Papua Kekasih Jiwaku

Apresiasi Puisi PAPUA KEKASIH JIWAKU Karya: Rosita Nangguar

Oleh: Dogopia Christianus*

Ilustrasi; kameramurah.net

Papua Kekasih Jiwaku

Alamku…alamku Papua
Dahulu tak sejelek ini
Dahulu kau indah nan permai
            Mengapa ???Mengapa ???
            Kau dirusak begitu saja
Tanpa mereka sadari
Kaulah yang selama ini melindungi kami dari bencana
Oh…alamku dimana lagi
Dan kemana lagi aku mencarimu
Alamku…alamku untuk apa aku hidup, kalau kamu tidak ada lagi.
(Lih. Memoria Passionis No. 26, Suara Anak Keerom, SKPKC, 2012, p. 6)

Papua Kekasih Jiwaku
“Untuk apa aku hidup, kalau kamu tidak ada lagi”
Kemana lagi aku akan pergi mencarinya ???
Duka Anak Negeri

Rosita tampil kembali di atas panggung. Kali ini, wajahnya suram, tatapan matanya kosong. Mungkin ia lagi dirundung duka. Dengan penuh perhatian, ia memandangi alam Papua penuh seksama. Sepertinya ada rasa yang ingin ia utarakan, tepat, di saat mentari menampakkan ronah wajahnya, Rosita bergumam “Alamku…alamku Papua.” Bukan tanpa arti, bukan tanpa makna, bukan kata-kata kosong yang dilontarkan Rosita. Melihat alam Papua, sekarang ini, menggugah hati Rosita, sepertinya ia sedih, sampai-sampai dua kali ia menyebut “Alamku…alamku Papua.” Di sini Rosita sudah mengatakan sesuatu, ia sudah mengabari kita, memberitahukan kepada kita, tentang apa yang ia lihat, yaitu alamnya, alam Papua.

Penglihatan Rosita akan penampakan realitas alam yang dipandanginya, menyisahkan ironi, kondisi “kaos” kembali ditangkap indera penglihatannya. Rosita tidak salah melihat, indera penglihatan tidak menipunya. Apa yang ia ketahui tentang alamnya dahulu, masih mengaung di memori, alam Papua, alam yang indah permai, surga kecil jatuh ke bumi. Memori masa lalu, akan penampakan indahnya alam Papua, kontras, Rosita menemukan dikotomi antara masa lalu dan sekarang ini, lantas ia berkata “dahulu tak sejelek ini.” Ungkapan pengakuan, sang Rosita, menyibak pertentangan antara yang dahulu dan yang sekarang “dahulu kau indah dan permai.”

Berhadapan dengan kondisi kontras, pertentangan antara masa lalu alam Papua yang dikabarkan indah nan permai dan masa kini yang tak seindah dahulu, membangkitkan naluri bertanya dalam diri Rosita, “Mengapa ??? Mengapa ???.”  Sepertinya Rosita hendak mencari tahu alasan-alasan mengapa ada kontra, antara dahulu dan sekarang, mengapa dahulu alam Papua indah nan permai, tetapi sekarang tak seindah dahulu. Mengapa demikian, mengapa “Kau dirusak begitu saja.” Dalam pandangan Rosita, sepertinya tidak ada penghargaan terhadap alam, alam dirusak begitu saja, seolah-olah alam ini hanya untuk dirusak.

Dalam pencariannya, Rosita menemukan oknum-oknum yang merusak alam, tanpa menyadarinya. Tidak begitu jelas siapa yang Rosita maksudkan ketika ia berkata “Tanpa mereka sadari.” Kita kembali bertanya pada Rosita, sebenarnya siapa itu “mereka?.” Mungkin yang dimaksudkan dengan “mereka” adalah para perusak, atau oknum-oknum yang merusak hutan. Atau dalam penggambaran sebelumnya, yang ia maksudkan adalah “para penebang kayu.”

Anamnese Kosmologi Anak Negeri
Dalam kekalutan, dirundung duka atas rusaknya alam, Rosita kembali mengenang jasa-jasa baik, akibat-akibat positif yang diberikan oleh alam kepadanya, “Kaulah yang selama ini melindungi kami dari bencana.” Sepertinya, Rosita sedang melakukan anamnesis kosmologi. Atau sebuah pengenangan kembali kebaikan alam, perlindungan alam, sehingga terlindungi dari bencana.
Rosita memahami benar dan mengakuinya dalam pengenangan, sebuah keyakinan kosmologi yang memberikan perlindungan baginya. Ia memahami bahwa itu adalah suatu kebenaran, mengakuinya dan mengenangnya kembali. Sederhana sekali, kita bisa mengetahui bahwa benarlah jika alam dirusak akan membawa bencana bagi kehidupan manusia.

Ada yang hilang
Kesedihan menyanyat hati Rosita, penampakan realitas alam yang “kaos,” mentak-bisa-kan Rosita memahaminya. Pertentangan, dikotomi antara keadaan masa lalu “dulu indah” dan masa kini “sekarang jelek,” sepertinya menyadarkan Rosita bahwa ada yang hilang darinya atau dalam lain perkataan dapat dibahasakan bahwa keindahan alam Papua telah hilang, alam nan indah permai itu sudah hilang. Penampakan alam yang “kaos” menyadarkan Rosita akan adanya kehilangan keindahan, sepertinya ada sesuatu yang hilang. Kesadaran inilah yang mendesak dan memotivasi Rosita mencarinya. Rosita sudah mencari, tetapi yang dicari tak kunjung ditemukan, maka ia berseru, memanggil-manggil alamnya yang hilang, “Oh…alamku dimana lagi” “Dan kemana lagi aku mencarimu.”

Pencarianku
“Oh…alamku dimana lagi” “Dan kemana lagi aku mencarimu.” Sepertinya Rosita keliru, bukankah alam yang dicarinya tampak di depan mata? Bukankah yang dicarinya adalah yang di tempatinya?. Pencarian yang aneh, dari orang yang aneh dan lebih aneh lagi adalah mencari sesuatu yang aneh, mungkin kita dapat berkilah demikian. Bukan hal yang aneh bagi Rosita, mencari apa yang disadarinya telah hilang, yaitu; alamnya, alam Papua yang indah permai, itulah yang dicari oleh Rosita. Bagi Rosita kemana lagi ia mencari alamnya, kalau bukan di sini, di Papua. Ia mencari alam yang indah itu di tanah Papua, karena ia menyadari tidak mungkin ia mencarinya di tempat lain atau di luar Papua.

Tidak mungkin ia ke luar negeri mencari alamnya, karena di sana bukan tempatnya. Mungkin Rosita hendak mengatakan bahwa; “Kalau di tempat ini saja, di tanahku ini sudah tidak ada perlindungan, tidak ada penghargaan terhadap manusia dan alam, kemana lagi aku akan mencari perlindungan, di mana lagi aku akan dihargai. Kalau di tanahku saja aku mendapatkan perlakuan yang demikian, apa lagi di tanah orang. Kalau di tanahku saja aku tidak dihargai, dimana lagi aku akan dihargai.”

PAPUA KEKASIH JIWAKU
Penuh kesedihan, duka anak negeri, putri asli Papua dan putri harapan Keerom, sepertinya telah putus harapan. Pada akhir duka, pada titik nadir kehidupan, pencarian yang tak pasti, tak kunjung ditemukan, pupus harapan, Rosita merasa hidupnya tidak bermakna lagi tanpa alam Papua “Alamku…alamku untuk apa aku hidup, kalau kamu tidak ada lagi.” 

Layaknya sang kekasih yang ditinggalkan jantung hati, penggungkapan hati Rosita menggambarkan betapa cintanya Rosita kepada alamnya, alam Papua. Bagi Rosita Papua adalah kekasih jiwanya, sehingga dalam goresan penanya ia menulis “PAPUA KEKASIH JIWAKU.”

*Dogopia Christianus
Adalah pemerhati masalah sosial, tinggal di Waris, Keerom

Posting Komentar

0 Komentar