Demi Kepentingan, Hutan Rusak dan Bencana Datang

Apresiasi Puisi Tangisan Anak Papua Karya: Rosita Nangguar
Oleh: Dogopia Christianus



Tangisan Anak Papua
Karya: Rosita Nangguar

Duhai sahabatku dengarkanlah aku
Aku anak asli Papua mau mencurahkan isi hatiku
Sekian tahun lamanya hutanku Papua aman
Sekian tahun lamanya bencana tak pernah menimpahku
Tak kusangkah kini telah berubah
Penebang kayu kini mulai merusak hutanku
Pohon-pohon habis ditebang, hewan habis diburu
Semuanya dilakukan demi kepentingan pribadi
Betapa sedihnya hatiku melihat burung yang sedang terbang dan tidak pernah berhenti
Betapa sedihnya hatiku melihat desaku dilanda banjir
Wahai sahabatku inilah tangisanku anak Papua
 (Lih. Memoria Passionis No. 26, Suara Anak Keerom, SKPKC, 2012, p. 1)

Rosita Nangguar: Tangisan Anak Papua
Keterangan: Dalam penggambaran ini kami menggunakan nama dari pengarang puisi, yaitu Rosita. Sehingga memudahkan kita mengidentifikasi kata-kata penunjuk orang seperti, Aku, anak asli Papua, nya,  ia dan dia.
Apresiasi kepada Rosita Nagguar yang telah menuliskan puisi ini. Kami menggunakan seluruh karya asli tanpa menggubah atau mengubahnya.
 Rosita Nangguar, itulah namanya. Ia berseru dalam ketakberdayaan: “- Duhai sahabatku dengarkanlah aku,-” memanggil dan mengajak sang sahabat, sekiranya mendengarkannya. Dengan penuh kesopan-santunan, ia berpinta, “duhai sahabatku dengarkanlah aku,” Rosita meminta perhatian sahabatnya. Rosita sadar ia membutuhkan orang lain yang mau mendengarkannya. Ia membutuhkan seorang sahabat  
Kepada sang sahabat Rosita memperkenalkan dirinya dan menyampaikan maksud, mengapa ia memanggil dan mengajak sahabatnya,:“Aku anak asli Papua, Mau mencurahkan isi hatiku.” Pada bagian ini Rosita membuka tabir teka-teki tentang siapakah dirinya, ternyata ia adalah anak asli Papua. Ia hendak mencurahkan isi hatinya kepada sahabatnya. Ada rasa yang menekan hati Rosita, ada hal, ada problem, ada masalah dalam diri Rosita, yang mengharuskan dia, yang mendesaknya dan yang mengganggunya. Rosita sadar, isi hati yang menjanggal dirinya harus dicurahkan. Mungkin baginya, dengan mencurahkan isi hati pada sahabatnya, maka masalahnya akan teratasi. Keyakinan ini menghantar Rosita mengungkapkan isi hatinya.

Ungkapan Isi Hati
Ungkapan isi hati Rosita diutarakan. Ia memulainya dengan berceritera tentang keadaan hutannya pada masa lalu, “sekian tahun lamanya hutanku aman.” Pengenangan masa lalu akan keadaan aman hutannya, hanya berlangsung sekian tahun lamanya.[1] Keadaan aman hutannya itu pun berdampak pada kehidupan Rosita. Selama hutannya aman, bencana pun tidak menimpah dirinya[2] “sekian tahun lamanya bencana tak pernah menimpahku.” Bagi Rosita keadaan aman hutannya berpengaruh dan mempengaruhi kehidupannya, mengambarkan suatu totalitas, kesatuan yang harmonis antara alam dan manusia, hutan, pohon-pohonan dan margasatwa. “Hutan aman, bencana tak akan pernah menimpahku.”

Sungguh ironi, tiba-tiba, penggambaran akan hutan yang aman dan bencana yang tidak pernah menimpah Rosita, kini penggambaran itu berubah. Bahkan menghadapi perubahan itu Rosita pun terkejut. Ia tidak menyangkah akan terjadi perubahan yang drastis. Kepada sang sahabat ia berkata “Tak kusangkah kini telah berubah.” Kontinuitas, keberlangsungan, saat kronos mencapai kairos, pada titik masa waktu, layaknya jarum jam tangan berhenti sedekit, sekedip mata dibuka dan yang dilihat adalah situasi “kaos.” Sontak, terkejutlah Rosita, situasi aman dahulu kini telah berubah, “sayang” Rosita tidak menduga akan terjadi demikian, “Tak kusangkah kini telah berubah.”

Tanpa takut, dengan sikap hormat pada martabat manusia, dengan kata-kata penuh sopan, kepada sahabatnya Rosita melapor: “Penebang kayu kini mulai merusak hutanku. Pohon-pohon habis ditebang, hewan habis diburu.” Rupanya Rosita sadar, penebang kayulah yang merusak hutan dan memburu hewan-hewan liar. Mereka menebang habis pohon-pohon dan memburu habis hewan-hewan liar. Bagi Rosita, tindakan inilah yang menyebabkan situasi berubah, hutan Papua yang aman mulai dirusak, pohon-pohon ditebang dan hewan-hewan diburu habis. Pada bagian ini Rosita sampai pada suatu refleksi yang mendalam akan keadaan hutannya yang rusak dan hewan yang diburu habis.
Egoisnya Dikau: Demi kepentingan, kau rusak hutanku
Refleksi mendalam akan keadaan hutan yang rusak dan hewan yang diburu habis, mengantar Rosita pada suatu penemuan, yang dalam bahasanya dikatakan: “Semuanya dilakukan demi kepentingan pribadi.” Rupanya Rosita menemukan bahwa tindakan-tindakan pengrusakan hutan dan perburuan hewan dilakukan semata-mata hanya “demi kepentingan pribadi.” Jelas, Rosita memperlihatkan sikap egoistis manusia yang sangat individualis, mementingkan dirinya sendiri di atas kepentingan yang lain. Sikap egois manusia dapat mengorbankan orang lain. Karena baginya - orang yang egois - yang terpenting adalah dirinya sendiri memperoleh keuntungan. Di sinilah keuntungan bagi diri sendiri dengan mengorbankan hak-hak orang lain melegalkan pengrusakan hutan dan perburuan hewan. Rosita menemukan adanya paradigm egoistis utilitarian pada manusia zaman ini. Sikap ini menjadi ancaman akan kelestarian lingkungan hidup.


Malangnya Nasibmu: Burung Gelandangan
Menghadapi dan berhadapan dengan situasi itu, Rosita tidak berdaya. Ia hanya dapat melihat dampak-dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari rusaknya hutan, ditebangnya pohon dan diburunya binatang. “Melihat burung yang terbang dan tak pernah berhenti,” menyisahkan luka hati, kesedihan yang memilukan hati Rosita.

Dengan berani, Rosita mengakui kesedihan yang menyayat di hati “Betapa sedihnya hatiku.” Ini merupakan pengakuan anak asli Papua, anak Keerom dari kedalaman hatinya, kesedihan yang tak dapat diukur, luka hati, Tangisan Anak Papua. Mungkin bagi Rosita, seperti biasanya burung yang terbang akan berhenti, tetapi kali ini yang dilihatnya lain, tidak seperti yang biasanya, burung itu terbang dan tidak pernah berhenti.

Mengapa demikian? Karena sudah tidak ada tempat lagi bagi burung itu untuk berhenti. Pohon-pohon sudah ditebang, hutan sudah rusak. Jadi burung itu mau berhenti dan hinggap dimana? Jikalau pohon-pohon tidak ada, ia akan terbang terus tanpa henti, mencari tempat yang baru, karena sarangnya sudah dirusak. Penggambaran ini sungguh dramatis, Rosita menggambarkan “Burung Gelandangan,” “Burung yang sudah tidak mempunyai sarang lagi,” “Burung yang malang, hak hidupnya dirampas, pohonnya ditebang dan sarangnya rusak.” Mungkin Rosita mau mengatakan “Nasib manusia Papua pun akan demikian” atau selebihnya “Nasib Orang Asli Papua akan sama seperti burung tersebut.”

Malangnya nasibku: hutanku rusak, bencana datang, engkau untung
Memandang ke langit biru, Rosita menemukan pemandangan yang asing baginya “melihat burung yang terbang dan tidak pernah berhenti” dan sedih hatinya. Kini, pandangan Rosita diarahkan ke muka bumi dan ia berhadapan dengan desanya, tanah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, tanah harapannya, desa junjungannya. Situasi “kaos” melanda desanya, menyebabkan kesedihan yang mendalam pada diri Rosita, “Betapa sedihnya hatiku, melihat desaku dilanda banjir.” Bencana banjir melanda desanya. Keadaan ini di luar dugaan Rosita, bahkan ia tidak menyangkah akan adanya bencana banjir. Padahal di masa lalu, bencana tak pernah menimpahnya, banjir tidak pernah terjadi, tetapi kok  sekarang ini bencana banjir melanda desaku ???

Dalam penggambaranku, Rosita telah menjawab kurang lebih dua pertanyaan “Mengapa burung yang terbang dan tidak pernah berhenti ?Mengapa bencana banjir melanda desa? Dalam penggambaran itu, Rosita membandingkan situasi dahulu dan kini (mungkin juga ke depan). Dulu burung yang terbang akan berhenti dan hinggap dipohon. Tetapi sekarang burung yang terbang dan tidak pernah berhenti, hinggap di pohon. Dahulu bencana tak pernah menimpahku, tetapi kini bencana banjir melanda desaku. Mengapa semua itu terjadi? Rosita menjawabnya sedernaha; karena hutan dirusak, pohon ditebang dan hewan diburu. Dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat rusaknya hutan adalah bencana banjir dan kehilangan margasatwa. Rosita melangkah lebih jauh, pohon ditebang dan hewan diburu demi kepentingan pribadi. Jadi Rosita menemukan alasan yang cukup mendalam mengapa hutan ditebang dan hewan diburu: pertama-tama demi kepentingan pribadi pihak-pihak tertentu; yaitu keuntungan secara ekonomis.  

Siapakah Sahabat Rosita
Di samping Rosita telah menjawab pertanyaan di atas, di lain sisi ia tidak mengatakan sebenarnya siapakah sahabatnya di akhir tangisan, “Wahai sahabatku inilah tangisanku anak Papua.” Siapakah sahabat Rosita? Pertanyaan ini terbuka bagi kita semua dan masih menjadi teka-teki yang perlu dijawab. Mungkin, tetapi belum tentu pasti bahwa “Sahabat bagi Rosita adalah orang yang dapat mendengarkan curahan hatinya. Artinya orang yang bersedia menyediakan waktu, tenaga dan pikiran demi dan untuk mendengarkan keluhan, harapan dan cita-cita Rosita dengan penuh perhatian, dengan penuh kasih. Bahkan baginya, sahabat adalah orang yang dengan kerendahan hati mendegarkan tangisan Rosita dan menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membaca puisi karyanya “Tangisan Anak Papua.” Mungkin mereka itulah sahabatnya, mungkin engkau yang membaca Tangisan Anak Papua itulah sahabat Rosita.  “Tangisan Anak Papua,” Karya Rosita Nangguar, mengajak khayalak agar peduli terhadap lingkungan hidup Papua yang semakin hari kian terancam.

Akhirnya untuk sahabatnya Rosita mempersembahkan tangisan Anak Papua “Wahai sahabatku inilah tangisanku anak Papua.” dengan lain bahasa atau kurang lebih logat khas Papua, Rosita hendak mengatakan “Ini sudah zapu tangisan, za anak Papua yang menangis, menangis liat zapu hutan rusak, burung de terbang tra kembali-kembali, de pergi trus, habis dong tebang de pu rumah jadi. Trus bencana banjir datang, zapu desa banjir.” “STOP SUDAH.” “KO STOP RUSAK SAPU HUTAN.”


Dogopia Christianus
Adalah pemerhati masalah sosial, tinggal di Waris, Keerom


[1] Aman berarti: Merasa bebas dari bahaya, merasa terlindungi, tidak bisa dijarah atau diambil, tidak mengandung resiko, tidak merasa cemas atau takut. Lih. KBBI, Gitamediapress, p. 42
[2] Bencana berarti: Malapetaka, musibah, sesuatu yang menimbulkan kesulitan. Bencana banjir: bencana yang berupa melubernya air dan menimpa suatu daerah, Ibid, p. 129

Posting Komentar

0 Komentar