Keajaiban Di Kamp Pengungsi

Oleh; Kanaka Kanakameri


Christopher Florian Bame

4 Mei 1992.
Pagi itu di Kamp Pengungsi Dome 2, salah  Kamp Pengungusi di Iowara (Iowara Relocation Site for Refugee. Iowara Camp) Lokasi ini letak puluhan kilo meter dari sungai Fly di tengah belantara East Awin, Western Province, PNG.

Seorang ibu muda tenaga sukarela (volunteer) di perpustakaan induk (Iowara Publik Library) di bawah pengawasan Catholic Mission Education Centre for Refugee in Iowara. Ia sedang hamil tua, pagi sekali ia sudah bangun lantaran sakit punggungnya yang semakin menjadi-jadi sejak subuh. Sakit kali itu tidak seperti biasa. "Jangan-jangan, hari ini saya akan melahirkan...", pikirnya.

Menyadari hal itu, maka begitu bangun dari tempat tidurnya dia langsung menuju tungku api di dapur untuk menyalakan api, lalu ia merebus air. Setelah itu ia segera turun ke pinggir rumah untuk mencari anakan pepaya yang sengaja dia semai beberapa bulan lalu di halaman rumah mereka.

Dicabutnya dua pohon anakan pepaya yang paling besar dari semua yang tumbuh di halaman rumahnya. Ibu muda itu dengan segera membersihkan akar pepaya, lalu ia dipisahkan dari batang pepaya dan ia kembali berjalan menuju ke dapur.
Akar pepaya yang telah di pisahkan dari batang dicucinya hingga bersih, kemudian ia merebus akar pepaya itu dengan takaran enam gelas air. Ibu muda itu duduk di pinggir tungku ddengan rasa sakit yang masih menjalar di punggungnya. Ia menunggu air rebusan itu mendidih hingga berkurang menjadi empat gelas.
Air akar pepaya yang telah mendidih diseduh dan disimpan ke dalam botol nescafe besar untuk diminum hingga habis.

Ilmu pertolongan pertama ini ia peroleh dari seorang Mama Muyu yang juga sering membantunya kalau sakit. Mama Muyu itu adalah seorang perawat tradisional yang juga sering membantu ibu-ibu betulkan posisi bayi dalam kandungan. Di Kamp Pengungsi pengetahuan obat-obat tradisonal tentang sangat di perlukan, seperti air rebusan akar pepaya yang dipercaya berkhasiat untuk memperlancar proses melahirkan.

Setelah menghabiskan ramuan akar pepaya, ia pun segera mandi dan bertukar pakaian. Sakit punggungnya semakin bertambah disertai dengan kontraksi rahim yang menjadi-jadi. Sambil memegang punggungnya yang sakit, dia berusaha menentramkan pikiran dan hatinya.

Berbagai pikiran negatif berkecamuk saat itu dalam benaknya, namun ia berusaha menepis semuanya. Di buangnya pikiran negatif tersebut, dan dihanyutka dalam deras Sungai Fly.

Di Kamp Pengungsi Dome 2, tempat mereka tinggal tak ada lagi klinik atau puskesmas, tempat bersalin. Dahulu, pernah di bangun klinik terbesar yang menjadi harapan para pengungsi di pusat pengungsian itu, namun klinik itu sudah ditutup beberapa bulan terakhir. Penutupan itu atas tuntutan pemilik tanah akibat perkelahian antara pemilik tanah dengan salah satu suku yang tinggal di Kamp Pengungsi.

Kamp Pengungsi Iowara (Iowara Relocation Site for Refugee. Iowara Camp) luas nya sekitar 70 km persegi mulai dari Kamp Black Wara hingga Kuyu. Kamp pengungsi ini terbagi dalam beberapa kelompok masyarakat yang berasal dari Papua Barat.

Kamp Black Water (Black Wara) kebanyakan dihuni oleh masyarakat dari Serui, Waropen dan Kepala Burung. Kamp Fakfak dihuni oleh masyarakat Suku Amungme dan Paniai, Kamp New Kamban (suku Muyu), Kamp Yapsi (suku Ngalum), Kamp Atkamba (suku Muyu), Kamp Telefomin (Suku Ngalum), sedangkan Kamp 10 merupakan (pusat administrasi kamp, bengkel induk, gudang makanan, SMP, kantor pendidikan, susteran, pastoran, bruderan, perputakaan induk, pusat percetakan, kandang/kebun percontohan, rumah sakit dan kantornya, pasar dan perumahan pegawai pemerintah dan petugas UNHCR).

Kamp Warastone (Suku Biak, Marau, Mamberamo, Kebar dan Muyu), Kamp Sota (Suku Malind dan Muyu), Kamp Dome 1 (Muyu), Kamp Dome 2 (Muyu dan Karon),  Kamp Wamena 2 (Suku Dani), Kamp Wamena 1 (Suku Dani), Kamp Jogi (Suku Muyu), Kamp Mamberamo (Suku dari wilayah Mamberamo), Trakbits (Suku Muyu), Kamp Kungim 1(Suku Muyu), Kamp Kungim 2 (Suku Muyu), Kamp Komokpin (Suku Muyu), Kamp Kuyu (Suku Muyu) dengan 5 buah Primary School, 1 buah SMP, 1 buah Sekolah Kejuruan lengkap dengan perpustakaan sekolahnya. Jumlah orang Papua yang menempati Kamp-Kamp Pengungsi ini mencapai 12.000 orang.

Dampak perkelahian tersebut mengakibatkan pemilik tanah melarang mobil angkutan umum bagi pengungsi yang beroperasi. Trasportasi angkutan umum bagi pengungsi menghubungkan kamp dengan pelabuhan yang jaraknya puluhan kilo meter. Kamp pengungsi menjadi tempat yang sangat terisolasi.

Bahkan bukan hanya transportasi saja yang di larang, para petugas pemerintah dan gereja serta petugas UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) pun telah diusir pulang dari situ oleh penduduk pemilik tanah. Yang tersisa hanyalah seorang suster dan mantri yang masih diijinkan tinggal bersama para pengungsi, karena mereka berasal dari kampung terdekat. Situasi saat itu benar-benar tak dapat dilukiskan sulitnya.

Suaminya yang bertugas sebagai penilik sekolah misi di kamp-kamp pengungsi, telah bangun sejak dini hari. Dengan berbekalkan pisang rebus dan sayur lilin bakar, hari itu dia berangkat dengan berjalan kaki. Ia menyusuri jalan induk, satu-satunya yang menghubungkan masing-masing kamp ke lokasi sekolah di beberapa kamp. Letak tempat tinggal mereka dari kamp yang dituju jaraknya mencapai puluhan kilo meter.

Dalam situasi serba sulit itu, sang ibu muda tadi cuma bisa berusaha bersikap tenang dan berdoa. Terngiang kembali kata-kata Bapaknya,"Jika berada dalam situasi gawat, jangan panik. Jika sakit dan susah, jangan mengeluh. Tenangkan diri dan lalui semua itu. Ketakutan yang berlebihan dan sungutan kamu hanya akan melemahkan kamu dan membuatmu tidak berdaya dalam menghadapi situasi-situasi sulit."

Tak terasa mentari semakin bergeser tinggi menuju puncak ubun-ubun, hari semakin siang dan sakitnya pun semakin kuat, kontraksi rahim berproses cepat. Tak jauh dari rumahnya ada juga beberapa rumah warga kamp. Ia melihat di jalan depan rumahnya ada lewat beberapa remaja putri yang dikenalnya akrab. Mereka sering bermain ke rumahnya untuk sekedar berbagi cerita, pergi mancing bersama, memasak dan makan. Kadang mereka juga datang menemaninya tidur jika suaminya bertugas ke kota. Pokoknya mereka telah menganggapnya sebagai kakak mereka.

Ketika anak-anak perempuan yang manis itu melihat sikapnya yang tidak seperti biasa,"Kaka Ibuuu...!!! Kup sakit ka yooo...???" Seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya.

''Ne sakit aiii....macam sudah waktu begitu yooo..!"dibalasnya pertanyaan mereka. Lalu Mereka pun mendesaknya untuk segera ke klinik di pusat pengungsian.

Diraihnya sebuah tas kecil berisikan selimut, handuk, sabun, shampoo dan loyor untuk bayi serta beberap pakian gantinya. Sambil menahan sakit, mereka berjalan perlahan menempuh jarak 2,5 km ke klinik, dengan harapan ada suster atau mantri yang sedang berjaga-jaga di sana.

Langkah mereka kadang perlahan-lahan, kadang kala agak dipercepat mengingat jarak yang tidak dekat bagi seorang ibu yang hampir melahirkan. Setiap kali terjadi kontraksi, dia harus berhenti sejenak sambil melihat ke belakang untuk memastikan jarak dari tempat perhentian yang satu dengan yang lain.

Saat berpapasan dengan beberapa pemuda di jalan, dititipkan pesan pada suaminya yang sedang bertugas agar setelah bertugas sebaiknya dia langsung ke rumah untuk membantu membawa alat-alat tidur dan loyang mandi bayi ke rumah sakit.

Ketika jarak dari rumah sakit dan ruang bersalin tinggal beberapa ratus meter lagi, sakitnya  semakin terasa dan cepat mengakibatkan proses kontraksinya pun yang cepat. Dia berusaha dengan sekuat tenang mempercepat langkah tanpa peduli pada rasa sakit, wajanya menahan nyeri dan keringat membuatnya basah kuyup.

Begitu menginjakan kakinya di teras depan ruang bersalin,"pecahlah" air ketuban!!! Beberapa anak perempuan yang bersamanya tadi segera lari ke rumah suster untuk meminta bantuan. Suster dan mantri berlari secepat mungkin seperti sedang mengikuti sebuah perlombaan lari dengan garis finis di ruang bersalin.

 Sialnya mereka, begitu sampai di depan pintu ruang bersalin, mereka malah tidak punya kunci ruangan, karena terburu-buru mereka lupa membawa kunci. Mereka kemudian lari balik kiri kanan bak orang-orang yang sedang kesurupan kembali ke rumah untuk mengambil kunci.

Sang ibu muda itu hanya mampu berdiri di pinggir salah satu tiang di teras itu, sambil menahan agar bayinya tidak lahir di luar ruangan bersalin yang sedang tertutup.

Akhirnya seorang suster berhasil menemukan kunci ruangan, begitu ruangan terbuka tanpa menunggu aba-aba ibu tadi berlari memasuki ruangan bersalin.

Selang hanya sepuluh menit, lahirlah bayi laki yang montok dan ganteng dengan rambut keritingnya, hitam dan tebal serta bola mata yang indah seperti bulan yang bercahaya di tengah kegelapan. Sebuah berkat yang luar biasa indahnya dalam hidup mereka.

 Keajaiban yang besar telah mewarnai perjalanan hidup mereka dan semua yang ada bersama-sama mereka. Hanya puji dan syukur serta tangis kebahagiaan yang dapat melukiskan seluruh isi hatinya pada saat itu.

Kini, hari ini 4 Mei 2015 bayi itu telah bertumbuh melewati berbagai proses yang tidak gampang menjadi seorang pemuda. Di hari istimewa ini, Ibunya memanjatkan doa pada TUHAN agar anaknya terus berada dalam lindungan dan terus diberkati oleh TUHAN agar dia dapat berguna bagi dirinya, keluarga, sesama dan TUHAN.

 Amin.

Selamat Ulang Tahun, Christopher Florian Bame.
Kami mencintaimu selalu.
Yuliana B.R. Bame.
Boekel 04-05-2015. 

Catatan; Antara tahun 1980-1984, terjadi exodus besar masyarakat Papua Barat ke Papua Nieuw Guinea (PNG) akibat situasi Politik saat itu, dan juga terbunuhnya Arnold C Ap dan Edu Mofu, dua personil Grup Musik Mambesak. Masyarakat Papua Barat yang tiba di Papua Nieuw Guinea di tempatkan di beberapa Kamp Pengungsi di Iowara (Iowara Relocation Site for Refugee. Iowara Camp) PNG, dibawah pengawasan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees). Pada saat itu 10.000 lebih orang Papua mengungsi, hingga Saat ini, sebagian dari mereka masih berada di Kamp Pengungsi, sebagian lainnya sudah menyebar dan bekerja di beberapa wilayah PNG.

Posting Komentar

0 Komentar