"Ko su lupa ko pu kata-kata
dan ko pu janji dulu itukah? Ko dengar sa bicara kah tidak. Sayang, ko kenapa
dengan saya? Dulu ko bilang nanti selamanya torang dua baru, kenapa sekarang ko
pergi dengan yang lain?."
Hati Ferry hancur begitu ingat kembali kata-kata ini. Kata-kata yang membawa dia ke lamunan malam itu, malam yang sangat menyakitkan baginya, karena kekasihnya yang selama ini dijadikan pujaan hatinya, pergi ke lain hati.
Malam itu, terpaksa, saya harus temani dia. Saya membisu menyaksikan apa yang teman lakukan. Dia sangat merana. Raut muka tampak pucat pasi. Air mata tiada berhenti mengalir dari kelopak matanya.
Ferry, teman saya, kehilangan sang belahan jiwanya. Ia tak pernah menyangka kalau cintanya pergi tinggalkan dia. Pergi begitu saja meninggalkan luka yang mendalam.
Ferry awalnya yakin, kekasihnya yang ia impikan akan bersama-sama dalam hidup, yang sudah pernah berjanji kalau mereka berdua akan hidup bersama, baik dalam suka maupun duka.
Semua keindahan cintanya sudah luntur. Goresan luka yang ditorehkan kekasihnya sangat menyakitkan bagaikan diiris sembilu. Malam itu, di bawah bayang-bayang sejuta kenangan yang pernah mereka dua alami selama beradu kasih, dia terbaring tak berdaya. Membayangkan segudang kisah yang mereka dua ukir bersama.
"Sayang, sa cinta ko skali..." Sembari menarik nafas panjang, ia mulai menceritakan semua kisah dan kenangan berdua dalam perjalanan hidup selama masih bersama. Air matanya terus mengalir tiada hentinya. Kata-katanya pun mengalir bak air sungai yang mengalir tiada henti. Air mata dan kata-katanya bersatu dalam hari yang merana.
Kasihan, saya baru kali ini melihat Ferry bisa keadaan seperti ini.
Malam itu, hanya bintang yang menjadi penerang bagi kami. Lorong yang ia tempuh memang sangat jauh rasanya. Hanya kumuh yang ada. Rumah-rumah tak berpenghuni berjejeran di pinggir lorong. Lampu di ujung lorong jauh sekali. Samarpun tidak. Malam yang sangat gelap.
Mentari yang dinanti pun tak kunjung datang, sekalipun berharap datang secepat walau barusan tadi kami berpisah dan ia pergi ke peraduannya. Hangatnya matahari sangat butuh malam ini. Api yang kami pasangpun mati ditiup angin.
Malam kian gelap. Langit ditutupi awan hitam. Bintang tak terlihat lagi. Angin malam mulai menusuk tubuh kami. Kulit kami sudah tidak bisa menahan gempuran dinginnya malam ini. Kristal putih pun mulai berjatuhan. Dalam remangnya malam itu, kami tidak bisa berbuat banyak. Ferry benar-benar merasakan betapa sakitnya hati.
Malam itu benar-benar gelap bagi Ferry. Untung, ada suara indah daerah Teluk Cenderawasih yang pernah hadir di tengah-tengah masyarakat Papua Tengah lewat 'Tarua Tune Group' menemani saya dan Ferry. Suara-suara emas benar-benar menjadi penghibur satu-satunya. Group dengan personilnya (Alm) Auleman Pekey, Edmar Ukago, Herman You, Aleks Giyai, Dorteis Tawaru, Engelbertus Degei, Bazzry Warfete dan Hagar Madai, satu-satunya perempuan yang ada di dalam group Tarua Tune.
Lantunan lagu-lagunya di malam itu benar-benar membawa kami ke dunia kami masing-masing. Ferry tenggelam dalam dunia yang sedang merana. Saya menikmati syair-syair daerah Papua Tengah ini. Perpaduan antara suara dan musik yang mereka mainkan sangat serasi. Saya merasakannya. Tak heran kalau masyarakat masih menantikan kelanjutan dari suara mereka.
Entah mengapa, Tarua Tune belum ada kelanjutannya, padahal para pecinta musik ala daerah Papua Tengah sangat nantikan karena suara mereka dan cara bermain musik sungguh indah seindah suara Cenderawasih di alam Papua.
Sunyi malam itu tidak membuat teman saya harus sunyi. Dia sangat rasakan sunyi walau ada suara indah sedang menemani. Saya ada di sampingnya, sedang menemani Ferry.
Betapa sakitnya hati Ferry di malam itu, kembali ingatkan saya pada cerita dari para orang tua yang ada di Dogiyai. Bagaimana mereka merasakan sakitnya mereka ketika melihat anak-anak mereka yang sedang duduk di kursi empuk, Legilaslatif maupun Eksekutif.
Mereka mencurahkan isi hati mereka. Betapa mereka kehilangan anak-anak yang mereka sangat cintai. Anak-anak mereka yang pernah merasakan bagaimana susahnya hidup dan betapa kerasnya hidup di muka bumi ini.
Sebelum duduk di kursi empuk, mereka pernah lontarkan dari bibir manis mereka, kata-kata yang sangat manis. Kata-kata yang penuh bermakna. Saat mereka sampaikan, kata-kata yang dipakai sama seperti pujangga terkenal. Kata-kata sangat indah didengar dan punya makna luas.
Dalam janji mereka, yang sering disebut janji politik selama masa kampanye, di atas panggung, para calon legislatif saling berlomba menjadi yang terbaik dalam urusan kata-kata dan janji-janji manis. Mereka janji ini, janji itu. Terlalu banyak janjinya. Janji mereka sangat meyakinkan, memikat hati orang yang mendengarnya.
Mereka menjadi orator musiman yang membuat para pendengar terkesima. Mereka menghipnotis masyarakat dengan kata-kata yang "wah". Kala itu, orang yang mendengarnya merasa terharu. Ada pula yang harus menjatuhkan air mata hanya karena kata-kata mereka.
Sangat tidak salah, seorang penulis asal Papua, Yakobus Dumupa, dalam bukunya "Pemimpin Besar", mengatakan "kata itu senjata". Memang, kata-kata memiliki peran besar untuk mencuri perhatian, membuat orang lain terhanyut dengan pembicaraan kita, dan lainnya.
Para orang tua bercerita, mereka selalu tergiur dengan kata-kata dalam janji-janji dari atas panggung kampanye. Kata-kata yang disampaikan setelah memilih karena kata-kata yang manis dan menjanjikan dan sudah menjadi orang-orang bisa duduk di kursi empuk, ternyata mereka juga terlena dengan kata-kata mereka sendiri.
Para anggota Legislatif dan Eksekutif, selalu lupa dengan janji-janji manis mereka yang sudah mereka sampaikan saat mereka menjadi orator terbaik musiman dengan kata-kata yang membuat orang lain terlena.
Masyarakat yang sudah terlanjur dengan kata-kata mereka, ketika para Legislatif dan Eksekutif terlanjur sayang orang lain (selama ini ada kenyataan berbagai daerah di Papua), yang menjadi sakit hati adalah mereka yang pernah terlanjur dalam keindahan kata-kata dari para orator musiman.
"Kami tidak tahu, di sini ada Bupati kah, DPR kah, bos-bos kah atau memang tidak ada sama sekali?. Kami pikir nanti dorang selamanya ada di sini," tokoh masyarakat itu bicara kepada mahasiswa pada beberapa waktu lalu.
"Mereka waktu calon itu janji-janji terlalu banyak. Setelah sudah terpilih, tidak tahu mereka semua di mana," sambung paitua itu.
Ya, masyarakat sangat merindukan anak-anaknya yang sedang bersandiwara di atas jabatan. Tokoh masyarakat tadi sedang sakit hati. Mereka yang diharapkan menjadi panutan di dalam kehidupan masyarakat, ternyata ke lain hati.
Terpilih dan dilantik menjadi Eksekutif ataupun Legislatif, mereka mulai lupakan kata-kata mereka yang pernah mereka tabur di hati masyarakat. Kata-kata mereka itu sudah tumbuh subur dalam setiap diri orang yang pernah dengar umbar janjinya.
Begitu memasuki di masa akhir tahun, para Legislatif dan Eksekutif mulai lakukan hal seperti yang pernah lakukan di lima tahun sebelumnya. Mereka umbar janji. Janjinya manis. Mulai turunkan kaca mobil. Mulai buang senyum. Mulai bagi rokok. Mulai cerita bersama masyarakat. Mulai sapa sana sini.
"Lihat sekarang anggota dewan itu, tahun ini mulai pemilihan to, jadi sekarang ada jalan bersama masyarakat. Mulai bagi-bagi rokok. Kalau beberapa tahun kemarin itu, kita mau ketemu saja cari sampai minta ampun," seloroh salah satu masyarakat di Nabire.
Saya ingat lagi, beberapa waktu lalu ada sempat diekspos media massa, masyarakat dari salah satu kabupaten di Papua mengeluh karena bupatinya tidak pernah betah di tempat tugas. Entah kemana saja sang bupati?.
Membaca berita itu, saya jadi ingat kalau waktu sebelum terpilih sebagai bupati, pasti dia umbar janji-janji manis dan berbagai program kerja yang sangat baik untuk membangun kabupatennya. Ternyata, lain cerita setelah terpilih. Dia memilih ke lain hati. Sangat menyakitkan bagi rakyatnya.
Saya juga masih ingat, cerita dari salah satu intelektual asal Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai. Dia bilang, kalau kebanyakan kantor instansi kadang tidak buka selama bupati belum ada di Mowanemani. Nanti bupati ada, kembali ke Dogiyai, pasti semua kantor dibuka. Kebanyakan yang kerja di kantor-kantor, putra daerah Dogiyai semua.
Malam itu saya juga terhanyut dalam lamunan saya.
Sayapun dengan sendiri sudah tak pedulikan sama teman saya yang ada samping saya yang entah ada di alam mana.
Ah, kasihan teman saya ini, Ferry. Dia menjadi korban janji-janji manis dari "si dia", sama seperti kebanyakan masyarakat Papua yang tertipu dengan janji-janji manis dari calon pejabat Eksekutif maupun Legislatif!.
Demi, sakit hati skaliii....
Hati Ferry hancur begitu ingat kembali kata-kata ini. Kata-kata yang membawa dia ke lamunan malam itu, malam yang sangat menyakitkan baginya, karena kekasihnya yang selama ini dijadikan pujaan hatinya, pergi ke lain hati.
Malam itu, terpaksa, saya harus temani dia. Saya membisu menyaksikan apa yang teman lakukan. Dia sangat merana. Raut muka tampak pucat pasi. Air mata tiada berhenti mengalir dari kelopak matanya.
Ferry, teman saya, kehilangan sang belahan jiwanya. Ia tak pernah menyangka kalau cintanya pergi tinggalkan dia. Pergi begitu saja meninggalkan luka yang mendalam.
Ferry awalnya yakin, kekasihnya yang ia impikan akan bersama-sama dalam hidup, yang sudah pernah berjanji kalau mereka berdua akan hidup bersama, baik dalam suka maupun duka.
Semua keindahan cintanya sudah luntur. Goresan luka yang ditorehkan kekasihnya sangat menyakitkan bagaikan diiris sembilu. Malam itu, di bawah bayang-bayang sejuta kenangan yang pernah mereka dua alami selama beradu kasih, dia terbaring tak berdaya. Membayangkan segudang kisah yang mereka dua ukir bersama.
"Sayang, sa cinta ko skali..." Sembari menarik nafas panjang, ia mulai menceritakan semua kisah dan kenangan berdua dalam perjalanan hidup selama masih bersama. Air matanya terus mengalir tiada hentinya. Kata-katanya pun mengalir bak air sungai yang mengalir tiada henti. Air mata dan kata-katanya bersatu dalam hari yang merana.
Kasihan, saya baru kali ini melihat Ferry bisa keadaan seperti ini.
Malam itu, hanya bintang yang menjadi penerang bagi kami. Lorong yang ia tempuh memang sangat jauh rasanya. Hanya kumuh yang ada. Rumah-rumah tak berpenghuni berjejeran di pinggir lorong. Lampu di ujung lorong jauh sekali. Samarpun tidak. Malam yang sangat gelap.
Mentari yang dinanti pun tak kunjung datang, sekalipun berharap datang secepat walau barusan tadi kami berpisah dan ia pergi ke peraduannya. Hangatnya matahari sangat butuh malam ini. Api yang kami pasangpun mati ditiup angin.
Malam kian gelap. Langit ditutupi awan hitam. Bintang tak terlihat lagi. Angin malam mulai menusuk tubuh kami. Kulit kami sudah tidak bisa menahan gempuran dinginnya malam ini. Kristal putih pun mulai berjatuhan. Dalam remangnya malam itu, kami tidak bisa berbuat banyak. Ferry benar-benar merasakan betapa sakitnya hati.
Malam itu benar-benar gelap bagi Ferry. Untung, ada suara indah daerah Teluk Cenderawasih yang pernah hadir di tengah-tengah masyarakat Papua Tengah lewat 'Tarua Tune Group' menemani saya dan Ferry. Suara-suara emas benar-benar menjadi penghibur satu-satunya. Group dengan personilnya (Alm) Auleman Pekey, Edmar Ukago, Herman You, Aleks Giyai, Dorteis Tawaru, Engelbertus Degei, Bazzry Warfete dan Hagar Madai, satu-satunya perempuan yang ada di dalam group Tarua Tune.
Lantunan lagu-lagunya di malam itu benar-benar membawa kami ke dunia kami masing-masing. Ferry tenggelam dalam dunia yang sedang merana. Saya menikmati syair-syair daerah Papua Tengah ini. Perpaduan antara suara dan musik yang mereka mainkan sangat serasi. Saya merasakannya. Tak heran kalau masyarakat masih menantikan kelanjutan dari suara mereka.
Entah mengapa, Tarua Tune belum ada kelanjutannya, padahal para pecinta musik ala daerah Papua Tengah sangat nantikan karena suara mereka dan cara bermain musik sungguh indah seindah suara Cenderawasih di alam Papua.
Sunyi malam itu tidak membuat teman saya harus sunyi. Dia sangat rasakan sunyi walau ada suara indah sedang menemani. Saya ada di sampingnya, sedang menemani Ferry.
Betapa sakitnya hati Ferry di malam itu, kembali ingatkan saya pada cerita dari para orang tua yang ada di Dogiyai. Bagaimana mereka merasakan sakitnya mereka ketika melihat anak-anak mereka yang sedang duduk di kursi empuk, Legilaslatif maupun Eksekutif.
Mereka mencurahkan isi hati mereka. Betapa mereka kehilangan anak-anak yang mereka sangat cintai. Anak-anak mereka yang pernah merasakan bagaimana susahnya hidup dan betapa kerasnya hidup di muka bumi ini.
Sebelum duduk di kursi empuk, mereka pernah lontarkan dari bibir manis mereka, kata-kata yang sangat manis. Kata-kata yang penuh bermakna. Saat mereka sampaikan, kata-kata yang dipakai sama seperti pujangga terkenal. Kata-kata sangat indah didengar dan punya makna luas.
Dalam janji mereka, yang sering disebut janji politik selama masa kampanye, di atas panggung, para calon legislatif saling berlomba menjadi yang terbaik dalam urusan kata-kata dan janji-janji manis. Mereka janji ini, janji itu. Terlalu banyak janjinya. Janji mereka sangat meyakinkan, memikat hati orang yang mendengarnya.
Mereka menjadi orator musiman yang membuat para pendengar terkesima. Mereka menghipnotis masyarakat dengan kata-kata yang "wah". Kala itu, orang yang mendengarnya merasa terharu. Ada pula yang harus menjatuhkan air mata hanya karena kata-kata mereka.
Sangat tidak salah, seorang penulis asal Papua, Yakobus Dumupa, dalam bukunya "Pemimpin Besar", mengatakan "kata itu senjata". Memang, kata-kata memiliki peran besar untuk mencuri perhatian, membuat orang lain terhanyut dengan pembicaraan kita, dan lainnya.
Para orang tua bercerita, mereka selalu tergiur dengan kata-kata dalam janji-janji dari atas panggung kampanye. Kata-kata yang disampaikan setelah memilih karena kata-kata yang manis dan menjanjikan dan sudah menjadi orang-orang bisa duduk di kursi empuk, ternyata mereka juga terlena dengan kata-kata mereka sendiri.
Para anggota Legislatif dan Eksekutif, selalu lupa dengan janji-janji manis mereka yang sudah mereka sampaikan saat mereka menjadi orator terbaik musiman dengan kata-kata yang membuat orang lain terlena.
Masyarakat yang sudah terlanjur dengan kata-kata mereka, ketika para Legislatif dan Eksekutif terlanjur sayang orang lain (selama ini ada kenyataan berbagai daerah di Papua), yang menjadi sakit hati adalah mereka yang pernah terlanjur dalam keindahan kata-kata dari para orator musiman.
"Kami tidak tahu, di sini ada Bupati kah, DPR kah, bos-bos kah atau memang tidak ada sama sekali?. Kami pikir nanti dorang selamanya ada di sini," tokoh masyarakat itu bicara kepada mahasiswa pada beberapa waktu lalu.
"Mereka waktu calon itu janji-janji terlalu banyak. Setelah sudah terpilih, tidak tahu mereka semua di mana," sambung paitua itu.
Ya, masyarakat sangat merindukan anak-anaknya yang sedang bersandiwara di atas jabatan. Tokoh masyarakat tadi sedang sakit hati. Mereka yang diharapkan menjadi panutan di dalam kehidupan masyarakat, ternyata ke lain hati.
Terpilih dan dilantik menjadi Eksekutif ataupun Legislatif, mereka mulai lupakan kata-kata mereka yang pernah mereka tabur di hati masyarakat. Kata-kata mereka itu sudah tumbuh subur dalam setiap diri orang yang pernah dengar umbar janjinya.
Begitu memasuki di masa akhir tahun, para Legislatif dan Eksekutif mulai lakukan hal seperti yang pernah lakukan di lima tahun sebelumnya. Mereka umbar janji. Janjinya manis. Mulai turunkan kaca mobil. Mulai buang senyum. Mulai bagi rokok. Mulai cerita bersama masyarakat. Mulai sapa sana sini.
"Lihat sekarang anggota dewan itu, tahun ini mulai pemilihan to, jadi sekarang ada jalan bersama masyarakat. Mulai bagi-bagi rokok. Kalau beberapa tahun kemarin itu, kita mau ketemu saja cari sampai minta ampun," seloroh salah satu masyarakat di Nabire.
Saya ingat lagi, beberapa waktu lalu ada sempat diekspos media massa, masyarakat dari salah satu kabupaten di Papua mengeluh karena bupatinya tidak pernah betah di tempat tugas. Entah kemana saja sang bupati?.
Membaca berita itu, saya jadi ingat kalau waktu sebelum terpilih sebagai bupati, pasti dia umbar janji-janji manis dan berbagai program kerja yang sangat baik untuk membangun kabupatennya. Ternyata, lain cerita setelah terpilih. Dia memilih ke lain hati. Sangat menyakitkan bagi rakyatnya.
Saya juga masih ingat, cerita dari salah satu intelektual asal Lembah Kamuu, Kabupaten Dogiyai. Dia bilang, kalau kebanyakan kantor instansi kadang tidak buka selama bupati belum ada di Mowanemani. Nanti bupati ada, kembali ke Dogiyai, pasti semua kantor dibuka. Kebanyakan yang kerja di kantor-kantor, putra daerah Dogiyai semua.
Malam itu saya juga terhanyut dalam lamunan saya.
Sayapun dengan sendiri sudah tak pedulikan sama teman saya yang ada samping saya yang entah ada di alam mana.
Ah, kasihan teman saya ini, Ferry. Dia menjadi korban janji-janji manis dari "si dia", sama seperti kebanyakan masyarakat Papua yang tertipu dengan janji-janji manis dari calon pejabat Eksekutif maupun Legislatif!.
Demi, sakit hati skaliii....
0 Komentar