Oleh; Philemon Keiya
Demi,
Tuhan, saya cinta dia. Saya sudah sayang dia dengan hati. Buktinya, saya datang
sama-sama dengan dia sama Tuhan. Kalau
bisa, jangan pisahkan saya dengan dia.
***
Kulit
tak kuat menahan gempuran dingin malam itu. Malam bersejarah bagi kami berdua.
Saya dan Shella. Shella yang sangat ku cintai. Dia memeluk saya dari belakang.
Ketika motor Vixioan putih itu sudah dalam perjalanan ke Nabire. Pergi ke
Nabire, itu sudah komitmen kami berdua. Itu jalan terbaik bagi kami berdua agar
cinta suci kami yang selama ini kami kami pelihara itu tetap tumbuh subur.
Entah dimana dan kapan pun.
Demi
memupuk cinta yang sudah tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam. Cinta yang
sudah kami pupuk dengan kasih dan sayang sejak pertemuan pertama kami dulu.
Shella,
itu namanya. Perempaun asal Kebo – Paniai Timur yang sangat saya cintai.
Pilihan sudah saya jatuhkan kepadanya tanpa dipaksa oleh siapapun selain hati
saya. Hati saya menerimanya dengan ikhlas. Shella, wanita berkulit hitam manis.
Badannya tidak terlalu tinggi. Juga tidak terlalu pendek. Jika dia tersenyum,
sangat manis. Menggairahkan. Suka berdebat. Itulah malaikat hati ku. Dia wanita
idaman ku.
Sejak
enam tahun yang lalu, kami dua ketemu. Disana, di pasar Enarotali. Pasar yang
dibangun puluhan tahun yang lalu itu. Pasar yang kadang digenangi jika banjir
itu menjadi tempat pertemuan kami. Pasar yang sudah pernah terbakar beberapa
kali itu.
Saat
itu, kami hanya ketemu sekedar saja. Cinta tumbuh dalam pandangan pertama. Dia
datang bak malaikat.Akhir Juli. Saat sekolah saya libur panjang. Saya masih
duduk SMA kelas I di Nabire. Saya putuskan untuk kembali ke rumah saya. Honai
tercinta di Bibida. Honai yang besarkan saya. Honai yang penuh dengan cinta dan
kasih sayang. Disana menyimpan beribu kasih sayang dari bapa dan mama.
Dalam
liburan itu, saya bersama Kakak Marsel pergi ke Enarotali. Marsel, kakak sepupu
samping rumah saya.
Itu
awal pertemuan kami. perkenalan selesai. Cinta berlanjut di Nabire. Semenjak
ketemu di Nabire, cinta kami semakin dalam. Dari sekedar SMS atau telpon
sekarang sudah biasa jalan.
Dia
juga SMA kelas I tapi kami beda sekolah. Saat SMA, kami sangat jarang bertemu.
Kami hanya jalin hubungan lewat SMS dan telpon. Kami berdua putuskan untuk
sama-sama selesaikan SMA. Itu wajib.
Dua
tahun berlalu. Dan, sekarang sudah dekat ujan akhir di SMA. Kami berdua saling
kuatkan. Kami berdua dan berjuang agar kami berdua sama-sama harus dinyatakan.
LULUS. Kata itu yang kami berdua mau dengar.
“Kalau
setelah SMA, nanti ko lanjut kuliah dimana?” tanya saya.
“Saya
mau jadi suster,”
“Bukan
suster biara too,”
“Hahahahaha,
kenapa kalau saya jadi suster biara,”
“Ah,
ko tra kasihan saya kah?”
“Sayang,
saya masuk di Akademi Keperawatan (Akper) Nabire. Biar saya jadi suster. Kalau ko sakit, tra perlu ke rumah sakit lagi. Nanti saya rawat dari rumah saja,”
“Hahahahahahaha.
Itu yang pas,” balas ku penuh semangat.
Akhir
Juni, kami berdua dinyatakan LULUS dari SMA kami masing-masing. Saya memilih
masuk di USWIM Nabire. Ilmu Pemerintahan, itu jurusan yang pilih. Saya mau jadi
DPR di Paniai. Komitmen saya saat mau daftarkan diri di universitas ini.
Shella
sudah diterima sebagai mahasiswi di Akper Nabire. Jika tidak ada halangan, cita-citanya
sebagai suster perawat akan terwujud tiga tahun mendatang. Dia akan menyandang
gelar Diploma III keperawatan. Dia memilih tinggal di asrama. Saya juga setuju.
Sedangkan
saya, akan menjadi seorang sarjana ilmu pemerintahan. Empat tahun harus
selesai. Itu komitmen pada diri saya. Juga kepada Shella. Termasuk kepada orang
tua.
***
Dua
tahun sudah berlalu. Sejak kami masuk kuliah, kami sudah sering jumpa. Tak
tanggung-tanggung, saya berani mengajak dia jalan. Kami dua sudah sangat sering
jalan bersama jika saat liburan.
Jika
akhir pekan, kami berdua selalu menghabiskan waktu bersama di berbagai tempat.
Di Nabire, soal tempat kunjungan sangat banyak. Walau masih alami, banyak
tempat yang sangat indah. Seperti, Topo, Kilo 38, Wanggar, Yaro, Lagari.
Bahkan, masih sangat banyak tempat yang sangat indah.
Berbagai
tempat itu kami sudah pernah datangi. Kami dua tinggalkan banyak kenangan.
Banyak kisah sudah kami catatkan dalam album kenangan kami.
Suatu
saat, kami berdua memutuskan untuk pergi ke Topo. Saat itu, musim buah
rambutan. Kami belanja buah rambutan disana dan lanjutkan perjalanan ke puncak
Gamei. Dari puncak Gamei, mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang
sangat indah.
Di
puncak Gamei ini, pernah ada cerita. Ceritanya, ada orang barat piara ular.
Ceritanya selengkapnya, saya akan cerita dilain waktu.
Indahnya
alam Papua ada disana. Hawanya sangat sejuk. Indah rasanya jika kita berduaan
bersama orang yang sangat kita cintai. Kami berdua benar-benar menikmati
indahnya alam disini.
Nun
jauh disana terlihat barisan bukit yang membiru. “Alam sangat indah. Tapi
sayang, alam ini dirusak oleh mereka yang mendulang emas secara liar dan illegal logging yang sudah masuk dalam tong pu hutan ini,” ujar Shella pancing
saya untuk bicara.
“Benar,
sayang. Dongtu tra kasihan tong pu alam ini ka apa e... sampe, dong kas habis tong pu hutan sampe sekarang su mau
habis,” timpal saya sambil menikmati buah rambutan.
“Kenapa,
pemerintah dongtra peduli deng tong pu hutan ni? Dong tra sayang generasi
yang akan datang ka apa?” protes
Shella. Ia menatap saya dengan tajam. Dari sorot matanya saya menangkap bahwa
kali ini ia bicara dengan tegas. Ia seakan protes dihadapan pemerintah.
“Pemerintah
ka, dinas kehutanan ka, polisi hutan ka, harus jaga tong pu
hutan ini baik. Kalau tidak tu, tong pu anak cucu kedepan akan terima
dampaknya,” lanjutnya dengan tegas. Kali ini ia berdiri. Berdiri menghadap
bagian kilo 100. Ia memandang dengan seksama. Ada banyak pertanyaan disana.
Dialam pikirannya. Entah apa yang ia pikirkan.
“Bicara
anak cucu tapi, tong dua belum punya
anak saja sudah bicara anak cucu. Jangan
saya-saya,” kata saya sambil tertawa.
Dengar
saya bicara, dia balik lihat saya dan tertawa. Memang jika Shella tertawa, dia
terlihat manis. Kedua pipi hitam manisnya terlihat menawan. Belum lagi, pasukan
putih berdiri gagah.
“Sabar
too. Kita harus selesaikan kuliah dulu. Tinggal satu tahun lagi,” katanya
dengan senyum lebar.
Kami
dua lanjutkan aktivitas. Saya habiskan sisa rambutan yang ada. Shella bermain
seorang diri dengan kamera. Ia jepret sana sini dengan kamera Sonny pocket
miliknya. Kamera yang sudah membantu kami berdua.
“Sayang,
ko masih ingat kah tidak, minggu lalu
saat tong dua ke Wami itu tanta
Penina bilang kalau puluhan hektar hutan habis dibabat PT Nabire Baru tu,” kata
Shella usai minum Aqua. Ia menatap saya.
“Yoo.
Saya ingat. Itu kenapa?” tanya saya sambil makan rambutan yang terakhir.
“Itu
berarti, banyak sekali hutan yang rusak. Coba lihat saja sepanjang jalan dari
Topo ke Nabire, sebelah kiri kanan itu ada banyak kayu yang diparkir. Menurut ko, kayu-kayu itu dari mana? Ya, kalau
bukan dari hutan dari mana lagi?”
“Kenapa,
pemerintah bebaskan orang-orang itu tebang kayu secara sembarangan kah? Kenapa
tidak ada Perda? Atau memang ada Perda tapi pemerintah tidak mau jalankan Perda
itu? Atau sudah ada Perda tapi penebang hutan liar itu yang tra mau patuhi?” katanya tegas. Ia
menodong pertanyaan itu kepada saya.
Saya
diam.
“Sayang,
saya teringat lagi. Waktu itu, kita dua ke pantai Cemara. Ada pelabuhan disana.
Pelabuhan itu dijaga Polisi. Dong drop
kayu-kayu itu banyak skali. Kayunya panjang-panjang dan besar. Ko ingat itu kah tra?”
“Iyo,
itu kenapa?” saya tanya.
“Sayang,
ko tu bagemana? Ko tidur kah? Dari tadi saya bicara. Ko lihat, banyak kayu yang orang babat sembarang sampe hutan su mau habis. Pelabuhan di pantai Cemara banyak orang yang tra tau. Mungkin pemerintah su tau tapi dong sengaja kas diam. Su tau too,” cerita sambil berdehem.
“Sutau apanya,” saya balik tanya.
“Pasti
pemerintah tau tapi dong diam. Apalagi Polisi. Aeee, itu jang bicara lagi. Pasti dong
su baku amankan.”
Ia
sudah tidak mau lanjutkan lagi. Ia menggeleng kepala sambil meneguk air Aqua
yang ia pegang sedari tadi. Sedang, saya masih duduk disini. Dibawah rindangnya
pohon besar. Saya mencoba memahami apa yang diprotes Shella.
Shella,
memang soal berdebat, dia jago. Dia tidak akan mengalah. Dia akan pertahankan
apa yang ia rasanya. Berdebat dengan dia tiada ujungnya. Dia akan memilih diam
ketika dia merasa dirinya salah.
Suatu
saat, ia pernah cerita soal hutan. Dirinya merasa prihatin dengan hutan yang
ada Paniai. Warga Paniai sudah tidak peduli dengan hutan disana. Soal hutan,
bukan di Paniai saja. Baginya, soal hutan, seluruh warga Papua punya kewajiban
untuk menjaga.
Di
Kaimana, misalnya. Ada perusahaan yang sudah masuk dan banyak sekali kayu yang
dibabat disana. Kayu-kayu yang bagus itu dibawa keluar pakai kapal. Pemilik hak
ulayat di berbagai tempat di Papua, ditipu dengan berbagai alasan. Dibayar juga
tapi hanya dengan Rp. 100 ribu tau Rp. 200 ribu per kayu. Ini sangat
menyakitkan.
Saya
teringat kembali. Beberapa waktu lalu, forum kerja (FOKER) LSM sudah berulang
kali keluarkan berbagai larangan untuk tidak menebang kayu di Papua secara sembarangan.
Banyak poster yang bertuliskan ‘Save Hutan dan Manusia Papua’ juga beredar
dimana-mana.
“Sayang,
di Topo sudah mau hujan. Ayo, kita pulang,” ajaknya pulang.
Waktu
sudah pukul 15.30 WIT. Kami berdua kembali ke Nabire. Motor Vixion berwarna
merah hitam milik saya sudah di turunan gunung Gamei. Tiba di Kilo 38, hujan
sudah memalang. Hujan besar mengguyur Topo. Kami berdua memilih berteduh di warung
makan. Kami pesan teh hangat hanya untuk sekedar.
Hampir
sejam kami disini. Hujan sudah redah, kami bergegas pulang. Kembali ke Nabire.
Ke kos hijau.
***
Sudah
lima tahun sudah kami jalin hubungan cinta kami. Kami berdua tak kan dipisahkan
oleh siapa pun. Juga dengan cara apapun. Tuhan,
saya sudah cinta Shella. Dia itu sebagian dari diri saya. Separuh jiwa ku ada
padanya. Jangan pisahkan kami. Kami sudah komitmen. Kami berdua tak kan
dipisahkan oleh siapa pun. Juga maut. Dalam maut, kami berdua akan bersama.
Saya yakin, Tuhan sudah tahu lebih dari segalanya tentang kami berdua.
Itu
tulisan tangan saya sudah tempelkan di kamar kos saya. Tahun lalu, saya ambil
kos di Girimulyo. Bebebrapa foto berdua, saya pajang disana. Tentunya, ada
wajah bapa dan mama diantara fotonya kami.
Memasuki
tahun kelima, badai itu datang. Cinta kami diuji. Bahwa, orang tuanya tidak
berikan restu. Orang tuanya sudah jodohkan dia dengan orang lain. Shella, orang
yang paling kucintai akan menjadi milik orang lain, pikir ku.
“Sayang,
saya pu orang tua marah saya. Mereka tra setuju saya deng ko. Tapi, jujur saja, tidak ada orang
lain didalam hati saya selain Paskalis Yatipai,” katanya sambil mencucurkan air
mata.
Dia
memeluk ku. Sangat erat. Pelukan ini tidak seperti biasanya. Dia memeluk ku
seakan tak ingin pergi. Bahkan kepada kedua orang tuanya. Air matanya membasahi
kedua pipinya. Dia tersedu didalam pelukan ku.
“Sayang,
saya sudah terlanjur sayang ko. Saya tra bisa. Saya tra bisa tanpa ko. Demi,” ucapnya lirih dalam linangan deraian
air mata.
Saya
ikut terbawa. Tanpa sadar, kedua bola mata saya sudah tumpahkan air mata yang
sedari tadi siap mau keluar. Malam itu, kami berdua menyebrang ke pulau mimpi
bersama dalam perahu pelukan.
Bayang-bayang
akan kehilangan Shella muncul tiap hari. Saya tak mau kehilangan dia. Saya
tidak mau dia jatuh didalam pelukan orang. Saya sudah cinta dia. Semahal
berapapun harga maskawin, saya akan bayar. Dia harus menjadi istri saya.
“Adik
Paskal, hari Sabtu besok kita bicara di Kalibobo. Kami mau pisahkan ko dengan sa pu ade Shella. Ko
jangan ganggu dia lagi,” teriak kakak Andi di kampus.
“OK.
Saya akan datang,” jawab ku singkat.
Mendengar
kata-kata itu, telinga saya panas. Terik sang raja siang yang bakar kulitikut
memanaskan. Hati mulai tak karuan. Hari itu saya lebih memilih pulang ke kos.
Ternyata,
hal itu juga sudah dengar Shella. Tiba-tiba dia datang ke kos saat saya sedang
masak di dapur. Tanpa bicara banyak dia memeluk ku. Air matanya kembali ia
jatuhkan. Ia bersumpah serapah bahwa dia sangat mencintai ku.
Dan,
hari Sabtu jam 16.00 WIT. Kami sudah di Kalibobo. Di rumahnya kepala suku. Kedua
orang tuanya sudah ada. Sanak saudara dari Shella juga sudah. Saya bersama
beberapa orang dari keluarga saya.
Pembicaraan
di mulai. Orang tuanya dan sebagian dari sanak saudaranya tidak restui. Mereka
mau kami berdua harus pisah. Jangan ada cinta diantara saya dan Shella. Mereka
minta bayar denda.
Ah... Kenapa minta bayar denda?
Kenapa tidak minta saja maskawin? Kenapa perasaan cinta yang muncul dari hati
kamu harus dibatasi dengan alasan yang tidak masuk akal?
Hari
itu kami dipisahkan. Kami dilarang untuk kami bertemu lagi. Jika bertemu lagi,
saya akan dikenakan denda uang dengan harga yang mahal. HP milik Shella
dihancurkan saudara laki-lakinya. Dan, kami pisah.
Tiba
di kos. Air mata mulai banjir. Kamar hijau ku hanya membisu. Puluhan buku yang
berjejer pun ikut diam. Saya biarkan air mata mengalir. Lantunan musik
terdengar keras didalam speaker hijau yang dibelikan Shella pada ulang tahun ku
tahun lalu. Lagu-lagu itu menjadi teman saya pada saat ini.
Shella? Ko dimana? Kenapa ko tra
datang? Saya sangat rindu ko. Sungguh! Saya ingin peluk. Shella, ko su tra
sayang saya lagi kah? Kalbu merintih. Tak rela. Tuhan, kenapa Shella memilih
pergi? Kenapa?
Ah...
Biar sudah.
Folder
lagu country Rio Diamond, Michael Learn To Rock, Lucky Dube, Black Sweet dan
Black Brothers datang silih berganti. Suara-suara manis itu datang menemani.
Beberapa
hari kemudian, dia muncul. Shella ku datang. Marshella Gobay, pujaan hati ku.
Datang ke kos hijau. Kos kebanggaan ku. Badannya agak kekurusan. Saya yakin,
dia tidak makan baik beberapa hari. Juga tidak mengurus dirinya.
“Ko kenapa datang? Saya tra mau masalah lagi. Ko ikut saja ko pu orang tua,” cegat saya sebelum dia masuk ke rumah.
“Sayang,
dalam alam maut pun kita akan pergi bersama,” katanya singkat. Kembali ia
menitikan air mata.
Walau
sudah dipisahkan, kami berdua kembali bersama. Cinta kami kuat sekuat tembok
raksasa Cina. Sekuat gunung Deiyai. Sekuat ombak di pantai Holtekamp Jayapura.
Dalam
satu tahun itu, kami dipertemukan dua kali di rumahnya kepala suku. Dan, kami dipisahkan.
Tapi, maaf. Cinta kami kuat. Kekuatan cinta kami tak akan pernah dipatahkan
dengan cara apapun.
Kuliahnya
sempat terganggu. Begitupun juga saya. Tapi, kami berdua saling menguatkan dan
yakinkan. Kuliah harus harus selesai. Itu komitmen.
Dan,
akhirnya kami dipanggil ke rumah orang tuanya di Enarotali.
“Sayang,
sa pu orang tua dong su bicara banyak. Katanya, mereka su mau jodohkan saya dengan laki-laki lain. Jadi, begini. Sebentar,
saya akan ikuti apapun yang orang tua saya akan bicara. Saya akan hancurkan HP
saya. Termasuk kartu ini. Tapi, jam 07.00 malam tepat, saya akan tunggu ko di rumah
sakit Madi dengan Merry. Saya dan Merry tong dua su bicara. Biar malam, tong
dua harus turun ke Nabire,” suara manis disebarang sana berurai panjang
rencananya. Dia menelpon ku pagi-pagi.
“Paskal,
saya tra mau. Kali ini ko harus dengar saya. Pleeeeaasse! Kita harus pergi ke Nabire.
Apapun yang terjadi, kota harus pergi. Kita harus pergi,” suaranya mulai
merendah. Saya tahu dia menangis.
“OK.
Jam tujuh malam pas nanti saya jemput. Salam buat Merry,” kata ku.
Sorenya,
kami dipertemukan yang kelima kali. Kedua orang tua saya dan semua sanak
saudara saya sudah ada. Saya merasa kuat. Ada semua saudara saya. Orang tua dan
semua sanak saudara dari Shella juga sudah ada.
Pembicaraan
masalahnya dimulai. Hampir dua jam. Dan, kami dipisahkan. Itu keputusan. HP
saya dihancurkan bapa saya. Begitu juga Hpnya Shella. Saya tertawa saja dalam
hati. Saya yakin Shella juga ikut tertawa.
“Shella
punya suami sudah ada. Minggu depan sudah mau ambil maskawin jadi jangan ganggu
saya punya anak. Saya punya anak lagi,” kata bapak Shella.
Usai
masalah, kami pisah. Bapa, mama dan semua keluarga memilih kembali ke kampung
Bibida. Saya sampaikan kepada orang tua saya, besok pagi saya harus kembali ke
Nabire. Saya diberikan sejumlah uang dari kedua orang tua.
Saya
ke kampung Kopo bersama teman saya, Sam. Saya mulai cerita rencana saya dan
Shella kepada Sam. Sam setuju. Sam memaksa mamanya untuk masak makanan cepat.
Usai
makan malam, Sam minta ijin sama mamanya untuk pergi ke luar beberapa menit.
Kami dua keluar. Langsung pergi ke rumah sakit Madi. Benar, Shella dan Merry
ada disana. Tanpa menunggu waktu yang lama, Shella sudah naik diatas motor.
Motor Vixion putih sudah siap mengantar kami.
Seperti
biasa, kemana pun kami pergi, pasti motor Vixion putih itulah teman sejati
saya. Dia sangat mengerti. Walau dia akan diam seribu bahasa. Apapun keadaan
saya, dia tahu.
“Sam
dan Merry, trimakasih banyak. Kam dua
su mau bantu tong dua. Tolong doakan tong
dua e... jang sampe ada apa-apa di
jalan,” kata saya.
“Hati-hati
dijalan. Pasti Tuhan menyertai,” kata Merry.
“Ah,
tong dua ada apa-apa juga trapapa.
Yang penting, kalo mo mati, tong dua harus mati sama-sama,” tambah
Shella.
Dan,
motor Vixion putih sudah ada di tanjakan Madi. Dalam kecepatan yang sangat
tinggi, melawan malam yang pekat. Dalam waktu yang singkat, sudah ada di
jembatan kali Yawei. Saya hentikan motor. Saya mencium Shella. Dia balas dengan
lembut.
Kembali
kami lanjutkan perjalanan. Kami dipisahkan. Tapi, dua hati kembali bertemu. Dan
sekarang sudah bersama. Bersama akan pergi. Shella memeluk ku erat dari
belakang. Lampu-lampu di Wagete terlihat samar. Kami hanya bisa lihat dari
kampung Okomo.
Saya
melawan gempuran angin malam. Kulit ku dicabik dingin. Malam ini sudah tenang.
Sangat syahdu. Gelapnya malam mengantar kami berdua. Tak lama, kami sudah ada
di Iyaadimi. Kembali saya parkirkan motor dan saya balik peluk Shella. Ku kecup
bibirnya. Dia balas dengan sangat lembut. Gunung Deiyai melihat aksi kami dan
dia tersenyum seakan dia mengerti apa yang kami sedang alami.
Setiba
di Moanemani, hampir semua kios sudah tutup. Malam itu Lembah Hijau Kamuu
sangat tenang. Senandung Jelata malam terdengar merdu. Mereka mengiri
perjalanan kami. Pepohonan di Degeidimi bergoyang melambai. Saya tidak mengerti
tapi deduanan sangat kompak melambai pada kami berdua.
Tiba
di jembatan Kilo 171. Kecepatan masih tinggi. Motor melaju cepat. “Paskal,
demi, saya cinta ko skali,” kata
Shella lembut.
“Sayang,
saya juga cinta ko. Kalau tidak,
tidak mungkin saya bawa ko sini,”
jawab saya.
Saya
keasyikan bicara. Motor melaju sangat cepat dan saya kehilangan kendali.
Dan...
“Tuhan,
saya bawa datang dia. Saya sudah cinta dia. Kami dipisahkan orang tuanya. Tapi,
kami sedang lari ke Nabire,” kata saya kepada Tuhan.
“Benar
Tuhan. Kami tidak salah. Kenapa, kami dipisahkan? Sekarang, kami dua ada turun
ke Nabire,” sambung Shella.
Tuhan
diam.
“Tuhan,
saya sangat mencintai Shella.”
“Benar,
saya juga sangat mencintai Paskal.”
“Tuhan,
kalau bisa, jangan pisahkan kami dua.”
Tuhan
masih diam.
Dan,
dari sini kami dua lihat, besoknya orang bawa jasad kami bawa ke tempat
pemakaman. Kami dua bahagia disini bersama dalam cinta kami.
Waena – Askam – Kamar 03
0 Komentar