Tanah Merah Digul

Tempat Kolonialis Belanda Membuang Pejuang kemerdekaan

Oleh : Tri Ramidjo


Diantara pejuang-pejuang kemerdekaan yang didigulkan oleh kolonial Belanda, terdapat seorang ahli gending Pocopangrawit dari Surakarta yang gamelannya tersimpan rapi di museum Australia, dan selain itu juga ada dari Surakarta, pak Mangun Admojo, yang bernasib kurang baik karena diterkam oleh buaya ganas di Sungai Digul, Kedua ceritera tersebut dapat dibaca dalam rangkuman cerita sebenarnya sebagai berikut.

Mbah mangun gugur membawa cita-citanya.
Oom Pontjo Pangrawit yang hebat.

Aku tidak tahu siapa mbah Mangun. Aku hanya mendengar cerita ibuku. Nama lengkapnya mbah Mangun adalah Mangun Atmodjo. Konon menurut cerita ibuku, Mbah Mangun ini adalah keturunan ningrat. Keturunan darah biru. Apakah benar darahnya biru aku tak tahu, sebab kata ayahku mbah Mangun ini juga suka menyanyikan lagu “Darah Rakyat” dan tentunya darah rakyat berwarna merah dan tidak biru.
Aku pernah bertanya kepada ayahku, apa ciri-ciri khas keturunan ningrat itu dan ayahku menjelaskan, bahwa di tanah Jawa keturunan ningrat itu, di depan namanya selalu diberi embel- embel Raden Mas atau Raden ( RM atau R ), yang menurut cerita ayahku keturunan ningrat atau keturunan raja-raja Jawa adalah keturunan-keturunan orang-orang yang kerjanya ongkang-ongkang, makan enak, rumah bagus, isteri lebih dari satu – yah, pokoknya keturunan penindas.

Ketika kutanyakan mengapa raja-raja dan keturunannya disebut penindas, ayahku menjelaskan, bahwa yang namanya raja tidak pernah mengerjakan sesuatu dengan menggunakan tenaganya sendiri tetapi semua apa saja yang diinginkannya selalu dikerjakan oleh orang lain, oleh hamba-hambanya. Sampai-sampai mau mengenakan pakaian pun hamba-hambanya yang memakaikan. Apa tidak keterlaluan menindasnya terhadap orang lain.

Aku berfikr dan berfikir. Pantas ayahku tak suka disebut Den Dar atau Raden Dardiri. Raden itu turunan penindas, to. Dan ayahku tidak suka menjadi turunan penindas. Penindas, ya penindas, itu adalah hal yang sangat buruk. Kerja bersama menikmati hasil kerja secara bersama-sama itu lebih baik. Dan ajaran ayahku itu terpatri teguh dalam hatiku yang paling dalam.

Mbah Mangun Atmodjo, kata ibuku, keturunan ningrat berasal dari Solo. Ya, di Solo menurut cerita ibuku ada keraton. Dan yang namanya keraton itu adalah bangunan megah tentu saja terbuat dari batu atau beton. Di keraton itulah bersemayam atau tinggal ratu atau raja. Raja adalah penguasa absolut yang memerintah kerajaannya. Itu di zaman kerajaan. Sekarang ini bukan lagi zaman kerajaan, zamannya sudah berubah. Begitulah cerita ibuku.

Aku senang mendengar cerita ibuku. Menurut ibuku di zaman purba dahulu………dahulu sekali menurut ibuku, manusia yang lahir di bumi ini hidupnya sangat rukun. Tidak ada yang lebih kaya atau lebih miskin. Mereka berburu bersama, mencari buah-buahan bersama, tinggal bersama-sama, pokoknya mereka sangat rukun membagi semua hasil kerja mereka secara adil. Mereka tidak mengenal yang namanya uang.
Ibuku tidak menceritakan mendetail tentang masyarakat waktu itu dan hanya menceritakan sepotong-sepotong perkembangan masyarakat kuno, perbudakan, zaman kerajaan atau zaman feudal, zaman kapitalisme kejam harus dibinasa dan seterusnya.

Lalu ibuku menyanyi :

Kapitalisme kejam,
Harus dibinasa,
Kaum yang bekerja.
Seluruh dunia,
Bersatulah, bersatulah.
Merebut kemenangan,
Kaum pekerja, Kaum pekerja.
Hidup harus gemilang.

Nah, begitulah cerita ibuku yang telah meninggal pada usia 89 tahun pada hari Rabu 24 Mei 1989. Ibuku orang desa yang sejak kecil hidup di pesantren. Pernah mengikuti ayahnya, yaitu kakekku, ke daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat, untuk melakukan siar agama Islam.

O ya, maaf, aku akan menuliskan cerita mbah Mangun Atmodjo yang keturunan ningrat itu, kan . Baiklah.
Mbah Mangun yang keturunan ningrat atau darah biru itu ayahnya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro. Jiwa melawan kolonialis Belanda berakar tumbuh di dalam hatinya seperti juga oom Pontjo Pangrawit, ahli gending yang juga berasal dari Solo—yang menurut cerita temanku, salah sebuah gamelan yang dibuat oom Pontjo Pangrawit ini kini tersimpan di Australia sebagai benda peninggalan sejarah.

Ada cerita ayahku yang menarik tentang oom Pontjo Pangrawit ini. Daripada nanti aku lupa baiklah aku sisipkan sepenggal ceritanya di sini, ya. Oom Pontjo Pangrawit adalah tetangga dekat rumah kami di kampung B. Rumahnya berdekatan dengan rumah mbah Kiyahi Haji Muchlas, ayahnya mas M.H. Lukman (wk. Ketua CCPKI) yang di zaman peristiwa G30S hilang tak tentu rimbanya dan mati tak tahu di mana makamnya, tentu saja dibunuh secara sadis oleh algojo-algojo orba Suharto.

Dibelakang rumah oom Pontjo Pangrawit ini ada sebatang pohon kluwih yang sangat besar, rimbun dan di bawah pohon itu ada sebuah sumur yang airnya sangat jernih. Di sumur itulah ayahku dan abangku Darsono sering mengangsu air dengan memikulnya memakai dua kaleng minyak tanah. Ya, memikul air dari sumur oom Pontjo ke rumahku itu lumayan jauh dan aku belum mampu mengerjakan pekerjaan itu.

Biasanya yang kami pakai adalah air hujan yang kami tampung dengan drum atau tong yang dibuat oleh abangku Darsono dengan memakai seng. Abangku Darsono sangat pintar membuat alat-alat dari seng tanpa dipatri, misalnya ember, oven untuk membuat kuwe dll. Air hujan itu lah yang kami gunakan untuk minum dan masak. Air hujan sangat jernih tetapi, katanya, merusak gigi karena tidak mengandung kalsium. Entahlah, aku tidak tahu. Masa bodoh mau gigi rusak kek, enggak rusak kek, toh gigi yang rusak itu lama-lama dibawa mati juga. Hehehehe.

Di rumah oom Pontjo Pangrawit ini penuh dengan alat musik gamelan, ada gambang, bonang, saron dan entah apalagi namanya, aku tak tahu. Semuanya adalah buatan Oom Pontjo. Beliau pintar sekali menabuh gamelan dan bahkan dengan kaleng-kaleng susu yang dibuatnya, gamelan itu bisa melagukan lagu Darah Rakyat, Internasionale, lagu 1 Mei, Mariana Proletar, de Rode Vandel dll. Aku sudah lupa lagu de rode vandal, tapi yang lain aku masih ingat nootnya.

Oom Pontjo itu,menurut ayahku, adalah ahli gending di kraton. Tahu, apa kesenangannya? Kegemarannya adalah nyeret. Ketika kutanyakan kepada ayahku apa nyeret itu, maka jawab ayahku : nyeret itu kebiasaan jelek sekali dan tak perlu ditiru yaitu menghisap candu.

Pada tanggal 12 November 1926 meletus pemberontakan rakyat melawan Belanda.

Pemberontakan ini bukan hanya di Jawa, tapi juga meluas ke Sumatra dan tempat-tempat lainnya. Semua anggota dan pimpinan gerakan yang menentang Belanda ditangkapi, dan bahkan pesantren-pesantren pun di obrak-abrik, pimpinannya ditangkapi dan diasingkan ke Tanah Merah Boven Digul. Demikian pulalah oom Pontjo Pangrawit ini yang menjadi anggota PKI, tak luput dari penangkapan.

Di dalam tahanan oom Pontjo Pangrawit ini merasakan badannya sangat lemah dan tak berdaya. Kenapa? Karena ketagihan nyeret atau menghisap candu. Dia minta kiriman candu dan isterinya mengiriminya secara sembvunyi-sembunyi. Begitu menghisap candu, oom Pontjo menjadi trengginas gesit dan bisa berbicara berapi-api. Tentu saja teman-teman mengkritiknya habis-habisan. Kata temannya : “bung Pontjo, sampean ini betul anggota PKI atau anggota gadungan. Masak anggota PKI kalah sama umpling candu.”
Tentu saja oom Pontjo tidak mau menerima kritikan seperti itu, sebab dia merasa berjuang anti Belanda sungguh-sungguh dan masuk menjadi anggota PKI, juga benar-benar secara sadar dan bukan ikut-ikutan.

Keesokan harinya, dia tidak mau menghisap candu. Umpling candu yang terbungkus timah itu diletakkan di lepekan (piring kecil) dan dia deleming (berbicara kepada diri sendiri). “E, umpling candu. Sakbenere kowe sing merintah aku opo aku sing merintah kowe. Aku iki Pontjo Pangrawit anggota PKI aku emoh mbok perintah. Mulai dino iki aku sing merintah kowe. Kowe kudu tunduk karo aku. Ngerti?”
Nah, begitulah. Pada hari itu oom Pontjo tergolek tidur tak berdaya, tapi dia tetap bertahan tak mau menyentuh umpling candu itu. Selama seminggu dia tergeletak tak mau makan hanya minum.

Di hari ke tujuh dia buang air dan kotorannya berwarna kehitam-hitaman. Isi perutnya terkuras habis. Oleh teman-teman setahanan dia di beri minuman teh manis hangat. Keringat kekuar dari tubuhnya dan kemudian oom Pontjo mau menyuap nasi. Katanya baru kali itu oom Pontjo merasakan nikmatnya makan nasi.
Sesudah makan oom Pontjo merasa segar dan mulailah dia menyanyi :

Bangunlah kaum yang terhina,
bangunlah kaum yang lapar,
Kehendak yang mulia dalam dunia senantiasa tambah besar,
lenyapkan adat dan faham tua, kita rakyat sedar sedar…………..dst. “.

Oom Pontjo menyanyikan lagu itu sampai selesai dan kemudian menyanyikan lagi “Darah Rakyat” masih berjalan menderita sakit dan miskin.

Teman-teman seselnya mendiamkannya saja. Dan akhirnya dia beteriak :
“aku menang, aku menang.”

Dan diambillnya umpling candu di lepekan itu dan dibuangnya ke WC, lalu kembali duduk bersama riungan teman-temannya.

Teman-temannya menyalami dan berpelukan dengan oom Pontjo. Sukses bung, sukses, Kalau mau terus berjuang kita pasti menang.

Nah itulah sekelumit cerita ayahku tentang oom Pontjo Pangrawit.

Sekarang aku harus teruskan cerita ibuku tentang Mbah Mangun yang gugur membawa cita-citanya.
Ketika itu tanggal 8 April 1928. Baru satu tahun, Tanah Merah Boven Digul dihuni oleh orang-orang pergerakan yang dibuang oleh kolonialis Belanda.


Udara cerah waktu itu dan sungai Digul yang bening airnya itu mengalir deras seperti biasanya. Ada anak-anak yang berperahu dan ada juga yang sedang mandi di tepian sungai Digul yang berkerikil dan berpasir hitam itu.

Matahari bersinar terang dan agak panas. Orang –orang yang mandi sudah selesai dan kembali ke rumahnya masing-masing. Mbah Mangun yang baru saja selesai makan siang turun ke sungai membawa piring-piring, panci dan alat2 masak bekas beramai-ramai menikmati daging buaya. Ya, dua hari sebelumnya, ada yang mancing dan mendapat seekor buaya yang lumayan besarnya.

Sebenarnya ransum (makanan) yang diberikan oleh Belanda cukup baik, ada rondvlees, ikan sardin, daging kornet , bruinebonen dll. Tapi ikan segar dan daging segar memang tidak ada.

Bagi mereka yang suka daging, daging buaya pun merupakan daging segar, yang mungkin nikmat. Aku sendiri belum pernah mencoba dan tidak ingin mencoba memakannya.

Begitulah mbah Mangun dan beberapa orang temannya menyembelih buaya hasil pancingan itu dan memasaknya dengan bumbu-bumbu yang lengkap. “Lezat, lezat sekali,” kata mbah Mangun.

Begitulah, mbah Mangun sambil mandi di sungai Digul, mencuci piring-piring dan alat dapur lainnya.
Ketika itu dua orang anak yang sedang bermain perahu mendayung ke arah hulu sungai Digul melewati tepian tempat mbah Mangun mandi sambil berkata keras. “Mbah, hati-hati di sebelah hilir ada seekor buaya kuning sedang berenang ke hulu. “ kata kedua anak itu yang tak lain adalah Parno dan abangku Darsono.

“Biar, biar saja, wong buaya dagingnya juga enak”, jawab mbah Mangun.

Sebentar kemudian abangku Darsono yang mengemudikan perahu menoleh ke belakang.

Aklangkah terkejutnya, buaya yang ada di hilir mengangkat kepalanya dan Mbah Mangun melintang di mulut buaya itu. Parno dan abangku Darsono sambil berteriak-teriak meminggirkan perahunya dan naik ke darat.
“Mbah Mangun diterkam buaya, mbah Mangun diterkam buaya.”

Penduduk Tanah Merah Digul berlarian ke tepi sungai Digul. Ada yang membawa parang, panah, dll. Sepasukan militer KNIL segera datang. Di tepian sungai Digul menjadi ramai sekali. Bunyi dor, dor dor berulang-ulang terdengar menembaki buaya kuning yang ganas itu. Buaya itu sebentar-sebentar mengangkat kepalanya ke permukaan air tapi kemudian menyelam kembali. Hanya tembakan bedil rupanya tak mampu membunuh buaya ganas itu.

“Bung Suro, pinjam belatinya”, kata oom Darsono kepada ayahku. Ayahku memberikan pisau belatinya kepada oom Darsono. Ayahku memang tak pernah melepaskan pisau belati itu dari pinggangnya. Sudah menjadi kebiasaannya sejak muda, tak pernah ketinggalan pisau belati walaupun ayahku sangat sabar dan tak pernah bertengkar atau berkelahi. Pisau belati ayahku dilengkapi dengan tali kulit untuk diikatkan ke pergelangan tangan sehingga tak mudah terlepas dari tangan.

Oom Darsono (namanya sama dengan nama abangku), perawakannya lebih kecil daripada ayahku. Tapi gerakannya gesit, pandai berenang dan pintar olah raga beladiri silat SH. Oom Darsono ini berasal dari semarang.

Dengan cekatan hanya mengenakan celana pendek, oom Darsono berenang ke arah buaya di tengah sungai Digul dan langsung buaya itu ditungganginya. Rupanya oom Darsono ini punya ilmu Djoko Tingkir barangkali.
Berkali-kali dihunjamkannya pisau belati yang sangat tajam itu, diodet-odetnya perut buaya dan akhirnya buaya itu mati lemas ditarik berenang kepinggir. Sungguh luar biasa. Jenazah mbah Mangun masih berada di mulut buaya itu. Beramai-ramai dengan pikulan dan entah apa lagi mulut buaya itu dingangakan dan berhasillah mbah Mangun dikeluarkan dari mulut buaya kuning yang ganas itu.

Nah itulah cerita menyedihkan ibuku, cerita mbah Mangun Atmodjo yang gugur dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan membawa pergi cita-citanya. Semoga saja anak cucunya meneruskan cita-cita mbah Mangun yang walaupun kemerdekaan Indonesia sudah tercapai, kita belum terlepas dari kolonialisme model baru atau nekolim. Bukan hanya anak cucu mbah Mangun, tetapi siapa saja yang mencintai tanah air dan rakyat, marilah cita-cita perjuangan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur kita lanjutkan.
Mbah Mangun Atmodjo gugur pada tanggal 8 April 1928 dan dimakamkan di pemakaman ujung Kampung “B”. Pemakaman kampung “B” inilah satu-satunya tempat pemakaman pejuang-pejuang PKI alias Perintis Kemerdekaan Indonesia yang dibuang ke Tanah Merah Digul. Di situ juga terdapat makam oom Ali Archam, oom Marco, oom Entolenoh dll.

Patah tumbuh, hilang berganti,
Mati satu, lahir seribu.
Kalau kakek pandir di Tiongkoik bisa memindahkan gunung.
Maka putra putri Indonesia pasti mampu menghancurkan angkara murka,
Sisa-sisa orde baru Suharto dan kroni-kroninya.


Tangerang, 08 September 2010.-

*) Tri Ramidjo, Putra Digulis, telah menulis 30 judul Cerpen yang dikumpulkan dalam “Kisah-kisah dari Tanah Merah” yang semua itu ditulis sekitar tahun 2006, 2007, dan 2008.

Sumber; www.berdikarionline.com

Posting Komentar

0 Komentar