Logika Media dan antropologi: "Perang Suku" dan Bias Kultural

Oleh; Manuel Kaisiepo

Hari-hari ini stasiun televisi maupun media cetak masih terus melaporkan tentang perang yang berlangsung di Timur Tengah antara Israel dan Lebanon. Sebelumnya, dalam beberapa pekan terakhir, media massa di Indonesia juga melaporkan "perang" lain, yaitu apa yang disebut sebagai "perang suku" antara dua subetnis di Kampung Kwamki, Kabupaten Mimika, Papua.

Di Timur Tengah, karena alasan-alasan ideologis-politis, Israel menyerang Lebanon dan mendapat perlawanan pasukan Hesbollah dalam perang yang menggunakan persenjataan modern; mulai dari senapan otomatis, tank, hingga ke roket. Perang yang meletus sejak awal Juli lalu itu hingga saat ini diperkirakan telah menelan korban jiwa hampir 1.000 orang tewas, belum termasuk yang luka-luka, serta hancurnya berbagai sarana perkotaan dan permukiman.

Sementara itu, di Kwamki, "perang" yang semula terjadi antara dua subetnis ”Dani dan Damal, yang kemudian merebak melibatkan berbagai pihak lain” menggunakan persenjataan tradisional, yakni busur dan anak panah. "Perang" yang telah memakan korban hingga 10 orang tewas itu pada awalnya dipicu oleh perselisihan internal dalam satu keluarga.

Dalam kasus Timur Tengah, istilah perang tepat digunakan untuk menyebut peristiwa yang tengah berlangsung di sana. Artinya, yang terjadi adalah perang beneran (kata orang Jakarta). Sementara istilah "perang suku" untuk kasus Kwamki lebih merupakan dramatisasi media massa, sekaligus cerminan cara pandang kultural yang bias, yang diwarisi dari suatu antropologi orientalis yang dari sono-nya memang sudah bias.

Kekacauan logika

Konflik yang berlanjut dengan aksi saling menyerang dan saling membunuh antara dua etnis atau subetnis bukanlah fenomena asing di Indonesia. Konflik-konflik yang disertai kekerasan fisik dan saling membunuh itu terjadi dalam skala kecil hingga skala dahsyat, terjadi di berbagai daerah, termasuk di Ibu Kota (baca: Jakarta!) yang metropolitan ini.

Semua peristiwa itu kemudian dijelaskan dalam konsep yang longgar, seperti "konflik etnis", tanpa merinci lebih lanjut jenis dan intensitas konflik tersebut. Bahkan, dalam peristiwa saling menyerang dengan senjata tajam antara dua etnis di Jakarta baru-baru ini, beberapa media massa Ibu Kota hanya menyebutnya sebagai "pertikaian antara dua etnis kedaerahan", tanpa merinci jenis pertikaian dan tanpa menyebut nama kedua etnis tersebut.

Mengapa, misalnya, aksi saling menyerang dan membunuh antara dua etnis di beberapa daerah di Indonesia beberapa waktu lalu yang menelan begitu banyak korban manusia tewas, dan ratusan lainnya mengungsi, hanya dijelaskan dengan konsep longgar, yakni "konflik etnis", sedangkan saling menyerang dalam skala kecil antara dua subetnis di Kwamki, Papua, dijelaskan dengan konsep provokatif: "perang suku"?

Pembedaan "etnis" dengan "suku", dan "konflik" dengan "perang", dalam kasus-kasus tadi bukan saja memperlihatkan kekacauan logika, melainkan juga bias kultural dalam cara berpikir. Kalau cara berbahasa seseorang adalah materialisasi dari cara berpikirnya, maka bias cara berpikir seseorang itu akan terlihat dalam caranya berbahasa atau menjelaskan sesuatu.

Dalam anggapan umum yang keliru (kalau mengikuti kelirumologi-nya Jaya Suprana), istilah suku dan anggota suku sebagai terjemahan istilah tribe dan tribesman dalam bahasa Inggris, sering dikonotasikan sebagai "terkebelakang", "kurang berbudaya", atau "kurang beradab".

Di Amerika, seorang pemimpin dari kelompok penduduk asli Indian sering disebut sebagai "chief" dengan nada yang merendahkan. Dengan nada yang sama pula, di Indonesia orang menyebut tokoh atau pemimpin kelompok-kelompok masyarakat di Papua sebagai "Kepala Suku". Padahal, istilah itu diciptakan dari luar dan tidak begitu dikenal di Papua sendiri.

Di sebagian besar wilayah Papua, sejak dahulu tidak dikenal adanya kerajaan atau kesultanan ataupun bentuk-bentuk persekutuan komunitas yang bersifat feodalistik. Tidak ada pemimpin yang mewariskan kepemimpinannya kepada anaknya. Setiap kelompok persekutuan atau konfederasi setiap saat dapat menetapkan atau mengganti pemimpinnya sendiri berdasarkan kriteria obyektif tentang kemampuan, kepandaian, kekayaan, keberanian, dan kewibawaan seseorang pada suatu kurun waktu tertentu.

Itu sebabnya dalam studi- studi antropologi mutakhir—terutama studi dari seorang antropolog asal Papua, Dr JR Mansoben, khususnya di wilayah Pegunungan Tengah—lebih tepat disebut sebagai tipe kepemimpinan "Pria Berwibawa" (Big Men) yang bisa muncul setiap saat dan bisa diganti setiap saat, bukan tipe "Kepala Suku" dalam pengertian feodalistik.

Bias kolonial

Pemahaman kita terhadap suku-suku atau etnis di Indonesia, baik yang menyangkut identitas, bahasa, adat istiadat, sebagian besar berasal dari hasil kajian para antropolog Belanda dan para antropolog orientalis lainnya di masa lampau. Sekalipun secara keilmuan memberikan andil yang besar, namun jangan pula dilupakan bahwa antropologi semacam itu juga mewarisi bias kolonialisme dan bias kultural Eropa.

Seperti dikemukakan Frantz Fanon, praktik kolonialisme Barat biasanya didukung oleh teori-teori kebudayaan yang bersifat rasialis. Pada tahap awal penjajah menganggap bangsa jajahannya tidak memiliki kebudayaan, kemudian mengakui bahwa bangsa jajahannya memiliki kebudayaan namun tetap tidak dihargai karena dianggap statis dan tidak berkembang. Kebudayaan bangsa jajahan kemudian ditempatkan dalam strata "rendah", sementara kebudayaan penjajah ditempatkan dalam strata "tinggi" dalam suatu hierarki kebudayaan yang sengaja diciptakan untuk melegitimasi dominasi penjajah atas bangsa jajahannya.

Celakanya, ketika kolonialisme berakhir, beberapa bangsa dan negara yang baru merdeka tetap mewarisi bias kultural ini, dengan menganggap di dalam bangsanya sendiri ada hierarki budaya. Etnis atau subetnis tertentu sering merasa dirinya memiliki kebudayaan "tinggi"—kebudayaan adiluhung—dengan tata krama halus, sembari memandang etnis-etnis lain di luar dirinya masuk kategori budaya "rendah", tidak memiliki tata krama dan berperangai kasar.

Padahal, kalau mengikuti studi Reid dan beberapa sejarawan lainnya, yang disebut kebudayaan adiluhung di Indonesia sesungguhnya adalah wujud dari budaya kalah; setelah Belanda menaklukkan berbagai kerajaan di Nusantara, dan menjadikan para raja atau sultan sekadar sebagai boneka. Dalam keadaan tidak berdaya, maka para penguasa pribumi berbalik dari sikap ekstrovert menjadi introvert, dan mulai mengisi waktu luangnya di istana dengan berbagai bentuk kegiatan rohani seperti diciptakan tari-tarian halus, cara berbahasa halus, dan berbagai tata krama perilaku yang rumit.

Semua kegiatan itu justru untuk menciptakan jarak antara dirinya (yang telah terkalahkan) dengan rakyat kebanyakan (jadi suatu bentuk kompensasi negatif), yang akhirnya mengukuhkan suatu bentuk feodalisme yang khas, yang bertahan hingga saat ini. Budaya adiluhung sebagai penjelmaan dari budaya kalah tersebut terus dipoles dengan berbagai aksesori baru secara megah hingga kini.

Selama berbagai kebudayaan dari berbagai etnis dan subetnis di Indonesia masih dipandang dalam kerangka hierarki budaya yang menyesatkan itu, selama itu pula kita akan terjebak dalam cara pandang kultural yang bias. Kita akan senantiasa memandang kelompok-kelompok lain di luar kelompok kita dengan suatu stereotip tertentu yang telah kita bentuk sendiri, padahal stereotip itu menyesatkan.

Maka, terus saja kita percaya bahwa etnis A halus tetapi munafik, etnis B terbuka tapi kasar, etnis C pintar tetapi suka menipu, dan seterusnya. Sementara kita lupa anak-anak dari berbagai etnis itu sendiri sudah tidak ambil pusing soal asal-usulnya, baik dari Banda Aceh hingga Wamena. Sebab, mereka adalah generasi baru Indonesia sekaligus generasi baru dunia, yang oleh kemajuan teknologi informasi telah menjadi warga dari suatu "kampung global" (global village). Selamat Ulang Tahun Ke-61 Kemerdekaan RI!

Manuel Kaisiepo Penulis, Tinggal di Jakarta

Sumber; Kompas

Posting Komentar

0 Komentar