangunan yang sudah berjalan lama dengan
akibat-akibat positif dan negatifnya. Untuk memindahkan barak-barak militer
dari lokasi yang berdekatan dan di tengah-tengah penduduk saja sulit. Yang bisa
dilakukan adalah evaluasi yang bersifat komprehensif dan multi-aspek. Evaluasi
itu dilakukan berdasarkan cetak biru (blueprint) lama menyangkut Papua, baik
dari sisi regulasi, ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah yang terkait dengan
masyarakat internasional.
Apabila
blueprint itu tidak ada, dasar perundang-undangan saja tidak cukup, karena
terjadinya saling tabrak antar-undang-undang. UU Nomor 21 Tahun 2001, misalnya,
membutuhkan undang-undang sektoral di bidang pendidikan dan kesehatan. Kalaupun
Presiden SBY sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sifatnya hanya
“macan kertas”, karena tidak disertai dengan bentuk kelembagaan khusus. Inpres
Nomor 5/2007 itu hanya bersifat koordinasi antarkementerian dengan pemerintah
provinsi.
Kebudayaan
Papua memang
kecil dari sisi jumlah penduduk, tapi besar dari sisi ekonomi, lingkungan
hidup, ilmu pengetahuan, luas wilayah, kebudayaan, dan segala sesuatu yang
terhubung dengan peradaban. Dan yang menciptakan kebudayaan adalah manusia.
Manusia-manusia Papua berada pada sisi paling puncak untuk mengedepankan
kemajuan Indonesia dari sisi peradaban itu. Dalam beberapa tahun terakhir,
anak-anak Papua sudah berkontribusi dengan sangat fenomenal di sisi ilmu
pengetahuan dan olahraga.
Indonesia tidak bisa lagi dianggap enteng
dalam Olimpiade fisika dan matematika, karena ada antara lain anak-anak Papua
di dalamnya. Di dunia sepak bola, anak-anak Papua memicu euforia tentang Burung
Garuda, baik ketika Indonesia kalah, apalagi menang. Sekalipun kecil dari sisi
jumlah, nama Indonesia yang dibawa oleh anak-anak Papua berhasil menaikkan
posisi yang baik bagi negara yang berpenduduk nomor empat di dunia ini.
Keberhasilan anak-anak Papua itu juga diiringi dengan dukungan yang semakin
fanatik terhadap masalah-masalah Papua dalam masyarakat Indonesia, terutama
ketika berhadapan dengan sentimen “anti atau pro-pemerintah”.
Data-data
menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini tidak ada perubahan berarti
dari sisi distribusi penduduk, indeks pembangunan manusia, sampai pemerataan
pembangunan. Pulau Jawa kian penuh dengan manusia, karena besarnya jumlah
penduduk yang hidup dan bertempat tinggal di sana. Cina, sebagai bangsa,
melakukan semacam revolusi kebudayaan untuk mengubah karakternya. Revolusi itu
antara lain ditandai dengan proses “penghancuran” kapitalisme, termasuk dengan
menyuruh kaum intelektual memegang cangkul ketimbang pena.
Indonesia
barangkali tidak perlu melakukan proses yang memakan korban banyak itu. Namun
satu strategi kebudayaan perlu disusun atas Papua. Strategi kebudayaan itu
disusun berdasarkan pilinan kisah sejarah dan mitologi yang lama tertanam di
Indonesia, terutama di Pulau Jawa, tentang perbenturan kekuasaan. Dengan
memasukkan Papua sebagai bagian dari strategi kebudayaan itu, mau tidak mau
Jakarta perlu memikirkan bagaimana menempatkan manusia dan tanah Papua dalam
bingkai kehidupan Indonesia di masa mendatang.
Apakah akan
semakin banyak migrasi manusia Melayu berambut lurus dan berkulit sawo matang
ke daerah-daerah yang ditinggali manusia-manusia Papua berambut keriting dan
berkulit hitam itu? Bagaimana pola asimilasi yang dilakukan, berikut antisipasi
atas proses akulturasi yang terjadi pada ras Melanesia? Pertanyaan-pertanyaan
besar dan mewah ini tidak bisa hanya didiskusikan menjadi produk kebijakan yang
bersifat ad hoc, tapi juga tersusun rapi dalam bentuk yang paling akademis
berupa platform yang disusun oleh para ahli.
Saya yakin,
pada akhirnya akan semakin banyak orang Indonesia di tanah Jawa yang sudah
saling-silang secara genetika dan kebudayaan yang di kemudian hari datang ke
Papua. Nah, masalahnya, apakah tempat yang nanti menjadi masa depan Indonesia
itu adalah wilayah yang sudah luluh-lantak, sebagaimana nasib para Aborigin
akibat kolonialisme perbudakan bangsa-bangsa Eropa di Australia atau di Amerika
Serikat? Indonesia wajib menunjukkan keberadabannya dibandingkan dengan sejarah
masa lalu bangsa-bangsa Eropa itu. Dan cara satu-satunya adalah serius dengan
masalah-masalah Papua serta berpikir besar dan humanistik dalam
menyelesaikannya… *)
Indra J. Piliang, Dewan Penasihat The
Indonesian Institute /14 November 2011
Sumber: http://sastra-indonesia.com
Masalah Papua terletak
dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan kompetensi
pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah otonomi khusus
dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian Jaya oleh
Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku (besar) di
Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta, perusahaan,
maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak aneh kalau
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua” sebagai salah
satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet, sembari
“melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi, terkait
dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama
terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku
Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses
asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga “nasionalisme
etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi
suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali
argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian
Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Masalah Papua terletak
dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan kompetensi
pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah otonomi khusus
dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian Jaya oleh
Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku (besar) di
Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta, perusahaan,
maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak aneh kalau
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua” sebagai salah
satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet, sembari
“melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi, terkait
dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama
terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku
Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses
asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga “nasionalisme
etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi
suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali
argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian
Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Strategi Kebudayaan
atas Papua *)
Posted By: PuJa Esai, Indra J. Piliang, Sastra-Indonesia.com
Indra J. Piliang *
http://www.tempo.co/
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan
kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah
otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian
Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku
(besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta,
perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak
aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua”
sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet,
sembari “melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi,
terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama
terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku
Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses
asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga “nasionalisme
etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi
suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali
argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian
Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Namun, karena Papua secara administrasi sudah lama menjadi bagian dari
Belanda dan lalu Indonesia, persoalan kultural bisa dijadikan sebagai
unsur penguat, bukan penghambat. Hanya, sampai sejauh ini Papua terlalu
didekati sebagai masalah keamanan, ketimbang kesejahteraan. Penyebutan
nama “gerakan separatis”, misalnya, tidak diimbangi dengan upaya-upaya
lain untuk membatasi gerak ekspansi modal ke Papua, yang semakin
memperkeruh situasi. Konsesi yang diberikan kepada kaum pemodal di dalam
dan luar negeri ternyata menjadi alasan bagi munculnya “gerakan
separatis”, yang sebetulnya berakar dalam kesenjangan ekonomi.
Ras Melanesia memang sudah diakui eksistensinya di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Bahkan
Majelis Rakyat Papua (MRP) dijadikan sebagai lembaga kultural
satu-satunya di tingkat provinsi di Indonesia. Masalahnya, MRP
menghadapi ganjalan, baik dari sisi regulasi di bawah UU Nomor 21/2001
yang tidak selesai maupun dari luasnya wilayah yang mereka harus wakili.
Tetap terus dicatat bahwa luas Papua adalah 3,5 kali Pulau Jawa, dengan
infrastruktur yang minim.
Penelitian
Papua adalah lokasi penelitian yang termasuk paling baik di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian itu sudah dipublikasikan di dalam dan luar
negeri. Setiap tahun, selalu saja terbit buku-buku yang bercerita
tentang Papua, dari masyarakat, kekayaan alam, sampai penghuni lain
berupa hewan dan tumbuhan. Padahal proses penelitian itu belum
dimaksimalkan, mengingat keringnya visi riset para pengambil keputusan
di Indonesia.
Sejumlah buku menyebutkan besarnya peran tentara dalam proses
pembangunan Papua. Lembah Baliem, yang dihuni suku Dani, misalnya, sudah
dimasuki pada 1964 lewat Operasi Karya Kodim 1712 dari Kodam
XVII/Cenderawasih (Koentjaraningrat: 1993: 297). Para mahasiswa juga
dilibatkan dalam proses itu, terutama untuk percepatan di bidang
pendidikan. Belakangan proses itu dilakukan secara “normal” oleh
pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Akibat yang muncul adalah semakin
banyak penduduk dari luar Papua yang masuk ke Papua. Persentasenya
diperkirakan sama, 50 persen : 50 persen, dalam waktu dekat.
Masalahnya, apa model yang tepat dalam pembangunan Papua ke depan?
Apakah Papua dibangun untuk warga Papua dalam ras Melanesia? Ataukah
memang seperti yang dilancarkan sejak Operasi Koteka pada 1975–termasuk
pembangunan alat komunikasi sebagai receiver Satelit Palapa–yakni
mengejar kesejajaran dengan belahan Indonesia lain? Ataukah Papua
dikembangkan dengan model yang berbeda dengan bagian Indonesia lainnya?
Tidak mudah untuk memulai lagi suatu proses pembangunan yang sudah
berjalan lama dengan akibat-akibat positif dan negatifnya. Untuk
memindahkan barak-barak militer dari lokasi yang berdekatan dan di
tengah-tengah penduduk saja sulit. Yang bisa dilakukan adalah evaluasi
yang bersifat komprehensif dan multi-aspek. Evaluasi itu dilakukan
berdasarkan cetak biru (blueprint) lama menyangkut Papua, baik dari sisi
regulasi, ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah yang terkait dengan
masyarakat internasional.
Apabila blueprint itu tidak ada, dasar perundang-undangan saja tidak
cukup, karena terjadinya saling tabrak antar-undang-undang. UU Nomor 21
Tahun 2001, misalnya, membutuhkan undang-undang sektoral di bidang
pendidikan dan kesehatan. Kalaupun Presiden SBY sudah mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sifatnya hanya “macan kertas”,
karena tidak disertai dengan bentuk kelembagaan khusus. Inpres Nomor
5/2007 itu hanya bersifat koordinasi antarkementerian dengan pemerintah
provinsi.
Kebudayaan
Papua memang kecil dari sisi jumlah penduduk, tapi besar dari sisi
ekonomi, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, luas wilayah, kebudayaan,
dan segala sesuatu yang terhubung dengan peradaban. Dan yang menciptakan
kebudayaan adalah manusia. Manusia-manusia Papua berada pada sisi
paling puncak untuk mengedepankan kemajuan Indonesia dari sisi peradaban
itu. Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak Papua sudah berkontribusi
dengan sangat fenomenal di sisi ilmu pengetahuan dan olahraga.
Indonesia tidak bisa lagi dianggap enteng dalam Olimpiade fisika dan
matematika, karena ada antara lain anak-anak Papua di dalamnya. Di dunia
sepak bola, anak-anak Papua memicu euforia tentang Burung Garuda, baik
ketika Indonesia kalah, apalagi menang. Sekalipun kecil dari sisi
jumlah, nama Indonesia yang dibawa oleh anak-anak Papua berhasil
menaikkan posisi yang baik bagi negara yang berpenduduk nomor empat di
dunia ini. Keberhasilan anak-anak Papua itu juga diiringi dengan
dukungan yang semakin fanatik terhadap masalah-masalah Papua dalam
masyarakat Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan sentimen “anti
atau pro-pemerintah”.
Data-data menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini tidak ada
perubahan berarti dari sisi distribusi penduduk, indeks pembangunan
manusia, sampai pemerataan pembangunan. Pulau Jawa kian penuh dengan
manusia, karena besarnya jumlah penduduk yang hidup dan bertempat
tinggal di sana. Cina, sebagai bangsa, melakukan semacam revolusi
kebudayaan untuk mengubah karakternya. Revolusi itu antara lain ditandai
dengan proses “penghancuran” kapitalisme, termasuk dengan menyuruh kaum
intelektual memegang cangkul ketimbang pena.
Indonesia barangkali tidak perlu melakukan proses yang memakan korban
banyak itu. Namun satu strategi kebudayaan perlu disusun atas Papua.
Strategi kebudayaan itu disusun berdasarkan pilinan kisah sejarah dan
mitologi yang lama tertanam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
tentang perbenturan kekuasaan. Dengan memasukkan Papua sebagai bagian
dari strategi kebudayaan itu, mau tidak mau Jakarta perlu memikirkan
bagaimana menempatkan manusia dan tanah Papua dalam bingkai kehidupan
Indonesia di masa mendatang.
Apakah akan semakin banyak migrasi manusia Melayu berambut lurus dan
berkulit sawo matang ke daerah-daerah yang ditinggali manusia-manusia
Papua berambut keriting dan berkulit hitam itu? Bagaimana pola asimilasi
yang dilakukan, berikut antisipasi atas proses akulturasi yang terjadi
pada ras Melanesia? Pertanyaan-pertanyaan besar dan mewah ini tidak bisa
hanya didiskusikan menjadi produk kebijakan yang bersifat ad hoc, tapi
juga tersusun rapi dalam bentuk yang paling akademis berupa platform
yang disusun oleh para ahli.
Saya yakin, pada akhirnya akan semakin banyak orang Indonesia di tanah
Jawa yang sudah saling-silang secara genetika dan kebudayaan yang di
kemudian hari datang ke Papua. Nah, masalahnya, apakah tempat yang nanti
menjadi masa depan Indonesia itu adalah wilayah yang sudah
luluh-lantak, sebagaimana nasib para Aborigin akibat kolonialisme
perbudakan bangsa-bangsa Eropa di Australia atau di Amerika Serikat?
Indonesia wajib menunjukkan keberadabannya dibandingkan dengan sejarah
masa lalu bangsa-bangsa Eropa itu. Dan cara satu-satunya adalah serius
dengan masalah-masalah Papua serta berpikir besar dan humanistik dalam
menyelesaikannya…
*) Indra J. Piliang, Dewan Penasihat The Indonesian Institute /14
November 2011
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Strategi Kebudayaan
atas Papua *)
Posted By: PuJa Esai, Indra J. Piliang, Sastra-Indonesia.com
Indra J. Piliang *
http://www.tempo.co/
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan
kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah
otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian
Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku
(besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta,
perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak
aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua”
sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet,
sembari “melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi,
terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama
terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku
Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses
asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga “nasionalisme
etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi
suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali
argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian
Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Namun, karena Papua secara administrasi sudah lama menjadi bagian dari
Belanda dan lalu Indonesia, persoalan kultural bisa dijadikan sebagai
unsur penguat, bukan penghambat. Hanya, sampai sejauh ini Papua terlalu
didekati sebagai masalah keamanan, ketimbang kesejahteraan. Penyebutan
nama “gerakan separatis”, misalnya, tidak diimbangi dengan upaya-upaya
lain untuk membatasi gerak ekspansi modal ke Papua, yang semakin
memperkeruh situasi. Konsesi yang diberikan kepada kaum pemodal di dalam
dan luar negeri ternyata menjadi alasan bagi munculnya “gerakan
separatis”, yang sebetulnya berakar dalam kesenjangan ekonomi.
Ras Melanesia memang sudah diakui eksistensinya di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Bahkan
Majelis Rakyat Papua (MRP) dijadikan sebagai lembaga kultural
satu-satunya di tingkat provinsi di Indonesia. Masalahnya, MRP
menghadapi ganjalan, baik dari sisi regulasi di bawah UU Nomor 21/2001
yang tidak selesai maupun dari luasnya wilayah yang mereka harus wakili.
Tetap terus dicatat bahwa luas Papua adalah 3,5 kali Pulau Jawa, dengan
infrastruktur yang minim.
Penelitian
Papua adalah lokasi penelitian yang termasuk paling baik di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian itu sudah dipublikasikan di dalam dan luar
negeri. Setiap tahun, selalu saja terbit buku-buku yang bercerita
tentang Papua, dari masyarakat, kekayaan alam, sampai penghuni lain
berupa hewan dan tumbuhan. Padahal proses penelitian itu belum
dimaksimalkan, mengingat keringnya visi riset para pengambil keputusan
di Indonesia.
Sejumlah buku menyebutkan besarnya peran tentara dalam proses
pembangunan Papua. Lembah Baliem, yang dihuni suku Dani, misalnya, sudah
dimasuki pada 1964 lewat Operasi Karya Kodim 1712 dari Kodam
XVII/Cenderawasih (Koentjaraningrat: 1993: 297). Para mahasiswa juga
dilibatkan dalam proses itu, terutama untuk percepatan di bidang
pendidikan. Belakangan proses itu dilakukan secara “normal” oleh
pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Akibat yang muncul adalah semakin
banyak penduduk dari luar Papua yang masuk ke Papua. Persentasenya
diperkirakan sama, 50 persen : 50 persen, dalam waktu dekat.
Masalahnya, apa model yang tepat dalam pembangunan Papua ke depan?
Apakah Papua dibangun untuk warga Papua dalam ras Melanesia? Ataukah
memang seperti yang dilancarkan sejak Operasi Koteka pada 1975–termasuk
pembangunan alat komunikasi sebagai receiver Satelit Palapa–yakni
mengejar kesejajaran dengan belahan Indonesia lain? Ataukah Papua
dikembangkan dengan model yang berbeda dengan bagian Indonesia lainnya?
Tidak mudah untuk memulai lagi suatu proses pembangunan yang sudah
berjalan lama dengan akibat-akibat positif dan negatifnya. Untuk
memindahkan barak-barak militer dari lokasi yang berdekatan dan di
tengah-tengah penduduk saja sulit. Yang bisa dilakukan adalah evaluasi
yang bersifat komprehensif dan multi-aspek. Evaluasi itu dilakukan
berdasarkan cetak biru (blueprint) lama menyangkut Papua, baik dari sisi
regulasi, ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah yang terkait dengan
masyarakat internasional.
Apabila blueprint itu tidak ada, dasar perundang-undangan saja tidak
cukup, karena terjadinya saling tabrak antar-undang-undang. UU Nomor 21
Tahun 2001, misalnya, membutuhkan undang-undang sektoral di bidang
pendidikan dan kesehatan. Kalaupun Presiden SBY sudah mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sifatnya hanya “macan kertas”,
karena tidak disertai dengan bentuk kelembagaan khusus. Inpres Nomor
5/2007 itu hanya bersifat koordinasi antarkementerian dengan pemerintah
provinsi.
Kebudayaan
Papua memang kecil dari sisi jumlah penduduk, tapi besar dari sisi
ekonomi, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, luas wilayah, kebudayaan,
dan segala sesuatu yang terhubung dengan peradaban. Dan yang menciptakan
kebudayaan adalah manusia. Manusia-manusia Papua berada pada sisi
paling puncak untuk mengedepankan kemajuan Indonesia dari sisi peradaban
itu. Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak Papua sudah berkontribusi
dengan sangat fenomenal di sisi ilmu pengetahuan dan olahraga.
Indonesia tidak bisa lagi dianggap enteng dalam Olimpiade fisika dan
matematika, karena ada antara lain anak-anak Papua di dalamnya. Di dunia
sepak bola, anak-anak Papua memicu euforia tentang Burung Garuda, baik
ketika Indonesia kalah, apalagi menang. Sekalipun kecil dari sisi
jumlah, nama Indonesia yang dibawa oleh anak-anak Papua berhasil
menaikkan posisi yang baik bagi negara yang berpenduduk nomor empat di
dunia ini. Keberhasilan anak-anak Papua itu juga diiringi dengan
dukungan yang semakin fanatik terhadap masalah-masalah Papua dalam
masyarakat Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan sentimen “anti
atau pro-pemerintah”.
Data-data menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini tidak ada
perubahan berarti dari sisi distribusi penduduk, indeks pembangunan
manusia, sampai pemerataan pembangunan. Pulau Jawa kian penuh dengan
manusia, karena besarnya jumlah penduduk yang hidup dan bertempat
tinggal di sana. Cina, sebagai bangsa, melakukan semacam revolusi
kebudayaan untuk mengubah karakternya. Revolusi itu antara lain ditandai
dengan proses “penghancuran” kapitalisme, termasuk dengan menyuruh kaum
intelektual memegang cangkul ketimbang pena.
Indonesia barangkali tidak perlu melakukan proses yang memakan korban
banyak itu. Namun satu strategi kebudayaan perlu disusun atas Papua.
Strategi kebudayaan itu disusun berdasarkan pilinan kisah sejarah dan
mitologi yang lama tertanam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
tentang perbenturan kekuasaan. Dengan memasukkan Papua sebagai bagian
dari strategi kebudayaan itu, mau tidak mau Jakarta perlu memikirkan
bagaimana menempatkan manusia dan tanah Papua dalam bingkai kehidupan
Indonesia di masa mendatang.
Apakah akan semakin banyak migrasi manusia Melayu berambut lurus dan
berkulit sawo matang ke daerah-daerah yang ditinggali manusia-manusia
Papua berambut keriting dan berkulit hitam itu? Bagaimana pola asimilasi
yang dilakukan, berikut antisipasi atas proses akulturasi yang terjadi
pada ras Melanesia? Pertanyaan-pertanyaan besar dan mewah ini tidak bisa
hanya didiskusikan menjadi produk kebijakan yang bersifat ad hoc, tapi
juga tersusun rapi dalam bentuk yang paling akademis berupa platform
yang disusun oleh para ahli.
Saya yakin, pada akhirnya akan semakin banyak orang Indonesia di tanah
Jawa yang sudah saling-silang secara genetika dan kebudayaan yang di
kemudian hari datang ke Papua. Nah, masalahnya, apakah tempat yang nanti
menjadi masa depan Indonesia itu adalah wilayah yang sudah
luluh-lantak, sebagaimana nasib para Aborigin akibat kolonialisme
perbudakan bangsa-bangsa Eropa di Australia atau di Amerika Serikat?
Indonesia wajib menunjukkan keberadabannya dibandingkan dengan sejarah
masa lalu bangsa-bangsa Eropa itu. Dan cara satu-satunya adalah serius
dengan masalah-masalah Papua serta berpikir besar dan humanistik dalam
menyelesaikannya…
*) Indra J. Piliang, Dewan Penasihat The Indonesian Institute /14
November 2011
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Strategi Kebudayaan
atas Papua *)
Posted By: PuJa Esai, Indra J. Piliang, Sastra-Indonesia.com
Indra J. Piliang *
http://www.tempo.co/
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan
kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah
otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian
Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku
(besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta,
perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak
aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua”
sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet,
sembari “melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi,
terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama
terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku
Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses
asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga “nasionalisme
etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi
suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali
argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian
Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Namun, karena Papua secara administrasi sudah lama menjadi bagian dari
Belanda dan lalu Indonesia, persoalan kultural bisa dijadikan sebagai
unsur penguat, bukan penghambat. Hanya, sampai sejauh ini Papua terlalu
didekati sebagai masalah keamanan, ketimbang kesejahteraan. Penyebutan
nama “gerakan separatis”, misalnya, tidak diimbangi dengan upaya-upaya
lain untuk membatasi gerak ekspansi modal ke Papua, yang semakin
memperkeruh situasi. Konsesi yang diberikan kepada kaum pemodal di dalam
dan luar negeri ternyata menjadi alasan bagi munculnya “gerakan
separatis”, yang sebetulnya berakar dalam kesenjangan ekonomi.
Ras Melanesia memang sudah diakui eksistensinya di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Bahkan
Majelis Rakyat Papua (MRP) dijadikan sebagai lembaga kultural
satu-satunya di tingkat provinsi di Indonesia. Masalahnya, MRP
menghadapi ganjalan, baik dari sisi regulasi di bawah UU Nomor 21/2001
yang tidak selesai maupun dari luasnya wilayah yang mereka harus wakili.
Tetap terus dicatat bahwa luas Papua adalah 3,5 kali Pulau Jawa, dengan
infrastruktur yang minim.
Penelitian
Papua adalah lokasi penelitian yang termasuk paling baik di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian itu sudah dipublikasikan di dalam dan luar
negeri. Setiap tahun, selalu saja terbit buku-buku yang bercerita
tentang Papua, dari masyarakat, kekayaan alam, sampai penghuni lain
berupa hewan dan tumbuhan. Padahal proses penelitian itu belum
dimaksimalkan, mengingat keringnya visi riset para pengambil keputusan
di Indonesia.
Sejumlah buku menyebutkan besarnya peran tentara dalam proses
pembangunan Papua. Lembah Baliem, yang dihuni suku Dani, misalnya, sudah
dimasuki pada 1964 lewat Operasi Karya Kodim 1712 dari Kodam
XVII/Cenderawasih (Koentjaraningrat: 1993: 297). Para mahasiswa juga
dilibatkan dalam proses itu, terutama untuk percepatan di bidang
pendidikan. Belakangan proses itu dilakukan secara “normal” oleh
pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Akibat yang muncul adalah semakin
banyak penduduk dari luar Papua yang masuk ke Papua. Persentasenya
diperkirakan sama, 50 persen : 50 persen, dalam waktu dekat.
Masalahnya, apa model yang tepat dalam pembangunan Papua ke depan?
Apakah Papua dibangun untuk warga Papua dalam ras Melanesia? Ataukah
memang seperti yang dilancarkan sejak Operasi Koteka pada 1975–termasuk
pembangunan alat komunikasi sebagai receiver Satelit Palapa–yakni
mengejar kesejajaran dengan belahan Indonesia lain? Ataukah Papua
dikembangkan dengan model yang berbeda dengan bagian Indonesia lainnya?
Tidak mudah untuk memulai lagi suatu proses pembangunan yang sudah
berjalan lama dengan akibat-akibat positif dan negatifnya. Untuk
memindahkan barak-barak militer dari lokasi yang berdekatan dan di
tengah-tengah penduduk saja sulit. Yang bisa dilakukan adalah evaluasi
yang bersifat komprehensif dan multi-aspek. Evaluasi itu dilakukan
berdasarkan cetak biru (blueprint) lama menyangkut Papua, baik dari sisi
regulasi, ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah yang terkait dengan
masyarakat internasional.
Apabila blueprint itu tidak ada, dasar perundang-undangan saja tidak
cukup, karena terjadinya saling tabrak antar-undang-undang. UU Nomor 21
Tahun 2001, misalnya, membutuhkan undang-undang sektoral di bidang
pendidikan dan kesehatan. Kalaupun Presiden SBY sudah mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sifatnya hanya “macan kertas”,
karena tidak disertai dengan bentuk kelembagaan khusus. Inpres Nomor
5/2007 itu hanya bersifat koordinasi antarkementerian dengan pemerintah
provinsi.
Kebudayaan
Papua memang kecil dari sisi jumlah penduduk, tapi besar dari sisi
ekonomi, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, luas wilayah, kebudayaan,
dan segala sesuatu yang terhubung dengan peradaban. Dan yang menciptakan
kebudayaan adalah manusia. Manusia-manusia Papua berada pada sisi
paling puncak untuk mengedepankan kemajuan Indonesia dari sisi peradaban
itu. Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak Papua sudah berkontribusi
dengan sangat fenomenal di sisi ilmu pengetahuan dan olahraga.
Indonesia tidak bisa lagi dianggap enteng dalam Olimpiade fisika dan
matematika, karena ada antara lain anak-anak Papua di dalamnya. Di dunia
sepak bola, anak-anak Papua memicu euforia tentang Burung Garuda, baik
ketika Indonesia kalah, apalagi menang. Sekalipun kecil dari sisi
jumlah, nama Indonesia yang dibawa oleh anak-anak Papua berhasil
menaikkan posisi yang baik bagi negara yang berpenduduk nomor empat di
dunia ini. Keberhasilan anak-anak Papua itu juga diiringi dengan
dukungan yang semakin fanatik terhadap masalah-masalah Papua dalam
masyarakat Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan sentimen “anti
atau pro-pemerintah”.
Data-data menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini tidak ada
perubahan berarti dari sisi distribusi penduduk, indeks pembangunan
manusia, sampai pemerataan pembangunan. Pulau Jawa kian penuh dengan
manusia, karena besarnya jumlah penduduk yang hidup dan bertempat
tinggal di sana. Cina, sebagai bangsa, melakukan semacam revolusi
kebudayaan untuk mengubah karakternya. Revolusi itu antara lain ditandai
dengan proses “penghancuran” kapitalisme, termasuk dengan menyuruh kaum
intelektual memegang cangkul ketimbang pena.
Indonesia barangkali tidak perlu melakukan proses yang memakan korban
banyak itu. Namun satu strategi kebudayaan perlu disusun atas Papua.
Strategi kebudayaan itu disusun berdasarkan pilinan kisah sejarah dan
mitologi yang lama tertanam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
tentang perbenturan kekuasaan. Dengan memasukkan Papua sebagai bagian
dari strategi kebudayaan itu, mau tidak mau Jakarta perlu memikirkan
bagaimana menempatkan manusia dan tanah Papua dalam bingkai kehidupan
Indonesia di masa mendatang.
Apakah akan semakin banyak migrasi manusia Melayu berambut lurus dan
berkulit sawo matang ke daerah-daerah yang ditinggali manusia-manusia
Papua berambut keriting dan berkulit hitam itu? Bagaimana pola asimilasi
yang dilakukan, berikut antisipasi atas proses akulturasi yang terjadi
pada ras Melanesia? Pertanyaan-pertanyaan besar dan mewah ini tidak bisa
hanya didiskusikan menjadi produk kebijakan yang bersifat ad hoc, tapi
juga tersusun rapi dalam bentuk yang paling akademis berupa platform
yang disusun oleh para ahli.
Saya yakin, pada akhirnya akan semakin banyak orang Indonesia di tanah
Jawa yang sudah saling-silang secara genetika dan kebudayaan yang di
kemudian hari datang ke Papua. Nah, masalahnya, apakah tempat yang nanti
menjadi masa depan Indonesia itu adalah wilayah yang sudah
luluh-lantak, sebagaimana nasib para Aborigin akibat kolonialisme
perbudakan bangsa-bangsa Eropa di Australia atau di Amerika Serikat?
Indonesia wajib menunjukkan keberadabannya dibandingkan dengan sejarah
masa lalu bangsa-bangsa Eropa itu. Dan cara satu-satunya adalah serius
dengan masalah-masalah Papua serta berpikir besar dan humanistik dalam
menyelesaikannya…
*) Indra J. Piliang, Dewan Penasihat The Indonesian Institute /14
November 2011
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Strategi Kebudayaan
atas Papua *)
Posted By: PuJa Esai, Indra J. Piliang, Sastra-Indonesia.com
Indra J. Piliang *
http://www.tempo.co/
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan
kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah
otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian
Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku
(besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta,
perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak
aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua”
sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet,
sembari “melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi,
terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama
terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku
Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses
asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga “nasionalisme
etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi
suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali
argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian
Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Namun, karena Papua secara administrasi sudah lama menjadi bagian dari
Belanda dan lalu Indonesia, persoalan kultural bisa dijadikan sebagai
unsur penguat, bukan penghambat. Hanya, sampai sejauh ini Papua terlalu
didekati sebagai masalah keamanan, ketimbang kesejahteraan. Penyebutan
nama “gerakan separatis”, misalnya, tidak diimbangi dengan upaya-upaya
lain untuk membatasi gerak ekspansi modal ke Papua, yang semakin
memperkeruh situasi. Konsesi yang diberikan kepada kaum pemodal di dalam
dan luar negeri ternyata menjadi alasan bagi munculnya “gerakan
separatis”, yang sebetulnya berakar dalam kesenjangan ekonomi.
Ras Melanesia memang sudah diakui eksistensinya di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Bahkan
Majelis Rakyat Papua (MRP) dijadikan sebagai lembaga kultural
satu-satunya di tingkat provinsi di Indonesia. Masalahnya, MRP
menghadapi ganjalan, baik dari sisi regulasi di bawah UU Nomor 21/2001
yang tidak selesai maupun dari luasnya wilayah yang mereka harus wakili.
Tetap terus dicatat bahwa luas Papua adalah 3,5 kali Pulau Jawa, dengan
infrastruktur yang minim.
Penelitian
Papua adalah lokasi penelitian yang termasuk paling baik di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian itu sudah dipublikasikan di dalam dan luar
negeri. Setiap tahun, selalu saja terbit buku-buku yang bercerita
tentang Papua, dari masyarakat, kekayaan alam, sampai penghuni lain
berupa hewan dan tumbuhan. Padahal proses penelitian itu belum
dimaksimalkan, mengingat keringnya visi riset para pengambil keputusan
di Indonesia.
Sejumlah buku menyebutkan besarnya peran tentara dalam proses
pembangunan Papua. Lembah Baliem, yang dihuni suku Dani, misalnya, sudah
dimasuki pada 1964 lewat Operasi Karya Kodim 1712 dari Kodam
XVII/Cenderawasih (Koentjaraningrat: 1993: 297). Para mahasiswa juga
dilibatkan dalam proses itu, terutama untuk percepatan di bidang
pendidikan. Belakangan proses itu dilakukan secara “normal” oleh
pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Akibat yang muncul adalah semakin
banyak penduduk dari luar Papua yang masuk ke Papua. Persentasenya
diperkirakan sama, 50 persen : 50 persen, dalam waktu dekat.
Masalahnya, apa model yang tepat dalam pembangunan Papua ke depan?
Apakah Papua dibangun untuk warga Papua dalam ras Melanesia? Ataukah
memang seperti yang dilancarkan sejak Operasi Koteka pada 1975–termasuk
pembangunan alat komunikasi sebagai receiver Satelit Palapa–yakni
mengejar kesejajaran dengan belahan Indonesia lain? Ataukah Papua
dikembangkan dengan model yang berbeda dengan bagian Indonesia lainnya?
Tidak mudah untuk memulai lagi suatu proses pembangunan yang sudah
berjalan lama dengan akibat-akibat positif dan negatifnya. Untuk
memindahkan barak-barak militer dari lokasi yang berdekatan dan di
tengah-tengah penduduk saja sulit. Yang bisa dilakukan adalah evaluasi
yang bersifat komprehensif dan multi-aspek. Evaluasi itu dilakukan
berdasarkan cetak biru (blueprint) lama menyangkut Papua, baik dari sisi
regulasi, ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah yang terkait dengan
masyarakat internasional.
Apabila blueprint itu tidak ada, dasar perundang-undangan saja tidak
cukup, karena terjadinya saling tabrak antar-undang-undang. UU Nomor 21
Tahun 2001, misalnya, membutuhkan undang-undang sektoral di bidang
pendidikan dan kesehatan. Kalaupun Presiden SBY sudah mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sifatnya hanya “macan kertas”,
karena tidak disertai dengan bentuk kelembagaan khusus. Inpres Nomor
5/2007 itu hanya bersifat koordinasi antarkementerian dengan pemerintah
provinsi.
Kebudayaan
Papua memang kecil dari sisi jumlah penduduk, tapi besar dari sisi
ekonomi, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, luas wilayah, kebudayaan,
dan segala sesuatu yang terhubung dengan peradaban. Dan yang menciptakan
kebudayaan adalah manusia. Manusia-manusia Papua berada pada sisi
paling puncak untuk mengedepankan kemajuan Indonesia dari sisi peradaban
itu. Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak Papua sudah berkontribusi
dengan sangat fenomenal di sisi ilmu pengetahuan dan olahraga.
Indonesia tidak bisa lagi dianggap enteng dalam Olimpiade fisika dan
matematika, karena ada antara lain anak-anak Papua di dalamnya. Di dunia
sepak bola, anak-anak Papua memicu euforia tentang Burung Garuda, baik
ketika Indonesia kalah, apalagi menang. Sekalipun kecil dari sisi
jumlah, nama Indonesia yang dibawa oleh anak-anak Papua berhasil
menaikkan posisi yang baik bagi negara yang berpenduduk nomor empat di
dunia ini. Keberhasilan anak-anak Papua itu juga diiringi dengan
dukungan yang semakin fanatik terhadap masalah-masalah Papua dalam
masyarakat Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan sentimen “anti
atau pro-pemerintah”.
Data-data menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini tidak ada
perubahan berarti dari sisi distribusi penduduk, indeks pembangunan
manusia, sampai pemerataan pembangunan. Pulau Jawa kian penuh dengan
manusia, karena besarnya jumlah penduduk yang hidup dan bertempat
tinggal di sana. Cina, sebagai bangsa, melakukan semacam revolusi
kebudayaan untuk mengubah karakternya. Revolusi itu antara lain ditandai
dengan proses “penghancuran” kapitalisme, termasuk dengan menyuruh kaum
intelektual memegang cangkul ketimbang pena.
Indonesia barangkali tidak perlu melakukan proses yang memakan korban
banyak itu. Namun satu strategi kebudayaan perlu disusun atas Papua.
Strategi kebudayaan itu disusun berdasarkan pilinan kisah sejarah dan
mitologi yang lama tertanam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
tentang perbenturan kekuasaan. Dengan memasukkan Papua sebagai bagian
dari strategi kebudayaan itu, mau tidak mau Jakarta perlu memikirkan
bagaimana menempatkan manusia dan tanah Papua dalam bingkai kehidupan
Indonesia di masa mendatang.
Apakah akan semakin banyak migrasi manusia Melayu berambut lurus dan
berkulit sawo matang ke daerah-daerah yang ditinggali manusia-manusia
Papua berambut keriting dan berkulit hitam itu? Bagaimana pola asimilasi
yang dilakukan, berikut antisipasi atas proses akulturasi yang terjadi
pada ras Melanesia? Pertanyaan-pertanyaan besar dan mewah ini tidak bisa
hanya didiskusikan menjadi produk kebijakan yang bersifat ad hoc, tapi
juga tersusun rapi dalam bentuk yang paling akademis berupa platform
yang disusun oleh para ahli.
Saya yakin, pada akhirnya akan semakin banyak orang Indonesia di tanah
Jawa yang sudah saling-silang secara genetika dan kebudayaan yang di
kemudian hari datang ke Papua. Nah, masalahnya, apakah tempat yang nanti
menjadi masa depan Indonesia itu adalah wilayah yang sudah
luluh-lantak, sebagaimana nasib para Aborigin akibat kolonialisme
perbudakan bangsa-bangsa Eropa di Australia atau di Amerika Serikat?
Indonesia wajib menunjukkan keberadabannya dibandingkan dengan sejarah
masa lalu bangsa-bangsa Eropa itu. Dan cara satu-satunya adalah serius
dengan masalah-masalah Papua serta berpikir besar dan humanistik dalam
menyelesaikannya…
*) Indra J. Piliang, Dewan Penasihat The Indonesian Institute /14
November 2011
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Strategi Kebudayaan
atas Papua *)
Posted By: PuJa Esai, Indra J. Piliang, Sastra-Indonesia.com
Indra J. Piliang *
http://www.tempo.co/
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan
kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah
otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian
Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku
(besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta,
perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak
aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua”
sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet,
sembari “melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi,
terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama
terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku
Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses
asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga “nasionalisme
etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi
suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali
argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian
Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Namun, karena Papua secara administrasi sudah lama menjadi bagian dari
Belanda dan lalu Indonesia, persoalan kultural bisa dijadikan sebagai
unsur penguat, bukan penghambat. Hanya, sampai sejauh ini Papua terlalu
didekati sebagai masalah keamanan, ketimbang kesejahteraan. Penyebutan
nama “gerakan separatis”, misalnya, tidak diimbangi dengan upaya-upaya
lain untuk membatasi gerak ekspansi modal ke Papua, yang semakin
memperkeruh situasi. Konsesi yang diberikan kepada kaum pemodal di dalam
dan luar negeri ternyata menjadi alasan bagi munculnya “gerakan
separatis”, yang sebetulnya berakar dalam kesenjangan ekonomi.
Ras Melanesia memang sudah diakui eksistensinya di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Bahkan
Majelis Rakyat Papua (MRP) dijadikan sebagai lembaga kultural
satu-satunya di tingkat provinsi di Indonesia. Masalahnya, MRP
menghadapi ganjalan, baik dari sisi regulasi di bawah UU Nomor 21/2001
yang tidak selesai maupun dari luasnya wilayah yang mereka harus wakili.
Tetap terus dicatat bahwa luas Papua adalah 3,5 kali Pulau Jawa, dengan
infrastruktur yang minim.
Penelitian
Papua adalah lokasi penelitian yang termasuk paling baik di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian itu sudah dipublikasikan di dalam dan luar
negeri. Setiap tahun, selalu saja terbit buku-buku yang bercerita
tentang Papua, dari masyarakat, kekayaan alam, sampai penghuni lain
berupa hewan dan tumbuhan. Padahal proses penelitian itu belum
dimaksimalkan, mengingat keringnya visi riset para pengambil keputusan
di Indonesia.
Sejumlah buku menyebutkan besarnya peran tentara dalam proses
pembangunan Papua. Lembah Baliem, yang dihuni suku Dani, misalnya, sudah
dimasuki pada 1964 lewat Operasi Karya Kodim 1712 dari Kodam
XVII/Cenderawasih (Koentjaraningrat: 1993: 297). Para mahasiswa juga
dilibatkan dalam proses itu, terutama untuk percepatan di bidang
pendidikan. Belakangan proses itu dilakukan secara “normal” oleh
pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Akibat yang muncul adalah semakin
banyak penduduk dari luar Papua yang masuk ke Papua. Persentasenya
diperkirakan sama, 50 persen : 50 persen, dalam waktu dekat.
Masalahnya, apa model yang tepat dalam pembangunan Papua ke depan?
Apakah Papua dibangun untuk warga Papua dalam ras Melanesia? Ataukah
memang seperti yang dilancarkan sejak Operasi Koteka pada 1975–termasuk
pembangunan alat komunikasi sebagai receiver Satelit Palapa–yakni
mengejar kesejajaran dengan belahan Indonesia lain? Ataukah Papua
dikembangkan dengan model yang berbeda dengan bagian Indonesia lainnya?
Tidak mudah untuk memulai lagi suatu proses pembangunan yang sudah
berjalan lama dengan akibat-akibat positif dan negatifnya. Untuk
memindahkan barak-barak militer dari lokasi yang berdekatan dan di
tengah-tengah penduduk saja sulit. Yang bisa dilakukan adalah evaluasi
yang bersifat komprehensif dan multi-aspek. Evaluasi itu dilakukan
berdasarkan cetak biru (blueprint) lama menyangkut Papua, baik dari sisi
regulasi, ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah yang terkait dengan
masyarakat internasional.
Apabila blueprint itu tidak ada, dasar perundang-undangan saja tidak
cukup, karena terjadinya saling tabrak antar-undang-undang. UU Nomor 21
Tahun 2001, misalnya, membutuhkan undang-undang sektoral di bidang
pendidikan dan kesehatan. Kalaupun Presiden SBY sudah mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sifatnya hanya “macan kertas”,
karena tidak disertai dengan bentuk kelembagaan khusus. Inpres Nomor
5/2007 itu hanya bersifat koordinasi antarkementerian dengan pemerintah
provinsi.
Kebudayaan
Papua memang kecil dari sisi jumlah penduduk, tapi besar dari sisi
ekonomi, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, luas wilayah, kebudayaan,
dan segala sesuatu yang terhubung dengan peradaban. Dan yang menciptakan
kebudayaan adalah manusia. Manusia-manusia Papua berada pada sisi
paling puncak untuk mengedepankan kemajuan Indonesia dari sisi peradaban
itu. Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak Papua sudah berkontribusi
dengan sangat fenomenal di sisi ilmu pengetahuan dan olahraga.
Indonesia tidak bisa lagi dianggap enteng dalam Olimpiade fisika dan
matematika, karena ada antara lain anak-anak Papua di dalamnya. Di dunia
sepak bola, anak-anak Papua memicu euforia tentang Burung Garuda, baik
ketika Indonesia kalah, apalagi menang. Sekalipun kecil dari sisi
jumlah, nama Indonesia yang dibawa oleh anak-anak Papua berhasil
menaikkan posisi yang baik bagi negara yang berpenduduk nomor empat di
dunia ini. Keberhasilan anak-anak Papua itu juga diiringi dengan
dukungan yang semakin fanatik terhadap masalah-masalah Papua dalam
masyarakat Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan sentimen “anti
atau pro-pemerintah”.
Data-data menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini tidak ada
perubahan berarti dari sisi distribusi penduduk, indeks pembangunan
manusia, sampai pemerataan pembangunan. Pulau Jawa kian penuh dengan
manusia, karena besarnya jumlah penduduk yang hidup dan bertempat
tinggal di sana. Cina, sebagai bangsa, melakukan semacam revolusi
kebudayaan untuk mengubah karakternya. Revolusi itu antara lain ditandai
dengan proses “penghancuran” kapitalisme, termasuk dengan menyuruh kaum
intelektual memegang cangkul ketimbang pena.
Indonesia barangkali tidak perlu melakukan proses yang memakan korban
banyak itu. Namun satu strategi kebudayaan perlu disusun atas Papua.
Strategi kebudayaan itu disusun berdasarkan pilinan kisah sejarah dan
mitologi yang lama tertanam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
tentang perbenturan kekuasaan. Dengan memasukkan Papua sebagai bagian
dari strategi kebudayaan itu, mau tidak mau Jakarta perlu memikirkan
bagaimana menempatkan manusia dan tanah Papua dalam bingkai kehidupan
Indonesia di masa mendatang.
Apakah akan semakin banyak migrasi manusia Melayu berambut lurus dan
berkulit sawo matang ke daerah-daerah yang ditinggali manusia-manusia
Papua berambut keriting dan berkulit hitam itu? Bagaimana pola asimilasi
yang dilakukan, berikut antisipasi atas proses akulturasi yang terjadi
pada ras Melanesia? Pertanyaan-pertanyaan besar dan mewah ini tidak bisa
hanya didiskusikan menjadi produk kebijakan yang bersifat ad hoc, tapi
juga tersusun rapi dalam bentuk yang paling akademis berupa platform
yang disusun oleh para ahli.
Saya yakin, pada akhirnya akan semakin banyak orang Indonesia di tanah
Jawa yang sudah saling-silang secara genetika dan kebudayaan yang di
kemudian hari datang ke Papua. Nah, masalahnya, apakah tempat yang nanti
menjadi masa depan Indonesia itu adalah wilayah yang sudah
luluh-lantak, sebagaimana nasib para Aborigin akibat kolonialisme
perbudakan bangsa-bangsa Eropa di Australia atau di Amerika Serikat?
Indonesia wajib menunjukkan keberadabannya dibandingkan dengan sejarah
masa lalu bangsa-bangsa Eropa itu. Dan cara satu-satunya adalah serius
dengan masalah-masalah Papua serta berpikir besar dan humanistik dalam
menyelesaikannya…
*) Indra J. Piliang, Dewan Penasihat The Indonesian Institute /14
November 2011
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Strategi Kebudayaan
atas Papua *)
Posted By: PuJa Esai, Indra J. Piliang, Sastra-Indonesia.com
Indra J. Piliang *
http://www.tempo.co/
Masalah Papua terletak dalam sudut pandang Jakarta. Memang ada persoalan
kompetensi pejabat-pejabat Papua yang mendapat kesempatan setelah
otonomi khusus dijalankan, dan nama Papua dikembalikan dari nama Irian
Jaya oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Rata-rata sejumlah kepala suku
(besar) di Papua mendapatkan posisi, baik di pemerintahan, swasta,
perusahaan, maupun perguruan tinggi, sampai jabatan-jabatan lain. Tak
aneh kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasukkan unsur “Papua”
sebagai salah satu pertimbangan dalam matrikulasi reshuffle kabinet,
sembari “melupakan” etnis Sunda atau Jawa Barat. Masalah ini, lagi-lagi,
terkait dengan pola pikir Jakarta atas Papua dan daerah-daerah lain.
Papua memang kesulitan masuk dalam bingkai keindonesiaan, terutama
terkait dengan proses asimilasi, misalnya lewat perkawinan antarsuku
Melanesia dengan suku Melayu, Jawa, Sunda, dan Batak. Sebaliknya, proses
asimilasi terjadi di kalangan suku-suku lain, sehingga “nasionalisme
etnis” terkendalikan dalam darah baru keindonesiaan. Sulitnya asimilasi
suku-suku Papua dengan suku-suku Indonesia lainnya membuktikan kembali
argumentasi Mohammad Hatta, yang memang tidak sepenuhnya mendukung Irian
Jaya sebagai bagian dari Indonesia.
Namun, karena Papua secara administrasi sudah lama menjadi bagian dari
Belanda dan lalu Indonesia, persoalan kultural bisa dijadikan sebagai
unsur penguat, bukan penghambat. Hanya, sampai sejauh ini Papua terlalu
didekati sebagai masalah keamanan, ketimbang kesejahteraan. Penyebutan
nama “gerakan separatis”, misalnya, tidak diimbangi dengan upaya-upaya
lain untuk membatasi gerak ekspansi modal ke Papua, yang semakin
memperkeruh situasi. Konsesi yang diberikan kepada kaum pemodal di dalam
dan luar negeri ternyata menjadi alasan bagi munculnya “gerakan
separatis”, yang sebetulnya berakar dalam kesenjangan ekonomi.
Ras Melanesia memang sudah diakui eksistensinya di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Bahkan
Majelis Rakyat Papua (MRP) dijadikan sebagai lembaga kultural
satu-satunya di tingkat provinsi di Indonesia. Masalahnya, MRP
menghadapi ganjalan, baik dari sisi regulasi di bawah UU Nomor 21/2001
yang tidak selesai maupun dari luasnya wilayah yang mereka harus wakili.
Tetap terus dicatat bahwa luas Papua adalah 3,5 kali Pulau Jawa, dengan
infrastruktur yang minim.
Penelitian
Papua adalah lokasi penelitian yang termasuk paling baik di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian itu sudah dipublikasikan di dalam dan luar
negeri. Setiap tahun, selalu saja terbit buku-buku yang bercerita
tentang Papua, dari masyarakat, kekayaan alam, sampai penghuni lain
berupa hewan dan tumbuhan. Padahal proses penelitian itu belum
dimaksimalkan, mengingat keringnya visi riset para pengambil keputusan
di Indonesia.
Sejumlah buku menyebutkan besarnya peran tentara dalam proses
pembangunan Papua. Lembah Baliem, yang dihuni suku Dani, misalnya, sudah
dimasuki pada 1964 lewat Operasi Karya Kodim 1712 dari Kodam
XVII/Cenderawasih (Koentjaraningrat: 1993: 297). Para mahasiswa juga
dilibatkan dalam proses itu, terutama untuk percepatan di bidang
pendidikan. Belakangan proses itu dilakukan secara “normal” oleh
pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Akibat yang muncul adalah semakin
banyak penduduk dari luar Papua yang masuk ke Papua. Persentasenya
diperkirakan sama, 50 persen : 50 persen, dalam waktu dekat.
Masalahnya, apa model yang tepat dalam pembangunan Papua ke depan?
Apakah Papua dibangun untuk warga Papua dalam ras Melanesia? Ataukah
memang seperti yang dilancarkan sejak Operasi Koteka pada 1975–termasuk
pembangunan alat komunikasi sebagai receiver Satelit Palapa–yakni
mengejar kesejajaran dengan belahan Indonesia lain? Ataukah Papua
dikembangkan dengan model yang berbeda dengan bagian Indonesia lainnya?
Tidak mudah untuk memulai lagi suatu proses pembangunan yang sudah
berjalan lama dengan akibat-akibat positif dan negatifnya. Untuk
memindahkan barak-barak militer dari lokasi yang berdekatan dan di
tengah-tengah penduduk saja sulit. Yang bisa dilakukan adalah evaluasi
yang bersifat komprehensif dan multi-aspek. Evaluasi itu dilakukan
berdasarkan cetak biru (blueprint) lama menyangkut Papua, baik dari sisi
regulasi, ekonomi, sosial, budaya, maupun masalah yang terkait dengan
masyarakat internasional.
Apabila blueprint itu tidak ada, dasar perundang-undangan saja tidak
cukup, karena terjadinya saling tabrak antar-undang-undang. UU Nomor 21
Tahun 2001, misalnya, membutuhkan undang-undang sektoral di bidang
pendidikan dan kesehatan. Kalaupun Presiden SBY sudah mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sifatnya hanya “macan kertas”,
karena tidak disertai dengan bentuk kelembagaan khusus. Inpres Nomor
5/2007 itu hanya bersifat koordinasi antarkementerian dengan pemerintah
provinsi.
Kebudayaan
Papua memang kecil dari sisi jumlah penduduk, tapi besar dari sisi
ekonomi, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, luas wilayah, kebudayaan,
dan segala sesuatu yang terhubung dengan peradaban. Dan yang menciptakan
kebudayaan adalah manusia. Manusia-manusia Papua berada pada sisi
paling puncak untuk mengedepankan kemajuan Indonesia dari sisi peradaban
itu. Dalam beberapa tahun terakhir, anak-anak Papua sudah berkontribusi
dengan sangat fenomenal di sisi ilmu pengetahuan dan olahraga.
Indonesia tidak bisa lagi dianggap enteng dalam Olimpiade fisika dan
matematika, karena ada antara lain anak-anak Papua di dalamnya. Di dunia
sepak bola, anak-anak Papua memicu euforia tentang Burung Garuda, baik
ketika Indonesia kalah, apalagi menang. Sekalipun kecil dari sisi
jumlah, nama Indonesia yang dibawa oleh anak-anak Papua berhasil
menaikkan posisi yang baik bagi negara yang berpenduduk nomor empat di
dunia ini. Keberhasilan anak-anak Papua itu juga diiringi dengan
dukungan yang semakin fanatik terhadap masalah-masalah Papua dalam
masyarakat Indonesia, terutama ketika berhadapan dengan sentimen “anti
atau pro-pemerintah”.
Data-data menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini tidak ada
perubahan berarti dari sisi distribusi penduduk, indeks pembangunan
manusia, sampai pemerataan pembangunan. Pulau Jawa kian penuh dengan
manusia, karena besarnya jumlah penduduk yang hidup dan bertempat
tinggal di sana. Cina, sebagai bangsa, melakukan semacam revolusi
kebudayaan untuk mengubah karakternya. Revolusi itu antara lain ditandai
dengan proses “penghancuran” kapitalisme, termasuk dengan menyuruh kaum
intelektual memegang cangkul ketimbang pena.
Indonesia barangkali tidak perlu melakukan proses yang memakan korban
banyak itu. Namun satu strategi kebudayaan perlu disusun atas Papua.
Strategi kebudayaan itu disusun berdasarkan pilinan kisah sejarah dan
mitologi yang lama tertanam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa,
tentang perbenturan kekuasaan. Dengan memasukkan Papua sebagai bagian
dari strategi kebudayaan itu, mau tidak mau Jakarta perlu memikirkan
bagaimana menempatkan manusia dan tanah Papua dalam bingkai kehidupan
Indonesia di masa mendatang.
Apakah akan semakin banyak migrasi manusia Melayu berambut lurus dan
berkulit sawo matang ke daerah-daerah yang ditinggali manusia-manusia
Papua berambut keriting dan berkulit hitam itu? Bagaimana pola asimilasi
yang dilakukan, berikut antisipasi atas proses akulturasi yang terjadi
pada ras Melanesia? Pertanyaan-pertanyaan besar dan mewah ini tidak bisa
hanya didiskusikan menjadi produk kebijakan yang bersifat ad hoc, tapi
juga tersusun rapi dalam bentuk yang paling akademis berupa platform
yang disusun oleh para ahli.
Saya yakin, pada akhirnya akan semakin banyak orang Indonesia di tanah
Jawa yang sudah saling-silang secara genetika dan kebudayaan yang di
kemudian hari datang ke Papua. Nah, masalahnya, apakah tempat yang nanti
menjadi masa depan Indonesia itu adalah wilayah yang sudah
luluh-lantak, sebagaimana nasib para Aborigin akibat kolonialisme
perbudakan bangsa-bangsa Eropa di Australia atau di Amerika Serikat?
Indonesia wajib menunjukkan keberadabannya dibandingkan dengan sejarah
masa lalu bangsa-bangsa Eropa itu. Dan cara satu-satunya adalah serius
dengan masalah-masalah Papua serta berpikir besar dan humanistik dalam
menyelesaikannya…
*) Indra J. Piliang, Dewan Penasihat The Indonesian Institute /14
November 2011
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money : http://ow.ly/KNICZ
0 Komentar