"HIP-HOP lahir di Papua. Jika kalian tak percaya, tanya saja pada nenek moyangku di Papua." Argumentasi ini mengendap di kepala Jecko Siompo sejak 1996. Dia tak peduli orang percaya atau tidak. Dia pun tak mau repot bersilat lidah mempertahankan pendapatnya itu. Sebagai seorang koreografer, Jecko punya cara sendiri untuk mempertahankan pendapatnya. Dibantu salah seorang temannya yang berkebangsaan Jerman, dia membuat karya tari bertajuk We Came from the East. "Saya ingin menjelaskan bahwa embrio tarian hip-hop itu berasal dari sini," katanya.
We Came from the East pun menjadi karya teranyar Jecko. Di GoetheHaus, Jakarta, Selasa malam pekan lalu, ia menyajikan "argumentasi"-nya itu. Menurut Jecko, gerakan jungkir-balik dan patah-patah seperti robot, yang biasa dilakukan anak-anak muda di jalan-jalan Bronx, New York, Amerika Serikat, itu sebetulnya versi modern dari gerakan dasar tarian tradisional Indonesia. Ia berspekulasi, gerakan tari Papua yang lentur ketika sampai ke Mongolia jadi lebih kaku. Begitu sampai ke Amerika Serikat, gerakannya makin seperti robot. "Saya tidak mengklaim hip-hop dari sini, tapi saya melihat spirit tarian Papua itu ada dalam spirit hip-hop."
Seperti karya-karya sebelumnya, Jecko menyusun sebuah kolase dari berbagai sumber koreografis dalam tempo cepat. Di atas panggung, para penari menerjemahkannya dalam sebuah aliran yang terus-menerus berubah dengan gairah dan energi yang liar menjadi sebuah karya tari antropologis yang menjelaskan asal-muasal hip-hop. Berawal dari tarian primitif atau purba hingga menemukan bentuk modern seperti sekarang ini.
Awalnya penari-penari itu membuat gerakan yang amat sederhana. Ada gerakan berjalan membungkuk, berjalan dengan tangan, melompat, lalu melata. Lulusan Seni Tari Institut Kesenian Jakarta itu menyebut gerakan tersebut "animal pop". Gerakan-gerakan itu diadaptasi dari gerakan atau tingkah laku binatang, seperti kanguru, ayam, anjing laut, monyet, dan anjing. Penonton seolah diajak berkelana ke zaman purba di tanah Papua. Jecko tidak menunjukkan tarian tradisional Papua yang sesungguhnya, melainkan hanya esensi tarian tersebut.
Sementara pada separuh awal koreografi yang ditampilkan terkesan monoton, pada paruh kedua pertunjukan berdurasi satu jam ini terasa lebih berwarna. Dari gerakan sederhana, sepuluh penari yang terlibat-dua di antaranya penari perempuan dari Jerman-mulai bereksplorasi melakukan gerakan yang lebih rumit. Mereka melompat tinggi, melakukan salto, bahkan berjalan di atas kedua tangan, hingga akhirnya melakukan gerakan hip-hop yang berkembang saat ini. Musik latar yang mengiringinya pun bervariasi, mulai lagu Indonesia Raya, Suwe Ora Jamu, hingga Ampar-ampar Pisang. Jecko juga menyelipkan gerakan dan dialog jenaka yang mengundang tawa penonton.
Pengamat tari Maria Dharmaningsih menuturkan, dari segi koreografi, Jecko banyak melakukan pembaruan dan kesegaran pada We Came from the East dari karya-karya sebelumnya. Meskipun di bagian awal agak berpanjang-panjang dan sedikit membosankan, secara keseluruhan pertunjukan itu asyik ditonton. "Karyanya terasa lebih kaya, mantap, dan lebih bisa dinikmati," ujarnya mengenai karya yang pada April-Agustus nanti bakal mengelana di Hamburg dan Berlin tersebut.
Nunuy Nurhayati
Sumber; http://majalah.tempointeraktif.com
0 Komentar