LAKI-laki itu berdiri di tubir pantai Bakaro. Berkaus dan celana sedengkul,
Lukas Awiman Barayap meniup peluit sambil melempar-lemparkan rayap pohon ke
tengah laut. Cuaca sedang bagus pada Jumat pagi pekan kedua Desember lalu.
Angin sepoi-sepoi membenturkan ombak ke karang dan pasir putih, setelah malam
tadi gerimis menyiram Manokwari, ibu kota
Papua Barat.
Lukas terus meniup peluit. Semakin melengking, semakin melengking. Tatkala
seperempat rayap di tangannya telah ia lempar ke laut, ajaib, perlahan-lahan
ombak membesar. Padahal angin bersepoi tak bertambah kencang. Lidah laut yang
tadi tenang-tenang menyentuh lututnya itu kini mengubur Lukas hingga pinggang.
Terjangannya membuat laki-laki 50 tahun ini pasang kuda-kuda. Sesekali ia
terdorong dan mundur dua langkah.
"Lihat, ikannya sudatang," tiba-tiba ia berteriak. Lukas meniup
peluit dan melemparkan rayap kian keras.
Laut di Teluk Doreri yang hijau dan tembus pandang hingga dasar itu
mempertontonkan keajaiban lain. Air berubah warna-warni. Itu warna pelbagai
jenis ikan yang berebut menyantap rayap yang dilempar Lukas. Ada juga yang menumpang ombak mendekat ke
kakinya, berkecipak seperti bersuka- cita.
Melihat ikan-ikan sebesar lima
jari tangan itu mendekat, Lukas membungkuk dan mencelupkan rayap ke dalam air.
"Katakan pada teman-temanmu, ada makanan di sini," katanya. Ia meniup
peluit kian keras. Prit..., prit..., priiit..., priiit..., priiit.....
Lukas keluar dari air lalu memanjat tebing yang lebih tinggi, meniup peluit
lebih keras, merentangkan tangan, dan melemparkan rayap terakhir di
genggamannya. "Itu ikan bulanak, yang ini ikan kapas, babara, kakatua, dan
yang ujung ikan hias," katanya, menunjuk ikan-ikan yang berkecipak di
bawahnya.
Ia masih memandangi ikan-ikan itu sejenak sebelum balik badan. Satu-satu
rombongan ikan menghilang, kembali ke tengah laut, kembali menyelinap ke
balik-balik karang. Ombak juga kembali tenang.
l l l
KEMAMPUAN Lukas memanggil dan berkomunikasi dengan ikan dan semua penghuni
laut di Teluk Doreri ini dimulai pada 1995. Syahdan, waktu itu kawasan pantai
Bakaro masih terisolasi. Terselip di antara lekuk pulau-pulau kecil di
sekitarnya, pantai yang bersambung langsung ke Samudra Pasifik itu tak dikenal
banyak orang. Jalan masih tanah, listrik belum menyala.
Namun pantai yang belum terjamah pariwisata itu menyimpan pesona dan daya
tarik bagi nelayan. Ikan dan terumbu karang bisa dilihat dari atas perahu
saking jernih dan bersihnya air laut di sana .
Lalu periode memangsa penghuni laut pun dimulai pada 1990. Nelayan yang tak
sabar mulai memakai racun potasium untuk menjala dan menangkap ikan.
"Kalau pagi di sini seperti perang dunia saja, bom meletus dari ujung ke
ujung," kata Lukas.
Maka, ketika siang, ikan-ikan mengambang, terumbu karang rusak, laut jadi
kotor. Lukas, yang sudah tinggal di sana
sejak 1979, geregetan dengan keadaan itu. Orang Merauke ini tahu, perusak laut
di depan rumahnya itu bukan orang-orang Bakaro. Nelayan Bakaro menangkap ikan
hanya dengan kail dari atas perahu. Hasilnya pun untuk makan sehari-hari. Dijual
ke pasar jika ada lebih saja. Sebagai guru jemaat, Lukas kerap mewanti-wanti
dalam khotbahnya agar penduduk di sana
menjaga kelestarian pantai Bakaro.
Kedatangan nelayan luar yang merusak keindahan pantai itu membuat Lukas
terpikir mencegahnya. Tapi ia hanya seorang diri, tak akan mampu melawan
puluhan nelayan yang membawa bom. Tak mungkin juga ia mendatangi mereka lalu
berceramah tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Ide nyeleneh pun muncul
pada 15 Desember 1995 malam. Lukas akan mengumpulkan ikan-ikan itu di dekatnya
ketika para nelayan memasang potasium.
Lukas percaya, manusia bisa berbicara dengan binatang, seperti firman Tuhan
dalam Injil Kitab Kejadian Pasal 1 ayat 26-28. "Kita menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut,
burung-burung di udara, ternak, atas seluruh bumi, dan atas segala binatang
melata yang merayap di bumi. Hal yang sama juga ada dalam Al-Quran amsal Nabi
Sulaiman, yang bisa berbicara kepada semua binatang," katanya.
Maka esoknya Lukas berjalan ke tepi laut. Rumahnya hanya 200 meter dari
pantai. Di salah satu tebing karang ia duduk menghadap laut. Matanya terpejam
dan berdoa: "Tunjukkanlah apa yang tersurat dalam suara Bapa melalui nabi
dan rasul, tunjukkanlah, tunjukkanlah...." Hening. Hanya debur ombak yang
terdengar pada pagi buta itu.
Dengan konsentrasi penuh, Lukas terus merapal doa itu. Tiba-tiba ia
mendengar seseorang berteriak dari belakangnya, jauh dari arah gunung.
"Coba pakai rayap...." Jelas, itu suara laki-laki. Lukas membuka mata
dan menoleh ke belakang. Tak ada sesiapa. Pagi masih hening. Belum ada satu pun
orang Bakaro yang keluar rumah. Ia kembali menghadap laut dan memejamkan mata.
Dalam hati Lukas kembali berdoa agar ditunjukkan cara memanggil ikan untuk
niat baik menyelamatkan mereka. "Lalu saya mendengar suara roh agar saya
memakai apa-apa yang ada di sekeliling saya," katanya. Ia mengambil batu
dan mengetuk-ngetukkannya ke batu karang. Keajaiban pun muncul. Ombak
perlahan-lahan membesar membawa ikan-ikan ke dekatnya. Ikan-ikan bertambah
banyak seiring dengan ketukan batu. Lukas takjub akan apa yang dilihatnya.
Tapi ikan-ikan itu hanya sebentar berkumpul. Mereka kembali ke tengah laut
ketika Lukas hanya diam terpaku. Ia pun bergegas kembali ke rumah. "Mungkin
mereka kecewa karena saya tak memberi makanan," katanya. Ia pun
mencari-cari rayap seperti saran suara yang ia dengar tadi. "Siapa tahu
mungkin memang itu petunjuk," katanya.
Lukas kembali dengan segenggam rayap pohon. Ia mengetuk-ngetukkan batu sambil
melempar rayap-rayap itu. Kini ikan-ikan yang mendekat berebutan memangsa rayap
yang dilemparnya.
Hari ke hari ia kian takjub dengan kemampuannya sendiri memanggil ikan di
laut. Esok dan seterusnya Lukas tak lagi merapal doa seperti pada pemanggilan
pertama. Ia langsung mengetukkan batu dan melempar rayap. Ikan-ikan tak sungkan
menghampiri.
Ia masih penasaran apakah rayap satu-satunya makanan yang disukai ribuan
jenis ikan di sana .
Lukas pun menyelam sambil menyebarkan makanan: nasi, singkong rebus, dan rayap.
"Ternyata memang hanya rayap yang mereka makan," katanya. Setiap pagi
Lukas memberi makan ikan-ikan itu ketika puluhan nelayan melautkan perahu
dengan jaring dan bom.
Sembari memberi makan itulah, Lukas kerap berbicara kepada ikan. "Beri
tahu teman-temanmu, ada makanan dan berkumpullah di sini setiap pagi."
Selain dengan batu, ia pernah mencobanya dengan peluit. Dan mereka tetap
datang. Sejak itu, peluit dan rayap ia pakai untuk memanggil ikan di Teluk
Doreri.
Bunyi peluit yang melengking pagi-pagi tentu saja membuat orang-orang di
Bakaro penasaran. Mereka berkerumun dan takjub melihat Lukas bisa memanggil dan
bercengkerama dengan ikan. Cerita pun menyebar dari mulut ke mulut. Kemampuan
Lukas menjadi tontonan orang sekampungnya dan tersiar kabar bahwa ia punya ilmu
khusus memanggil ikan.
Lukas selalu menolak jika kemampuannya disebut sebuah ilmu. "Ini
karunia. Saya hanya percaya kepada Allah," katanya. Karena itu, ia yakin
setiap orang bisa melakukan apa yang dilakukannya asal percaya pada karunia dan
kekuatan itu. Dalam setiap doa ia menyelipkan agar karunia itu diberikan pula
kepada istri dan dua anaknya. "Asal hati kita bersih, tak curiga bahwa ini
ilmu hitam," katanya.
Dan doa itu manjur. Marta Barayap, istri Lukas, bisa meniru apa yang dilakukan
suaminya. Perempuan 48 tahun itu pun bergiliran dengan Lukas memberi makan ikan
di Teluk Doreri, juga dengan peluit dan rayap, setiap pagi. Belakangan, Musa
dan Helena Barayap bisa melakukan hal serupa. Anak 10 dan 8 tahun itu bisa
mengumpulkan ikan ke dekatnya.
Namun doa itu manjur hanya bagi keluarga Barayap. Sebab, tetangga dan
pengunjung pantai banyak yang mencoba meniru tapi tak berhasil. Tempo pun
mencoba meniup peluit itu berkali-kali, tapi ombak tak membesar, ikan tak satu
pun yang muncul. Pengunjung biasanya juga menjajal peluit itu, seperti Jhonal
Thio.
Pemuda 25 tahun yang tinggal di Manokwari ini pernah menguji keampuhan tuah
peluit. Ia berdiri di pantai dan meniupnya seraya melemparkan rayap, persis apa
yang dilakukan Lukas. Dan orang tua ini membiarkan kesombongan Jhonal seraya
tersenyum. "Sampai jengking-jengking, trada datang ikan-ikan itu,"
katanya.
l l l
LUKAS Barayap segera terkenal ke luar Bakaro. Orang-orang mulai datang untuk
melihat kemampuan Lukas memanggil ikan. Tak hanya dari sekitar Manokwari, tapi
juga dari luar pulau, bahkan turis dari lain negara. Sebab, setelah 1995,
jawaban orang Manokwari kepada orang asing yang bertanya tentang keunikan ibu kota provinsi yang baru
dimekarkan itu adalah, "Lihat pemanggil ikan di pasir putih."
Seperti tertuang dalam dua buku tamu tebal yang tersimpan di rumah Lukas,
para pengunjung takjub melihat kemampuan guru jemaat yang ramah dan rendah hati
ini. Ratusan testimoni dimulai dengan kalimat, "Puji Tuhan, ini
keajaiban...."
Keajaiban itu membawa berkah bagi Bakaro. Pantai yang rimbun dengan pohon
kelapa dan bakau ini kembali bersih seperti semula. Lukas melarang siapa pun
menangkap ikan di sana ,
terutama ketika ikan sedang ia kumpulkan untuk diberi makan. Nelayan pun kini
menjala ikan hanya dengan kail. Tak ada lagi yang berani melaut dengan bom.
Selain tak dapat ikan, mereka segan dengan kemampuan Lukas.
Anak-anak riuh adu tangkas berselancar. Di sini anak umur satu tahun telah
dikenalkan pada teknik berenang dan menyelam. Maka, sepulang sekolah, anak-anak
menghambur ke pantai dan menjajal ombak yang mendebur tak henti. Atau
menyongsong ayah dan ibu mereka yang pulang melaut. Air laut begitu jernih
hijau dan biru, menunjukkan pelbagai jenis ganggang dengan ikan berseliweran.
Pada 1996, Gubernur Papua Jacob Pattipi mengunjungi Lukas untuk menyaksikan
langsung kemampuannya memanggil ikan. Kedatangan Gubernur diikuti dengan
perbaikan infrastruktur. Jalan sambung dari Manokwari segera diaspal karena
pejabat lain ikut penasaran. Dua tahun kemudian 112 keluarga di Bakaro untuk
pertama kalinya menikmati listrik. Guru juga bisa didatangkan ke sekolah untuk
mengajari anak-anak membaca dan menulis.
Pengunjung kian banyak dari waktu ke waktu karena akses ke sana jadi mudah. Hanya 20 menit naik mobil
dari pusat Kota Manokwari ke selatan. Apalagi di teluk ini juga ada Pulau
Mansinam, tempat Injil pertama dikabarkan di Papua, yang ramai diziarahi setiap
5 Februari. Pemerintah kabupaten dan provinsi membangun gazebo-gazebo untuk
persinggahan turis. "Ini benar-benar berkah untuk kami di sini," kata
Lukas, yang juga menjabat sekretaris desa.
Ia tak pernah menolak jika ada pengunjung memintanya memanggil ikan. Alumnus
Sekolah Pendidikan Guru Jemaat di Manokwari ini juga selalu bersemangat
mengulang cerita pengalaman spiritualnya pada 1995 itu. "Sekali lagi ini
bukan ilmu, Anda juga bisa melakukannya," katanya. "Saya selalu
berdoa agar setiap orang bisa melakukan ini, demi keselamatan dan lingkungan
yang baik."
Lukas percaya, jika kita bisa berkomunikasi dengan binatang, kita akan
menyayangi dan melindunginya. Manusia, kata dia, menjadi jahat kepada alam dan
binatang karena tak mengerti apa yang sudah mereka berikan kepada kita. Ia tak
meminta bayaran jika ada yang memintanya meniup peluit dan mengumpulkan ikan.
Kalaupun ada turis yang memberinya uang, ia akan menyumbangkannya untuk
kegiatan gereja.
Namun, karena sehari-hari bekerja di gereja dan kantor desa, tak setiap hari
Lukas siap memanggil ikan. Tempo, yang datang pada Jumat, mesti mengontaknya
lebih dulu. Melalui Silas Inuri, seorang intel di Kepolisian Resor Manokwari,
Lukas diminta menyiapkan rayap. Sebab, memanggil ikan paling baik pagi-pagi.
"Ombak sedang bagus," katanya.
Sumber; http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/10/SEL/
Foto; www.memobee.com
0 Komentar