Tak Seindah Kalkote


Oleh: Hollandia Yona
 
Malam semakin larut, hujan masih turun dengan derasnya membasahi Kota Baru, Debby berdiri di depan emperan toko di Lingkaran Abepura, menunggu redanya hujan. Debby terjebak dalam hujan yang deras seusai mengikuti diskusi bersama teman-temannya. Air perlahan-lahan mulai meluap dari got menyebabkan banjir disekitar jalan di lingkaran Abepura. Disamping Debby beberapa orang lelaki dan seorang ibu berteduh menunggu redanya hujan. 

Hujan turun seperti anak panah yang terlepas dari busur, menghujam deras ke bumi, riuh suaranya membuat Debby tidak sadar kalau seorang pemuda telah berdiri disampingnya dan bertanya, ”Selamat malam ade, sendirian ka?

Debby menoleh kearah datangnya suara itu, “Malam kaka Jhon, iyo sa sendirian nih.” Debby mengenal pemuda yang menyapanya, ia salah satu teman dari kakak laki-lakinya

“Ade tadi dari mana, hujan nih bikin takancing saja?” tanya Jhon, menatap tarian hujan yang memantul di aspal.

“Tadi sa dari teman, pas turun di lingkaran hujan mulai deras jadi sa berteduh dulu tunggu hujan ni de reda.” 

“Iyo, skarang nih, kalo hujan sedikit saja, banjir tutup jalan, tong tra bisa lewat.”

Mereka pun bercerita tentang Kota Jayapura yang semakin sering di landa banjir bila datang hujan. Perbincangan yang asyik itu membuat mereka lupa kalau hujan telah redah, Debby melirik jam tangannya sudah pukul 22.30 WP, seperti membaca jalan pikiran Debby yang sedang cemas karena tak ada satupun taksi Abe menuju Waena yang terlihat di jalan.
 
“Boleh kaka antar ade pulang?Jhon memecah kecemasan Debby, ia menawarkan untuk mengantarkan Debby pulang. Sudah larut, taksi pasti sudah tak beroperasi lagi.

Di Abepura Disktrik Kota Baru, atau bahkan mulai dari Sentani hingga Jayapura, jangan berharap untuk bisa mendapat taksi di atas jam 22.00 WP, pasti tidak ada, entah kenapa, di kota ini taksi hanya beopersi hingga jam 21.30 WP. Jika ada itu pun sudah sangat jarang sekali. Alternatifnya pake ojek, tapi harganya jangan di tanya, bisa lebih mahal.

Debby diam dalam keragu-raguan, ia belum terlalu mengenal Jhon. “Jangan kuatir, kaka akan antar dengan selamat sampai di rumah, bagaimana kita jalan?

Debby memandang Jhon dan berkata, “Oke kaka, sebelumnya terima kasih yah!”
 
Jhon menghidupkan motor, Debby naik, motor perlahan-lahan melaju menuju arah ke Waena.

Setelah tiba Perumnas tiga di Waena, Debby turun dan mengucapkan terima kasih untuk yang kedua kalinya, “Kaka, terimaksih yah!”

“Sama-sama ade, kaka permisi pulang, sudah kedinginan nih” kata Jhon sambil mengigil.

“Ehh... Kaka boleh minta nomor hand phone ka
 
“Terimaksih kaka, sa permisi masuk dulu.”

Oke ade selamat malam dan selamat tidur,” Jhon menstater motornya dan melaju dalam rinai hujan.
Pertemuan malam itu membekas dalam dada Debby, bersemailah benih cinta di taman hati. Debby tak bertepuk sebelah tangan, Jhon rupanya punya rasa yang sudah di pendam lama. Saat ia bertandang ke rumah Debby, diam-diam ia sering memperhatikan Debby. Komunikasi lewat sms, diantara mereka berdua semakin intens hingga mereka mengikrarkan pertalian cinta mereka.

***

Debby gadis hitam manis yang pendiam, bicara seperlunya dan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Dinding-dinding kamar menjadi saksi ketika Debby sering berbicara tentang kegelisahannya. Kegelisahan yang muncul setelah ia diam-diam sering mendengar pembicaraan ayahnya, dengan beberapa orang pemuda yang sering bertamu ke rumahnya pada malam hari. 

Suatu malam di akhir bulan November, para pemuda yang wajahnya sudah ia hafal itu datang lagi, ayahnya menyuruh Debby dan adik-adiknya masuk ke kamar. Samar-samar ia mendengar suara ayahnya, “Bagaimana persiapan untuk perayaan 1 Desember?”

“Kami sudah menyiapkan beberapa bendera yang akan di kibarkan di beberapa titik!” jawab salah satu pemuda.

“Baik, tetapi kalian harus berhati-hati, saat ini penjagaan semakin di perketat, pemeriksaan di jalan di lakukan setiap malam!”

“Iya, kami sudah mendapat informasi itu dari beberapa teman. Untuk itu teman-teman yang nanti akan menaikkan bendera tidak di perbolehkan untuk jalan, mereka harus tetap di tempat.”

Setelah perbincangan itu, mereka terlibat dalam pembicaraan yang serius, suaranya terdengar berbisik-bisik, takut kalau ada orang lain yang mendengarnya.

Bukan baru kali ini Debby menguping pembicaraan mereka, sudah sering kali, bahkan kadang sampai ia mengantuk dan tertidur, dan ketika ia kaget dan bangun, orang-orang tersebut sudah tidak ada.

Cerita yang di dengarnya, hanya mampu dia bagikan ke dinding kamarnya. Semua yang bergejolak dalam pikiran, hatinya, rasa marah, sedih. Debby berbicara dengan dinding kamarnya sampai matanya berkaca-kaca, tidak ada tempat untuk dia berbagi, berbicara ke teman-teman di kampunya pun ia takut.
 
Suatu hari ketika rumahnya sepi, Debby kembali bercerita dengan dinding kamarnya, “hai dinding, lihatlah ketidak berdayaan kami pemilik negeri ini,” kata mereka otonomi khusus sudah menjadi jaminan bagi kami orang Papua, supaya kami tak lagi menuntut kemerdekaan. Nyatanya kami terus terpinggirkan, kekerasan masih terus terjadi. Undang-undang otonomi khusus mejadi piagam dalam bingkai berdebu, nilai hukumnya tak punya arti sama sekali, berkali-kali ia di tikam dan di khianati.

Dinding, andai kau dapat mengikutiku, maka kau akan ku ajak untuk melihat mall-mall yang semakin tumbuh dengan subur, seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Dan coba kau bayangkan, sampai detik, saat aku bercerita padamu, mamaku masih tetap berjualan beralaskan karung, hanya untuk sekepeng uang recehan. Tapi yang mengherankan pemerintah yang di kucurkan uang miliaran dari Bank Dunia dan lembaga-lembaga PBB itu tidak mampu untuk membangun sebuah pusat perbelanjaan tradisonal, hanya satu saja, tidak banyak! 

Dinding, aku capek, mataku perih, kubaringkan badan di atas ranjang kayu matoa. Batinku menjerit melihat realitas yang terjadi, ahh ada yang tra beres. Bagaimana mungkin tanah yang kaya raya ini, semuanya serba ter, mulai dari termiskin, terbelakang, pendidikan tak maju-maju, kesehatan hancur, semuanya sangat memprihatinkan.
 
Kegelisahan itu melahirkan pemberontakan dalam jiwa Debby, ia pun berfikir, apa yang harus lakukan dan dari mana memulainya?

***

Di samping rumah Debby di ujung pagar sebelah utara berdiri sebuah kantor kelurahan, suatu sore ia melihat Ronda, seorang tenaga pegawai kelurahan membuang sampah kertas dan akan di bakar. Ronda memanggil Debby yang kebetulan berada di kintal rumanya, “Hai Debby, bisa pinjam korek api ka? Saya mau bakar kertas-kertas ini!” 

“Ada kaka, sabar yah, saya ambilkan,” ujar Debby sambil berjalan masuk ke rumahnya.
“Iya, kaka tunggu”

Tak berapa lama kemudian, Debby datang membawa korek, “Ini kaka, koreknya,” kata Debby sambil member an korek yang di pegangnya.

Debby memperhatikan satu persatu kertas yang mulai menyala di bakar api, tapi ada sebuah lembaran kerta yang menarik perhatiannya, iya lantas bertanya sambil menunjuk lembar kerta itu, “Kaka, kertas yang itu tulisan tentang apa, sepertinya bagus untuk di baca”

 “Ohh itu tentang perkembangan situasi di Papua, kalau mau, saya masih punya yang bagus, yang itu rusak, akibat tinta print bocor, sehingga banyak yang tidak bisa terbaca!”

“Saya mau kaka, mau sekali!”

“Oke, setelah selesai membakar sampah ini, saya akan ambilkan” ujar Ronda sambil terus meperhatikan kertas yang dibakarnya.

Setelah semua kertas yang di bakar itu menjadi arang, Ronda mengajak Debby menuju kantornya. Mereka berdua, jalan beriringan sambil bercerita, setibanya di teras kantor, Ronda mempersilahkan Debby untuk menunggunya. Ronda masuk dan menghilang di balik daun pintu kamar yang berada paling depan dari kantor ini.

Debby duduk di kursi kayu, ia melihat di sebelah kiri ada beberapa bagian dinding yang rusak. Di dalam ada satu meja, dan enam kursi kayu, sama seperti yang sedang ia duduk. Di dinding tampak poster himbauan untuk waspada terhadap penyakit AIDS, menjaga kebersihan dan semangat nasionalisme.

“Ini buletinnya, kalau sudah baca nanti akan saya berikan edisi lainnya ”kata Ronda menyerahkan sebuah buletin. 

Mambruk, itulah nama buletin yang tertera di halaman depan, dan tampak sebuah foto seorang demonstran sedang berorasi sambil memegang microphone. Debby, membaca judul artikel dan membolak balik halaman buletin. Ronda diam, sambil memperhatikan rasa ingin tahu Debby.

Setelah membolak balik buletin, Debby pun tersenyum, “Kaka, saya permisi pulang.” 

“Iyo, kalau sudah selesai baca kasi kabar yah” ujar Ronda.

“Sip, kk,” Debby pun melenggang menuju rumahnya.

Tanpa menunggu lama, halaman demi halaman buletin di lalap Debby, ada beberpa bagian yang mirip dengan pembicaraan ayahnya dan para pemuda yang datang kerumahnya. Bagian-bagian yang dirasakan penting, di catatanya dalam buku diary. Setelah selesai membaca buletin tersebut, Debby mengambalikannya, dan ia pulang dengan membawa edisi yang baru lagi. 

Debby selalu bertanya pada Ronda seusai membaca Buletin Mambruk, dan Ronda dengan sabar menjelaskan satu persatu pertanyaan Debby. Diskusi mereka mengalir seperti anak sungai yang menuju muara, Debby selain berdiskusi dengan Ronda, ia juga mengamati apa yang di kerjakan oleh Ronda dan teman-temannya. Walaupun ia seorang pegawai negeri, namun hati kecilnya selalu terusik melihat masyarakat yang hak-haknya ditindas oleh penguasa. 

Ronda melamar menjadi pegawai negeri hanya karena terpaksa, tidak ada pilihan lain. Lapangan kerja tidak ada selain berharap pada pegawai negeri. Membuka usaha sendiri, perlu modal yang banyak, bila mengurus pinjaman ke bank, bank tidak percaya kalau orang Papua pun mampu untuk berusaha, sehingga bila mengurus surat-surat untuk usaha, kadang berbelit-belit dan di persulit.

Realitas menumbuhkan benih-benih perlawanan dalam diri Ronda hingga ia memperoleh informasi bawah tanah dan terlibat dalam gerakan perjuangan pembebasan Papua. Pertemuannya Ronda dan Debby dan diskusi membuat Debby makin tertarik dan yakin dengan pilhannya, mengikuti jejak Ronda. 

Debby mengambil keputusan untuk bergabung dalam suatu organisasi gerakan pembela rakyat, untuk turut memperjuangkan hak-hak rakyat yang terindas. Kegelisahannya yang selama ini ia pendam, dapat tersalur. Debby mulai mengikuti diskusi-diskusi yang dibangun bersama teman-temannya, benih perlawanan tumbuh dan berakar dalam jiwanya, sebuah idealisme untuk pembebasan Papua tercinta.

Debby sudah menemukan dunianya yang selama ini hanya menjadi sebuah bayang-bayang. Ia menemukan dunia yang memberinya suatu pembelajaran tentang kehidupan yang tidak di dapatnya dalam dunia pendidikan formal. Pembelajaran itu membangun rasa cinta pada manusia yang tertindas, tergusur di negerinya sendiri

Kesibukan Debby membuat ia sering lupa pada Jhon, dan itu membuatnya berada dalam pilihan yang sulit. Haruskah ia menghentikan aktifitasnya dan melupakan Jhon, atau ia tetap menjalin cintanya. Pertanyaan itu berulang-ulang dalam jiwanya, batinnya menjerit bisakah Jhon memahamiku? Tuhan tolong, aku tak sanggup tuk memilih satu diantara keduanya, keduanya sungguh berarti bagiku. Ohh desahnya, sebuah dilema yang sangat berat

***

Debby menghilangkan kegelisahannya dengan menikmati senja di Kalkote, sebuah kampung yang indah di pinggir Danau Sentani. Debby selalu datang ke Kalkote untuk menyaksikan betapa indahnya matahari pulang ke peraduan. Biasanya ia bersama Jhon, tapi kali ini Debby sendiri dan ia duduk diatas jembatan itu dengan pikiran menerawan di antara jingga yang mulai pupus.

Jhon lahir dan besar dalam keluarga amber, suatu keluarga Papua yang hidup berkecukupan sebagai pegawai negeri. Ayah Jhon memiliki jabatan yang lumayan bagus di pemerintahan kabupaten. Hidup berkecukupan membuat Jhon kurang perduli dengan masalah sosial dan politik yang terjadi di Papua. Itu pula yang menyebabkan itu tidak tahu aktifitas Debby walupun sudah dua tahun mereka merajut cinta.

Sore itu, Jhon dan Debby menikmati malam penuh bintang di pinggir pantai Dok II, Jayapura. Di kursi panjang, mereka duduk. Sembil memanangi pulau Tahima Soroma, mereka bercerita, sesekali Jhon membuat mop dan mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.

Keasyikan mereka terhenti oleh dering hp, Debby mengeluarkan hp dan membaca sms yang masuk di hpnya, “Dear Rekan-rekan yang baik, saat ini semokrasi di Papua sedang di bungkam, semua sendi-sendi demokrasi di Papua di tiadakan. Aspirasi rakyat dilarang, aktifis-aktifis Papua ditangkap dan di intimidasi untuk itu solidaritas pro demokrasi akan melakukan aksi turun Jalan menuju gedung DPRD Papua, harap teman-teman semua hadir.” 

Setelah membaca sms itu Debby pun memasukkan hp dalam noken kesayangannya yang selalu menemaninya. Jhon memperhatikan Debby, tak berapa lama kemudian ia meminta noken dari Debby,  mengeluarkan hp, lalu membuka dan membacanya sms yang masuk.

Setelah Jhon selesai membaca pesan singkat itu, Jhon pun bertanya tentang maksud sms itu, Debby menjelaskan panjang lebar, mulai dari sms sampai semua keterlibatannya dalam Gerakan Pro Rakyat. Debby berfikir penjelasannya akan membuat Jhon mendukung setiap akfitasnya, namun dugaannya salah, semuanya jauh dari harapan. Itulan awal dari semua perdebatan dimulai, Jhon meminta Debby untuk menghentikan semua aktifitas itu, Debby ku mohon untuk masa depan kita “Hentikan semua aktifitas itu terlalu berbahaya untuk seorang perempuan, please Debby!“ 

 Tidak, Jhon bisakah engkau mendukung semua aktifitas ku ini, aku akan tetap baik-baik saja dan jangan kau kuatir. Malam yang indah itu pun berlalu tanpa ada jalan keluar, hening, saling membantah, hingga akhirnya mereka lelah. Jhon mengantarkan Debby pulang kerumahnya. 

Esoknya Debby mengirm sms dan berusaha menjelaskan tentang apa yang sedang dijalaninya, tapi Jhon tetap tak mau menerimanya. Perbedaan cara pandang antara mereka berdua, menyebabkan tiada hari tanpa perdebatan yang berujung pertengkaran. Jhon berpikir sebagai perempuan, Debby tak seharusnya bergerak dalam gerakan yang bisa membahayakannya. Sedangkan bagi Debby, megikuti gerakan perjuangan pro rakyat adalah satu keharusan, sebagai pemudi yang melihat realitas rakyat yang tertindas. 

Hari berganti hari, Debby masih berada dalam pusaran pilihan yang sulit, keputusan yang dia ambil akan sangat mempengaruhi masa depannya. Debby merasa tak bisa hidup terus dihantui dengan rasa cinta, namun ia juga tak bisa membiarkan dunia yang sudah menyatu dalam jiwanya berlalu begitu saja. 

***

Ahh, ada harga yang harus dibayar, lalu dengan galau Debby mengambil hp dan mulai menelpon Jhon untuk mengakhiri masalah yang berhari-hari menyita pikirannya. Ya, sore ini akan ku putuskan, apakah aku akan memilih cinta, ataukah tetap berada jalan pembebasan untuk mempertahankan Idealismeku.

“Jhon, sore kita ketemu di Khalkote, aku menunggumu!”

Mereka berdua menuju Kalkote, tempat mereka menikmati sunset. Mereka memilih tempat duduk agak jauh, sambil menjuntai kaki ke dalam air. Dari atas jembatan kayu, mereka menyaksikan seorang mama sedang mendayung ditengah danau, sementara di ujung barat matahari perlahan merayap diantara pepohonan yang menyelimuti gunung di sekeliling Danau Sentani.
 
Debby mulai membuka berbincangan dan menjelaskan pada Jhon tentang dunianya, tentang pandangannya pada ideologi pembebasan Papua. Cita-cita yang diyakini Debby sebagai jalan untuk membebaskan Papua dari korupsi, bebas dari kapitalis yang mencengkram rakyat Papua. Marjinalisasi penduduk asli Papua, bahkan bebas membangun kedaulatan ekonominya sendiri. Kesejahteraan rakyat Papua dan bebas secara politik sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat adalah hak dasar seperti yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Jhon mendengar semua penjelasan Debby, “Deb aku paham dan bangga dengan semua aktifitasmu, tapi hal yang sedang engkau jalani sangat berbahaya untuk seorang perempuan, aku ingin kita menikah, mempunyai anak dan menjalani hidup apa adanya.
 
Debby menatap Jhon dengan pikiran kosong, melayang-layang di antara senja, tetes air mata membasahi pipinya, dengan terbatata-bata Debby berkata, “Jhon bisakah aku tetap berada dalam duniaku, hubungan kita tetap baik-baik saja, please Jhon!”
 
“Aku sangat mencintaimu, aku ingin kau menjadi istriku dan mama dari anak-anak kita kelak, lupakan semua tentang duniamu.”

Jhon ku mohon jangan membuatku berada pada pilihan sulit seperti ini, aku tak sanggup melupakanmu tapi aku juga tak mungkin meninggalkan duniaku.”
 
Dengan nada suara yang agak tinggi dan sedikit membentak, Jhon berkata Debby kau harus memilih salah satu, aku dan cinta kita, ataukah ideologi dan idealismemu.
 
Jhon haruskah seperti ini? Debby menangis sambil menyandarkan kepanyanya ke dada Jhon, lelaki yang selama ini mengisi hari-harinya. Malam telah luruh sampai ke permukaan air danau, bertambah pekat. Keduanya duduk membisu, nyanyian serangga berusaha menghibur mereka berdua, dengan suara tersendat-sendat memecah kesunyian malam Jhon berkata, Deb sayang buatlah suatu keputusan, cinta kita atau ideologi dan idealismemu. Sadarlah dari bayang-bayang yang hanya menjadi mimpi serta menghancurkan masa depanmu.”
 
Debby memandang lelaki yang dicintainya, Jhon maaf, aku memilih duniaku meskipun berat untuk melupakanmu, mungkin aku harus melupakanmu, konsekuensi dari pilihanku hari ini aku akan menerimanya."

Jhon berdiri dari duduknya, lalu dengan emosi yang tinggi, ia memegang kedua pipi Debby dengan keras, Debby sadar, Debby sadar, Debby sadar.” Debby meringis kesakitan dan hanya diam menatap tak percaya pada tindakan Jhon tersebut.
 
“Jhon hari ini semuanya telah berakhir, aku memilih duniaku dan melupakan tentang cinta kita, pergilah, carilah perempuan lain yang sepaham denganmu, aku tetap dengan duniaku.”
 
Selamat bemimpi dalam duniamu dengan ideologi dan idealismemu, sampai kiamat pun takkan pernah tercapai, Jhon pun berbalik dan melangkah meninggalkan Debby. Hentakan kaki Jhon di atas papan-papan jembatan seperti derap langkah pasukan yang sedang latihan baris-berbaris. Debby hanya berdiri terpaku dalam diam menyaksikan Jhon pergi meninggalkannya dalam pekat malam.
 
Batin Debby menjerit, Jhon mungkin ini yang terbaik untukku dan dirimu, dunia kita berbeda aku tetap memilih keyakinanku untuk selamanya. Bersetubuh dengan ideologi dan idealismeku serta melangkahi dinding buta, suatu batasan yang tak terbatas. Dunia yang tidak biasa untuk kaumku menjadi pilihan hidupku, serta memanjatkan doa dan harapanku pada Tuhan, bahwa suatu saat kelak aku bisa menemukan kembali tulang rusukku. Dan melahirkan generasi-generasi idealis hasil persetubuhanku dengan lelaki yang bernama Ideologi.

Numbay/Hollandia Binnen, 13 Januari 2013


T A M A T