Menyikapi Sejarah Sunyi Bangsa Papua, Bagian 2

Oleh Pendeta Dr. Benny Giay

Pengantar redaktur:
Tulisan ini merupakan bagian kedua dan terakhir dari tulisan Pendeta Dr. Benny Giay tentang Sejarah Bangsa Papua. Tulisan pertama bisa dilihat di sini.





Gereja di Tanah Papua dan Solidaritas
Dalam buku Sekitar Penculikan dan Pembunuhan Theys Eluay dapat dilihat bagaimana pimpinan Gereja/Agama menyatakan solidaritasnya dengan orang Papua yang menjadi korban, pada saat penculikan dan pembunuhan terhadap Theys. Tetapi apa sebenarnya yang kita mengerti tentang solidaritas itu. Sobrino dan Hernandes menjelaskan,

“Solidaritas adalah sebutan lain untuk cinta kasih yang menggerakkan kaki, tangan, hati, barang-barang jasmani, bantuan, dan pengorbanan terhadap penderitaan, bahaya, kemalangan, bencana, penindasan atau kematian yang dialami oleh orang lain atau seluruh rakyat. Tujuannya untuk ikut merasakan bersama mereka dan membantu mereka bangkit menjadi bebas, menuntut keadilan, membangun kembali.
Dalam penderitaan, kemalangan, penindasan, dan kematian rakyat.
Allah membisu
Allah membisu pada kayu salib,
Dalam keadaan tersalib
Dan kebisuan ini adalah sabda Allah,
Jeritan Allah.
Dalam solidaritas, Allah berbicara bahasa kasih
Allah membuat pernyataan,
Mewahyukan diri,
Dan menghadirkan diri dalam solidaritas.

Allah adalah kasih,
Allah ada dalam solidaritas
Di mana ada solidaritas
Di situ ada Allah,
Menyatakan diri secara tuntas”
(1988:7-8).

Buku Theys ini menunjukkan bagaimana solidaritas seperti ini terbangun  di antara masyarakat etnis Papua dan non Papua pada saat kekerasan terhadap kemanusiaan itu terjadi dengan peristiwa penculikan dan pembunuhan Theys Eluay pada tanggal 10 November 2001. Bagian pertama dari buku itu memperlihatkan solidaritas itu di antara berbagai komponen bangsa Papua.

Demikian juga solidaritas dan simpati dari etnis lain yang non-Papua, seperti yang dapat dilihat dengan liputan media baik cetak maupun elektronik di tingkat nasional. Solidaritas dari sejumlah LSM di Jakarta seperti PBHI, ELSAM, dan YLBHI juga dapat dibaca dalam buku ini. Solidaritas LSM di Jakarta ini sebenarnya dilakukan tidak hanya terhadap rakyat yang terus-menerus mengalami penindasan tetapi juga terhadap LSM dan aktivis LSM di Papua Barat seperti ELSHAM yang sejak awal yang berjuang habis-habisan agar kasus ini diselesaikan secara hukum; dan aktivis HAM di Papua yang sering menjadi sasaran terror dan intimidasi. Dukungan dan solidaritas tidak hanya sampai pada tingkat nasional.

Masyarakat internasional pun menyatakannya dengan berbagai cara seperti: menyurati keluarga, atau mengirim diplomat ke Papua Barat, menekan pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus penculikan dan pembunuhan Theys secara hukum dan adil kemudian menyatakan dukungannya kepada LSM yang memperjuangkan penegakan HAM di Papua Barat.

Buku mengenai pembunuhan dan penculikan Theys ini dimaksudkan untuk membantu rakyat Papua Barat dalam proses melawan budaya lupa dan upaya “menyelamatkan masa lalunya” dengan menarik masa lalu yang traumatis ke masa kini; agar masa lampau yang hilang dimakan ‘kelupaan’ itu dapat diselamatkan. Tujuannya ialah mengingatkan semua pihak teristimewa penguasa untuk menyelesaikan tugasnya “membawa kesejahteraan, menyebar kedamaian dan keadilan” yang belum pernah diwujudkan; kini dan pada masa depan. Penulisan buku Theys ini hanya salah satu cara menyatakan solidaritas dengan masyarakat yang menjadi korban.


Bentuk-bentuk Kegiatan Perayaan dan Penyelamatan Masa Lalu yang Terlupakan
Pertanyaan penting di depan kita ialah bagaimana upaya konkrit “penyelamatan masa lalu” dan “solidaritas terhadap memoria pasionis orang Papua” itu dapat diwujudkan? Beberapa kegiatan konkrit yang dapat dilakukan oleh semua unsur masyarakat. Papua Barat menyikapi dan menyelamatkan masa lampau mereka yang terkorbankan dicatat dalam bagian berikut.


Perlombaan Lagu-lagu dan Orasi atau Mimbar Bebas
Dua kegiatan yang dapat dilaksanakan masyarakat Papua untuk menghadirkan rasa keadilan yang tidak sempat dipenuhi di masa lalu ialah menyelenggarakan perlombaan lagu-lagu spiritual dan historis bangsa Papua, seperti Hai Tanahku Papua, Dari Ombak Besar, dan lagu-lagi lain dari Seruling Mas, dan lain-lain. Perlombaan lagu ini dapat diselingi dengan orasi dan mimbar bebas yang terkait dengan pembunuhan Theys Eluay dan tokoh-tokoh lain yang mengalami nasib yang sama.

Seminar, Bedah Buku dan Diskusi
Dalam rangka membangun solidaritas dengan mereka yang identitas serta masa lalunya terancam hancur pada masa lalu, rakyat atau Gereja atau akademisi dapat menggelar seminar, bedah buku tentang Papua dan diskusi (ilmiah atau informal) menyangkut pembunuhan Theys dan sejarah Papua. Anggota Presidium Dewan Papua atau orang lain dapat dihadirkan untuk menceritakan pengalaman mereka menjelang, selama dan setelah pembunuhan Theys.

Ibadah, Drama dan Fragmen
Kegiatan lain yang dapat dilakukan menjelang perayaan tanggal pembunuhan Theys ialah: drama, fragmen dan ibadah. Liturgi dan lagu-lagu dari ibadah dapat disesuaikan dengan peristiwa-peristiwa sekitar kejahatan negara dan pembunuhan Theys Eluay.

Ziarah ke Kuburan Tokoh Papua
Acara lain yang dapat dilakukan dalam rangka memaknai dan merayakan peristiwa-peristiwa traumatis dalam rangka menuntut keadilan dari penguasa ialah melakukan ziarah ke kuburan Theys atau tokoh-tokoh pejuang orang Papua yang telah gugur dalam perjuangan. Acara ini dapat juga disertai dengan: penghamburan bunga, pembacaan riwayat para tokoh, atau renungan terhadap rakyat Papua yang masih menyimpan trauma.

Acara Eba Mukai
Acara lain yang dapat digelar untuk maksud di atas ialah: eba mukai, kata bahasa Mee yang berarti alas tidur. Dalam tradisi orang Mee, arti sebenarnya dari kata ini ialah memberikan sumbangan berupa uang untuk kepentingan sosial. Dalam konteks sekarang, eba mukai dapat dipakai oleh orang Papua untuk mencari dana untuk a) membantu keluarga pejuang yang gugur atau untuk membantu mereka yang paling membutuhkan, b) pendidikan, c) dana beasiswa pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil, d) perumahan bagi masyarakat di perkotaan yang tinggla di lingkungan kumuh dan lain-lain.

Pemutaran Film/Video Sejarah Papua
Menjelang hari pembunuhan Theys, masyarakat dapat memutar video/film berhubungan dengan a) pembunuhan Theys atau penculikan dan pembunuhan Kol. Willem Onde, dan lain-lain, b) sejarah orang Papua seperti video penaikan bendera Bintang Kejora yang pada tanggal 1 Desember 1960 di Hollandia (Jayapura sekarang) yang sekarang masih tersimpan di arsip-arsip di negeri Belanda, dan lain-lain.

Upaya Pengerekan Bendera Bintang Kejora
Pada tanggal 10 November 2001 Theys diculik dan dibunuh, karena itu pada tanggal ini masyarakat Papua Barat dapat dikerahkan untuk menaikkan bendera bintang fajar untuk memperingati jasa dan beserta kegagalan-kegagalan dan siasat-siasat perjuangan yang dipilih tokoh-tokoh Papua yang telah berkorban dalam sejarah bangsa Papua Barat. Cara-cara ini dapat dipakai untuk memperjuangkan emansipasi masa lalu dan kemerdekaan bangsa Papua Barat secara damai.


Kegiatan Doa dan Puasa
Doa dan puasa dapat dilakukan dalam rangka mendorong emansipasi dan kemajuan bangsa Papua, penegakan HAM dalam segala bidang: politik, ekonomi dna kebudayaan dan proses demilitarisasi di Papua Barat. Buku ini dan buku lain (Karoba S., Gebze H.L 2002 dan SKP Jayapura 2003) dapat dijadikan sebagai bahan atau pedoman dalam semua bentuk kegiatan ini).

Meneropong Kegiatan Perayaan dan Penyelamatan Masa lalu
Lalu pertanyaan lain yang perlu direnungkan dan dijawab ialah: bagaimana kita menempatkan atau memandang bentuk kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka merayakan seperti ibadah, seminar atau diskusi dan eba mukai yang disebutkan di atas? Ada beberapa cara dan sudut pandang.


Menertawakan Kekuasaan yang Otoriter
Kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyelamatan masa lalu yang disebutkan di atas dapat dipandang sebagai cara menertawakan penguasa yang walaupun berpendidikan dan berpangkat tinggi yang diakui negara; tetapi memilih menggunakan otot, senjata, dan penculikan serta pembunuhan; atau cara yang tidak bermartabat dalam menyelesaikan perbedaan ideologi dan pandangan; ketimbang cara otak dan demokratis dalam menyikapi perbedaan pandangan.

Pemaknaan
Bentuk-bentuk kegiatan untuk membangun budaya mengingat dan menyelematkan masa lamapu tadi juga dapat dilihat sebagai wadah atau upaya sadar yang diorganisir orang Papua sebagai subyek yang terkorbankan untuk merenungkan dan memaknai peristiwa-peristiwa tragis yang sangat penting dan menggoncang pemahaman kolektif orang banyak di Tanah ini. Renungan dalam suasana ini dapat difokuskan pada upaya-upaya menajwab dan merenungkan pertanyaan-pertanyaan seperti:
a.    Apa arti dari peristiwa ini bagi kita dan bagi anak-anak kita ke depan?
b.    Bagaimana kita sebagai orang Kristen, orang Papua atau akedemisi atau petugas Gereja atau masyarakat biasa seharusnya menyikapi peristiwa-peristiwa demikian?
c.     Apa saja sumber-sumber kekuatan yang ada pada kita untuk menyikapi keadaan-keadaan ini?
d.    Bagaimana masyarakat kita pada zaman lalu menyikapi peristiwa demikian? Bagaimana bangsa lain yang menjalani pengalaman serupa menyikapi keadaan demikian, seperti rakyat Filipina menghadapi pembunuhan Begigno Aquino oleh rezim Marcos di Bandara Internasional Manila?

Perayaan
Kegiatan dengan tema memoria passionis tadi dapat juga dilihat sebagai perayaan terhadap kehidupan; agar masyarakat tidak lagi terus-menerus dibelenggu oleh memoria passionis. Perayaan ini amat penting karena life must go on.
Apabila ini dilakukan sebenarya ini bukanlah suatu barang baru. Karena masyarakat di Tanah Papua seperti orang Mee di Kabupaten Paniai mempunyai tradisi merayakan kematian tokoh-tokoh yang terpandang dalam masyarakat. Biasanya aara ini diawali dengan acara perkabungan selama kurang lebih satu minggu dan kemudian ditutup dengan acara dabeuwo, perayaan kehidupan karena sang tokoh yang meninggal telah berpindah ke dunia orang mati. Dari sana dia bisa pergi pulang setiap kali dia dibutuhkan. Kebiasaan ini juga terdapat dalam tradisi Kristen, biasa diadakan ibadah perkabungan selama beberapa malam kemudian diakhiri atau ditutup dengan pengucapan syukur.
Tetapi dasar pemikiran, tujuan dan makna spiritual yang mendasari perayaan di atas adalah pengakuan akan potensi dan kemampuan, serta kesadaran kita untuk mengubah dunia yang penuh dengan ketakutan yang diciptakan penguasa. Karena perayaan di atas dilakukan dengan tujuan berikut.


a.    Untuk merayakan kekuatan gabungan yang ada pada kita untuk melawan budaya bisu dan takut dan menghadirkan Papua Baru, dan bahwa Papua Baru yang kita inginkan (bukan yang dibayangkan oleh penguasa di Jakarta atau orang lain) dapat kita wujudkan dengan berangkat dari kenyataan dan pengalaman kita sekarang yang mewarisi memoria passionis ini.
b.    Merayakan keyakinan dan komitmen bahwa jalan menuju Papua Baru yang kita bayangkan itu adalah jalan yang berliku-liku dan panjang yang menuntut pengorbanan yang hanya dapat terwujud pada saat rakyat Papua mulai belajar menjadi diri sendiri, berjuang dengan kekuatan sendiri.

Caranya ialah dengan mengambil jarak dan mendekoloniasi dan menjalani proses pembebasan dari pemikiran-pemikiran yang memberhalakan dan melumpuhkan. “Pemikiran-pemikiran yang memberhalakan” yang dimaksud  di sini adalah anggapan dan keyakinan masyarakat bahwa PBB, Amerika Serikat, dan banga lain atau Allah akan datang menyelamatkan orang Papua. Pikiran-pikiran ini tidak hanya keliru tetapi menghancurkan masa depan itu sendiri sehingga perlu ditinggalkan. Allah telah memberi bangsa Papua akal dan kemampuan. Peristiwa pembunuhan Theys atau kejahatan negara di tanah Papua yang begitu banyak sebenarnya menjadi modal pemersatu sehingga bangsa Papua bisa membangun kesadran bersama dan mencari jalan keluar bersama.

Bangsa Papua perlu memperluas kesadaran, merumuskan visi imaginative dan kreatif terhadap kemungkinan-kemungkinan dan pilihan-pililhan yang tersedia, disertai program-program kecil yang bisa dikerjakan bersama.  Semoga.

Kepustakaan

Caygill, H., Coles A. dan Klimoski. 1998. Introducting Walter Benjamin. New York: Totem Books.
Habermas, Jurgen.1991. “Walter Benjamin: Conscious Raising and Rescuing Critique,” dalam Gary Smith (ed.). On Walter Benjamin: Critical Essays and Recollections. Cambridge: MIT Press.
Karoba, Sam and Hans L. Gebze.2002. Papua Menggugat. Yogyakarta: Galang Press.
Lechte, John. 2001. “Walter Benjamin” dalam 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius.
Metz, J.B. 1980. Faith in History of Society. New York: Seabury Press.
Schuster E and Boschert-Kimmig, R. 1999. Hope against Hope: J.B. Metz and Elie Wissel Speak out on the Holocaust. New York: Paulist Press.
Sindhunata, G.P. 1994. “Memoria Passionis: Walter Benyamin dan Teologi Politik” dalam Teologi dan Praksis Komunitas Post-moderen. Yogyakarta: Kanisius.
________________.2001. “Kaca Benggala: ke Cordoba Abadi Naik Kuda Zanggi” dalam Basis No. 09-10 tahun ke-50, September-Oktober.
SKP Jayapura.2003. Memoria Passionis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan HAM 2001. Jayapura/Jakarta: SKP Jayapura/LPPS.
Sobrino, J. dan Hernandes Pico J.1989. Teologi Solidaritas. Yogyakarta: Kanisius. 

Posting Komentar

0 Komentar