Menjadi Penjaga Perpustakaan Iowara

Oleh; Kekeni Kanakameri
Foto; dok Kekeni Kanakameri

Pagi itu udara begitu segar di bulan Mei 1993, hutan hijau dengan kicauan unggas mewarnai hari baru. Langit sangat cerah setelah diguyur hujan semalam, butiran bening itu memberikan energi tambahan bagi siapa dan apa saja yang menyambutnya.

Tampak di jalan raya, satu-satunya jalan yang membelah rimbunnya rimba East Awin yang hijau, dihimpit oleh kamp-kamp Pengungsi West Papua di PNG (Papua Nieuw Guinea). Satu dua mama-mama yang sedang memikul noken-noken besar beirisi bibit-bibit tanaman untuk kebun-kebun mereka yang baaru dibuka, tampak puntung kayu yang masih terbakar membara. Mereka berjalan beriring-iringan diikuti bapa-bapa yang membawa busur panah serta parang dan kampak.

Sambil memanggil-manggil anjing peliharaan, bergegaslah mereka memasuki hutan sebelum mentari bergerak semakin tinggi dan panasnya semakin membakar. “Enang oooo.....selamat pagi yooo...!!!” sapaan yang lazim saya terima dari mereka yang sudah akrab dengan saya.

Seperti pagi lainnya di hari  Senin pada minggu sekolah yang sudah-sudah, anak-anak sekolah berlarian gembira menuju sekolah mereka masing-masing. Ada yang ke St. Peter To Rot High School, ada lagi yang bergegas menuju Central Monfort Primary School dan ada pula yang terburu-buru menuju North Monfort Primary School.

Mereka bergerombol dalam kelompok-kelompok, berjalan bersama, bercanda tawa, bercerita ria, bahkan ada yang berkejaran menuju sekolah yang menjadi tempat pertemuan yang indah bagi para guru dan guru, murid dan murid serta murid dan guru dalam sebuah proses belajar mengajar yang penuh antusias setelah akhir minggu yang memisahkan dan menyita perhatian mereka dengan aktifitas masing-masing. (Maklumlah di negeri itu, hari Sabtu dan Minggu telah ditetapkan sebagai akhir minggu hingga semua sekolah serta instansi-instansi pemerintah “diliburkan”.)

Sejenak saya berdiri di depan jendela rumah panggungku seperti biasanya menikmati rutinitas tersebut yang mungkin bagi kebanyakan orang di kamp adalah pemandangan biasa, tapi bagi saya, bangun lebih awal dan menyaksikan kegembiraan anak-anak tersebut saat berangkat ke sekolah adalah sesuatu yang sangat luar biasa dan spesial, pemandangan yang begitu indah yang tak bosan-bosannya menghempaskan memori saya berulang kali tanpa ada rasa jenuh ke masa kanak-kanak saya di rimba Mappi dan Digoel bertahun-tahun silam. Masa-masa yang sulit dan indah.

Setelah menyiapkan keperluan anak dan menitipkannya ke pembantu,saya pun meraih men (noken) kesayangan saya pemberian Mama angkatku yang berisikan sebuah kamus Bahasa Inggris (maklumlah saya masih tergolong sangat buta dalam berbahasa asing yang satu ini), buku penuntun guru, buku satuan pelajaran dan buku absen kelas serta bekal untuk makan siang nanti yakni pisang bakar dan sayur lilin bakar serta kacang tanah rebus dan sepotong tebu.

Bergegaslah saya bergabung dengan beberapa teman guru-guru senior saya yang sedang menunggu saya di mata jalan Kamp Warastone, Lutheran Kona. Sambil bercerita, kami harus berjalan menempuh perjalanan berjarak sekitar 2,5 km ke North Monfort Primary School, tempat kami mengajar.

Setibanya kami di sana, lonceng terakhir pun dibunyikan. Semua bergegas menuju halaman sekolah, “assembly” (istilah yang dipakai untuk menyebut upacara atau sejenisnya yang berlangsung di halaman sekolah) pun dimulai. Saya ditugaskan menertibkan murid-murid pada barisan-barisan mereka sesuai dengan kelas masing-masing sebelum upacara dimulai, jujur saja bahwa itu adalah pengalaman baru saya dalam menangani anak-anak yang jumlahnya lebih dari 200-an orang untuk sebuah sekolah berkelas 8 dan yang terbagi dalam 9 kelas.

Dengan bahasa Inggris yang kaku saya berusaha tampil prima, dan setelah menarik napas dalam-dalam tak lama suara saya membahana dengan bantuan pengeras suara, “Good morning boys and girls!!!! Attention!!! Attention!!! Please take your own place and form two lines just follow your own class!!! Every class has two lines, the boys in the right and the girls in the left!!! “...Dalam hati saya bertanya, apakah sudah beres bahasa saya tadi??? Saat yang sama nalar saya berkata, kapan lagi mau membantu jika saya harus tunggu sampai sempurna?? Tak ada yang salah, saya belajar dan mereka pun belajar, kita sama-sama belajar dan kesalahan adalah hal yang lumrah bagi siapa saja yang mau belajar.
Tak sampai lima menit, semua sudah berdiri teratur dan tenang. 

Upacara berlangsung sederhana tak serumit upacara bendera di Papua. Assemby pagi itu ditandai dengan berkibarnya bendera nasional PNG bercorak kuning tua-merah-hitam dan putih bersamaan dengan alunan lagu kebangsaan negara itu “O Arise, All You Sons”, semua tampak sederhana. Murid-muridnya pun tak berseragam dan bertelanjang kaki lantaran sepatu atau sendal adalah barang “mewah” yang langka bagi anak-anak pengungsi kala itu dan kalaupun ada yang memilikinya mereka akan lebih memilih untuk menyimpannya di rumah ketimbang mengenakannya ke sekolah, bagaimanapun juga mereka pasti merasa tidak adil jika yang lain bersepatu dan sendal sedang yang lain tidak. Semua murid di sekolah itu adalah anak-anak Pengungsi West Papua yang berasal dari suku-suku yang berdomisili di kamp-kamp sekitar sekolah tersebut yakni suku-suku Mamberamo, Muyu dan Wamena serta satu dua anak-anak asli setempat.

Adapun Iowara Relocation Site for Refugee di East Awin, Western Province PNG adalah sebuah lokasi kamp pengungsi yang terbagi dalam kurang lebih 19 kamp yang mulai difungsikan sejak tahun 1987 itu, tergolong sangat besar dan terkesan lebih bebas dibandingkan kamp-kamp pengungsi lainnya di kawasan Pasifik dan bahkan mungkin juga di seluruh dunia, sebuah kamp pengungsi yang berada pada lokasi sepanjang kurang lebih 40 sampai 70 km dengan luas sekitar 6 ribu ha.

Kamp ini pernah menampung ribuan pengungsi dari 12 ribu lebih pengungsi West Papua yang mengungsi pada tahun 1984 ke atas. Di tempat ini juga telah lahir sekitar 1,200 anak terhitung sejak tahun 1987 sampai 2004. Kamp Pengungsi tersebut dikelola oleh UNHCR bekerja sama dengan Misi Katolik Keuskupan Kiunga-Daru di Western Province, Caritas PNG dan Pemerintah PNG. Kamp ini dilengkapi dengan sebuah rumah sakit yang terdiri dari 5 buah unit bangunan, yakni 1 unit poliklinik, 2 unit persalinan, 1 unit opname dan 1 unit administrasi serta gudang obat dan ruang perawatan gigi di samping itu ada juga klinik-klinik kecil di masing-masing kamp.

Di Kamp pengungsi ini ada juga kantor pemerintah, rumah-rumah petugas, bengkel, tempat penggergajian kayu, rumah diesel (generator), tempat pelatihan pertanian, gudang makanan ukuran super jumbo, pos polisi, tempat pelatihan bagi kaum perempuan, kantor pendidikan di bawah pengawasan Katolik, sebuah perpustakaan, 5 buah SD 8 kelas yang setara dengan sekolah-sekolah Dasar di PNG dan sebuah SMP serta sebuah sekolah pertukangan, khusus untuk pendidikan diawasi sepenuhnya oleh Misi Katolik keuskupan Kiunga-Daru. Kamp juga dilengkapi dua buah traktor penarik kayu-kayu log dari hutan sekitarnya ke tempat penggergajian kayu yang kadang juga berfungsi sebagai ‘crane’ ketika mobil-mobil tertanam di jalan berlumpur, 1 buah ambulans, dua buah truk besar yang berfungsi sebagai angkutan umum bagi para pengungsi dari kamp ke pelabuhan di tepi sungai Fly yang berjarak sekitar 45 km dari kamp, mpat buah mobil toyota (blakos-belakang kosong) yang satu untuk polisi sedang satunya untuk petugas pemerintah dan satunya bagi petugas UNHCR dan satunya lagi bagi para misionaris Katolik.

Singkatnya, setelah upacara seluruh murid dan guru bubar menuju kelas masing-masing. Saya berbagi kelas dengan teman guru senior saya. Dia mengajar kelas 1A dan saya di kelas 1B, kedua kelas itupun cuma dibatasi dengan selembar triplex. Sedang asyiknya kami mengajar, tiba-tiba muncul sebuah mobil Toyota ‘blakos’ putih di halaman sekolah. Anak-anak dan guru-guru serentak mengangkat kepala tinggi-tinggi melewati dinding seng yang dibuat cuma sebatas dada orang dewasa saja hingga memberikan kesempatan pada semua yang ada dalam kelas untuk seawaktu-waktu bisa saja mencuri pandang ke luar kelas jika memang ada yang menarik perhatian.

Selang beberapa menit, muncullah Pak Kepala Sekolah bersama Bruder Mel Couch cfc, seorang pria Australia yang masih berpostur olahragawan di usia senjanya yang bertugas sebagai tenaga inti dan motor penggerak maju mundurnya pendidikan di Kamp Pengungsi itu yang dikelola di bawah pengawasan dan tanggung jawab Keuskupan Kiunga-Daru, Western Province. Melihat kedatangan keduanya di kelas kami, buru-buru kami menenangkan murid-murid, lalu bergegas keluar menyambut kedatangan kedua orang penting itu.

Setelah bersalaman, kami berempat memasuki ruang kantor kelas kami, yakni sebuah ruangan yang berukuran 3x2 m. Bruder tak membuang waktu lama, dia segera mengutarakan maksud kedatangannya. Bahwa berhubung karena tersendatnya pekerjaan di kantor pusat pendidikan Iowara, dan juga karena sudah enam bulan tak beroperasinya perpustakaan umum Iowara dikarenakan kondisi kesehatan penjaga perpustakaan yang pertama yang kurang bagus maka atas keputusan bersama, mereka (Bruder Mel dan Suster Denise Haman) bermaksud menarik saya ke kantor pendidikan induk dan perpustakaan umum.

Satu hal yang turut memperkuat keputusan mereka adalah karena menurut info yang diperoleh bagian pendidikan dari kantor pusat UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) di Iowara bahwa sejumlah warga Kamp Sota/Erambu telah mendaftarkan diri untuk pulang kembali ke Merauke dan saat itu mereka sedang menunggu saat repatriasinya. Dengan demikian beberapa bulan ke depan tentunya otomatis akan ada pengurangan jumlah murid kelas satu di sekolah itu, karena itu menurut Bruder tak perlu ada dua guru dalam 1 kelas.

Saya tak banyak bicara. Bruder mengerti kegalauan saya, “Did you have something to say, Juliana? Tell me now,please!”

“Brother, please! I’m so poor in English. This is my big problem, Brother”, saya membalasnya dengan kalimat yang pendek-pendek sesuai kemampuan saya saat itu.

“Did you understand what I said?”, lanjutnya.

“Yes, Brother. I understood already,” dengan lamban saya menjawabnya.

“So??? There is no big problem. I’ll see you tomorrow morning in Education Office”, sambil berdiri Bruder menjabat tangan kami satu-satu dan beranjak pergi menuju mobilnya. Hari itu adalah hari terakhir saya mengabdi sebagai guru sukarela di Kamp Pengungsi selama kurang lebih tujuh bulan.

Esok harinya pukul 7:50 pagi waktu setempat, saya telah berada di halaman kantor pendidikan Iowara. Menunggu Suster dan Bruder di sana, sesuai dengan perjanjian Bruder dan saya pada hari sebelumnya. Dari biara, tampak Suster Denise Hamann dari tarekat putri-putri Carmel bergegas keluar dari biara mereka dengan membawa sebuah buku besar di tangan kanannya dan seikat kunci di tangan kirinya.

Suster yang ramah dan murah senyum, berambut pendek serta berbola mata biru indah di balik kacamata minus itupun menghampiri saya dengan wajah berseri-seri seraya menyapa ,”Good morning, Juliana. How are you?”

“I’m very happy to see you this morning!” Saya membalasnya seadanya saja dengan senyum lebar. Dari wajahnya dan caranya menyapaku, dapat saya tebak kegembiraannya yang bukan kepalang karena kehadiran saya di sana dan lebih lagi dapat meringankan sejumlah tugas-tugas tambahan yang ditanganinya selama beberapa bulan terakhir ini sebagai akibat kurangnya tenaga yang bisa diandalkan.

Sambil menjawab beberapa pertanyaannya, kami berjalan turun menuju kantor yang letaknya agak rendah dari halaman depannya. Setelah membuka pintu kantor yang dinding luarnya terbuat dari seng aluminium itu, Suster pun segera mengundang saya masuk. Tak lama kemudian datanglah Bruder Mel. Setelah membahas beberapa hal, saya dibawa keliling oleh Suster dan Bruder guna diperkenalkan pada lingkungan baru itu. Suster bertanya tentang apakah saya bisa mengetik, juga tentang apakah saya bisa menggunakan kertas stensil dan mesin stensil. Saya mengiyakan semua pertanyaan-pertanyaannya, sembari dalam hati benar-benar bersyukur karena sedikit banyak saya telah punya cukup pengalaman yang saya peroleh semasa kecil, sekolah serta kuliah dulu, ketika masih di Papua sehingga mempermudah saya saat itu, setidaknya saya bisa menyumbangkan sedikit pengalaman saya dalam kondisi seperti itu.

Akhirnya saya diijinkan masuk ke perpustakaan. Ruangannya tampak sedikit banyak telah berubah karena baru saja direhab oleh Bruder dan para pembantunya. Sebuah ruangan cukup besar berukuran sekitar 15 x 7 m,dengan rak-rak buku yang menempel langsung ke dinding-dindingnya di tengah ruangan ada beberapa buah bangku dan meja. Di lantai tampak berserakan buku-buku dan kartu-kartu perpustakaan yang terhamburan di atas meja tidak terurus. Suster berdiri di pintu sambil memperhatikan mimik saya yang sedikit bingung menatap segala yang tak beraturan, ia sedikitpun tak beranjak dari tempatnya seolah-olah menanti jawaban saya. Setelah memandang sekeliling ruangan bak orang linglung selama beberapa menit saya kemudian mengangkat wajah melihat pada Suster sambil tersenyum saya berkata, ”I will do my best, Sister.” Tersenyum puaslah dia meninggalkan saya menuju kantornya yang cuma sedepa dari ruangan perpustakaan tempat kerja saya.

Sejak hari itu, saya resmi menjadi penjaga perpustakaan merangkap asisten pribadi kepala dinas pendidikan Iowara, Suster Denis Hamann. Di samping itu, selain menangani perpustakaan dengan segala tetek bengeknya, saya juga ditugaskan mengontrol semua buku yang masuk dari luar (yakni sumbangan dari Caritas Australia, Dinas Pendidikan dan Kebudayan PNG serta Perpustakaan Nasional PNG) ke perpustakaan induk Iowara. Saya harus menyeleksi semua buku-buku, mana yang boleh diberikan ke lima SD di sana dan satu SMP serta satu sekolah kejuruan mana yang harus tetap di perpustakaan umum. Mana yang boleh untuk publik dan mana yang hanya boleh dipinjamkan kepada guru-guru.

Pekerjaan yang benar-benar menyita konsentrasi dan tenaga tapi saya benar-benar menikmatinya karena saya punya cukup waktu untuk membaca. Dan dengan membaca berarti saya punya 100% kesempatan untuk mendapat tambahan ilmu lagi walau kondisi saat itu termasuk cukup sulit.

Posting Komentar

0 Komentar