Mawar Hitam


Ilustrasi: mawar hitam (foto: Ist.)


“Hai.” 

“Hai. Selamat pagi.”

“Selamat pagi.”

Dia menunduk sesaat. Wanita itu terlihat lebih berisi dari sebelumnya. Pipinya tembam, matanya lebih berair dan kemerahan seperti matahari ketika terbenam. Ada guratan malu di dahinya, ditutupi senyum tertahan. Wangi parfum merebak saat mereka duduk bersampingan. Malioboro di jantung kota Yogyakarta nampak sepi di waktu sepagi ini.

“Kali ini kita tepati waktu. Padahal dulu ...” 

“Sssttt. Paul, terima kasih sudah datang.”
           
“Kau tak balas pesanku kemarin malam, Mey. Tapi aku yakin kau akan datang.”
            
Wanita itu diam saja.
          
“Mey.”
            
“Apa?”
            
“Ini. Untukmu.”
       
Paul menyelipkan tangan kanannya di balik saku kiri jaket yang dikenakan, mengeluarkan setangkai mawar. Dinikmatinya sesaat dengan mata penuh makna, dihirup wanginya dalam-dalam, lalu diberikannya mawar hitam itu kepadanya.
            
“Ini untukmu.”
            
“Paul, ssaya, saya, sayaa ...”
            
“Mey. Memang, seperti kau tahu, memberi bunga bukan tipeku, tapi aku berusaha  menyenangkanmu. Setidaknya ini akan jadi yang terakhir, ambil sudah.”
            
“Paul, bukan maksud saya menolakmu. Tapi saya... saya merasa tidak pantas dengan mawar hitam ini. Bukankah dulu saya yang ....”
            
“Sssttt. Mey. Ambillah. Aku tau kau begitu karena orang tua dan saudara-saudaramu. Jangan lagi ingat masa lalu.”
            
“Terima kasih.”
            
Dari celah rambutnya yang sebahu itu, ditatapnya lelaki di sampingnya. Rambut keriting dipotong pendek. Kulit cokelat bersih. Bekas luka di alis sebelah kiri masih seperti dulu. Jenggot dan kumisnya dipotong tipis saja dengan rapi. Paul  semakin mendekat duduknya. Wangi parfum merebak. Pagi makin cerah dan orang makin ramai.
            
“Mey, kenapa senyum?”
            
“Kau masih seperti dulu.”
            
“Kau sudah berubah.”
            
“Apa yang berubah?”
            
“Rambutmu, makin panjang dan wangi. Pagi ini matamu merah, efek bagadang pastinya. Kau semakin gendut, Mey. Tapi wajahmu tetap seperti dulu: cantik.”
            
“Aku sudah kegendutan?”
            
“Tidak sadar?”
            
“Hahaha, Nenek ni.”
            
“Makanya. Sekali-kali narsis depan cermin dan perhatikan.”
           
“Epen kah...”
           
“Hahahaha, kau sudah bisa logat Papua, Mey.”
            
“Ko pikir sa tratau kah?”
            
Mata Mey lalu memandang Paul yang sudah lebih dulu menatapnya. Ada daya magis dari tatapannya. Mey terpesona. Matanya mengecil. Seperti magnet saja dia. Sementara Paul terpesona dengan kecantikan gadis ini. Mata sayunya tetap saja menggoda. Wangi parfumnya tetap sama. Bibir tipisnya yang merona itu menggetarkan hati.
            
Tangannya segera membelai rambut panjangnya, memainkannya dengan jari-jarinya. Mey menatap ke depan dengan tatapan kosong. Duduknya semakin merapat.
            
“Kenapa kau beri mawar hitam?”
            
“Ada artinya.”
            
“Aku ingin tahu.”
            
“Malas.”
            
“Sa ingin tau, gila.”
            
“Hahaha, jangan ngambek Mey. Nanti cantik luntur. Kuntum mawar, indah, harum, itulah cintaku. Saya cinta ko. Tapi cintaku mungkin kurang sempurna, itulah arti warna hitam. Wong Papua, ireng, tak pantas bersanding dengan gadis manis sepertimu. Bukankah karena itu orang tuamu ...”
            
“Ssstt, Paul, please, jangan ungkit lagi.”
            
“Saya tidak ungkit. Sungguh. Saya hanya jelaskan padamu arti mawar. Kau yang memintanya tadi.”
            
Sama-sama diam untuk beberapa tarikan nafas.
            
“Lanjutkan.” 

Diam. 

“Maksudku, lanjutkan jelaskan artinya.”
            
“Itulah, mawar yang malang. Hanya karena dia berwarna hitam, punya tangkai yang kasar, berduri. Sedang yang dituju menghendaki warna lain, halus, lembut, berada ...”
            
“Paull!”
            
“Kau masih sakit hati.”
            
“Tidak Mey. Sama sekali tidak.”
            
“Tidak. Kau juga masih dendam orang tuaku.”
            
“Tidak Mey. Tidak sama sekali. Tapi kecewa, iya.”
            
“Apa bedanya dendam dengan kecewa yang hingga hari ini belum pergi dari hatimu?”
            
“Mey, kau salah menganalisa. Aku sayang kamu. Aku menerima kedua orang tuamu. Mereka yang menolakku. Mereka yang menanam benih kecewa di hatiku. Orang tua bagaimana yang memilih menista cinta yang suci demi kehormatan? Tidak Mey, kau salah menganalisa. Saya hanya menjelaskan apa arti mawar karena kau min...”
            
“Paul, Paull! Please. Jangan lanjutkan.”
            
“Baik. Saya diam.”
            
Untuk sesaat, mereka saling diam.
            
“Kalau kau mau, kita bisa ke Jayapura. Disana kita bisa ...”
            
“Paul, please....”
            
“Nyatanya kau masih memikirkanku. Menelponku tiap ada waktu. Kita sudah...”
            
“Paul, pleasee.. please please please.”
            
“Baik. Saya diam.”
            
Mey mulai menangis. Paul mendekapnya, mendekatkan kepala wanita itu di dadanya, membiarkannya menangis. Mengelus-elus kepalanya.
            
“Paul, Aku takut berdosa lagi.”
            
“Mey, biarkan orang tuamu. Saya sanggup mengurusmu. Kita bisa ke Jayapura...”
            
“Sssttt... Paul!”
            
“Lalu apa, Mey? Apa? Aku akan kembali ke orang tuamu. Akan kukatakan dengan jujur semuanya tentang kita.”
            
“Itu bukan ide baik, Paul. Aku anak perempuan satu-satunya. Kau bisa mampus dihajar kelima kakak dan mereka pasti tak bisa terima semua ini.”
            
“Biarkan. Saya tidak bisa membiarkanmu begini.”
            
“Paul, please. Dengarkan saya.”
            
Wanita itu kembali duduk, menyudahi tangisnya. Mengeringkan wajahnya dengan sapu tangan, lalu berdiri.
           
“Paul, bila nanti malam kau berangkat, jangan sedih. Kuatkan hatimu. Kini kau seorang sarjana. Pikiran dan ilmu yang kau miliki sangat dibutuhkan rakyatmu di sana. Tetaplah berjuang untuk Papua merdeka. Maafkan kedua orang tuaku.”
            
Paul kehilangan kata-kata. Dia tak bergerak di kursi panjang sampai wanita itu hilang dari pandangan. Dia sangat cinta Mey. Sepanjang hari Paul gelisah. Segera dia memencet tut-tut di handphone untuk menelpon Mey.
            
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau berada ...”
            
Handphone dilemparnya ke dinding kos, terpantul kembali hingga di ujung kakinya. Disepaknya lagi hingga mengena dinding, hancur.

Tiket pesawat Lion Air yang akan mengantar Paul kembali ke tanah airnya kini ada di tangannya sambil menarik koper menuju pintu masuk menuju ruang tunggu. Sudah jam enam sore, dan seperti biasa, bandar udara Adi Sucipto selalu ramai. Seorang petugas menghentikannya, menanyakan tiket. Setelah membaca nama dan kode pembelian tiket, dia menyuruh Paul ke petugas lainnya untuk mencetak tiket. 

“Tuan Paul, ada titipan untukmu.” 

Petugas wanita itu menunduk sebentar, lalu mengeluarkan dari laci, setangkai angrek hitam, persis sama dengan anggek pemberiannya kepada Mey. 

“Ini tiketnya, Tuan.” 

Sambil mengambil tiket dan memasukkan tas ke dalam alat pemeriksa di pintu masuk ruang tunggu, pikiran lelaki itu kalap. Ia menganggap Mey terlalu lemah, terlalu menuruti orang tua, tidak kuat cintanya. Dalam hatinya, kecewa dan marah tumbuh menjadi satu dan menggebu-gebu. 

Dilabraknya petugas yang menghentikannya hendak memeriksa saku celana. Petugas itu cepat-cepat menyingkir dari hadapannya.  Diremukkannya mawar itu beserta tangkainya dengan tangannya hinga titik-titik darahnya sendiri menetes ke lantai. 

Dia duduk di kursi tunggu paling pojok, matanya mulai berair dan pemandangannya kabur. Seseorang di sampingnya menyodorkan tisu. Dengan segera diraihnya tanpa kata terima kasih, dibalutnya luka di tangan dengan tisu, lalu digenggamnya kuat untuk menghentikan darah yang hendak keluar. 

Mengingat semua yang telah dilaluinya, lelaki itu hanyut dalam patah hati, kecewa dan marah yang amat dalam. Seseorang di samping menyodorkannya sapu tangan. Diusapnya wajah dengan sapu tangan itu, membiarkannya lama di wajah, hingga semua yang basah terserap. Tapi tunggu dulu, sapu tangan itu ia kenal. 

“Setannn. Kau disini?” 

“Praaatttt.” 

Sebuah tamparan ringan mendarat di pipi wanita itu. Paul langsung balik muka membelakangi Mey. Sedang Mey kaget, lalu mengelus pipinya dan meringis berlahan menahan sakit. 

“Bagaimana kau bisa disini? Bagaimana dengan orang tuamu?” 

“Kita akan undang mereka saat kita nikah di Kadetral. Ko pu rumah dekat katedral Jayapura to? Dok lima ka, berapakah. Sa tra tau. Nanti sa pastikan sendiri.” 

"Siap jadi bagian dari bangsa Papua?"

"Ko ragu kah?"

Segera dia berbalik dan memeluk Mey dengan erat. 

I love you.” 

Mey segera menyibukkan diri dengan koper-koper yang dibawanya. Paul sudah mendekati tempat sampah, membuang mawar hitam bersama perban bekas luka. Dan saat Paul tidak melihatnya, Mey segera menyeka air matanya dengan sapu tangan yang sama. []
----------  


Cerpen by Topilus B. Tebai.



Posting Komentar

0 Komentar