Darah Bisu Pak Guru Gila


 
Jasad Yulianus Yeimo (47) saat ditemukan dii dalam Sungai Boutai, Kampung Dagouto
Oleh: Fransiskus Xaverius Magai 

Sastra Papua---Hari itu tanggal 18 agustus 2011. Bendera Sang Saka Merah Putih ukuran 5X5 meter yang dikibarkan sejak 5 hari lalu oleh Tentara Indonesia masih berkibar genit ditiup angin diatas tiang kayu di puncak Bukit Bobaigo. Bukit ini menjorok masuk ke Danau Paniai, danau yang tercatat sebagai salahsatu danau terindah di dunia dan di bukit bobaigolah menurut cerita orang-orang tua, konon soekarno mengambil Burung Garuda kemudian dibawah ke Jakarta lalu dijadikan Lambang Negara Indonesia.

Yulianus, pria berusia 54 Tahun adalah seorang PNS dan berprofesi sebagai guru di SD YPPGI Enarotali. Ia telah mengajar selama puluhan tahun untuk memerangi kebodohan demi menciptakan generasi bangsa yang cerdas. Tak perlu medan tugas yang terisolir, upah kecil dan fasilitas sekolah tak mendukung, ia tak pernah kehilangan semangat menjalankan tugas itu, baginya profesi guru adalah tugas mulia dan merupakan amanat yang diberikan oleh Tuhan maka ia harus menjalankan tugas itu dengan penuh tanggung jawab.

Sungguh disayangkan setelah kian lama mengajar akhirnya Yulianus harus meninggalkan tugasnya itu karena mengalami gangguan jiwa (gila) secara mendadak tanpa gejalah dan penyebab yang jelas. Yulianus gila punya cara tersendiri dalam menunjukkan jiwa patriotis dan nasionalime sebagai bentuk kecintaan terhadap Negara dan Bangsa Indonesia.

Ini merupakan wujud keterikatan emosional yang kuat dengan mendiang bapak yang merupakan polisi pada zaman Belanda yang juga sangat gigih berjuang merebut Irian Barat ke pangkuan Indonesia.

Kenangan ketika ia kecil biasa ikut bapa menaikkan dan menurunkan Bendera Merah Putih di Pos Polisi Enarotali. Kenangan ketika ia melihat bapa yang tampak gagah dengan memakai pakaian polisi lengkap tengah memegang senjata. Dan semua kenangan bersama bapa, kini seakan hadir kembali dalam diri Yulianus yang tak waras.

Peristiwa tragis ini terjadi kira-kira pukul 07.00 pagi. Dengan mengenahkan seragam polisi coklat abu-abu yang lusuh. Sepatu laras tua dan topi polisi yang sama tua dengannya. Pria gila inipun bergegas mendaki bukit Bobaigo. Sempai di puncak, ia mengambil tempat persis depan Bendera Merah Putih. Ternyata manifestasi bapanya lebih dominan dalam diri Yulianus. Ia sekarang bukan lagi dirinya yang adalah seorang guru tapi 100% polisi ikut bapanya.

Lantas iapun mengambil sikap siap bak prajurit polisi, ia beri hormat pada Sang Saka yang berkibar di depan. Kemudian bendera itu diturunkan. Digenggamnya erat-erat, lalu ia mencium bendera itu. Entalah apa yang tengah dipikir, bendera itupun di robek menjadi empat potong. Yang satu diikat pada kepala, dua potong ia ikat di pergelangan bahu dan yang lain pada leher. Yulianus yang kini tampil bak patriot bangsa bergegas turun dengan gaya.

Setibanya di ujung airport enarotali yang terletak tak jauh dari bukit bobaigo, secara mengejutkan ia dikepung oleh sekelompok tentara berpakaian preman. Ternyata aksinya diatas bukit tadi telah diketahui oleh para tentara. Tanpa menunggu perintah, sambil mengeluarkan kalimat, “Bangsat kau OPM” para tentara langsung mengeroyok Yulianus. Ia di tendang kerkali-kali di dada, jatuh terkapar di jalan aspal kasar. Wajahnya diinjak-injak. Diseret satu meter ke depan. Wajahnya di tendang lagi berkali-kali. Kepala dipukul dengan potongan besi beton hingga berdarah.

Sambil diseret, beberapa tentara terus menggencarkan serangan kearah dada dan wajahnya. Ia terkapar lagi, kepalanya kembali di pukul dengan potongan besi. Ditendang lagi berkali-kali di bagian wajah. Dalam keadaan lemas, dadanya dinjak lagi ulang-ulang. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung dan kepala. Sesekali ia menjerit kasakitan minta tolong, tapi tak satupun yang berani menolong. Ibarat kawanan serigala lapar tengah mencabik-cabik mangsa, si gila itu diseret, dipukul, diseret lagi, ditendang dan diinjak wajahnya terus-menerus.

Dia diseret lagi sekitar 200 meter melalui jalan aspal kasar dari ujung airport sampai di depan PLN Enarotali dekat pasar. Disitu ia dibiarkan terkapar dalam keadaan sekarat, beberapa menit kemudian ia diangkut dengan mobil patroli ke Polsek Enarotali. Kejadian serupa kerap terjadi di daerah ini. Pasukan militer yang bertugas di paniai memandang penduduk pribumi sebagai musuh yang harus diperlakukan bak binatang. Daerah Operasi Militer (DOM) sesunggunya belum berakhir di paniai selama riwayat TPN/OPM di paniai belum tamat.

Celakanya bila aparat militer indonesia sengaja mengelolah situasi dengan melakukan proses pembiaran terhadap TPN/OPM atau menciptakan TPN/OPM gadungan, maka yang terjadi atas paniai saat ini adalah proses mengkomersialisasikan issue keamanan untuk mencari uang semata yang ujung-ujungnya hanya membuat penduduk pribumi jadi korban. “Berburu uang di paniai”, barangkali ini predikat yang tepat. Apa yang bisa kita bangahkan dari tentara? Apakah slogan kosong yang berbunyi, “Prajurit adalah Pelindung Rakyat?”, atau propaganda kakuh yang dipajang di jalan-jalan umum yang berbunyi, “Damai Itu Indah?”

Damai itu kata kerja aktif tanpa kekerasan bukan pasif seperti otak para tentara itu. Tentara yang baik adalah tentara yang bisa mendengar, melihat, berbicara dan mengerti banyak tentang bahasa rakyat, termasuk bahasa orang gila sekalipun. Apa jadinya bila tentara yang katanya adalah “Harga Diri Bangsa” dengan sadis menganiaya rakyatnya sendiri, apalagi penganiayaan itu dilakukan terhadap orang gila ? ataukah benar-benar gila para tentara itu ? Entah ! Benarkah penting bendera itu? Tidak ! ia hanya sebuah simbol kosong tanpa nilai bila manusia termasuk Yulianus sinting di dalamnya tak membuatnya bernilai.

Hakikat bendera yang sejati ialah manusia itu sendiri. Amerika mengerti hal ini hingga rakyatnya diberikan keleluasaan untuk memproduksi dan menjual, penutup payudara wanita (kutang/beha), celana dalam pria dan wanita dan handuk bermotif bendera amerika. Tidak ada masalah bagi amerika sejauh hal itu halal dan menguntungkan untuk kelangsungan hidup rakyat.

Yulianus gila tak punya niat menghina Negara dengan aksi merobek Bendera. Ia hanya ingin mengekspresikan kecintaannya terhadap Negara dan Bangsa Indonesia sebagaimana telah ditanamkan oleh mendiang bapa dulu tapi dengan caranya sendiri yang sangat lain dari biasanya. Patut kita beri apresiasi padanya karena itu merupakan perwujudan dari sikap patriotis dan nasionalime menurut perspektifnya meski terlihat kasar oleh para preman berbaju loreng tolol dan banci itu.

Tak terasa tiga tahun sudah peristiwa tragis yang menimpah si gila itu berlalu. Syukur Yulianus selamat dari maut yang diutus para tentara itu dan masih bisah hidup bersama istri dan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Awal tahun 2014, hari jumat minggu ke-2, di tengah malam Yulianus terjaga, ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil berbincang-bincang sendiri. Sesekali ia marah-marah dengan nada lantang, lalu menangis histeris.

Tubuhnya gemetar dan berkeringat. Ia sangat gelisah. Tingkah aneh ini berlangsung hingga fajar terbit. Kemudian yulianus membangunkan istri dan anaknya yang masih tertidur pulas. Ia memeluk anak semata wayangnya lalu mencium keningnya dalam-dalam; “Bapa sayang kamu nak, jadilah anak baik yang suka dengar perintah mamamu, sekolah yang rajin biar kelak kamu jadi orang besar”, tuturnya sambil menangis. Yulianus memeluk istrinya, ia tak dapat menyembunyikan kesedihan yang terpancar di wajah, “Mama, tolong jaga anak kita baik-baik, kedepan akan banyak tantangan yang datang, namun Tuhan selalu ada disisi kalian. Sayang, semua pasti akan baik-baik saja” pintanya sambil dengan linangan air mata.

 Kenapa tingkah bapa hari ini begitu aneh? Kenapa? Jangan-jangan...Tidak, tidak. Saya tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Berpikir positif. Narik nafas...Jangan panik. Banyak sekali pertanyaan yang timbul dalam benak sang istri, tapi lidahnya terasa berat untuk bertanya pada suaminya dan memilih untuk tenang menghadapi situasi itu. “Bapa pergi dulu ya?” Pamit yulianus. "Sampai jumpa!” Seperti hendak berpisah untuk selamanya, yulianuspun pergi meninggalkan istri dan anaknya. Ia mengayunkan langkah menuju airport enarotali yang jaranya sekitar 100 meter dari rumahnya di Komplek Kogekotu.

Di airport ia melihat banyak aparat militer sedang bertugas menjaga keamanan. Ada pasukan Paskhas AU, Satgas Tribuana (KOPASSUS), BAIS, pasukan KOTIS AD, pasukan Batalyon 1705 nabire, Brimob dan Polisi KPPP Udara. Seperti hendak membalas dendam atas kejadian yang menimpahnya 3 tahun silam, spontan ia marah dengan teguran keras; “Pergi dari sini, kami tidak butuh kalian, justru kehadiran kalian disini yang buat paniai kacau, pergi...pergi...”, teriaknya ulang-ulang. Teriakannya yang lancang itu tak ditanggapi oleh aparat dan semua dibiarkan berlalu tanpa reaksi balasan. Setelah kejadian itu, terhitung beberapa jam kedepan tak ada lagi yang tahu kemana perginya yulianus.

Bak ditelan bumi, istri dan sanak-saudara mencari Yulianus kemana-mana di sepanjang Kota Enarotali sampai ke seantero Paniai namun ia tak ditemukan. Esok hari, pagi-pagi buta sekitar pukul 06.00, Hand Phone si istri berdering. Istri yulianus bangkit dari pembaringan dan berjalan menuju HP yang ditaruh di atas meja di kamar. Oh, ternyata Otto adiknya yang telpon. “Allo Otto?” katanya begitu HP menempel di telinga. “Allo?” suara Otto membalas dengan nada ragu dan takut. “Ada apa pagi-pagi telpon ? “ tanya kakanya curiga. “Ada berita duka” balas Otto gugup. Spontan jantung kakanya seakan berhenti berdetak. Ia mulai panik....Tubuhnya mendadak dingin.... Darahnya seakan terserap keluar dari tubuhnya. "Siapa yang meninggal?” “Kaka Yulianus telah meninggal dunia.” Jawab Otto menanggis.

 HP itu terlepas dari tangan istri Yulianus dan jatuh dengan suara keras ke lantai. Ia mendadak lemas dan tidak bisa menopang tubuhnya. Ia jatuh terkapar di lantai. Ia tidak punya tenaga untuk berbicara ataupun bergerak. Napasnya terputus-putus. Kedua tangannya memegang dada, berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerbu dirinya. Ia merasa dingin. Dingin sekali. Begitu dinginnya sampai tubuhnya gemetar hebat.

Pandangannya buram, pendengarannya tidak jelas, seakan telinganya disumbat, namun samar-samar ia bisa mendengar tangisan anaknya yang kagit melihat keadaanya. Kepalanya berputar-putar. Ia mendongak dan melihat perabotan disekelilingnya seakan nyaris jatuh dan menimpahnya. Ia menarik napas sekali lagi. Hal terakhir yang didengarnya sebelum kesadarannya menghilang seluruhnya adalah suara para tetangganya. Lalu segalanya menjadi gelap. Yang pertama dilihatnya ketika ia sadarkan diri adalah langit-langit putih. Bukan langit-langit kamar. “Dimana suami ku?” Tanya dia pada sanak keluarga yang berdatangan. Semua diam. Tak ada yangmengeluarkan sepatah katapun. Kemudian ia dan anaknya ditopang oleh keluarga ke tempat jasad suaminya berada.

Yulianus suaminya, ditemukan dalam keadaan tak bernyawa lagi dengan jasad mengapung di sebuah kali kecil di jalan baru yang menghubungkan kampung Dagauto-Enarotali dalam keadaan bugil dengan bekas goresan di bagian leher dan bagian belakang tubuh. Tempat penemuan mayat tak jauh dari airport. 

Melihat jasad bapa yang tengah mengapung, spontan anaknya kagit dan melompat dari atas jembatan ke kali dan memeluk jasad bapanya, “Saya mau ikut bapa... Saya mau ikut bapa... “ Bapa sayang, kenapa tinggalkan saya sendiri, bapa tidak sayang saya ka?” saya mau ikut bapa... saya mau ikut bapa...” Jerit tangis si anak.

Istrinya tak pernah menyangkah bila suami tercinta akan pergi meninggalkan dia dan anaknya untuk lamanya, apalagi ia mengingat peristiwa kemarin pagi ketika suaminya memeluk dan mencium dia dan anaknya sambil mengucapkan kata-kata perpisahan. Ia hanya bisah pasrah dan berdoa semoga Tuhan menerimah Roh suami tercinta disisi-Nya. “Selamat jalan bapa”, sahut sang istri penuh sedih.

 

Posting Komentar

0 Komentar