Melayu Papua dan Injil di Tanah Papua

Buku bahan ajar pada masa Zending
 Oleh: Izak Morin
(Program Studi Bahasa Inggris FKIP Uncen)
Tulisan ini dipersembahkan secara khusus dalam rangka perayaan HUT ke 156 Tahun Injil Masuk di Tanah Papua.

Suatu Refleksi
Melayu Papua (MP) adalah alat komunikasi antar sesama orang Papua ketika itu. Kalo trada MP maka dua Rasul Tuhan dari Jerman tra bisa sampaikan Injil Tuhan kepada orang Papua. Kedua Rasul ini tra tau MP maka dong dua perlu orang lain sebagai perantara antara dong dua dan orang Papua. Seorang anak kecil berumur 12 tahun yang bernama Frits, anak seorang guru, dong dua bawa dari Ternate sebagai penerjemah atau jurubahasa Melayu sewaktu berlayar menuju Tanah Papua. Tanpa pahlawan kecil ini, kedua Rasul Tuhan pasti alami kesulitan dalam memenangkan jiwa orang Papua. 

Tanpa MP tra mungkin Injil Tuhan yang ditulis dengan Bahasa Melayu Baku dalam Alkitab dapat dimengerti dengan baik oleh orang Papua ketika itu. MP sudah hadir lebih dulu sebelum kedua Rasul Tuhan tiba. Kalo hari ini 5 Februari 2011 adalah 156 Tahun Injil Masuk di Tanah Papua berarti MP juga su ada di Tanah Papua selama 156 tahun ditambah lagi dengan tahun-tahun sebelumnya. Anak kecil dan MP dong dua pu peran besar dalam sejarah peradaban bangsa Papua tapi dong dua tra pernah dibesar-besarkan kecuali dua Rasul itu. Itulah sikap manusia yang selalu liat suatu kesuksesan hanya dari satu mata rantai tanpa liat keterkaitannya antara satu mata rantai dengan yang lainnya. Marilah kitong hindari sikap seperti ini dan belajarlah hargai siapa saja dan apa saja yang turut kase kontribusi dalam kitong pu keberhasilan pembangunan dalam segala segi kehidupan orang Papua di Tanah Papua hari ini dan hari esok.
Asal mula Melayu Papua
Orang-orang sejarah dong bilang, kitong pu bahasa ini tete-tete dong pu tete-tete dan nene-nene dong pu nene-nene su mulai belajar dan pake de waktu dong baku tukar barang deng orang-orang dari Tidore deng Ternate di daerah Kapala Burung terutama Kepulauan Raja Ampat sekitar tahun 800-an. Agustus, 24, 1828 Belanda dong buka benteng Fort du Bus di kampung Lobo di wilayah Selatan Papua. 

Jadi, orang-orang Maluku yang dong bawa untuk bantu bikin benteng tersebut pasti dong pake bahasa Melayu untuk bicara-bicara dengan orang-orang kampung dorang. Tanggal 5 Februari 1885, Penginjil Protestan Ottow dan Geissler dari Jerman tiba di Mansinam, Utara Papua untuk pemberitaan Injil Tuhan. Waktu berangkat dari Ternate ke Mansinam dong dua bawa anak kecil berumur 12 tahun namanya Fritz untuk dong dua pu jurubahasa. Kemudian, tanggal 23 Mei 1894 Pastor Le Cocq d’Armandville SJ buka pos pengginjilan Katolik di Sekeru, Selatan Papua. Penyebaran agama Islam di wilayah Raja Ampat, Fak-Fak, Kaimana dan Teluk Bintuni pasti terjadi dalam kurun waktu tersebut.Dengan demikian pengembangan dan pembentukan awal kitong pu MP su pasti melalui perdagangan, orang-orang yang datang kerja, penginjilan Kristen Protestan dan Katolik serta penyebaran Islam.

Tra Hargai Melayu Papua
Belanda dong buka dong pu kantor pemerintah pertama di Fak-Fak tahun 1898. Dalam kurun waktu 1898-1962 Belanda dong su bangun kantor pemerintah, perusahaan, dan sekolah-sekolah di seluruh Tanah Papua. Guru-guru dong pake Bahasa Melayu di sekolah rakyat (SD) sedangkan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda di sekolah tingkat menengah (SMA). MP dong tra pake karna dong anggap Melayu Pasar (Broken Malay) padahal de main peran penting sebagai bahasa pengantar dan pemersatu ato orang Inggris bilang ‘lingua franca’ antar orang Papua. 

Tahun 1962-1963 Belanda dong su angkat kaki dari Tanah Papua karena tentara Indonesia dong su datang sama-sama deng UNTEA. Kurun waktu 1961-1969 Papua jadi pemicu pertengkaran antara Indonesia dan Belanda sehingga Papua menjadi isu international. Pada Agustus 1969 Pepera selesai dan resolusi PBB pada akhir tahun 1969 memihak kepada Indonesia. Akhirnya, kitong jatuh ke pangkuan NKRI. Pada awal tahun 1970 semua buku yang Belanda bikin dalam Bahasa Melayu tra boleh pake lagi dan Indonesia ganti deng buku pelajaran yang baru. Buku lagu rohani dan rekreasi seperti ‘Suara Gembira’ dan ‘Seruling Mas’ turut dipenjarakan. Buku-buku baru deng nama ‘Amir, Sudin, Hasan, Tuti menggantikan nama-nama Tom, Regie, Silas, dll. 

MP alami nasib yang sama seperti waktu penjajahan Belanda. Guru-guru diwajibkan untuk ajar anana dengan bicara bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar. Tiap upacara hari Senin pagi teks ‘Sumpah Pemuda’ dibacakan ‘Berbahasa satu Bahasa Indonesia’. Padahal di luar sekolah MP lebe dominan. Bahasa Indonesia yang dong pake dalam buku-buku baru waktu itu terlalu tinggi dan bikin kitong yang tinggal di kampung-kampung tra mengerti kecuali dorang-dorang yang tinggal di kota besar. Jadi, kalo guru-guru orang Papua tra jelaskan dengan MP dan bahasa daerah maka kitong tra mengerti deng baik.

Kitong pu UU Otsus Papua No.21 Tahun 2001 gagal karena tra akui MP di Tanah Papua. Dalam pasal 58 tentang Bahasa, hanya ada Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pendidikan. Jadi, MP dong tra kase masuk sedangkan Bahasa Daerah dong kase masuk tapi tra sebut jumlah bahasa di Tanah Papua. Padahal, kalo kitong lia Konstitusi Afrika Selatan dan beberapa Negara Afrika termasuk Vanuatu dan beberapa negara Pasifik dong kase masuk dong pu bahasa semua baik jumlah maupun nama-namanya sebagai identitas diri rakyatnya walaupun hanya satu yang dong akui sebagai bahasa nasional. Ini baru namanya Bhinneka Tunggal Ika. Jadi, sekarang kitong tra bisa harap pemerintah mo promosi kitong pu MP dan Bahasa Daerah. Kitong sendiri yang bisa kase tau orang lain tentang kitong pu MP. Sa setuju skali deng kode etik penulisan dalam situs ‘Yaswarau’ yang mendorong semua orang menulis deng MP. Yaswarau adalah satu-satunya tempat berkumpul kelompok anana pencinta Tanah Papua dan semua yang ada di dalam dan di atasnya termasuk MP.

Orang-orang yang datang ke Tanah Papua seharusnya belajar MP supa tau adat Papua karena bahasa adalah bagian dari adat. Dong juga harus belajar panggil orang Papua ‘kaka’, ‘ade’, ‘ipar’, bapa ade, mama ade, nene Serui, tete Merauke, dll dalam situasi-situasi tertentu. Jangan lagi ada larangan di kantor seperti “Gunakanlah Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar’. Kalimat perintah seperti ini adalah ciri dari pemerintah yang tra hargai kehadiran MP dan peran pentingnya dalam membangun peradaban masyarakat Papua. 

 Kitong tau bahwa kalimat perintah seperti ini adalah aplikasi dari kebijakan bahasa nasional (national language policy) agar semua orang akui Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan identitas bangsa. Itu hal yang betul sekali. Tapi, yang tra betul dari kebijakan ini adalah kalo pimpinan kantor pemerintah dan swasta pake kalimat perintah seperti ini sebagai salah satu senjata untuk kase jatuh anana Papua yang kerja di instansi atau perusahaan tersebut waktu mo ada promosi jabatan. Kehadiran dan peran MP dalam mempersatukan 253 kelompok etnis di Tanah Papua selama dua abad lebih tra boleh dilecehkan begitu saja oleh bahasa yang baru saja datang dan berumur 41 tahun (1970-2011) di atas Tanah Papua. 

Jadi, kalo kalimat perintah seperti di atas masih ada di kantor dan di rumah maka kitong harus berani bilang ‘Epen ka?’. Kitong harus hargai MP dan Bahasa Indonesia karena dong dua pu fungsi sama yaitu sebagai alat komunikasi. Jangan lagi ada ana Papua yang tra lulus tes pegawai atau polisi atau tentara karena de pake MP waktu wawancara. Kalo perlakuan begini masih ada maka kitong harus tantang karena ini adalah ciri-ciri orang atau pemerintah yang tra hargai budaya orang lain. Sekali lagi ‘bahasa’ adalah bagian dari ‘adat’. Kalo kitong datang ke rumah orang maka kitong harus hormati adat yang berlaku dalam rumah tersebut. Pepatah Indonesia bilang: ‘Kalo ada di kandang kambing ‘mengembik’ dan kalo ada di kandang ayam ‘berkokok’. Itulah sikap yang harus ditunjukkan oleh orang yang datang di Tanah Papua. Mari kitong bangga dengan kitong pu MP sebagai bahasa pemersatu orang-orang Papua di Tanah Penuh Harapan.

Melayu Papua adalah Bahasa Ibu dan Bahasa Pertama
Walaupun MP sendiri bukan kitong pu bahasa tapi MP su ada di Tanah Papua lebih dari dua abad dan su kristal sehingga su jadi bagian integral dari adat Papua. Itu kenyataan yang kitong tra bisa tolak. Secara linguistik, MP su mengalami proses hibridisasi (campuran) melalui penggabungan Bahasa Melayu, Bahasa Belanda, Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia namun Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia lebih dominan dalam memperkaya MP. Dominasi kedua bahasa ini bikin sampe ahli bahasa (linguist) dong anggap MP adalah dialek dari Bahasa Indonesia. 

Anggapan ini bikin sampe orang-orang meremehkan MP dalam memainkan perannya. MP juga su jadi ‘kreol’ (creole) artinya de su jadi kitong pu ‘bahasa ibu’ (mother tongue) ato ‘bahasa pertama’ terutama di wilayah-wilayah perkotaan dan beberapa wilaya pedesaan. Kitong akui de sebagai ‘bahasa pertama’ karena kitong baru belajar Bahasa Indonesia Baku secara resmi setelah kitong masuk TK atau SD. Waktu kitong masih merah-merah kitong pu bapa, mama, nene, tete, tanta, mama ade, mama tua dong su bicara-bicara deng kitong pake MP dan bahasa daerah bukan Bahasa Indonesia Baku. 

Waktu kitong jadi anana Sekolah Minggu atau Kelompok Pengajian pasti kaka Pengasuh pake MP dalam menyampaikan berita tentang Tuhan. Oleh karena itu, kalo kitong tra akui bahwa Melayu Papua su lahir lebih dari dua abad maka kitong tipu diri sendiri dan kebenaran MP itu trada pada kitong. Tapi, kalo kitong akui bahwa MP adalah salah satu jati diri orang Papua yang su ada sebelum Belanda dan Indonesia injak kitong pu Tanah Papua maka semua orang akan tau dan akui bahwa kitong memang pu bahasa sendiri dan beda.

Secara politis, bukan secara linguistik, ada perbedaan antara ‘bahasa’ dan ‘dialek’. Kalo kitong akui MP sebagai ‘dialek’ maka de pu status lebih rendah dari Bahasa Indonesia Baku dan sama sekali dianggap remeh oleh orang-orang yang bukan Papua (kecuali amber yang su lahir dan besar di Tanah Papua). Tapi, kalo kitong akui bahwa MP adalah ‘bahasa’ karena sejarah perkembangan dan proses pembentukan su membuktikannya sendiri maka MP yang nan kas tau sama orang lain bahwa kitong memang beda dan MP adalah identitas diri orang Papua. Jadi, bukan saja ikon ‘Cenderawasih, Mambruk, Kasuari dan Bintang Kejora yang jadi kitong pu jati diri tapi MP juga jadi kitong pu kebanggaan.

253 kelompok etnis Papua hidup bersama berabad-abad di Tanah Papua karena MP sebagai perekat pemersatu dan Injil sebagai penawar yang bikin kitong kuat untuk hadapi semua penderitaan yang kitong alami di atas tanah tercinta Tanah Cenderawasih, Sup Mambesak.

DIRGAHAYU HUT INJIL MASUK TANAH PAPUA DAN MP!!!

Posting Komentar

0 Komentar