Oleh : Tri Ramidjo
Di bulan Juli, udara tanah Merah –Digul– sangat panas.
Tapi,
kami anak-anak Digul sangat senang sebab sekolah libur. Apalagi kalau
orang-tua kami bersama rombongan oom dan tante mengajak pergi berpiknik.
Biasanya kami piknik di gisik Salamah atau ke Glagah dua.
Gisik
salamah adalah tepian berpasir halus di tepi sungai Digul, sebelah
hulu Tanah Merah. Dinamakan gisik Salamah karena, ibu Salamah yang juga
orang buangan (interniran yang diasingkan oleh Belanda ke Digul) sering
menghibur diri berenang-renang di tepian kali Digul dan karena seringnya
ibu Salamah berenan-renang di situ maka tepian itu dinamakan Gisik
Salamah.
Sedangkan glagah dua adalah tumbuhan rumpun
glagah di tepian sungai Digul yang kedua. Di tepian sungai Digul ini ada
tempat-tempat yang ditumbuhi glagah. Kalau kita berperahu mudik (ke
hulu sungai Digul ) menyusuri pantai atau pinggir kali Digul, kita
akan menemukan tumbuhan rumpun glagah. Rumpun glagah yang pertama kita
temukan itu dinamakan glagah 1. Setelah mengayuh jauh dari rumpun
gelagah satu tadi, kita akan menemukan tumbuhan glagah lagi dan rumpun
glagah itu kita sebut glagah 2 dan seterusnya.
Aku tak
bisa mengigat berapa jauhnya jarak dari gelagah 1 ke glagah 2, tapi
menurut ingatanku waktu kecil, jarak itu sangat jauh.
Liburan
sekolah kali ini tidak ada yang pergi berpiknik. Bersama teman-teman
aku pergi ke kebun oom Saleh di ujung timur kampung B. Kebun itu baru
dibuka dan tanahnya cukup luas dan habis dibakar. Tanah itu Baru
sebagian kecil yang sudah dicangkul dan ditanami mentimun. Oom Saleh
yang punya kebun ini seorang bujangan— tidak atau belum beristeri atau
mungkin isterinya belum ikut ke Digul. Dengan teman-temanku Rusdi,
Karsiti, Lisnari, Supadmoyo, iyat,Triharsono, Sutomo, Sutimah dll.
Mas
Supad yang tertua berpesan, bahwa kami main di kebun oom Saleh tidak
boleh memetik tanaman apa pun kecuali buah ciplukan dan selasihdandi –
buah selasihdandi ini dinamakan buah “krisis” karena buah ini mula-mula
ditemukan di rumah Krisis –anak perempuan oom Subroto petugas rumah
sakit bagian pembrantasan malaria (malaria besrijding).
Kami
tidak berani berlama-lama bermain di kebun oom Saleh ini karena
lokasinya dipinggir hutan tempat lalu lintas penduduk asli Papua (kami
menyebutnya orang kaya-kaya) kalau mereka masuk ke kampung tempat
orang-orang buangan bermukim.
Sebelum ashar kami
pulang tetapi tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, kami
berhenti di bawah pohon cemara dekat jembatan perbatasan antara kampung B
dan kampung C. Hasil kami mencari buah cipukan dan buah krisis kami
bagi rata. Semua mendapat bagian yang sama. Buah ciplukan yang belum
matang betul dan asam rasanya, tidak kami bagikan tapi terserah siapa
yng mau ambil, boleh. Hanya pesan mas Supad, ciplukan yang masih asam
sebaiknya jangan dimakan tapi buang saja sebab bisa mengakibatkan
murus-murus. Sesudah masing-masing mendapat bagiannya, kami pulang
bersama.
Sampai di perempatan jalan rumah meneer
Suyitno, guru kami, kami lihat di angkasa tengah beradu (sangkutan )
layangan oom Sukarman dengan layangan mas Warno. Mas Supad, Triharsono,
aku sendiri (Ribut) dan umumnya anak laki-laki memang suka sekali
bermain layangan. Kedua layangan itu belum benar-benar tinggi dan belum
sepenuhnya mendapat angin. Oom Sukarman dan mas Warno mengulur benang
layangannya. Layangan oom Sukarman yang bergambar bintang itu menukik
tajam dan……… del …..putuslah layangan mas warno.
Layangan
yang putus itu kleyang-kleyang dibawa angin turun ke bawah. Kami
berlari-lari mengejar layangan putus itu. Triharsono yang larinya paling
gesit berhasil menangkap sisa benang layangan yang putus itu.
“Horee, aku yang dapat.” Serunya dengan riang.
“Ya, kamu yang berhasil dan menang lomba lari kali ini,” kata mas Supad.
“Jadi layangan ini jadi milikku, ‘ kan . Nanti aku minta benang jahit bapak sedikit.” Kata Triharsono. kegirangan.
Supad
dan Triharsono adalah kakak beradik. Kakak beradik itu yang saya kenal
yang tertua Supadmoyo, Triharsono, Herutomo, Titi Armani, Harmuniatun
dan ada lagi yang lair di Australia adalah anak-anaknya oom Prawito-
berasal dari Pati (Jawa Tengah) dan di Tanah Merah Digul bekerja sebagai
tukang jahit pakaian (penjahit).
Mas Supad abangnya Triharsono nyletuk.
“Layangan itu sebelum putus milik siapa, Tri?”
“Milik mas Warno”, Jawabnya.
“Kemarin
kamu kehilangan pinsil cap buaya karena kurang hati-hati membawa tas
sekolah tidak ditutup rapat sedang pinsilnya tidak kamu masukkan di
kotak pinsil. Siapa yang menemukan pinsilmu?’ Tanya mas Supad.
“Mas Marfandi yang menemukan di jalan depan rumah oom Hatta dan oom Karso.” Jawab Triharsono.
“Dikembalikan tidak oleh mas Marfandi?” Tanya mas Supad.
“Tentu saja dikembalikan, sebab pinsil itu milikku dan ada tanda namaku di pinsil itu.” Jawabnya.
“Jadi
kita tidak boleh memiliki barang orang lain yang bukan milik kita,
bukan? Layangan putus dan kleang-kleang dibawa angin dan kau berhasil
mengejar dan mendapatkannya. Kita semua berlomba lari mengejar. Tapi
layangan itu tetap adalah milik mas Warno sama seperti pinsilmu yang
hilang kemarin dulu itu.” Kata mas Supad.
“Mari kita ke rumah mas Warno mengembalikan layangannya.” Kataku.
Kami
besama-sama ke rumah mas Warno. Rumah mas Warno berhadapan dengan rumah
oom Djojo Soeprobo, guru di sekolah partikulir (swasta) MES ( Malay
English School) yang mengajar anak-anak orang buangan golongan natura
yang tidak mau tunduk kepada pemerintah Belanda.
Mas Warno senang dan berterima kasih, bahwa layangannya ditemukan kembali.
Mas Warno mengatakan, besok akan membuat gelasan benangnya lebih baik supaya bisa mengalahkan layangan oom Karman.
Kebetulan hari itu ayah mas Warno baru saja panen kacang tanah. Kami disuguhi kacang tanah rebus oleh ibu mas Warno.
Selesai
menikmati kacang rebus, kami segera pergi mandi di kali Digul. Tanpa
ganti baju dan tanpa mengeringkan badan dengan handuk, kami kenakan
kembali pakaian semula dan pulang ke rumah masing-masing. Dan tentu
saja kami mandi tanpa sabunan sebab kami memang tak punya sabun mandi.
***
Tangerang, 21 September 2010.
Sumber; http://berdikarionline.com