Sastra Papua dalam Ruang Kosong

[Jayapura] – Dalam satu dasa warsa terakhir ini, Perkembangan sastra di Papua berkembang dengan pesat. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya ratusan judul buku tentang Papua dan juga berkembangnya media massa di seluruh Tanah Papua. “Sayangnya apresiasi media terhadap sastra minim sekali. Hari ini, tidak ada satu media cetak di Papua yang memberikan ruan bagi sastra,” kata koordinator Komunitas Sastra Papua (KOSAPA), Andi Tagihuma pada diskusi bertema “Sastra Papua dalam Ruang Kosong” dalam rangka Hari Buku, Sabtu 17 Mei, di Asrama Tunas Harapan Abepura.

Sastra Papua bergeliat tetapi tak memiliki ruang untuk berekspresi, Sastra Papua bak dalam ruang kosong, tak memiliki ruang tetapi ada. “Saat ini Sastra di Papua lebih berkembang di media online, blog, facebook dan situs tak berbayar. Dengan cara ini kuantitas sastra di Papua dapat berkembang secara kuantitas, tetapi siapakah yang menentukan kualitas sastra cyber Papua?” Tanya Andi. Agar dapat berkembang dengan baik, karya-karya sastra ini perlu diterbitkan, lalu dikaji, dinilai untuk menjadi revisi pada penerbitan selanjutnya. Hal ini sangat diperlukan, agar sastra di Papua dapat berkembang secara kualitas.

Dampak terbesar minimnya penerbitan sastra Papua oleh masyarakat Papua, yang paling terasa adalah banyak novel tentang Papua yang bias soal kebudayaan Papua. “Setiap kurun waktu memiliki perubahan sosial. Perubahan-perubahan ini jika tidak dilihat dengan baik, maka akan salah dipahami,” lanjut Andi.

Misalnya dalam Novel pemenang kejuaran Lomba menulis Novel IKJ, Tanah Tabu yang memiliki setting 1940-an, di Lembah Baliem.  Novel ini menceritakan interaksi antara Orang Baliem dan Orang Belanda, padahal menurut Andi, di masa itu belum ada Orang Belanda yang menetap di Lembah Baliem. “Orang Belanda baru menetap sesudah tahun 1950-an. Alur yang keliru menyebabkan pembaca situasi sosial yang keliru, terutama mengenai kekerasan terhadap perempuan. Penulis menulis benar-benar tidak memiliki pengetahuan mengenai kebudayaan Dani di masa itu akibat ketidakadaan sastra lisan yang menjadi acuan penulisannya, akibatnya penulis memandang yang terjadi di masa 1980-an sama dengan di era 1940-an” lanjut Andi. Hal yang sama terjadi pada Novel Papua Berkisah yang terbit pada awal tahun 2014 ini. Novel-novel ini dinilai hebat bahkan menjadi juara pada lomba penulisan cerpen tingkat nasional, tetapi isinya benar-benar menyesatkan dan memberikan perspektif buruk soal orang dan juga kebudayaan Papua. 

Dua Novel tersebut merupakan contoh dari sekian banyak novel yang keliru bercerita tentang Papua. Kasus ini menunjukkan bahwa sastra memerlukan ruang, agar banyak kajian dan tulisan dapat dibaca, baik di Koran atau di buku-buku.

Padahal, di luar media massa, penerbitan buku sastra di Papua, banyak dilakukan di tahun 1980-an. Penelitian dan penggalian sastra dilakukan oleh UNCEN dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Irian Jaya dilakukan cukup baik pada masa itu. Kini, tidak ada sama sekali tak ada. Beberapa penerbitan di era 1980-an diantaranya, enam seri cerita rakyat Irian Jaya, Perumpamaan Dalam Bahasa Tehit dan  Bahasa Biak. 

Tetapi ditahun 1990 hingga saat ini, tidak banyak penerbitan buku sastra yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Papua, yang banyak terjadi justru diterbitkan oleh individu secara indie atau oleh Lembaga Penelitian Bahasa.  “Ketika pemerintah Provinsi Papua mendirikan Percetakan Rakyat Papua dua tahun lalu, saya membayangkan di tempat ini akan menjadi tempat bagi Pemerintah Provinsi Papua untuk dapat menerbitkan sastra, kajian budaya untuk diterbitkan dan dapat dibagi ke seluruh sekolah-sekolah di seluruh  Papua sebagai bahan ajar,” mimpi Andi.

Acara diskusi berlangsung dengan menarik dan dihadiri puluhan siswa dan mahasiswa, meski bersamaan dengan laga kandang Persipura. Diskusi buka oleh Selfhy Yeimo dan dilanjutkan dengan pembacaan sebuah cerita pendek oleh Rina Krebu, dan ditutup dengan lagu Do Mi Do (Mambesak Seri Lagu Rakyat) oleh teman-teman dari asrama Paniai.

Sumber; 
www.papuareview.com/2014/05/jayapura-dalam-satu-dasa-warsa-terakhir.html