Kejora di Senja Milenium

Oleh; Ley Joseph 


Hein hendak mematikan beberapa lampu yang tergantung di sudut langit rumahnya, padahal saat itu malam belum mencapai suhu menggigil.
Beberapa tetangga di kompleks perumahan guru misi saat itu larut dalam ketakutan panjang. Telah berbulan bulan mereka dalam keadaan seperti itu. Ada yang memilih pindah ke tempat lain, tetapi itu bukanlah solusi terbaik, karena disetiap gang masuk kompleks rasa takut itu mengikuti pikiran mereka.
Hein memilih untuk tetap tinggal bersama istrinya Maria, karena pecuma jika berpindah pindah.

Saat itu Maria tengah berbadan dua, umur janin mereka kisaran delapan bulan, itu berarti sebulan lagi anak mereka akan lahir. Entah lelaki atau perempuan? Mereka hanya berpasrah hingga waktu kelahiran. Namun, dalam situasi takut seperti ini, apakah mungkin Maria dapat bersalin? apa boleh buat, waktu tidak pernah berkompromi, yang terjadi ya haruslah terjadi. Dan saat ini adalah ujian terberat bagi mereka berdua.

Menurut psikologi, seorang ibu yang sedang mengandung harus dalam keadan tenang hingga proses bersalin, tetapi berbeda dengan Maria.

***

Lagi lagi situasi belum kondusif, ada yang memberitahukan lagi bahwa sebaiknya berdiam diri didalam rumah saja, dilarang keluar rumah! Dan memang benar, saat ini aktifitas kantor, sekolah, pasar bahkan gereja’pun mogok. Hanya sesering kali koster membunyikan lonceng gereja pertanda misa akan segera dimulai, itupun jika ada yang ingin bersembahyang.

Sembahyang memang dinomor satukan tetapi bukankah sembahyang bisa dimana saja? bukan gereja satu satunya! Ini bukan menyepelehkan soal beribadah tetapi mengingat bahwa tegangan suhu kota masih larut dalam ketakutan. Tetapi ada yang berpikir bahwa lebih baik hijrah ke gereja, karena di gereja batin dan pikiran akan jauh lebih tentram, tenang tanpa terkontaminasi dengan hiruk pikuk ketakutan yang telah berserakan dimana mana.

***

Malam terus saja berganti pagi, sesekali senjah memerah. Suatu fatamorgana yang menakjubkan mata. Senjah itu bukan saja memerah tetapi berparas keemas emasan menghiasi langit yang sebentar lagi redup.

Fenomena senja berparas keemasan itu tentu saja menyita pandangan ribuan mata yang tak jemu memandang langit, banyak yang berpendapat tentang fenomena itu, ada yang berkata bahwa ini adalah pergeseran tata surya, ada lagi yang menyampaikan bahwa dunia akan segera kiamat, entahlah banyak kepala yang berpendapat. Namun, kita lupa bahwa ini adalah tahun milenium, dalam kalender tahunan jika umur bumi telah melewati seratus tahun maka akan berganti abad, dan saat ini bumi tengah memasuki abad ke dua puluh.

Di vatikan, Paus Yohanes Ke dua membuka gerbang Vatikan secara umum sebagai tanda penyambutan tahun milenium. Tetapi, berbeda dengan belahan bumi kami, tak ada sesuatu yang spesial untuk dipertunjuk’kan. Yang spesial hanyalah ketakutan yang menggerogoti jiwa.

Banyak harap di tahun milenium, banyak pendoa yang mendoakan agar bumi tetap damai dan sejahterah, ada pebisnis yang berdoa agar milenium membawa berkah, dan seterusnya.

Hein hanya berharap bahwa anaknya lahir tanpa rasa takut. Tak selalu memanjatkan doa, Hein cukup berkata kata dalam pikir, sesekali Ia menyanyikan kidung syukur.

***

Delapan bulan telah dilalui, kini memasuki bulan kesembilan. Maria selalu berjaga jaga agar ketika bersalin ia dalam kondisi siap, sementara Hein sibuk mencari dukun beranak. Karena untuk ke Rumah Sakit tidak’lah mungkin. Saat seperti ini Hein tidak memiliki cukup uang. Upah gaji tidak diterima, Rumah Sakit’pun seperti Rumah kosong. Untuk berjalan keluar rumah, Hein seperti sedang bermain petak umpet.

Untuk menemukan si dukun beranak itu, Hein bersusah payah ke kompleks sebelah, sambil bernegosiasi Hein akhirnya mendapatkan belas kasihan dari si dukun beranak itu sehingga Ia mau membantu Maria dalam proses persalinan.
Seminggu kemudian, Maria merasakan sakit tak berujung. Ia menjerit dan terus menjerit, memanggil manggil nama Hein berulang kali.

“Sabar, sebentar lagi Mama Yosina datang”

 "Mama Yosina adalah nama si dukun beranak itu," kata Hein sambil menenangkan Maria.


Satu, dua jam kemudian, setelah Hein memanggil Mama Yosina untuk datang, Mama Yosinapun datang dengan napas tak beraturan melewati pintu belakang rumah. Sambil memperbaiki napasnya, Hein menyuruh mama Yosina duduk sebentar sambil meneguk segelas air putih. Sedangkan Maria, terus saja menjerit sakit. Maria sudah tidak mempedulikan rasa takutnya, yang ia pikirkan adalah ingin cepat bersalin.

“Bagaimana Maria” tanya mama Yosina.

“Mama, sa ingin cepat bersalin” tegas Maria sambil menjerit sakit.

Sambil bercakap cakap, Mama Yosina mulai menyuruh Maria menarik napas sembari memberikan beberapa instruksi cara bersalin yang baik secara tradisional. Maria mengikuti anjuran mama Yosina, Ia mengulangi helaian napas terus menerus dan berusaha memposisikan tubuh secara baik. Alhasil tiga puluh menit kemudian terdengar ishak tangis dengan suara berani tanpa takut!

Suara nyaring itu tentu saja merobek robek telinga Hein yang sedang menunggu diluar kamar. Hein merinding sambil berlari memasuki kamar, kaget bercampur tak percaya bahwa Maria telah berhasil melahirkan ‘Kejora’ di senja milenium.

Ley Joseph, Mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Yogyakarta

Posting Komentar

0 Komentar