Galau


Lukisan, Henry D. Bonay
 Oleh, Sanimala B.

Masih tersimpan utuh di benakku, bagaimana bergetarnya hatiku saat matamu menatapku di ujung senja, ketika jemarimu lembut menggenggam tanganku. Selembut desau angin sore ditingkah kepak kawanan camar yang riang berkejaran. Kau tahu, aku pun seriang mereka, kala itu.

Hery, saat itu aku berusaha semampuku untuk tegar di hadapanmu. Seperti batu karang kokoh di antara riak gelombang perpisahan. Kupandangi KM Labobar sebagai pengalih perhatian, dan senyumku berubah dingin untuk kapal yang akan mencurimu dariku. Telah dua tahun berlalu, dan saat-saat itu sulit kulupa.

Kau hanya ada untukku, setidaknya itu yang aku rasa di pelabuhan Hollandia. Padahal, hari-hari sebelumnya, aku hidup dengan berlinang air mata sambil pasrah dan menepuk dada. Berkali-kali kau katakan sayang padaku, sebanyak itu pula maafmu. Kau tahu, itu karena aku selalu menemukan alasan kau tak setia padaku. Yang aku ingat adalah senyummu penuh arti saat kusemprot wajahmu dengan beragam kata-kata kecewa, bahwa aku yang mencintaimu tak ingin kau khianati. 

Setelah meminta maaf, selalu kau tersenyum. Senyum itu yang membuatku dingin. Senyum itu menerbitkan lagi asa di dadaku. 

Stom ketiga, kau sudah di atas kapal putih itu, merayap dengan pelannya meninggalkanku seorang diri. Lambaian tanganmu mampu menghasilkan butiran bening di mata, menggelinding di pipi. Setelahnya, aku bagai merpati terluka. Terseok-seok di  belantara ilalang dan pepohonan rendah. Perpisahan membuatku sakit. Kau pasti mengerti dari surat pertamaku yang tak pernah kau balas.

Dari pelabuhan, aku kembali ke rumah paman, Kotaraja. Esok pagi, aku kembali lagi ke Ibiroma untuk berlibur ke kampung halaman bersama bapak tua. Seminggu. Kemudian lanjut lagi urus saya lanjut ke SMA dan asrama putri di Nabire. Kau tahu, seperti seorang narapiana yang tak sabar menanti tanggal pembebasan sambil berpegangan pada jeruji besi, kuhitung hari demi hari. Begitu lambat, merayap pelan, seperti pelannya kapal itu membawamu usai menculikmu dariku. 

Setumpuk kegundahan juga kekuatiran mengisi lorong-lorong hatiku. Aku kuatir kapalmu karam. Aku kuatir kau pergi, terpikat dengan wanita Jawa, dan kemudian melupakanku selamanya. Setiap waktu sejak kapalmu hilang dari pandangan, aku memikirkanmu. 

Bagaimana perjalanannya? Berapa hari di atas kapal hingga tiba di Surabaya? Bagaimana perjalananmu dari Surabaya ke Jogja? Di kampus mana kau kuliah? Bagaimana tempat tinggalmu? Bagaimana keadaanmu di Jogja? Sudah punya teman-teman baru disana? Aku punya sederet pertanyaan untukmu dan semua itu kutanyakan padamu melalui surat pertamaku. Entah kau membacannya atau tidak, aku masih berharap mendapat balasanmu, Hery.

Suratmu yang pertama kuterima dua tahun setelah kepergianmu. Enam bulam yang lalu. Tulisan tanganmu tak seindah dulu, Hery, seindah kau mencatatkan kata-kata di sampul dalam buku pelajaranku. Kau mungkin terlalu sibuk dan repot, sehingga banyak salah tulis dan coretan dalam suratmu. Aku mengerti. Bila benar, kau tak perlu repot bikin surat. Toh, kukunjungi kau tiap malam dalam mimpi.

Kartu ucapan ulang tahunku kau sertakan juga. Tertanggal 20 November 2003. Setelah kurang lebih 320 hari terlunta-lunta entah dimana saja, aku telah membacanya. Thanks ya.

Hery, sebenarnya aku sering dibuat miring oleh selentingan tentang dirimu. Dan jujur, ini yang kadang membuatku tak ingin memikirkanmu lagi. Katanya, kau telah ditunangkan orang tuamu dengan Ike, saudara jauhmu itu.

Kau tahu, malam itu, aku berteriak sekeras-kerasnya. Bulan yang tersenyum hampir saja kuhancurkan dengan palu raksasa kebencian. Tapi aku tak mampu. Kutelan ludah pedih yang pahit dan bau. Seperti orang buta yang sadar dirinya dikelilingi musuh, kucuriagai setiap hari, hidupmu di Yogyakarta, hidup saudarimu, Ike di sini. 

Akhirnya gosip tentang dirimu ditunangkan hilang juga. Aku senang. Tapi aku masih menjauhi saudarimu, Ike. Maaf. Aku tak mampu mengucapkan salam padanya. Mengalah itu sulit, lebih sulit dari berusaha memenangkan. 

Hery, kenapa kau tidak berlibur ke Papua? Banyak teman-temanmu dari Jogja yang datang ke Nabire. Berikutnya, sekolahku dipenuhi para mahasiswa alumni. Mereka berkenalan dengan kami, dan rasanya kami seperti keluarga. Hery, tahukah kau bahwa hatiku tak bahagia tanpamu?  Sempat terlintas di benakku, bahwa rinduku padamu tak sebesar rindumu padaku. Bahkan kuduga, tak ada rindu di hatimu untukku. Tapi aku ingat janjimu, Hery.

Kau bilang kuliah hanya 4 tahun. Ya, sekarang sudah berapa tahun kamu di jogja ya? Sudah dua tahun lebih. Kurang satu setengah tahun lagi. Aku sendiri akan ujian tahun ini, dan kau tahu, aku akan mencari kerja. 

Sepeninggal ayahku setahun yang lalu, hidup keluarga kami tak memungkinkan aku kuliah. Kau tahu ibuku cacat. Aku akan ikut seleksi beasiswa. Aku berharap aku lulus dalam tes itu. Tapi kau tahu juga kan, yang bayarlah yang lulus. Selama kita dijajah, sudah dari Jakarta sana, ujian itu formalitas. Aku mungkin tetap di rumah membagi waktu buat adik-adikku. Tapi aku tetap tunggu kau pulang, di tengah rutinitasku itu, nanti.
Itu juga, bila kau jadi sarjana dan pulang untukku. Tapi bila untuk orang lain, ... . 

Hery, rasanya seperti kemarin terjadi bila kuingat cerita kita di lapangan basket sekolah. Setelahnya, kita ke tempatmu nongkrong itu. Itu malam terakhir kita bersama memandang kemegahan angkasa. Dengan taburan bintang dan rembulan jelita yang murah senyum itu. Dalam temaram yang mendamaikan, bersama dua adikku, Mia dan Seky. Ya, kita minum air kelapa malam-malam. Nikmat. Mungkin karena cinta bumbunya. Aku tak tahu.

Tapi jumpa kita sebelumnya tak seindah itu. Apalagi saat  kau mengangguk setelah kubisik di telingamu, “Hery, jaga hati, jaga mata, jaga sikap di Tanah Jawa sana. Kita akan tetap bersama 4 tahun ke depan, bukan?” Aku ingat. Barangkali kau lupa, Hery.

Saya tidak lupa bilang terima kasih karena semangat hidup dan kata-kata motivasi yang selalu kau bagi saat kita bersama hampir tiga tahun yang lalu, juga melalui suratmu kemarin. Kau tahu, itu sangat mengubah hidupku. Setidaknya membuatku lebih tegar dari wajah gadis SMA kelas X yang kau kenal dulu. Aku pikir aku telah lebih baik karena berubah.

Aku masih berharap kau akan menyempatkan diri membalas suratku ini. Padahal, dua suratku lalu belum sempat kau balas. Tapi, itu tak usah dipikirkan. Mungkin kuliahmu terlalu sibuk. Juga, belum tentu suratku disensor ibu kosmu yang katamu genit itu.  Jadi, balaslah bila tak mengganggu konsentrasi belajarmu dan aktivitasmu di luar kampus.  Ibu dan kedua adik kecilku berkirim salam untukmu. Lebih-lebih dua adik kecilku. Mereka selalu bertanya kapan kaka Hery pulang.

Semoga hidupmu baik dan dilindungi Tuhan.  Salam.

Yang merindukanmu, dengan cinta,

Agnes.

*** 

Kulipat surat ini untuk Hery. Dan kupikir, aku tak perlu cemas dengan kesetiaannya padaku. Biarlah semua terjadi sesuai kehendak hatinya, sehingga semua menjadi nyata. Sementara kupikir, biarlah surat ini kukirim, biar sang suratlah yang berbisik padanya, di sini, aku masih menunggu dengan rindu dan cinta. 

Posting Komentar

0 Komentar