Oleh;                                                                                     Dwicipta 
Manusia tanpa sejarah tak terlepas dari waktu, karena sejarah adalah suatu pola dari momen-momen nirwaktu.... TS Eliot.
AKU  berasal dari Numfor, sebuah pulau kecil di sebelah atas daratan  Pulau  Papua, negeri hitam kami yang diliputi hutan belantara dan sungai   panjang. Dari tepiannya aku dilahirkan. Selama ratusan tahun nenek   moyangku mendiami pulau itu, dihidupi dan menghidupkan semua dan segala.   Kehidupan kami bagai tak terbatas, memiliki hutan-hutan dengan segala   isinya, lautan dengan segala yang ada di dalamnya. Anak-anak bersahabat   dengan angin, dengan akar-akar pepohonan, bergelantungan seperti   kera-kera memetik buah-buahan. Kaum perempuan kami berdendang riang,   menunggu para lelaki pulang berburu atau menangkap ikan. Sungguh masa   lalu yang riang.
Pada malam hari, kami berkumpul membentuk  lingkaran mengelilingi  api, menghitung bintang-bintang, mendengarkan  tetua kami mendongeng,  melacak dan mewariskan yang silam. Laki-laki dan  perempuan, tua-muda,  kakek-nenek maupun cucu-cucu bergelak-gelak atau  menangis mendengarkan  tetua kami menyihir setiap kata menjadi dunia  ajaib. Kami  ditenggelamkan oleh gegap gempita kejayaan, sampai suaranya  yang serak  dan kelip sinar matanya yang letih itu menandai berakhirnya  cerita.
"Pergilah tidur dalam damai, dan esok kalian harus  lebih menang  daripada kami, sebab kalian adalah mutiara-mutiara hitam,  pemilik masa  depan yang gemilang."
Kami menyingkir,  menjauhi pendiangan, kembali ke gubuk-gubuk yang  telah menunggu dalam  kegelapan. Oh, masa lalu yang damai, keriangan  yang telah silam,  kejayaan yang kini menghilang!
Kepada siapa harus  kupertanggungjawabkan nista ini, terusir dari  tanah sendiri, dikhianati  nasib sengit? Kami tiada salah, tiada  memanggil bala dan bencana. Namun  seperti kisah orang-orang asing yang  pertama-tama datang ke negeri kami,  kami bagai diturunkan dari surga  milik Tuhan serupa Bapa Adam dan Ibu  Hawa jatuh terperosot dari langit  dan terjerembap di wajah lengas bumi,  hanya kuasa mencucurkan air mata,  kian kemari menanggung sengsara.  Inikah kutuk masa depan seperti yang  dituturkan tetua kami jikalau di  antara kami ada yang berkhianat  terhadap leluhur?
"Jika  ada satu di antara kalian tak mau mendengar keluh angin, debur  ombak  lautan, keheningan hutan; jika ada di antara kalian enggan  membaca  tanda-tanda dari langit, kemalangan akan dijatuhkan atas  kalian.  Terkutuklah kalian sampai jauh di masa depan," ujar tetua kami  setiap  kali akan mengakhiri kisahnya yang penghabisan.
Benar,  tetua, kami telah mengkhianati semuanya, nenek moyang,  tanda-tanda alam,  kisah-kisah lama dalam dongeng kita, segala hal di  sekitar kami. Lebih  kami dengarkan suara padri-padri berkulit putih  yang berwajah seperti  malaikat itu, ancaman-ancamannya yang mengerikan  ketika ia berbicara  tentang neraka, keindahan dan kenikmatan yang  ditawarkan oleh surga.  Kami tinggalkan masa lalu, terlepas dari  sejarah, dan kemudian  melayang-layang tanpa arah. Jikalau kami kemudian  ternista, hidup dalam  semesta tak berwaktu, menyusuri lorong-lorong  kegelapan, pada siapa akan  kami keluh-kesahkan?
***
Sebenarnya, aku tak tahu  apakah persisnya memang demikian. Aku tak  tahu pasti siapakah yang  salah, padri kulit putih bermuka malaikat yang  datang menawarkan Tuhan  baru bagi kami beserta surga dan nerakanya,  orang-orang katai yang  membuat kami musnah dan meninggalkan tanah  leluhur, ataukah nenek moyang  kami yang mewariskan sejarah kepada kami  beserta kemuliaan gunung dan  lautannya, kemahadayaan hutan-hutan dan  roh-roh yang bersemayam pada  setiap benda dan harus kami puja untuk  menjaga rantai kedamaian masa  depan.
Bencana itu barangkali memang telah diperuntukkan  bagi kami, dengan  atau tanpa kutukan sebelumnya. Setelah padri-padri itu  datang dan  berdiam di sekitar kami, kemudian berturut-turut mengekorlah   orang-orang kulit putih rakus itu, mengambili milik kami. Mereka,   pendatang kulit putih yang tiba sesudah padri-padri itu, berkata kasar   bahwa merekalah pemilik negeri kami.
"Bangsa kami lebih  mulia daripada kalian, orang-orang hitam dan  barbar! Kamilah pemilik  dunia seperti yang dikabarkan Injil. Dan kalian  tiada lain adalah  pelayan kami. Kami telah berkuasa atas lautan selama  ratusan tahun, dan  kini saatnya kami juga menguasai daratannya."
Jadi mungkin inilah  nujum seperti yang dikatakan para tetua puluhan  tahun lalu tentang  jaring kegelapan yang sewaktu-waktu bisa datang dan  menyergap kami.
"Jika  suatu saat kalian tak lagi bertuan atas tanah dan air kalian  sendiri,  hidup kalian akan sengsara. Tiada yang lebih mengetahui tanah  dan air,  gunung dan lautan di sini kecuali kalian sendiri."
Generasi  demi generasi, sejak kedatangan orang-orang berkulit putih  itu, kami  mulai tersingkir. Orang-orang kami tak lagi memiliki  kemerdekaan. Hidup  kami terbelenggu. Sejarah kami sendiri  perlahan-lahan menyusut dan  terbang bersama angin yang tak lagi  membelai kulit kami dengan mesra.  Kami mulai kehilangan segalanya....
***
Sampai beberapa  tahun lalu, seperti serombongan setan dari neraka  atau roh-roh jahat  yang muncul dari dalam lautan, berhamburanlah di  tanah kami orang-orang  katai itu, membawa-bawa senapan dan pedang  panjang berkilat. Pecah  perang di lautan kami antara orang-orang kulit  putih dan bangsa katai  berkulit kuning dan bermata sipit itu. Dalam  pertarungan dua binatang  buas itu, kami bagai dijadikan pelanduk, mati  di tengah-tengahnya. Dari  orang-orang berkulit putih, nasib kami  dilemparkan ke tangan orang-orang  katai yang gemar membuat gua dan  lubang persembunyian.
Kami  dikumpulkan bersama dalam satu tempat. Orang-orang kulit putih  yang  semula ikut tinggal bersama kami telah pergi beberapa hari sebelum   kedatangan serombongan setan katai dari dalam lautan itu. Mereka  rupanya  lebih cepat mencium bahaya daripada kami. Hanya ada beberapa  orang  pencari emas yang tertinggal dan satu padri yang memang berjanji  akan  menemani kami sampai mati. Mereka dipisahkan dari rombongan kami,   disekap dalam rumah mereka sendiri, dijaga ketat oleh tentara   berbayonet.
Kami hidup seperti dalam mimpi buruk. Segala  mantra dari tetua kami  tak memiliki kekuatan untuk mengusir orang katai  itu, atau memperlunak  sikap mereka kepada kami. Tanpa rasa belas  kasihan, mereka memaksa kami  membangun gua-gua persembunyian dan membuat  parit-parit pertahanan.  Pemimpin katai menyebut kami romusa. Tetua kami  dijadikan pemimpin,  namun tanpa taji dan kekuatan dari nenek moyang  kami. Karena kedukaan  dan kehinaan yang kami alami, ia membunuh diri  dengan panah pusakanya,  melolong-lolong minta ampun kepada nenek moyang.
Sejak  itulah kami yakin sejarah kami berakhir. Kami diantarkan  kereta sejarah  ke dalam kehampaan, kehidupan tanpa kebahagiaan,  tersisih ke dalam  ruang gelap dan anyir. Sebagian kecil dari kami, yang  bertubuh paling  kuat, dibawa ke suatu tempat dengan kapal. Mereka  menyebut-nyebut nama  Morotai. Kabarnya setelah dibawa ke tempat jahanam  itu, mereka semua  menemui kematian di ujung pedang. Ya, mereka  dikirimkan ke dalam  ketiadaan. Dan begitu juga dengan kami. Bekerja  siang dan malam hampir  tanpa makanan. Perempuan kami diperkosa,  dilemparkan dari satu lelaki  katai kepada lelaki katai berikutnya.  Anak-anak kami kelaparan. Pada  malam hari, kami menangisi diri sendiri  dan mengutuk kejahatan kami  kepada nenek moyang, segala roh yang ada di  bumi dan langit, pada  bintang-bintang yang tak lagi berkedip riang  kepada kami. Mereka semua  murung, bisu, semakin jauh, jauh, sampai  samar....
***
Pada suatu malam, kubangunkan kedua saudara laki-lakiku. Kami berbisik-bisik kecil.
"Kita harus meninggalkan tempat ini. Jika tidak, semua dari kita akan musnah oleh orang-orang katai itu," kataku.
"Tapi  penjagaan sangat ketat. Dan telinga katai itu alangkah  tajamnya. Mata  mereka yang sipit seperti menyembunyikan matahari. Jika  dibuka lebih  lebar oleh sebab tindakan bodoh yang kita lakukan,  musnahlah kita  semua," kata kakakku.
"Benar, tapi tanpa melawan kita juga  akan musnah. Kita  sungguh-sungguh telah dikutuk!" ujar adikku. Dalam  kegelapan aku tahu  ia menangis, berusaha menahan diri supaya suaranya  tak menciptakan  kegaduhan sekalipun kecil.
"Itulah  sebabnya aku berpikir meninggalkan tempat ini. Kita telah  dikutuk, jatuh  dalam jurang tanpa dasar. Kita lebih mengenal tempat ini  daripada  mereka, sekalipun mereka lebih berkuasa atas kita. Bukankah  mereka tak  tahu persis di mana harus merunduk dan menegakkan badan  supaya tidak  terlihat? Kalau kita pergi, mungkin kita selamat, dan bisa  hidup baru di  tempat asing."
"Mungkin juga tidak, dan menemui kematian seperti yang lainnya," ujar kakakku jeri.
"Tapi kita sudah mencobanya. Kita tidak akan malu kepada nenek moyang dan bisa menebus dosa kita."
Dari  hampir seratus orang laki-laki, hanya sepuluh orang yang  bersedia  mengikuti kami, itu pun mereka yang tak lagi memiliki istri  atau  anak-anak. Persis ketika rembulan telah habis, dan hujan turun  deras di  bumi yang telah dipekati kegelapan dan aroma kemusnahan,  bersepuluh kami  berjalan kaki, menghindari penjagaan dan sergapan. Dua  orang berhasil  ditemukan penjaga dan digelandang ke markas, tak lagi  kami ketahui  nasibnya. Satu orang tertangkap ketika sedang menyeberangi  sungai, dan  dua orang lagi memutuskan berpisah dengan rombongan. Kami  berjalan naik  turun bukit, sampai di tepi laut dan harus bersembunyi di  sebalik  perbukitan untuk menghindari patroli tentara katai.
Berlima  kami membuat perahu dari batang pepohonan yang ditebang pada  malam  hari. Setelah perahu selesai, kami berselisih tujuan, apakah ke  Serui  yang tak diduduki orang katai--seperti yang dikatakan padri kami  sebelum  orang katai itu datang--ataukah ke pulau lain yang tak  berpenghuni.  Kami bertiga memutuskan melanjutkan perjalanan ke Serui.  Sedangkan dua  kawan kami memutuskan tinggal di pulau tak berpenghuni.  Sesampai di  Serui, kami bertiga berpisah jalan. Aku tinggal di Kampung  Turu, kakakku  tinggal di Kampung Anoterai, dan adikku tinggal di  Kampung Menawi.
Kami  tinggalkan masa lalu kami, bercerai dalam ketiadaan. Dan  sejarah  sungguh-sungguh menciptakan keasingan bagi kami, seperti anak  yatim  piatu yang ditinggalkan ayah-bundanya.
***
Untuk  kalianlah kututurkan kisah ini. Tiada lain karena aku telah  kehilangan  siapa diriku yang sebenarnya. Aku tiada lagi bertanah, juga  berair.  Terusir dari surga yang telah kudiami sekian lama. Aku khianati  hakikat  kemanusiaanku yang memiliki sejarah, melayang-layang dalam  kehampaan  hidup yang kini kujalani. Kini, di tempat tinggalku yang baru  di Serui,  tak kupakai lagi nama fam yang dulu, fam yang sejak zaman  nenek moyangku  pertama-tama mendiami Numfor. Orang-orang bertanya nama  famku, kujawab  dengan keasingan yang menyembunyikan kedukaanku.
"Namaku Tera Kansay."
"Fam Kansay? Apakah ada Fam Kansay di bumi Papua?" tanya orang-orang kebingungan.
"Ya, akulah orangnya, yang pertama-tama memakai nama fam itu."
"Dari mana asal nama fam itu?"
"Karena  aku lahir di tepi salah satu sungai tak bernama di Numfor,  di bawah  sebuah pohon beringin. Sejak kedatangan bangsa katai, sungai  itu diberi  nama Kansay untuk mengenang tempat muasal para tentara katai  yang sedang  membangun gua-gua persembunyian di tepi sungai itu. Aku  tak tahu siapa  ayahku, sehingga tak memiliki fam seperti kebanyakan  orang. Jadi nama  famku sesuai dengan nama baru untuk sungai itu."
"Kansay...? Nama fam yang berasal dari nama tempat asal orang katai. Sungguh aneh," gumam mereka tak mengerti.
Kedua  saudaraku tetap menggunakan nama fam asal kami. Mereka tak mau  lagi  datang ke tempatku setelah mengetahui aku mengubah nama famku dan   menyebutku seorang pengkhianat nenek moyangku. Benar, aku sendirilah   yang memutuskan diri dari belenggu kutukan itu. Aku hormati masa laluku,   tapi biarlah ia tenggelam dalam kelupaan. Setelah sepuluh orang   meninggalkan kamp kerja paksa, orang-orang katai itu menyiksa seluruh   laki-laki sesama saudara kami. Hanya tersisa lima orang, itu pun karena   mereka meloloskan diri dari sergapan sebat samurai orang-orang katai   itu. Kini, hanya tersisa para perempuan di tempat asalku, dan beberapa   lelaki jompo. Kehidupan yang musnah dengan segala warisannya.
Jika  suatu saat anak cucuku bertanya dari mana asalku, akan  kukatakan  asal-muasal mereka yang sebenarnya. Aku tak tahu apakah akan  diterima  kembali di tanah asal mereka seandainya suatu saat mereka  ingin kembali  ke sana, ataukah terusir, seperti aku yang terusir dari   asal-muasalku.***
Yogyakarta, Agustus 2006
Untuk Adam Kansay dari Serui....
(Dimuat di Media Indonesia 01/07/2007)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
0 Komentar