Melanesia, Sejarah dan Politik sebuah Gagasan (4): the Melanesian Spearhead Group dan Identitas Kawasan Melanesia


Oleh; Stephanie Lawson

Pengantar dari penerjemah
Tulisan ini merupakan bagian keempat dan terakhir dari artikel panjang tentang sejarah dan politik Melanesia. Tulisan ini berfokus pada organisasi kawasan the Melanesian Spearhead Group yang memiliki klaim politik sangat kuat terhadap identitas Melanesianisme. Meski sedikit, penerjemah akan menambahkan satu paragraf tentang dinamika Melanesianisme sendiri di Papua Barat (West Papua), terutama klaim dari pemerintah Indonesia tentang populasi Melanesia di Indonesia. Penerjemah berharap akan ada tulisan-tulisan dari teman-teman Papua Barat sendiri mengenai wacana Melanesia yang berkembang dengan subur di wilayah ini. Veronika Kusumaryati.


Octovianus Mote dan Benny Wenda mewakili United Liberation Movement of West Papua di konferensi tingkat tinggi MSG, 2015. Credit photo: freewestpapua.org.
Beberapa peristiwa penting mendahului pembentukan organisasi politik subregional the Melanesian Spearhead Group, antara lain pidato Lini tentang sosialisme Melanesia yang disampaikan di Canberra pada tahun 1982 dan kemerdekaan PNG (1975), Solomon (1978), dan Vanuatu (1980).  Pembentukan awal MSG terjadi pada sebuah pertemuan informal pada tahun 1986 namun mencerminkan sebuah manifestasi penting ideologi Melanesianisme dalam politik kawasan yang telah cukup lama berkembang. Pada rapat pembukaan MSG, perdana menteri Somare dari PNG, juga figur penting dalam proses pembentukan MSG menyatakan bahwa “Semangat, persaudaraan dan solidaritas Melanesia kita telah disatukan dan kita meminta kebijakan non-interferensi dari kekuatan-kekuatan regional seiring kita menghadapi tantangan ke depan.”[1]  
Pada tahun 1988, perdana menteri PNG, Vanuatu dan Solomon secara resmi menandatangani serangkaian prinsip yang mengatur negara-negara ‘anggota’ ini untuk proses konsultasi dan kerjasama dalam isu-isu kawasan dan internasional.[2] Ron May mengatakan bahwa persetujuan tahun 1988 ini mungkin didorong oleh sebuah keinginan untuk menunjukkan dukungan Melanesia terhadap kemerdekaan Kanak. Peristiwa ini juga “mencerminkan persepsi bahwa bekas kekuatan kolonial di PIF seperti Australia dan Selandia Baru serta negara-negara Polinesia telah gagal mengambil isu kemerdekaan Kanak ini di Forum PIF secara memadai.”[3] Fiji baru akan bergabung dengan MSG pada tahun 1996. Barangkali hal ini mengindikasikan identifikasi yang lebih lemah terhadap Melanesianisme saat itu.
Persetujuan resmi yang sekarang ini menjadi dasar bekerjanya MSG ditandatangani pada bulan Maret 2007. Organisasi ini berkantor pusat di Vanuatu, dengan sekretariat yang didanai oleh China.  Pembukaan dari persetujuan resmi 2007 mengindikasikan bahwa keanggotaan MSG meliputi Fiji, PNG, Vanuatu dan Fron Nasional Pembebasan dan Sosialis Kanak (Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste, FLNKS) di Kaledonia Baru. FLNKS merupakan sebuah organisasi politik pribumi dan bukanlah sebuah negara yang berdaulat.
Pembukaan dokumen ini juga menyatakan solidaritas dan kerjasama kawasan dengan tujuan untuk memperkuat lembaga-lembaga kerjasama kawasan dan internasional. Ia juga menyatakan keinginan anggota MSG untuk menciptakan “sebuah kawasan yang dihormati karena kualitas pemerintahan yang baik, manajemen berkelanjutan atas sumber daya alam, penghormatan dan promosi kebudayaan, tradisi dan nilai-nilai Melanesia, dan pembelaan dan penegakan kemerdekaan/penentuan nasib sendiri sebagai hak yang tak terbantahkan dari masyarakat pribumi Melanesia dan penegakan HAM mereka.”[4]
MSG juga dibentuk dengan tujuan untuk memberikan suara yang lebih besar  bagi negara-negara Melanesia di Forum Pasifik Selatan.[5]  Sekarang ini, forum itu beranggotakan Australia, Selandia Baru, Fiji, Nauru, Pulau Cooks, Tonga dan Samoa—kebanyakan negara-negara Polinesia yang telah merdeka sejak tahun 1970.[6] Beberapa ahli berpendapat meski tujuan jelas MSG adalah memperkuat hubungan ekonomi Melanesia melalui perdagangan dan politik melalui berbagai pertemuan, “MSG mungkin juga bermaksud untuk menyatukan negara-negara Melanesia ini melawan dominasi Polinesia di organisasi-organisasi regional di wilayah Pasifik.”[7]
Sikap MSG yang mengambil sikap tegas sebagai sebuah organisasi Melanesia yang menekankan identitas khas Melanesia dan bukan hanya sebagai bekas negara jajahan dan bentuk identitas lain di Pasifik bisa dipahami dalam analisis politik kawasan. Norman McQueen mencatat bahwa meski Forum Pasifik Selatan (PIF) diakui sebagai organisasi kawasan yang paling penting, negara-negara Melanesia secara khusus memiliki beberapa posisi dan sikap yang berbeda dengan tetangga-tetangga Polinesia mereka dalam beberapa isu kawasan dan internasional.[8] Lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa Melanesia semakin merasa terasingkan dari apa yang mereka lihat sebagai konservatisme diplomatis negara-negara Polinesia terutama dalam isu-isu tertentu seperti percobaan nuklir di Kaledonia Baru.“[9]
Di artikel dia sebelumnya, MacQueen juga menemukan rasa curiga yang terus-menerus muncul, di PNG atau pun di negara-negara lain terhadap, “negara-negara Polinesia yang lebih konservatif dan tidak terlalu berkomitmen terhadap regionalisme luas di kawasan Pasifik. “ Negara-negara Melanesia menganggap bahwa mereka yang di Polinesia lebih suka untuk tetap berada di bawah bayang-bayang kolonial. Lebih jauh lagi, ada perasaan bahwa kehadiran negara-negara Polinesia yang secara jumlah lebih besar di dalam forum-forum ini merupakan penghalang bagi potensi negara-negara Melanesia dan bahwa negara-negara Melanesia yang jumlahnya lebih sedikit tetapi umumnya berpenduduk lebih besar memiliki hak untuk menyuarakan suaranya sendiri.”[10]
Satu persoalan yang melibatkan solidaritas Melanesia yang terbukti sangat penuh dengan kesulitan adalah menyangkut pesoalan Papua Barat (West Papua) dan ‘integrasi’-nya ke dalam negara Indonesia. Ekspresi nasionalisme Papua Barat dan perjuangan kemerdekaan Papua Barat melawan Indonesia diekspresikan dengan sangat kuat dalam istilah Melanesia. Oleh karena itu, tradisi-tradisi lokal di Papua Barat  “telah dimobilisasi dan diekspresikan di dalam bahasa kebudayaan Melanesia yang baru.”[11]
Nasionalisme Papua Barat yang diekspresikan sebagai Melanesianisme telah mendapat dukungan kuat dari Vanuatu. Pada bulan Juni 2010, Parlemen Vanuatu telah mengesahkan Undang-undang Wantok Bilong Yumi (the Wantok Bilong Yumi Bill) untuk mendukung perjuangan Papua Barat untuk merdeka dari Indonesia, mengikat Vanuatu ke dalam perjuangan untuk mendorong status pengamat (observer) Papua Barat di dalam MSG dan PIF. Editorial harian Islands Business berjudul “Capturing the pan Melanesian Spirit” melaporkan bahwa undang-undang Vanuatu ini merupakan perkembangan yang sangat bersejarah dalam konteks dukungan resmi di dalam komunitas persaudaraan Melanesia untuk perjuangan Papua Barat. [12]
Meski demikian, kepentingan politik PNG tidak terlalu sesuai dengan kepentingan politik para aktivis pro-kemerdekaan Papua Barat atau dengan semangat Melanesianisme yang dipromosikan Vanuatu dalam dukungannya terhadap Papua Barat. PNG secara konsisten telah menghalangi partisipasi aktivis pro-kemerdekaan Papua Barat di MSG bahkan di tingkat pengamat, meski di saat yang sama, PNG menyambut FLNKS. Oleh karena itu, Melanesianisme mempunyai batasan dalam konteks khusus politik kawasan ini.
[Seperti yang telah kita lihat, pada KTT MSG yang ke-20 di Honiara, Kepulauan Solomon tahun lalu, MSG menerima status organisasi politik perwakilan dari gerakan kemerdekaan Papua Barat United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai pengamat. Namun di saat yang sama, MSG juga menerima status Indonesia sebagai associate member. Indonesia sendiri mengklaim memiliki 11 juta populasi Melanesia di lima propinsi, yakni Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Meski tidak pernah didukung oleh sebuah penelitian antropologi serius, klaim ini diikuti dengan sebuah festival budaya bernama Festival Budaya Melanesia yang diselenggarakan di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 26-30 Oktober 2015. Pemerintah Indonesia juga membentuk Persaudaraan Masyarakat Melanesia Indonesia yang berencana akan mendirikan Pusat Kebudayaan Melanesia di Manokwari, Papua Barat. Lobi gerakan kemerdekaan Papua Barat di kawasan Pasifik sendiri bukanlah hal yang baru. Bahkan posisi Papua Barat di dalam persaudaraan Melanesia telah dirintis sejak tahun 1947 ketika melalui Belanda, Papua Barat menghadiri rapat the South Pacific Commission. Pen.]


Keanggotaan awal MSG. Credit photo: akrockefeller.com

Ketegangan telah muncul dalam hubungannya dengan Fiji setelah terjadinya kudeta militer pada tahun 2006, dengan Vanuatu mengambil sikap yang berbeda dengan negara-negara MSG lain dalam melawan rezim militer ini. Meski, perubahan di kepemimpinan Vanuatu telah membuat Fiji kembali disambut dengan hangat oleh MSG. Namun hal ini tidak terlalu jauh hingga membuat negara-negara anggota Melanesia di PIF mendorong sebuah mosi untuk menghentikan pembekuan keanggotaan Fiji di PIF. Ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh situasi Fiji vs. Tonga dan Samoa bukanlah topik tulisan ini, tapi ketegangan-ketegangan ini membuktikan dinamika yang terus berubah di dalam subregionalisme Pasifik yang berdasar dan berputar di pembagian ethnografis Melanesia/Polinesia yang problematik.
Gagasan Melanesia memiliki sejarah dan asosiasi politik yang rumit. Gagasan ini awalnya dikonstruksi secara historis oleh para penjelajah, penjajah, ahli geografi, sejarawan, dan antropolog yang umumnya berasal dari Eropa dan yang memiliki pandangan merendahkan tentang penduduknya. Pandangan ini bertahan hingga abad 20, seperti yang tergambarkan dalam tulisan Sahlins yang sangat berpengaruh dan yang bertahan hingga saat ini sebagai sebuah evaluasi atas masalah stabilitas politik di kawasan ini. Sangat terlihat bahwa asal-muasal istilah ini dan konotasi negatif yang dimilikinya tidak lagi menjadi masalah bagi orang-orang Melanesia sendiri setelah Melanesia menjadi identifikasi diri bagi mereka. Bahkan, Melanesia telah mendapatkan maknanya yang positif bagi mereka yang dikelompokkan sebagai orang Melanesia, menyediakan dasar bagi penegasan identitas Melanesia yang penuh percaya diri dan kebanggaan, sehingga dengan jelas bahwa istilah ini telah melampaui sejarah asalnya dan telah menghasilkan sebuah kenyataan baru.[13]
Sebagai sebuah bentuk identitas di periode pascakolonial, kita juga telah menyaksikan bahwa ke-Melanesia-an dibuat bukan hanya sebagai sebuah kategori yang beroperasi secara terbatas melawan atau berbeda dengan ‘Barat’. Melanesia telah mendapatkan maknanya yang positif juga terhadap dan karena berbeda dengan identitas Polinesia. Sangat penting untuk mencatat bahwa seluruh analisis detail oleh para sejarah, antropolog dan akademisi lain menunjukkan tidak bergunanya/berbahayanya pembedaan Melanesia/Polinesia namun hal itu tidak banyak membuat perbedaan.
Kategori Polinesia, Melanesia dan Mikronesia memang hanyalah konstruksi kolonial atau Barat yang mengandung banyak masalah dan kontradiksi. Kategori-kategori ini tidak mencerminkan realitas komplek yang banyak diselidiki kaum antropolog, namun harus diakui bahwa hal ini tidak membuat gagasan Melanesia tidak berguna secara politik. Kenyataan ini tidak hanya menunjukkan tentang konstruksi sosial atas kenyataan tapi juga kenyataan yang mampu dibuat oleh sebuah konstruksi sosial di ranah politik riil.[14]
Oleh karena itu, ke-Melanesia-an bisa dikatakan telah mengalami solidifikasi sebagai bentuk identitas yang diadopsi oleh mereka yang menganggap dirinya Melanesia dan yang kemudian tercermin dalam sikap, orientasi, praktik politik dan lembaga-lembaga orang-orang ini.  Di dalam proses konstruksi Melanesianisme yang terus-menerus, makna Melanesia berada di bawah kendali orang-orang yang menggunakannya. Hal ini menunjukkan kaitan ontologikal antara gagasan Melanesia dengan ruang geokultural yang resmi dan nyata dengan sifat-sifat antropologis yang khas.
Namun begitu, proses ini tidak menghilangkan makna masa lalunya dan tidak ada alasan untuk menghilangkan sejarah bahwa istilah Melanesia pernah dekat dengan gagasan rasisme yang mengiringi pembentukan istilah ini oleh penjelajah dan penjajah Eropa. Perkembangan terkini Melanesia telah meninggalkan imajinasi Melanesianisme pada mereka yang merancang dan menggunakannya pertama kali kemudian menggantikannya dengan makna baru yang melayani tujuan yang juga berbeda sama sekali dengan tujuan kaum kolonial. Tak diragukan lagi bahwa mereka yang hidup dengan ‘cara Melanesia’ di kampung-kampung atau kota-kota kecil di kawasan ini jarang memikirkan mereka atau kehidupan sehari-hari mereka sebagai Melanesia. Seperti juga semua identitas kawasan (dan identitas nasional), populernya identitas Melanesia berada di tingkat yang berbeda. Ia lebih mendasari identitas elit kawasan daripada mereka yang berada di tingkat akar rumput. Namun begitu, identitas ini telah mencapai sebuah posisi penting di tingkat elit sehingga wacana Melanesia ke depan tetap akan menjadi sebuah wacana penting identitas di kawasan ini.





[1] Lihat ‘MSG: trading on political capital and Melanesian solidarity’, Pacific Institute of Public Policy, Briefing Paper 2(2008), 2.
[2] David Hegarty, ‘Papua New Guinea in 1988: political crossroads?’, Asian Survey 29:1(1989), 184.
[3] Ron May, ‘The Melanesian Spearhead Group: testing Pacific Island solidarity’, Australian Strategic Policy Institute, Policy Analysis 74(2011), 1-2.
[4] Persetujuan Pembentukan MSG, 1, bisa dilihat online di www.vanuatu.usp.ac.fj/library/Paclaw/Agreement%20Establishing%20the%20Melanesian%20Spearhead%20Group.pdf.
[5] Yaw Saffu, “Papua New Guinea in 1987:Wingti’s coalition in a disabled system’, Asian Survey 28:2(1987), 249.
[6] Untuk latar belakang sejarah dan anggota, lihat www.forumsec.org.fj/pages.cfm/about-us/.
[7] Tarcicius Kabutaulaka, ‘Cohesion and disorder in Melanesia: the Bougainville conflict’, dalam Peter Lamour(ed.), New Politics in the South Pacific (Suva 1994), 73.
[8] Norman MacQueen, ‘Island South Pacific in a changing world’, Pacific Review 6:2(1993), 145.
[9] Ibid. Norman MacQueen juga mencatat usaha awal dari kelompok Polinesia untuk mendirikan organisasi subkawasan mereka sendiri, yang tidak ditindaklanjuti karena rendahnya minat. Barangkali memang karena tidak ada kebutuhan untuk itu. Namun begitu kondisi telah berubah dan pada November 2011, the Polynesian Leader’s Group didirikan setelah sebuah rapat di Samoa dan penandatanganan MOU (nota kesepahaman) oleh perwakilan Samoa, Tonga, Tuvalu, Pulau Cook, Niue, Samoa Amerika, Polinesia Perancis dan Tokelau. Fiji tidak memiliki perwakilan namun boleh mendaftarkan diri jika mau. Samoa Observer, 20 November 2011.
[10] Norman MacQueen, ‘New directions for Papua New Guinea’s foreign policy’, Pacific Review 4:2(1991), 169.
[11] David Webster, ‘”Already sovereign as a people”: a foundational moment in West Papuan nationalism’, Pacific Affair 74:4(2001-02), 525.
[12] Islands Business, n.d., bisa dilihat online di http://islandsbusiness.com/islands_business/index_dynamic/containerNameToReplace=MiddleMiddle/focusModuleID=19272/overideSkinName=issueArticle-ful.tpl.
[13] Istilah ini sebanding dengan istilah ‘kebanggaan kaum kulit hitam’ (Black pride) dan ‘hitam itu cantik’ yang muncul pada saat gerakan hak-hak sipil di Amerika mengemuka pada tahun 1960-an.
[14] Meskipun begitu, beberapa antropolog telah membela gagasan ‘wilayah kebudayan’ seperti Melanesia sebagai wacana disiplin pengetahuan yang kontekstual, dengan nilai yang terus berguna untuk kepentingan analisis dalam situasi globalisasi. Lihat R. Lederman, ‘Globalization and the future of culture areas: Melanesianist anthropology in transition’, Annual Review of Anthropology 27(1998), 427-49.

Posting Komentar

0 Komentar