Mansinam, Pintu Peradaban Papua

SALIB beton itu terpacak di pinggir laut Teluk Doreri, persis di sebelah dermaga Pulau Mansinam. Lidah ombak bahkan menerpa gapura yang anak-anak tangganya tersambung langsung ke perairan. Dilapisi keramik putih, salib setinggi lima meter yang diapit dua malaikat ini merupakan prasasti yang menandai datangnya peradaban ke Papua.

"Tanah di bawah salib ini yang pertama kali diinjak dua rasul dari Jerman ketika baru sampai di Papua," kata Benny Rumsayor. Pria 57 tahun ini keturunan kelima Sapupi Rumsayor, kepala suku Numfor yang menghuni pulau ini. Sapupi pula yang menerima kedatangan dua misionaris itu.

Dua pendeta ini, Carl Wilhelm Ottow dan Johan Goetlob Geissler, tiba di Pulau Cenderawasih pada 5 Februari 1855. Mereka telah menempuh jalan jauh dan berliku untuk menyampaikan kabar Injil ke wilayah paling timur kekuasaan Hindia Belanda itu. Waktu itu keduanya baru 28 dan 25 tahun.

Mereka baru lulus dari gemblengan pendeta J.E. Goessner di sekolah seminari di Berlin. Sejak pertama kali bersekolah dan diminta memilih penugasan menyebarkan Injil, keduanya telah mantap memilih Papua Baru Belanda sebagai tempat yang akan mereka layani.

Orang-orang asing menyebut pulau ini Pua Pua, yang artinya orang telanjang. Karena itu, banyak yang menentang niat dua pendeta ini, menakut-nakuti, bahkan menghalangi. Selain karena penduduknya masih barbar, Pua Pua terkenal dengan malaria tropis yang ganas.

Naik kereta dari Berlin ke Amsterdam untuk mengurus visa, Ottow dan Geissler berlayar ke Batavia menumpang kapal Abel Tasman. Selama satu setengah tahun tinggal di Kampung Makassar, Jakarta Timur, sambil mengajar anak-anak keturunan Belanda mengumpulkan bekal. Keduanya lalu berlayar ke Ternate, Maluku, dengan kapal uap. Enam bulan kemudian mereka meneruskan pelayaran ke Mansinam.
Pulau seluas 39 kilometer persegi ini terletak di lengkung Teluk Cenderawasih yang menjadi tempat singgah dan jalur kapal dagang atau ekspedisi para ilmuwan. Karena itu, ada gudang bekas penyimpanan batu bara yang dulu dipakai pedagang muslim dari dan menuju Tidore. Sultan Tidore menghibahkan bangunan itu dan hewan ternak untuk bekal dua misionaris ini.

Tak mudah bagi mereka masuk ke komunitas yang warna kulitnya sangat berbeda dan bahasanya sama sekali tak mereka mengerti. Keduanya hanya paham bahasa Jerman, Belanda, dan Melayu. Begitu tiba, mereka diserang demam tak putus-putus selama enam bulan. Orang Numfor hanya jongkok berjam-jam melihat mereka menggigil.

Benny mendengar cerita turun-temurun dari kakek buyutnya bahwa, meski menerima dengan baik, orang Mansinam menaruh curiga kepada orang asing ini. Sebab, berbeda dengan para pesinggah, dua pendeta ini langsung bersujud dan menengadahkan tangan begitu turun dari kapal. Anak-anak Mansinam hafal doa pertama yang diucapkan dua pendeta ini. Im namen Gottes betreten wir dieses land, dalam nama Tuhan kami injak tanah ini.

Gudang batu bara yang jadi gereja itu kini sudah tak ada. Gubuk sekaligus asrama anak-anak piara juga sudah lenyap. Hanya reruntuhannya yang tampak. Gempa bumi selama delapan hari pada 23 Mei 1863 telah menghancurkannya. Ottow dan Geissler kemudian membangun gereja baru, itu pun lapuk dan beberapa kali dipugar.

Peninggalan Ottow dan Geissler yang masih utuh hingga hari ini adalah sumur batu berdiameter 5 meter sedalam 12 meter. Sumur itu tak berubah bentuk dan dalamnya. Hanya kini separuh lubangnya tertutup coran semen untuk memudahkan menimba. Ini menjadi tempat paling adem di Mansinam yang terik.

Semua orang Manokwari tahu cerita ini: sumur itu digali Ottow dan Geissler memakai batok kelapa. "Menurut catatan dan cerita nenek moyang, sumur itu selesai digali dalam waktu enam bulan," kata Benny. Airnya yang jernih dan dingin dipakai orang Mansinam untuk minum, tanpa dimasak.

Pulau yang ditempuh 15 menit dengan perahu motor cadik dari Manokwari, ibu kota Papua Barat, ini disesaki orang setiap 5 Februari, untuk mengenang kedatangan dua misionaris tersebut. Anak-cucu keturunan Ottow dan Geissler dari Jerman dan Belanda juga datang.

Menurut Benny, setidaknya 17 ribu orang tumplek di sana. Mereka datang untuk bersembahyang di saung-saung khusus untuk kebaktian dan mengambil air dari sumur tua itu. "Airnya bisa menyembuhkan pelbagai macam penyakit," kata Benny. Di dekat sumur terpacak prasasti yang dibuat pada 2005 untuk memperingati 150 tahun agama Kristen masuk Papua dan keteguhan dua pendeta itu.

Keduanya memang pantang surut. Meski orang Numfor sangat kental dengan mistik dan kepercayaan pada roh leluhur, dua pendeta ini tekun mengajak kebaktian dengan mempelajari bahasa lokal agar bisa menerjemahkan doa-doa dari bahasa Jerman. Memberi hadiah tembakau dari Ternate atau barter hewan buruan adalah cara lain yang mereka tempuh.

Orang Numfor mulai berpaling dan mau diajari baca-tulis ketika Ottow dan Geissler sering jadi tempat berlindung. Waktu itu perang suku sering terjadi tanpa diduga. Suku dari Pegunungan Arfak kerap menyerbu dan membunuh para lelaki lalu mengambil anak-anak untuk dijadikan budak. Ottow dan Geissler tampil menjadi juru runding untuk pembebasan.

Mereka tak hanya membebaskan anak-anak dari tawanan suku Arfak. Seperti surat untuk ibunya yang dimuat dalam buku 152 Tahun Zending di Mansinam, Geissler pernah mengejar bajak laut yang mencuri anak-anak dari Mansinam. Geissler menceritakan pengejaran di Laut Doreri itu dengan dramatis. Puluhan orang pengikutnya tewas, meski akhirnya dia bisa membawa pulang tawanan itu.

Hanya empat anak yang kemudian tinggal di rumah Ottow sebagai anak piara. Mereka diajar baca-tulis. "Anak-anak ini yang membantu Pendeta Ottow dan Geissler menggali sumur," kata Benny. Keberhasilan membebaskan budak membuat orang Numfor mulai kepincut ajakan dan ajaran dua pendeta ini.
Itu pun tak langsung orang Numfor mau dibaptis. Menurut Benny, orang Papua pertama yang dibaptis dan memeluk Kristen terjadi sepuluh tahun kemudian. Ketika itu Ottow sudah meninggal karena terserang malaria tropis yang lebih dulu merenggut jiwa anak lelakinya.

Jenazahnya dimakamkan di Kwawi, Manokwari. Sebelum meninggal, Ottow telah menyebarkan ajaran Kristen hingga Biak dan Nabire. Ia juga menjadi orang yang paling sering bolak-balik Mansinam-Ternate untuk membeli bekal dan pakaian.

Sebelum jadi pendeta, Ottow seorang tukang tenun yang andal. Kemampuannya itu ia sebarkan di Mansinam. Orang Pua Pua yang awalnya hanya memakai cawat dan koteka itu lambat-laun meniru menutupkan kain ke tubuh mereka. Geissler yang tukang kayu juga mengajari cara membuat rumah.
Budaya Eropa menjangkiti orang Papua. Di Mansinam, orang mengucapkan selamat pagi, siang, sore, atau malam jika bertemu di jalan, baik kepada sesama mereka maupun kepada orang asing. Salam ini kemudian menyebar ke seluruh Papua, seiring dengan tersebarnya agama Kristen ke sepertiga pulau ini.

Menurut Benny, kini tak ada anak Mansinam yang tak sekolah. Meski sekolah seadanya, anak-anak belajar baca-tulis atau meneruskan belajar ke Manokwari. Di pulau ini juga tak ada orang luar. Sebanyak 500 jiwa penghuni Mansinam adalah orang asli suku Numfor.

Mereka bangga menjadi orang Papua pertama yang masuk Kristen. "Mansinam adalah pintu peradaban Papua," kata Benny. Salib di tepi laut itu menjadi tanda kebanggaan mereka.

Sumber; http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/10/SEL/mbm.20110110.SEL135579.id.html
Foto; divebuddy.com

Posting Komentar

0 Komentar