Pemungut Kaleng

Oleh; Kudiai M

Masih segar dalam sa pu ingatan, kisah sewaktu sa masih kelas empat SD. Siang itu setelah pulang sekolah, sa pigi cari kaleng di tepat belokan SD Kalibobo, menuju Bumiwonorejo. Kaleng yang sa kumpul, sa masukan dalam karung beras ukuran 50 kilo, yang biasanya menjadi jatah perbulan para pegawai negeri sipi. Beratnya kira-kira 11,2 kilo, itu sudah cukup banyak. Sa jalan menyusuri pinggiran parit menuju arah barat, karung sa pikul di atas bahu karena karung tersebut lebih besar dari tubuh saya.

Sambil berjalan saya tetap memungut kaleng walaupun karung sudah hampir penuh. Di di tumpukan sampah, di sebelah barat SD Kalibobo, saya berhenti lalu asyik dan tenggelam dalam memilah-milah sampah kaleng. Tanpa saya sadari, satu kompi mobil patroli melaju ke arah saya. Saya tidak pernah berurusan dengan polisi, maka sa tra ambil pusing.

Mobil patroli itu tiba-tiba berhenti tepat depan saya mereka bergegas turun dan langsung merampas sa pu karung yang penuh dengan kaleng. Karung tersebut lalu di buang di kali (sungai), yang jaraknya hanya beberapa jengkal dari tempat saya berdiri. Setelah membuang barang yg sa setengah mati banting tulang cari keliling kota, dong angkat sa ke dalam mobil patroli dan di bawa ke kantor polisi.

Adooohh, sa tra bisa bicara banyak, karena manusia kerdil, jadi dong angkat macam angkat beras dan main buang di mobil Patroli saja. Saya menangis minta pulang. Tetapi dalam mobil tersebut ada juga sa pu teman tiga yang lebih dahulu dapat angkat. Mereka membuat sa pu pikiran sedikit tenang.

Sampe di Polres yang letaknya dekat samping Air Port, kitorng di bawa ke dalam satu ruangan, lalu diperiksa satu persatu. Polisi dong tanya ke kami, dong curiga kami melakukan pencurian di kantor Polres. Katanya ada beberapa alat penting yang hilang di Polres sehingga dan dong tuduh torang sebagai pelakunya. “Kalian kita tahan karena beberapa waktu lalu ada beberapa pucuk senjata dan surat-surat penting yang hilang,” kata polisi berbadan sedikti gode yang mengintrogasi kami.

Waktu dengar Papol pu bahasa, sa ketakutan. Sa menangis tambah bongkar sambil batariak, “Bapaaaa, Mamaaaa tolong saaaaa…… (Adohh, sa hancur kalau ingat itu, hahahahahaha).

Sa menangis sampe mata bengkak-bengkak, sa takut dapat bunuh dari polisi dong jadi. Tong duduk tunggu-tunggu sampe jam empat sore. Polisi dong lalu suruh tong tiga mandi di kolam renang di Polres, setelah itu polisi dong mulai periksa lagi, sampe jam hampir malam, sekitar jam enam.

Karena trada barang bukti atau mungkin dong sengaja alasan untuk permainkan kitong tiga, jadi polisi dong buat surat tembusan dengan keterangan dari Polres. Surat itu dong suruh tong kasih ke orang tua. Kami di perbolehkan pulang.

Dari kantor polisi da harus pulang jalan kaki  hampir empat kilo baru sampe di sa pu rumah. Tiba di rumah, karena sa takut sa pu Bapa, sa tra kasi surat ke Bapa dia. Surat itu sa bungkus dengan bingkisan kado ulang tahun ukuran kecil lalu sa taruh dalam Bapa de pu kofor yang de simpan loteng rumah.

Waktu berselang beberapa tahun, hingga sa SMA Kelas III, sebelum dengar hasil lulus, balik ke rumah bersih-bersih rumah. Tra sadar kalau surat yg dulu dengan tembusan Polres Nabire, bertanggal 28/02/2004 masih di tempat yg sama. Sa ambil surat itu sa baca berulang kali, sambil hancur tertawa terbahak-bahak.

Sebulan kemudian sesudah dengar kelulusan, sa hilang dari kota dan orang tua, cari makan dan minum di luar negeri, luar dari negeri West Papua.

Adohh, semoga barang (surat) itu masih ada, biar nanti sa kasih lihat ke semua yg baca tulisan ini.. he he he he he.. Waktu ituuu, Kelas IV SD, Tgl 28/02/2004, dulu eeeeeeeeeeeee.

@kudiai_m

Ko-Sapa©2015