Oleh, Sanimala B.
Masih tersimpan utuh di benakku, bagaimana bergetarnya
hatiku saat matamu menatapku di ujung senja, ketika jemarimu lembut menggenggam
tanganku. Selembut desau angin sore ditingkah kepak kawanan camar yang riang
berkejaran. Kau tahu, aku pun seriang mereka, kala itu.
Hery, saat itu aku berusaha semampuku untuk tegar di
hadapanmu. Seperti batu karang kokoh di antara riak gelombang perpisahan.
Kupandangi KM Labobar sebagai pengalih perhatian, dan senyumku berubah dingin
untuk kapal yang akan mencurimu dariku. Telah dua tahun berlalu, dan saat-saat
itu sulit kulupa.
Kau hanya ada untukku, setidaknya itu yang aku rasa di
pelabuhan Hollandia. Padahal, hari-hari sebelumnya, aku hidup dengan berlinang
air mata sambil pasrah dan menepuk dada. Berkali-kali kau katakan sayang
padaku, sebanyak itu pula maafmu. Kau tahu, itu karena aku selalu menemukan
alasan kau tak setia padaku. Yang aku ingat adalah senyummu penuh arti saat
kusemprot wajahmu dengan beragam kata-kata kecewa, bahwa aku yang mencintaimu
tak ingin kau khianati.
Setelah meminta maaf, selalu kau tersenyum. Senyum itu yang
membuatku dingin. Senyum itu menerbitkan lagi asa di dadaku.
Stom ketiga, kau sudah di atas kapal putih itu, merayap dengan
pelannya meninggalkanku seorang diri. Lambaian tanganmu mampu menghasilkan
butiran bening di mata, menggelinding di pipi. Setelahnya, aku bagai merpati
terluka. Terseok-seok di belantara
ilalang dan pepohonan rendah. Perpisahan membuatku sakit. Kau pasti mengerti
dari surat pertamaku yang tak pernah kau balas.
Dari pelabuhan, aku kembali ke rumah paman, Kotaraja. Esok
pagi, aku kembali lagi ke Ibiroma untuk berlibur ke kampung halaman bersama
bapak tua. Seminggu. Kemudian lanjut lagi urus saya lanjut ke SMA dan asrama
putri di Nabire. Kau tahu, seperti seorang narapiana yang tak sabar menanti
tanggal pembebasan sambil berpegangan pada jeruji besi, kuhitung hari demi
hari. Begitu lambat, merayap pelan, seperti pelannya kapal itu membawamu usai
menculikmu dariku.
Setumpuk kegundahan juga kekuatiran mengisi lorong-lorong
hatiku. Aku kuatir kapalmu karam. Aku kuatir kau pergi, terpikat dengan wanita
Jawa, dan kemudian melupakanku selamanya. Setiap waktu sejak kapalmu hilang
dari pandangan, aku memikirkanmu.
Bagaimana perjalanannya? Berapa hari di atas kapal hingga
tiba di Surabaya? Bagaimana perjalananmu dari Surabaya ke Jogja? Di kampus mana
kau kuliah? Bagaimana tempat tinggalmu? Bagaimana keadaanmu di Jogja? Sudah
punya teman-teman baru disana? Aku punya sederet pertanyaan untukmu dan semua itu
kutanyakan padamu melalui surat pertamaku. Entah kau membacannya atau tidak,
aku masih berharap mendapat balasanmu, Hery.
Suratmu yang pertama kuterima dua tahun setelah kepergianmu.
Enam bulam yang lalu. Tulisan tanganmu tak seindah dulu, Hery, seindah kau
mencatatkan kata-kata di sampul dalam buku pelajaranku. Kau mungkin terlalu
sibuk dan repot, sehingga banyak salah tulis dan coretan dalam suratmu. Aku
mengerti. Bila benar, kau tak perlu repot bikin surat. Toh, kukunjungi kau tiap
malam dalam mimpi.
Kartu ucapan ulang tahunku kau sertakan juga. Tertanggal 20
November 2003. Setelah kurang lebih 320 hari terlunta-lunta entah dimana saja,
aku telah membacanya. Thanks ya.
Hery, sebenarnya aku sering dibuat miring oleh selentingan
tentang dirimu. Dan jujur, ini yang kadang membuatku tak ingin memikirkanmu
lagi. Katanya, kau telah ditunangkan orang tuamu dengan Ike, saudara jauhmu
itu.
Kau tahu, malam itu, aku berteriak sekeras-kerasnya. Bulan
yang tersenyum hampir saja kuhancurkan dengan palu raksasa kebencian. Tapi aku tak
mampu. Kutelan ludah pedih yang pahit dan bau. Seperti orang buta yang sadar
dirinya dikelilingi musuh, kucuriagai setiap hari, hidupmu di Yogyakarta, hidup
saudarimu, Ike di sini.
Akhirnya gosip tentang dirimu ditunangkan hilang juga. Aku
senang. Tapi aku masih menjauhi saudarimu, Ike. Maaf. Aku tak mampu mengucapkan
salam padanya. Mengalah itu sulit, lebih sulit dari berusaha memenangkan.
Hery, kenapa kau tidak berlibur ke Papua? Banyak teman-temanmu
dari Jogja yang datang ke Nabire. Berikutnya, sekolahku dipenuhi para mahasiswa
alumni. Mereka berkenalan dengan kami, dan rasanya kami seperti keluarga. Hery,
tahukah kau bahwa hatiku tak bahagia tanpamu?
Sempat terlintas di benakku, bahwa rinduku padamu tak sebesar rindumu
padaku. Bahkan kuduga, tak ada rindu di hatimu untukku. Tapi aku ingat janjimu,
Hery.
Kau bilang kuliah hanya 4 tahun. Ya, sekarang sudah berapa
tahun kamu di jogja ya? Sudah dua tahun lebih. Kurang satu setengah tahun lagi.
Aku sendiri akan ujian tahun ini, dan kau tahu, aku akan mencari kerja.
Sepeninggal ayahku setahun yang lalu, hidup keluarga kami tak memungkinkan aku
kuliah. Kau tahu ibuku cacat. Aku akan ikut seleksi beasiswa. Aku berharap aku
lulus dalam tes itu. Tapi kau tahu juga kan, yang bayarlah yang lulus. Selama
kita dijajah, sudah dari Jakarta sana, ujian itu formalitas. Aku mungkin tetap
di rumah membagi waktu buat adik-adikku. Tapi aku tetap tunggu kau pulang, di
tengah rutinitasku itu, nanti.
Itu juga, bila kau jadi sarjana dan pulang untukku. Tapi bila
untuk orang lain, ... .
Hery, rasanya seperti kemarin terjadi bila kuingat cerita
kita di lapangan basket sekolah. Setelahnya, kita ke tempatmu nongkrong itu.
Itu malam terakhir kita bersama memandang kemegahan angkasa. Dengan taburan
bintang dan rembulan jelita yang murah senyum itu. Dalam temaram yang
mendamaikan, bersama dua adikku, Mia dan Seky. Ya, kita minum air kelapa
malam-malam. Nikmat. Mungkin karena cinta bumbunya. Aku tak tahu.
Tapi jumpa kita sebelumnya tak seindah itu. Apalagi
saat kau mengangguk setelah kubisik di
telingamu, “Hery, jaga hati, jaga mata, jaga sikap di Tanah Jawa sana. Kita
akan tetap bersama 4 tahun ke depan, bukan?” Aku ingat. Barangkali kau lupa,
Hery.
Saya tidak lupa bilang terima kasih karena semangat hidup
dan kata-kata motivasi yang selalu kau bagi saat kita bersama hampir tiga tahun
yang lalu, juga melalui suratmu kemarin. Kau tahu, itu sangat mengubah hidupku.
Setidaknya membuatku lebih tegar dari wajah gadis SMA kelas X yang kau kenal
dulu. Aku pikir aku telah lebih baik karena berubah.
Aku masih berharap kau akan menyempatkan diri membalas
suratku ini. Padahal, dua suratku lalu belum sempat kau balas. Tapi, itu tak
usah dipikirkan. Mungkin kuliahmu terlalu sibuk. Juga, belum tentu suratku
disensor ibu kosmu yang katamu genit itu.
Jadi, balaslah bila tak mengganggu konsentrasi belajarmu dan aktivitasmu
di luar kampus. Ibu dan kedua adik
kecilku berkirim salam untukmu. Lebih-lebih dua adik kecilku. Mereka selalu
bertanya kapan kaka Hery pulang.
Semoga hidupmu baik dan dilindungi Tuhan. Salam.
Yang merindukanmu, dengan cinta,
Agnes.
***
Kulipat surat ini untuk Hery. Dan kupikir, aku tak perlu
cemas dengan kesetiaannya padaku. Biarlah semua terjadi sesuai kehendak
hatinya, sehingga semua menjadi nyata. Sementara kupikir, biarlah surat ini
kukirim, biar sang suratlah yang berbisik padanya, di sini, aku masih menunggu
dengan rindu dan cinta.
0 Komentar