Oleh:
Maria
Baru*
Foto: Ist
Setiap mendekati
bulan Desember adalah musim ‘hangat’ bagi orang Papua. Setiap bulan Desember
orang Papua mengartikan bulan yang bahagia. Namun situasi keberadaan orang papua
di bawa tekanan kolonisasi, terkadang membendung kebahagiaan itu. Detik-detik
memasuki Desember memastikan kondisi akan genting di hari Nasional Papua, 1
Desember, juga di hari Natal, pertengahan Desember. Namun di Desember 2015,
saya merasah berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Di akhir bulan
(29) November 2015, kota Gudeg (istilah
lain seebutan kota Yogyakarta) diselimuti awan gelap. Hari mulai sore—rintik
hujan pun semakin deras. Tanda-tanda akan ada berkat dari Sang Pencipta Alam
Semesta. Disini, saya bersama puluhan mahasiswa Papua berkumpul di asrama
Papua, Kamasan I, Yogyakarta, menunggu perahu berkaki empat yang akan datang
menjemput kami. Perjalanan kali ini akan kami menuju ibu kota negara kolonial,
Batavia. Kini disebut Jakarta. Dalam derasnya hujan yang tak hentikan, bus yang
kami nantikan sudah tiba di depan Asrama. Derasnya hujam sore sambut malam
menemani perjalanan pajang kami. Tak lupa, sebelum pak sopir star gas, kami
berdoa. Saya bersediah untuk memulai doa, “Nenek moyang leluhur Bangsa Papua
sertailah kami anak-anakmu.” Singkat kata, dan menutup doa ini dengan tanda
salib sesuai agama yang saya anut. Hati pun tenang dan tidak ada rasa kwatir.
Perjalanan cukup lama karena perahu kaki empat gaya si Ayu Tinting, kecepatan
pun se-Ayu Tinting.
Daripada mikir jarak yang cukup jauh;
lebih gila lagi gaya lari Bus model ondel-ondel, mendingan saya tidur: Bawa
kegelisahaan itu dalam dunia mimpi.
Tak terasa kami
sduah tiba di Terminal kolonial-Rambutan pada pukul 09:00 pagi. Namun pintu belum
terbuka. Rombongan masih ada dalam Bis. Ternyata perahu ala Ayu Tinting itu
ditahan oleh pejabat Dinas perhubungan; kata mereka, Si Ayu Tinting suratnya
kurang lengkap jadi kami tidak boleh masuk ke dalam terminal. “Hehehehe, Pak kolonial sandiwara lama itu
siapa yang tidak tau!” bisikan suara dari-dalam. Kata orang Aifat “Rere
too [pelan-pelansaja].... Nanti juga pitis [uang] masuk di sak moo!”.
Se-jam kami terkurung dalam Bus tanpa pendingin itu. Tak lama kemudian—setelah
sejam—Pak kolonial bolehkan Bus untuk masuk ke dalam terminal.
Akhirnya dapat
Oksigen setelah bisa injak kaki di tanah kolonial: turun dari Bus. Setalah
turun dari Bus, kami menunggu kawan dari Jakarta untuk menunjukan tempat nginap yang mereka sediahkan.
Di sela itu kurung waktu itu, menurutku hal-hal aneh yang terjadi di sekitar
terminal itu. Kedatangan kami seperti artis yang baru muncul di Republik
sampah-Indonesia ini. Jadi kamera main jebret-jebrit kiri-kanan. Tak lama
kemudian kawan-jemputan telah tiba; rombongan dari Yogyakarta di antar menuju
asrama Yahukimo. Di sanalah, istana kami selama berada di ibu kota negara
kolonial.
Semalam kami di
Asrama Yahukimo itu. Kebersamaan kami bukan baruan terukir. Kami dari satu
Papua: dari Sorong hingga Merauke: hingga Jayapura. Bukan itu. Menurutku kami
(orang Papua ) yang berdomisili di Yogyakarta. Datang dengan satu Tujuan.
Memperingati hari kemerdekaan Papua Barat di tanah kolonial: sama seperti
aktivitas 17 Agustus di Papua.
Hari telah pagi.
Pancaran cahaya mentari pun terus tebusi awan tebal, menyinari kota penuh
kegelapan ini. Mentari membawa cerah di
hari kemerdekaanku: 1 Desember.
Sejak Pukul 5;00
waktu jakarta (baca:wj) pagi, saya dan
kawan-kawan pun telah bergegas untuk
mandi dan sarapan karena kami akan bertempur
di medan jalan (di tengah kota). Pertempuran kami di jala-jalan, mencari
ruang, mencari-cari nafas demokrasi. Pukul 8:00 wj, kami menuju tempat yang
biasa orang sebut-sebut, yaitu di Bundaran Hotel Indonesia (HI). Sebelum berangkat kesana, aparat beserta intelijennya
sudah menunggu di depan rumah. (Para kepolisian berserta intelijennya yang suka
memata-matai aktivitas kaum revolusioner, kami sering menyebutnya anjing-anjing
peliharaan: tapi tidak bermaksud rasis, atau pun mengotori nama istitusi:
memang tindakan mereka yang seripa gambaran itu). Di pertengahan jalan, sebelum
sampai di HI, aparat Polisi bersama
Brimob gabungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) beserta Intelijennya cegat
kami dengan alasan ini dan itu. “Behh....anjing-anjing
ini bikin macam tong tra tau kamu ka?
Stop baku tipu deng tong sudah. Macam begini-begitu tu bosan!”Baku bisikantarabeberapa kawan
ketika kami di periksa dan di suruh buka baju berwarna merah dan bermotif
Bintang Kejora.
Sejak dari
Asrama hingga di HI, sepanjang jalan kami di ikuti oleh dua mobil Inova dan
tiga motor milik intelijen, dan 4 motor Kross milik Polisi. Dari jauh, terlihat
anjing-anjing berjajar mengepung sesuatu disana. Tepat di depan Kedutaan
Jerman. Di tengah-tangah kepungan itu terdengar nada-nada indah dan lantang tersamar
dari jauh, teriakannya, “Papua...,
Merdeka..., Papu..,. Merdeka..., Papua..., Merdeka...!” Tertanya mereka
para Mahasiswa dari berbagai kota studi. Mereka sebagian sudah di sana. Bus Metro mini pun menurunkan kami di samping
lampu merah. 100 meter dari kerumunan itu. Tak menunggu lama, kami pun
berlari-lari menuju ke sana, bergabung bersama mereka. Tetapi sayang, rencana
kami menuju Bundaran HI di blokade polisi.
Apa boleh buat. Kecewa, sedih, sakit hati, marah, kami terima semua.
Tapi semua itu tidak mengurangi semangat kami untuk tetap berdemostrasi. Kami
tidak peduli anjing-anjing kolonial dengar atau tidak, tapiadawartawan yang tetapmeliputaksi kami.
Di saat itu, anjing-anjing mengelilingi
kami namun tidak goyah.
Kami justru semakin semangat untuk berlomba-lomba berorasi di depan. Ada orasi
yang menyemangati kami, ada orasi yang mengamankan situasi, ada orasi yang
memanaskan situasi, ada orasi yang mengkritik pemimpin-pemimpin negara
kolonial, dan kami keluarkan/tunjukan ekspresi sesungguhnya di medan perlawanan
(kota kolonial) ini bahwa kami sebagai manusia yang punya hak-hak dasar untuk
bebas, kami mauh tentukan Nasib bangsa kami sendiri. Kami mau merdeka,
berdaulat di atas tanah dan air kami.
Bagi orang
Papua, berhadap-hadapan dengan anjing-anjing (seperti di HI) bukan hal baru.
Sejak tahun 1963, papua di legalkan masuk indonesia atas dorongan kepentingan
ekonomi politik, atas memikat suara menipulatis di Pepera 1969, militer hadir
sebagai eksekutor program koloni.
Kami di bagi
berada di dua titik jalan menuju Bundaran HI: bagian selatan Timur dan Utara.
Waktu sudah menujukan pukul 11.45 wj. Kepolisian sudah mengeluarkan ultimatum
pertama dan kedua bahwa di pukul 12.00 masa aksi harus kosongkan tempat karena
dengan alasan ini bukan tempat untuk aksi dan tidak ada surat yang masuk.
Padahal kami sudah memberikan surat pemberitahuan dan kami punya bukti Surat
Tanda terima (STT) dari kepolisian. Mereka memang mencari alasan untuk
melegalkan tindakan pembungkaman ruang demokrasi dan represifitasnya.
Kami dalam
kepungan. Selain anggota militer dalam jumlah yang banyak, juga truk Dalmas
sudah parkir mengelilingi kami. Ruang gerak kami hanya duduk dan berdiri di
tempat. Itu saja. Para wartawan di pukul
mundur, begitu pun para PKL di sekiran HI. Tak lama kemudian, peringatan
ultimatum ketiga berbunyi, ”
Saudara-saudaraku kami sudah toleransi karena tidak ada surat yang masuk jadi
kami kasi waktu sampai jam 12.00 wj”.
Ketika itu, kawan kami bernama Weko, terus
membangkitkan emosi perlawanan dengan yel-yel dan terus membakar-bara api
pemberontakan dengan setiap kalimat yang berisi kadar bensin di tengah api. Hal
itu Militer semakin marah dan tak berprofesional di tengah-tengah mata publik.
15 menit kemudian, ada perintah dari atasan militer lalu kami di seret kedalam
truk Dalmas. Kemudian kami di bawa ke Polda Metro Jaya untuk di interogasi.
Militer memang
sangat kejam. Tak berprofesional. Tak beretika barangkali. Diantara para
mahasiswa yang di seret, ada satu Pedagang Kaki Lima (PKL) dan seorang ibu asal
Betawi juga di seret kedalam mobil. Akibat represi oleh aparat, setu mahasiswa
korban kena peluruh karet di otak belakang, dan di larikan ke rumah sakti. Dua
mahasiswi koban pelecehan seksual dan belasan lainnya luka ringan di badan.
Namun disana
(Polda Metro Jaya) ada puluhan kawan kami yang di tahan sejak pagi. Sedih
bercapur takut; sedih karena ada teman kami yang sudah disiksa lalu di tahan,
takut karena pengalaman pertama naik mini bus milik anjing-anjing. Selama di
perjalanan, saya bayangkan kejamnya militer tangkap masa aksi lalu dihilangkan
atau dibunuh ,lalu dibuangsepertimasaordebaru:
mungkin kami sampai di sana disiksa dan sebagainya. Uhhhhhh...! imaginasi-imaginasi mengerikan
sudah merasuk pikiran dan mempengaruhi sikologis saya. Sampai-sampai saya tanya polisi yang dampingi kami, “ Pak
perjalanan masih jauh kah?”“ Jalan ini lurus terus mbak,”
pungkasnya. Walapun demikian, masih tetap bersyukur karena suara hati berkata
kami akan baik-baik saja sehingga ketakutan itu semakin berkurang dan semakin
menghilang ketika tiba di Kantor Polda.
Halaman Polda
Metro Jaya—setelah tiba di markas kolonial—selama di sana, para mahasiswa tak
tinggal diam. Dalam kondisi apa pun mereka tetap berekspresi: dalam
kelompok-kelompok mereka menari tradisional mereka di sana: kelompok lain
dengan tari tradisionalnya mereka di situ, dan disini. Kami betul-betul
rasahkan dalam hati betapa bahagianya di hari kemerdekaan ini. Mereka terus
teriakan ‘ Papua... Merdeka’. Di sela itu polisi datang lalu berkata,“Adik-adik boleh menari tapi jangan teriak
Papua- Merdeka, ini kantor polisi.” Lalu kami beritahu bahwa, “Tadi di sana Bapaklarang kami jadi kami
mau teriak di sini sambil tunggu kawan-kawan kami keluar.”
Pungkas kami. Lalu kami terus menari dan menari, teriak dan teriak.
“Hehehehee!
Salah bapak, ya, mau bawa kami ke sini!”
Kata kawanku Alber, “ kami luar biasa
menciptakan sejarah baru karena masa aksi bisa berani teriak Papua-merdeka di
depan kantor kolonial yang anti kata Papua-Merdeka.” Selama di sana, rasa takut sudah hilang semua
tapi ada rasa sedih. Sedihnya melihat
kawan-kawan menari dengan nari tradisional mereka. Mereka betul-betul ciptakan
sesuatu bahwa seakan Papua yang sesungguhnya tergambar sejap dalam detik
(moment peringati) kemerdekaan ini.
Kebanyakan masa
aksi dari beberapa wilayah. Di mana
kawan-kawanku yang dari kepala burung? Coba ada orang Tambrauw, Maybrat,
Manokwri atau Bintuni berapa biji saja biar kami juga bisa Tumbu Tanah di siniatau saya tahu angkat lagu
Tumbuk Tanah ka? Uhhhhhhh! Atau sa pu hanphone aktif berarti telpon adik
laki-laki di Yogya untuk kasih ajar lagu Tumbuk Tanah, biar sudah. Saya ingin tampil
tarian tradisonal saya, tapi ganjil kalau saya sendiri. Indah kalau tampilkan
dalam kelompok dan hentakan kaki secara bersamaan, derap langka dan
loncat-serempak. Tapi biar sudah.Saya pun tahan napas lalu duduk liat
kawan-kawan menari saja. Setelah menari, selingan dengan Mop (Komedi ciri Khas
orang Papua) lagi. Kami tidak peduli apapun halangan ekspresi kami saat itu:
lapar dan haus, tak kenal capek, tak kenal lelah. Kami tetap bertahan di sana
sampai kawam-kawan yang di dalam semua harus keluar. “Perjuangan tanpa batas, berjuang sampai menang.” Itu lah semangat
kami.
Awan sudah gelap
dan matahari pun sembunyi di balik awan. kami duduk bersilang beralaskan rumput
dan tanah sambil menunggu puluhan kawan kami di bebaskan.
Setelah berapa
jam kemudian, mereka di bebaskan. Satur-persatu berdiri bersalam-salaman,
berpeluk-pelukkan, di mata mereka ada pancaran-pancaran kebahagian dan
kesediahan yang membuat kami tetap kokoh. Tak lama kemudian, datanglah para
birokrasi kolonial indonesia asal Papua. Pertama, Lenis Kogoya, katanya sih
staf President. Kedua,
Yoris Yawerai, anggota Dewan Perlawakilan Rakyat (DPR) dari partai Golkar,
ketiga Natalis Pigai. Mereka datang (katanya) membawa parfum (jaminan)
kebebasan. Namun kami sadari, sekalipun mereka orang Papua. Mereka tetap
wajah-wajah kolonial. Kami tak memberikan kesempatan untuk mereka berbicara, “Bapak-bapak tolong keluar dari sini, kami
lagi makan! Tolong hargai kami! kata beberapa kawan untuk tidak mengganggu
kami. Sebab waktu sudah malam. Kami hanya menunggu puluhan mahasiswa
lain—mahasiswa yang masih di tahan, itu biar di bebaskan. Waktu untuk berdialog
dan berdiskusi sudah telat.
Karena sudah
malam, polisi memaksa kami untuk pulang. Mereka meneror. Sedangkan 23 mahasiswa
lainnya masih di tahan polisi. Kami pulang dengan keterpaksaan. Asrama
Yahokimo, kami kembali dengan selamat.
Kami duduk
cerita dan melepaskan lelah, capek, semua disana. Seorang kawan saya,
Teddy bilang kepada saya, “Kamerad, Ormas reaksioner ada demo di
Yogya, hari ini.” “Dong demo barang
apa kawan?” tanya saya. “Infoimasihnya
Dong demo tentang separtis di kota Gudeg,” beber Teddy. Saya pun penasaran
dan segerah otak-atik Hanphone.
Boooo .... Ormas reaksionar mendeklarasikan sebuah fron, yang bertujuan
untuk hadang-hadang demonstrasi massa rakyat yang pro demokrasi. Kemudian,
setelahnya, mereka juga (informasinya) masuk ke dalam asrama Papua dan
melakukan tindakan anarkis dan pengrusakan terhadap fasilitas asrama.
***
Yogyakarta, 03
Desember 2015, rombongan (kami) tiba di markas Kamasan I, Asrama Papua. Ketika
saya sampai di depan pagar, kelopak mata ini sudah tidak tahan untuk memandang
tembok samping pintu yang ada lukisan
Bintang Kejora (BK). Sedih! Lukisan itu tak ada setitik pun noda. Bersih di
rusakin para reaksioner itu. Ketika itu, satu kawan di sampingku mengatakan, “Tidak papa kamu hapus nanti kami lukis BK
yang lebih besar lagi!” bernada kecewa-baku-campur-emosi. Sepertinya
lukisan BK itu telah menyiksa para kelompok
Lombok-lombok
Loyo ini punya mata dan hati. Orang-orang
yang penuh iri, rasis, dan tak berTuhan. mereka pun dengan rakusnya masuk ke
rumah orang tampa beretika. Kalau orang lain (Papua) yang masuk di dong pu rumah pasti sudah teriak
Maling. Uhhhhh! Manusia boneka negara kolonial; Polisi dan Ormas. Saya pun
tidak langsung pulang ke rumah, tapi menuju kali Baliem. (Kali Baliem itu nama
salah satu kali di kota Gudeg yang dinamakan oleh kawan-kawan dari asrama
Baliem). Tempat itu biasanya digunakan untuk bakar-bakar, bakar Wam,
Fane (Babi) , kokor (Ayam), dan lainnya. Kebetulan, rombongan dari Jakarta
diundang oleh kawan-kawan kami di asrama Baliem untuk makan-makan dan sekalian
mengucap syukur atas keselamatan kamai. Bagiku itu sebuah kehormatan. Kami di
sambut baik oleh mereka dengan ucapan selamat. “Budaya kami dari Lapago sekitar kalo ada anak-anak yang pergi jauh
terus kembali maka orang tua harus bakar batu untuk mengucapkan syukur atas
keselamatan anaknya,” penjelasan singkat dari kawan Zipora (kawan
Perempuna, aktivis Sef-determination).
***
Usai makan-makan
disana, saya hendak pulang kerumah.
Setiba di rumah,“Mba.....Mba..... Mba orang Jakarta!” ada suara halus yang
memanggilku dari jauh. “ Ehhhh, Adik,
Kakak dong baru pulang jalan dinas di ibu kota negera kolonial.” Dalam
hatiku berkata demikian. Hem, tidak
heran karena di dalam saya punya
darah ada gumpualan-gumpalan darah Kraton yang mengalir jadi teman-teman asal
Sorong dan di asrama biasa memanggilku
dengan embelan ‘Mba’.
Dengan pengalama
ini, saya menyadari diriku bahwa sesungguh saya ini orang Papua. Sebab saya
sejak remaja, usia sekolah menengah pertama (SMP), sejak itu saya jadi orang
jogja. Dan saya tak mengenal tentang papua yang sesungguhnya. Sekali pun saya
dari papua, tetapi memang saya di butahkan dengan kondisi pendidikan dan
keberadaan sosial: budaya, interaksi sosial di Yogyakarta.
Dengan kesadaran
ini, saya sebetulnya memahami sedikit demi sedikit tentang Papua. Papua yang
sesunguhnya di mata orang Papua. Dengan kesadaran ini saya menjadi pribadi yang
pemberontak terhadap tradisi dan kebiasaan lama yang telah terbentuk didalam
watak dan jiwa saya. Kini saya menyadari bahwa saya adalah seorang perempuan
Papua, perempuan tanah. Sebai bagian dari sesali semua ini, akan
melawan diriku sendiri dan mencoba membebaskan
diriku dari keterpurukan, keterisolasian jiwaku yang sesungguhnya; orang Papua,
perempuan Papua. Salam Juang.
"Penulis adalah Mahasiswi, kuliah di Jogjakarta "
0 Komentar