Puisi Anak Sentani

 Hujan Yang Kau Cintai

:aan

Hujan, dan Kau Berulang Tahun.

Beberapa waktu lalu
hujan yang kau cintai jadi basah di wajahku.
Basah seperti lantai hutan yang menebal oleh daun gugur, rumput berkepala es,
Atau bangku-bangku taman
ketika sesaat matahari musim dingin mendekam. Melelehkan waktu yang beku.
Daun maple duduk di sana menemani tai merpati
Menemaniku
waktu mengalir, jadi sungai

dari rumput dan daunan beku di lantai hutan telanjang, dingin, kilaumatahari dalam kristal es, musim, cagak telanjang, kau belajar merayakan kenangan.
Kenangan tentang hujan, hijau dan matahari.
Tentang hidup yang tidak sederhana, tanpa banyak pilihan di kampung bermusim dua: kemarau dan hujan; berangin dua: barra' dan timmorro'.

belibis dan itik berenang di kanal dan sungai tua, goyang ekornya menguakku
ingatan meriak. mengelus belakang jalan veteran, berbagai bonto di bulukumba dan jeneponto,
di mana hidup ditertawakan dan dirayakan dalam tepian penuh plastik, sampah dan pestisida,
di mana keberanian di tenggelamkan dalam cahaya lampu dan galian-galian pembangunan

merayakan kenangan bersamamu,
kau jatuh ke dalam gelas plastik
bersama koin satu Euro, kenangan tentang ceplok matahari yang dikerumuni mulut lapar, dan ibu
kau terselip pilu di berlembar-lembar lapis baju
–petang itu tak ada hujan, tapi angin tikam-
Ketika gelas plastic di usung, pengemis perempuan menyodorkan dua tangan
Di bawah bayang Eiffel, menjemput koin dan kelam.

jauh. jauh dari sini beberapa waktu lalu
Di lantai hutan, kilau matahari kupatahkan dari ujung rumput,
Di belakang jalan veteran, anak-anak berenang merayakan alir buangan kota
Ditemani hujan, plastic dan tai. Warnanya meriah.

kau. tentu kau yang tersedu-tersedu di bahuku
melihat kenangan dan warna musim
mengalir berkilau.

2009


Mencapai Bulan

Seperti melihat musim tumbuh di ujung pohonan
Putih, hijau terang, merah, di wajah hutan
Kulihat cinta tumbuh di bawah langit telanjang
sulur tanpa penopang
telah mencapai bulan
tanpa warna. Atau hitam?

March 2008

viernes 7 de marzo de 2008

Manggigil

Batu di ombak itu,
berdiri di pantai tanpa angin,
memaku mata pada laut yang tak mengalun
sambil mengunyah waktu
dan pada lembah-lembah hari
Duka memanggilnya dari pucuk kering pohonan
jadi helai angin

Batu ombak itu,
mata bermuara tanya,
Kenapa pilu riang bermain gelombang
Kenapa cinta tak hendak pulang
Ketika laut tak mengantar apa-apa,
Juga angin tak memuat berita?

Batu di ombak itu
adalah bongkah duka
lupa pada namanya,
yang tanya di mata : " Kenapa kelu?"
Lalu terbahak-bahak tertawa melihat kepiting bunting
Berendam tenang di sekujur lukanya

pantai berangin, laut mengalun
batu ombak itu
telah menjelma aku
Cadas. Diam. Penuh binatang karang.
Di kedalaman,
adalah ketenangan yang ganjil.
Sedih yang menggigil

*Manggigil = menggigil (Maluku)

March, 2008


miércoles 5 de marzo de 2008

Yang Tumbuh, Aneh Sungguh

Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu
Di bawah palem baru melepas pelepahnya
Semak berdaun semanggi menyisir embun di gerimis pagi.
Selalu menyapa hari seperti ini,
gerimis yang menusukan sepi

Asa lepas seperti hangat tubuh pergi
dalam dingin. Lalu bersendiri
seperti pelepah
kusambut dengan kepala tengadah, ampas perih
Membuka mulut lebar-lebar menelan kecewa yang di tikamkan musim.
Seperti sarapan pagi, kupenuhi hasrat dengan dengki.
Berharap ia jadi serbuk hitam pemati rasa untuk menghalau raung dan aum
Rindu yang menggigil dengan mata berdarah
Di dalam hujan,
Kuyup tanah hati , olehnya. Merah.

Seperti pada hari hujan di musim-musim lalu,
Selalu menyapa sepi seperti ini,
Gerimis mencengkram hati kusut
menyisirnya dengan kuku sepi
Dan Rindu adalah pelepah tua tengadah
Terkuak pasrah
pada sayat sepi dalam genggam gerimis
menatap tak lepas
Datangnya ayun tangan yang membuat mata berdarah.

Lama setelah itu, orang lalu
melihat tunas berdaun semanggi menyemak di mataku,
Kata mereka: "kau ditumbuhi cinta"

Ichthus

berenang di laut luka
matahari
ombak
karang
sengat segala laut
mengupasku
hingga tulang

aku menjelma ikan

2007


Jalan-jalan Kecil Ke Rumah

"Rumahku di Jayapura, Papua, terletak di atas bukit. hanya seratus meter dari jalan umum di bawahnya.

Jalan kecil yang menghubungkan rumah kami dengan jalan umum, Jl. Gunung Agung, bukan jenis jalan beraspal yang dihaluskan. Jalan itu berbatu-batu.

Di rumah itu, separuh hidupku dikubur. kusimpan ini disini, karena akhirnya aku tahu, kau lah itu yang kuinginkan untuk menemaniku menunggu petang".

Luna Vidya

Luna Vidya lahir di Sentani, Papua, Luna Vidya, bermain teater sejak tahun 1984 di Makassar bersama berbagai kelompok teater di kota itu, sejak datang ke Makassar setelah menamatkan SMAnya di Jayapura. Bergabung dengan Teater Kampus Universitas Hassanuddin, Ia makin mengokohkan dirinya sebagai salah satu pemain teater terbaik Sulawesi Selatan.

Ia memfokuskan diri pada ruang-ruang teater monolog, memainkan naskah-naskah orang lain, LV juga menulis naskahnya sendiri (Meja Makan, Pagar, Garis) dan membuat adaptasi dari cerita-cerita pendek untuk keperluan itu. "Makkunrai", "Dapur" adalah naskah monolog yang iia sadur dari cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Lily Julianti dalam kumpulan cerpen "Makkunrai" [bahasaBugis :Perempuan]. Bersama Lily, Makkunrai menjadi titik awal bergulirnya Makkunrai Project (2007), sebuah proyek pembelajaran berdimensi gender lewat penulisan sastra dan pementasan panggung.

Sumber; http://penyairnusantarapapua.blogspot.com/2010/03/luna-vidya.html

Posting Komentar

0 Komentar