Oleh:
Fransiskus Xaverius Magai
Sastra Papua---Hari itu
tanggal 18 agustus 2011. Bendera Sang Saka Merah Putih ukuran 5X5 meter yang
dikibarkan sejak 5 hari lalu oleh Tentara Indonesia masih berkibar genit ditiup
angin diatas tiang kayu di puncak Bukit Bobaigo. Bukit ini menjorok masuk ke
Danau Paniai, danau yang tercatat sebagai salahsatu danau terindah di dunia dan
di bukit bobaigolah menurut cerita orang-orang tua, konon soekarno mengambil
Burung Garuda kemudian dibawah ke Jakarta lalu dijadikan Lambang Negara
Indonesia.
Yulianus,
pria berusia 54 Tahun adalah seorang PNS dan berprofesi sebagai guru di SD
YPPGI Enarotali. Ia telah mengajar selama puluhan tahun untuk memerangi
kebodohan demi menciptakan generasi bangsa yang cerdas. Tak perlu medan tugas
yang terisolir, upah kecil dan fasilitas sekolah tak mendukung, ia tak pernah
kehilangan semangat menjalankan tugas itu, baginya profesi guru adalah tugas
mulia dan merupakan amanat yang diberikan oleh Tuhan maka ia harus menjalankan
tugas itu dengan penuh tanggung jawab.
Sungguh
disayangkan setelah kian lama mengajar akhirnya Yulianus harus meninggalkan
tugasnya itu karena mengalami gangguan jiwa (gila) secara mendadak tanpa
gejalah dan penyebab yang jelas. Yulianus gila punya cara tersendiri dalam
menunjukkan jiwa patriotis dan nasionalime sebagai bentuk kecintaan terhadap
Negara dan Bangsa Indonesia.
Ini
merupakan wujud keterikatan emosional yang kuat dengan mendiang bapak yang
merupakan polisi pada zaman Belanda yang juga sangat gigih berjuang merebut
Irian Barat ke pangkuan Indonesia.
Kenangan
ketika ia kecil biasa ikut bapa menaikkan dan menurunkan Bendera Merah Putih di
Pos Polisi Enarotali. Kenangan ketika ia melihat bapa yang tampak gagah dengan
memakai pakaian polisi lengkap tengah memegang senjata. Dan semua kenangan
bersama bapa, kini seakan hadir kembali dalam diri Yulianus yang tak waras.
Peristiwa
tragis ini terjadi kira-kira pukul 07.00 pagi. Dengan mengenahkan seragam
polisi coklat abu-abu yang lusuh. Sepatu laras tua dan topi polisi yang sama
tua dengannya. Pria gila inipun bergegas mendaki bukit Bobaigo. Sempai di
puncak, ia mengambil tempat persis depan Bendera Merah Putih. Ternyata
manifestasi bapanya lebih dominan dalam diri Yulianus. Ia sekarang bukan lagi
dirinya yang adalah seorang guru tapi 100% polisi ikut bapanya.
Lantas iapun
mengambil sikap siap bak prajurit polisi, ia beri hormat pada Sang Saka yang
berkibar di depan. Kemudian bendera itu diturunkan. Digenggamnya erat-erat,
lalu ia mencium bendera itu. Entalah apa yang tengah dipikir, bendera itupun di
robek menjadi empat potong. Yang satu diikat pada kepala, dua potong ia ikat di
pergelangan bahu dan yang lain pada leher. Yulianus yang kini tampil bak
patriot bangsa bergegas turun dengan gaya.
Setibanya di
ujung airport enarotali yang terletak tak jauh dari bukit bobaigo, secara
mengejutkan ia dikepung oleh sekelompok tentara berpakaian preman. Ternyata
aksinya diatas bukit tadi telah diketahui oleh para tentara. Tanpa menunggu
perintah, sambil mengeluarkan kalimat, “Bangsat kau OPM” para tentara langsung
mengeroyok Yulianus. Ia di tendang kerkali-kali di dada, jatuh terkapar di
jalan aspal kasar. Wajahnya diinjak-injak. Diseret satu meter ke depan.
Wajahnya di tendang lagi berkali-kali. Kepala dipukul dengan potongan besi beton
hingga berdarah.
Sambil
diseret, beberapa tentara terus menggencarkan serangan kearah dada dan
wajahnya. Ia terkapar lagi, kepalanya kembali di pukul dengan potongan besi.
Ditendang lagi berkali-kali di bagian wajah. Dalam keadaan lemas, dadanya
dinjak lagi ulang-ulang. Darah segar mengalir deras dari mulut, hidung dan
kepala. Sesekali ia menjerit kasakitan minta tolong, tapi tak satupun yang
berani menolong. Ibarat kawanan serigala lapar tengah mencabik-cabik mangsa, si
gila itu diseret, dipukul, diseret lagi, ditendang dan diinjak wajahnya
terus-menerus.
Dia diseret
lagi sekitar 200 meter melalui jalan aspal kasar dari ujung airport sampai di
depan PLN Enarotali dekat pasar. Disitu ia dibiarkan terkapar dalam keadaan
sekarat, beberapa menit kemudian ia diangkut dengan mobil patroli ke Polsek
Enarotali. Kejadian serupa kerap terjadi di daerah ini. Pasukan militer yang
bertugas di paniai memandang penduduk pribumi sebagai musuh yang harus
diperlakukan bak binatang. Daerah Operasi Militer (DOM) sesunggunya belum
berakhir di paniai selama riwayat TPN/OPM di paniai belum tamat.
Celakanya
bila aparat militer indonesia sengaja mengelolah situasi dengan melakukan
proses pembiaran terhadap TPN/OPM atau menciptakan TPN/OPM gadungan, maka yang
terjadi atas paniai saat ini adalah proses mengkomersialisasikan issue keamanan
untuk mencari uang semata yang ujung-ujungnya hanya membuat penduduk pribumi
jadi korban. “Berburu uang di paniai”, barangkali ini predikat yang tepat. Apa
yang bisa kita bangahkan dari tentara? Apakah slogan kosong yang berbunyi,
“Prajurit adalah Pelindung Rakyat?”, atau propaganda kakuh yang dipajang di
jalan-jalan umum yang berbunyi, “Damai Itu Indah?”
Damai itu
kata kerja aktif tanpa kekerasan bukan pasif seperti otak para tentara itu.
Tentara yang baik adalah tentara yang bisa mendengar, melihat, berbicara dan
mengerti banyak tentang bahasa rakyat, termasuk bahasa orang gila sekalipun.
Apa jadinya bila tentara yang katanya adalah “Harga Diri Bangsa” dengan sadis
menganiaya rakyatnya sendiri, apalagi penganiayaan itu dilakukan terhadap orang
gila ? ataukah benar-benar gila para tentara itu ? Entah ! Benarkah penting
bendera itu? Tidak ! ia hanya sebuah simbol kosong tanpa nilai bila manusia
termasuk Yulianus sinting di dalamnya tak membuatnya bernilai.
Hakikat
bendera yang sejati ialah manusia itu sendiri. Amerika mengerti hal ini hingga
rakyatnya diberikan keleluasaan untuk memproduksi dan menjual, penutup payudara
wanita (kutang/beha), celana dalam pria dan wanita dan handuk bermotif bendera
amerika. Tidak ada masalah bagi amerika sejauh hal itu halal dan menguntungkan
untuk kelangsungan hidup rakyat.
Yulianus
gila tak punya niat menghina Negara dengan aksi merobek Bendera. Ia hanya ingin
mengekspresikan kecintaannya terhadap Negara dan Bangsa Indonesia sebagaimana
telah ditanamkan oleh mendiang bapa dulu tapi dengan caranya sendiri yang
sangat lain dari biasanya. Patut kita beri apresiasi padanya karena itu
merupakan perwujudan dari sikap patriotis dan nasionalime menurut perspektifnya
meski terlihat kasar oleh para preman berbaju loreng tolol dan banci itu.
Tak terasa
tiga tahun sudah peristiwa tragis yang menimpah si gila itu berlalu. Syukur
Yulianus selamat dari maut yang diutus para tentara itu dan masih bisah hidup
bersama istri dan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Awal tahun 2014, hari
jumat minggu ke-2, di tengah malam Yulianus terjaga, ia berjalan mondar-mandir
di ruang tamu rumahnya sambil berbincang-bincang sendiri. Sesekali ia
marah-marah dengan nada lantang, lalu menangis histeris.
Tubuhnya
gemetar dan berkeringat. Ia sangat gelisah. Tingkah aneh ini berlangsung hingga
fajar terbit. Kemudian yulianus membangunkan istri dan anaknya yang masih
tertidur pulas. Ia memeluk anak semata wayangnya lalu mencium keningnya
dalam-dalam; “Bapa sayang kamu nak, jadilah anak baik yang suka dengar perintah
mamamu, sekolah yang rajin biar kelak kamu jadi orang besar”, tuturnya sambil
menangis. Yulianus memeluk istrinya, ia tak dapat menyembunyikan kesedihan yang
terpancar di wajah, “Mama, tolong jaga anak kita baik-baik, kedepan akan banyak
tantangan yang datang, namun Tuhan selalu ada disisi kalian. Sayang, semua
pasti akan baik-baik saja” pintanya sambil dengan linangan air mata.
Kenapa tingkah bapa hari ini begitu aneh?
Kenapa? Jangan-jangan...Tidak, tidak. Saya tidak boleh berpikir yang
tidak-tidak. Berpikir positif. Narik nafas...Jangan panik. Banyak sekali
pertanyaan yang timbul dalam benak sang istri, tapi lidahnya terasa berat untuk
bertanya pada suaminya dan memilih untuk tenang menghadapi situasi itu. “Bapa
pergi dulu ya?” Pamit yulianus. "Sampai jumpa!” Seperti hendak berpisah
untuk selamanya, yulianuspun pergi meninggalkan istri dan anaknya. Ia
mengayunkan langkah menuju airport enarotali yang jaranya sekitar 100 meter
dari rumahnya di Komplek Kogekotu.
Di airport
ia melihat banyak aparat militer sedang bertugas menjaga keamanan. Ada pasukan
Paskhas AU, Satgas Tribuana (KOPASSUS), BAIS, pasukan KOTIS AD, pasukan
Batalyon 1705 nabire, Brimob dan Polisi KPPP Udara. Seperti hendak membalas
dendam atas kejadian yang menimpahnya 3 tahun silam, spontan ia marah dengan
teguran keras; “Pergi dari sini, kami tidak butuh kalian, justru kehadiran
kalian disini yang buat paniai kacau, pergi...pergi...”, teriaknya ulang-ulang.
Teriakannya yang lancang itu tak ditanggapi oleh aparat dan semua dibiarkan
berlalu tanpa reaksi balasan. Setelah kejadian itu, terhitung beberapa jam
kedepan tak ada lagi yang tahu kemana perginya yulianus.
Bak ditelan
bumi, istri dan sanak-saudara mencari Yulianus kemana-mana di sepanjang Kota
Enarotali sampai ke seantero Paniai namun ia tak ditemukan. Esok hari,
pagi-pagi buta sekitar pukul 06.00, Hand Phone si istri berdering. Istri
yulianus bangkit dari pembaringan dan berjalan menuju HP yang ditaruh di atas
meja di kamar. Oh, ternyata Otto adiknya yang telpon. “Allo Otto?” katanya
begitu HP menempel di telinga. “Allo?” suara Otto membalas dengan nada ragu dan
takut. “Ada apa pagi-pagi telpon ? “ tanya kakanya curiga. “Ada berita duka”
balas Otto gugup. Spontan jantung kakanya seakan berhenti berdetak. Ia mulai
panik....Tubuhnya mendadak dingin.... Darahnya seakan terserap keluar dari
tubuhnya. "Siapa yang meninggal?” “Kaka Yulianus telah meninggal dunia.”
Jawab Otto menanggis.
HP itu terlepas dari tangan istri Yulianus dan
jatuh dengan suara keras ke lantai. Ia mendadak lemas dan tidak bisa menopang
tubuhnya. Ia jatuh terkapar di lantai. Ia tidak punya tenaga untuk berbicara
ataupun bergerak. Napasnya terputus-putus. Kedua tangannya memegang dada,
berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerbu dirinya. Ia merasa dingin.
Dingin sekali. Begitu dinginnya sampai tubuhnya gemetar hebat.
Pandangannya
buram, pendengarannya tidak jelas, seakan telinganya disumbat, namun
samar-samar ia bisa mendengar tangisan anaknya yang kagit melihat keadaanya.
Kepalanya berputar-putar. Ia mendongak dan melihat perabotan disekelilingnya
seakan nyaris jatuh dan menimpahnya. Ia menarik napas sekali lagi. Hal terakhir
yang didengarnya sebelum kesadarannya menghilang seluruhnya adalah suara para
tetangganya. Lalu segalanya menjadi gelap. Yang pertama dilihatnya ketika ia
sadarkan diri adalah langit-langit putih. Bukan langit-langit kamar. “Dimana
suami ku?” Tanya dia pada sanak keluarga yang berdatangan. Semua diam. Tak ada
yangmengeluarkan sepatah katapun. Kemudian ia dan anaknya ditopang oleh
keluarga ke tempat jasad suaminya berada.
Yulianus
suaminya, ditemukan dalam keadaan tak bernyawa lagi dengan jasad mengapung di
sebuah kali kecil di jalan baru yang menghubungkan kampung Dagauto-Enarotali
dalam keadaan bugil dengan bekas goresan di bagian leher dan bagian belakang
tubuh. Tempat penemuan mayat tak jauh dari airport.
Melihat jasad bapa yang tengah mengapung, spontan anaknya kagit dan melompat dari atas jembatan ke kali dan memeluk jasad bapanya, “Saya mau ikut bapa... Saya mau ikut bapa... “ Bapa sayang, kenapa tinggalkan saya sendiri, bapa tidak sayang saya ka?” saya mau ikut bapa... saya mau ikut bapa...” Jerit tangis si anak.
Melihat jasad bapa yang tengah mengapung, spontan anaknya kagit dan melompat dari atas jembatan ke kali dan memeluk jasad bapanya, “Saya mau ikut bapa... Saya mau ikut bapa... “ Bapa sayang, kenapa tinggalkan saya sendiri, bapa tidak sayang saya ka?” saya mau ikut bapa... saya mau ikut bapa...” Jerit tangis si anak.
Istrinya tak pernah menyangkah bila suami
tercinta akan pergi meninggalkan dia dan anaknya untuk lamanya, apalagi ia
mengingat peristiwa kemarin pagi ketika suaminya memeluk dan mencium dia dan
anaknya sambil mengucapkan kata-kata perpisahan. Ia hanya bisah pasrah dan
berdoa semoga Tuhan menerimah Roh suami tercinta disisi-Nya. “Selamat jalan
bapa”, sahut sang istri penuh sedih.
0 Komentar