SEKENDANG PELANGI, 6 --Sebuah Roman

KENAM

Suasana kota tampak sebagai puing-puing menghangus,  jalanan yang lengang, daun-daun yang merintih, sikap ketakutan serta saling curiga. Sementara umat Kristen yang bertahan membangun kehidupan sendiri dengan sesama komunitas, memiliki pasar tersendiri serta fasilitas sosial yang memiliki ciri berbeda dengan umat Islam. Gardu pos dengan grafitti Istana Obet adalah milik umat Nasrani, adapun umat Islam membangun gardu yang sama dengan goresan yang terbaca pondok Acan. Obet adalah Robert dan Acan berarti Hasan, dua nama nyong --laki-laki muda remaja yang sekaligus merupakan identitas dari Kristen dan Islam--
            Dua bocah berbeda nama itu justru tak mengerti sebab apa pertumpahan darah ini mesti terjadi? Tempat bermain telah remuk menjadi puing, hitam  arang, mereka tak bisa lagi saling berkejaran, bermain kelereng, berselisih memperebutkan layang-layang putus serta tertawa terkekeh-kekeh, karena hal-hal yang lucu dan menyegarkan. Anak-anak bahkan tak tahu lagi bagaimana nasib kawan-kawan mereka, dimana sekarang Obet yang tinggal di sebelah kanan rumah? Dimana pula Acan yang tinggal di dekat pasar? Semua tercerai berai seperti satu nyiru beras yang dihambur  ke tanah lapang oleh tangan-tangan yang dikuasai benci.
            Baik Obet maupun Acan sama-sama menjadi yatim piatu ketika orang tua mereka tewas dalam pertarungan demi pertarungan. Sementara Obet dan Acan yang menetap di kampung lain sama-sama tenggelam di lautan ketika sebuah kapal yang sarat muatan oleng diterjang gelombang kemudian miring, dibanjiri air laut, menghilang dari permukaan air dalam sekejab bersama ribuan penumpang yang menjerit ketakutan dijemput maut. Penggalan kapal, muatan serta tak satupun jenazah penumpang ditemukan, kapal beserta seluruh isinya kembali kepada alam ketika manusia-manusia menjerit nyaring bagi hak yang paling hakiki, yaitu hak untuk hidup!
            Apa lagi yang mesti diceritakan? Bahkan orang-orang yang terlahir, bertumbuh, dewasa, dan bersiap menjemput usia senja di tanah pusaka mesti berlari serabutan menuju bandara, menumpang hercules ke Manado  hanya dengan pakaian melekat di badan atau sekedar celana pendek tanpa sepenggalpun harta benda. Seisi rumah hangus terbakar, kampung halaman berubah menjadi puing-puing, menjadi debu. Mereka, para pengungsi meninggalkan rumah tinggal dalam nestapa, amarah, dan ketakutan. Mereka meninggalkan segala kenangan, sanak keluarga yang menjadi jenazah dan tak mendapat penghormatan dalam pemakaman, yang tersisa kini tinggallah isak tangis.
            Ketika kehidupan kota menjadi mati, pasar sunyi, tak ada lagi pedagang berani menggelar jualan, karena khawatir keselamatannya terancam. Bahan-bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari sulit didapat, sehingga tehpun harus diminum dalam keadaan pahit, karena tak mudah mendapatkan gula. Perlahan-lahan kerusuhan mulai mereda, para perusuh itu kembali menyadari, bahwa kebutuhan hidup yang paling penting adalah makan dan minum hari ini yang hanya dapat dipenuhi dalam situasi aman. Pasar ramai oleh pedagang dan pembeli, karena keadaan memungkinkan setiap orang untuk menjual dan membeli, mendapatkan nafkah serta makanan hari ini.
Akhirnya setiap orang tiba-tiba terduduk dan termenung, mengapa kerusuhan mesti terjadi? Fasilitas sosial hangus terbakar. Sanak keluarga tewas, mengungsi, entah kapan mau kembali? Penduduk yang mengungsi membangun rumah-rumah darurat dari papan kayu dengan atap daun rumbia dan lantai tanah dengan sepetak bilik untuk beristirahat. Mereka tinggal dengan komunitas yang dapat memberikan rasa aman dan kepercayaan, sementara ketakutan akan  meledaknya kerusuhan menghantui setiap hari. Betapa mahal rasa aman!
            Senja itu turun dalam cahaya warna kuning keemasan yang jatuh menyinari wajah kota yang muram diliputi puing. Suara sekawanan burung yang mencecet melintasi langit kembali ke sarang bahkan terdengar sendu. Satwa itu harus kembali membuat sarang baru, karena pohon tempatnya membuat sarang dan bertelur ikut pula terbakar. Jalanan tampak sunyi, sesekali terdengar suara kendaraan melintas kemudian diam, deru mesin hanya menyisakan asap yang segera musnah dihalau angin. Pintu dan jendela rumah lebih cepat terkunci sebelum matahari tenggelam dan gelap menelan seluruh cahaya keemasan.
            Di sudut rumah, di dekat perapian Tian termangu, ia tak dapat lagi menyalakan kompor, karena persediaan minyak telah habis, ia harus kembali kepada fasilitas alam untuk menghidupkan api bagi menu hari ini. Kerusuhan mulai mereda, akan tetapi bukan berarti ia dapat bebas pergi kemana suka. Perkelahian demi perkelahian sesekali masih terpecah, ia memilih jalan aman, berdiam di rumah. Tian rindu pada anak didiknya yang lugu di taman kanak-kanak, tetapi bagaimana ia dapat mengajar, bangunan sekolah telah retak dan coreng moreng. Ia hanya sekali berani melintas di depan halaman sekolah dan tersedu melihat tempat kerjanya nyaris menjadi puing-puing. Kejamnya perang!
            Seperti kebanyakan orang Tian dihinggapi penyakit yang berawal dari ketakutan dan ketiadaan peluang untuk bergerak bebas bagi kelangsungan hidup. Setiap orang mengalami hambatan beraktivitas yang menyebabkan kepala menjadi lebih sering berdenyut, tekanan darah menjadi terus naik atau menurun, dan bermacam keadaan yang membuat badan menjadi tidak sehat. Tian rindu pula akan suasana pasar yang meriah oleh beraneka barang dagangan, ia bisa menikmati kehidupan sebagai keluarga berada untuk mendapatkan segala jenis barang yang ia mau dan iapun menjadi senang. Kini, bahkan kesenangan-kesenangan yang paling kecilpun tak bisa dinikmati, ia harus menjadi seekor pungguk yang merindukan bulan manakala mengharap suara jerit atau canda ria dari anak-anak di halaman sekolah.
            Tian memijit-mijit kepalanya. Suasana rumah semakin muram tanpa aktivitas dari para pekerja, mereka hanya berani menjual sembako yang diperoleh dengan susah payah secara diam-diam kepada orang-orang yang benar-benar dikenal. Pintu dan jendela bagian depan rumah telah hancur dan ditutup rapat-rapat dengan papan, menimbulkan kesan rumah ini tak berpenghuni. Rumput ilalang telah naik tinggi, sarang laba-laba berseliweran menggantung di langit-langit, pada malam hari lampu di bagian depan masih tetap padam. Beta telah tinggal di rumah hantu. Tian mengeluh dalam hati.
            Perempuan itu berhenti memijit kepalanya yang berdenyut-denyut ketika ia mendengar suara muntah-muntah. Sejenak Tian tercenung, ia tak pernah merasa berkeberatan Betani menetap di rumahnya dalam situasi seperti ini, keselamatan sahabatnya terancam. Ia sungguh menaruh belas kasihan pada perempuan yang semula hidup aman dan berkecukupan, tetapi dalam sekejab telah menjadi sebatang kara, tanpa tempat tinggal. Perutnya yang mual dan menyebabkan ia harus berulang kali menumpahkan seluruh isi di dalamnya, wajahnya yang semakin memucat, dan badannya yang lemah membuat siapapun tahu. Betani tengah mengandung. Dimana ayah dari si jabang bayi? Tian merasa dadanya sesak.
            Ia beruntung masih memiliki Orin dan tempat tinggal, ia masih mampu bertahan hidup tanpa belas  kasihan orang lain. Masih lekat dalam ingatan ketika ia berpesta rujak sementara di dalam rumah keluarga Betani tengah  khusuk beribadah, ia tak bisa melupakan seluruh kenangan akan prestasi dan sosok lembut seorang Betani. Perempuan itu demikian sempurna. Suara calung dan gong yang memeriahkan adat cuci kaki pada hari perkawinannya seakan masih nyaring terdengar. Betani layak berbahagia bersanding dengan seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan mencintai. Akan tetapi, bagaimana nasibnya kini?
            Sejak hari ketika Orin memondongnya dalam keadaan pingsan, Betani hanya berdiam diri di rumah, ia membantu Tian mengerjakan urusan rumah tangga, memasak, menyapu, dan mencuci piring yang kotor. Akan tetapi sebenarnya Betani lebih sering duduk menyepi, meratapi nasib sekaligus memohon kekuatan supaya ia dapat menjadi ibu yang baik bagi janin yang tengah dikandungnya. Tak pernah sekalipun ia berselisih paham dengan Betani, mereka telah memahami satu sama lain sejak masa remaja, dan kini setelah keadaan berubah menjadi demikian buruk dan mencemaskan. Pengertian itu tak pernah berkurang. Tian memahami arti hak hidup, ia selalu mencoba melakukan yang terbaik bagi perempuan itu. Tak ada yang dimiliki Betani, kecuali dirinya dan tempat tinggalnya yang berubah menjadi bangunan tua.
            Tian menyeduh sepoci teh, meraih dua cangkir gelas kemudian berjalan mendekati Betani yang tengah terduduk menyandarkan kepala ke dinding. “Beta, minumlah teh panas, mungkin bisa sedikit mengurangi rasa mual”, suara Tian mengejutkan Betani.
            “Oh Tian, terima kasih, engkau seorang wanita yang sangat berbudi. Apa jadinya nasib beta tanpa engkau punya ketulusan hati”, Betani tersentak, ia benar-benar merasa lemah, lahir dan batin. Janin di dalam rahimnya membawa pengaruh yang luar biasa, ia tak dapat melakukan banyak hal, ia diserang rasa mengantuk berkepanjangan yang menyebabkan ia merasa sangat  nyaman dengan berbaring dan berbaring. Dimanakah Lambert, bapak dari si anak? Ia tak sempat merasa berbahagia dengan kehadiran seorang mahluk tak berdosa yang kini tengah berlindung di dalam rahimnya. Lambert tak dapat lagi merasakan apa-apa, si mati berurusan dengan Sang Pencipta, si hidup berjuang bagi hari esok yang lebih baik setelah hari lalu berserakan menjadi puing-puing bangunan. Betapa ingin Betani mengunjungi rumah tinggalnya untuk melakukan yang terbaik bagi jenazah orang-orang yang dicintainya, tetapi ia tahu situasi tak mengijinkan. Memperlakukan jenazah dengan selayaknya adalah hal yang benar, akan tetapi yang lebih benar adalah menyelamatkan diri atau lebih tepatnya menunggu waktu untuk melakukan hal-hal yang diinginkan.
            “Minumlah”, Tian menuang teh ke dalam cangkir kemudian mengulurkan pada Betani.
            “Terima kasih”, Betani menerima cangkir, merasakan hangat teh meresap pada buku-buku jemarinya. Ada perasaan takjub pada perilaku Tian yang tak pernah berhenti mengulurkan kebaikan demi kebaikan. Sementara di luar orang saling membunuh dan mengacau, maka di rumah ini ia justru mendapatkan segala perlindungan dan secuil harapan untuk membangun kembali hidupnya yang telah runtuh menjadi seonggok pasir
Apa sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini?
Betani menahan genangan air mata, ia telah menangis berhari-hari di sudut kamar kala gelap datang, ia meratapi kedatangan Lambert, tetapi bahkan bayangan laki-laki itupun ia tak dapat melihatnya. Sukmanya telah terbang menuju langit penghabisan, meninggalkannya dalam keadaan sebatang kara. Betani meratapi pula rumah tempatnya berlindung, kedua orang tuanya yang pasti telah menjadi arang, dan segala kenangan yang telah dirampas hiruk pikuk kerusuhan. Akan tetapi, sampai lelah ia menangis kesadaran membawa pada keadaan yang sangat nyata, bahwa ia tak punya apa-apa kecuali kebaikan hati Tian dan Orin. Sampai kapan mereka akan berbaik hati? Sampai kapan ia akan tinggal menumpang di rumah ini?  Sebaik apapun, mereka adalah pribadi berbeda yang memiliki rencana hidup dan ia tak terlibat pula di dalamnya. Pada akhirnya ia harus pergi, memunguti kembali kepingan harapan yang tersisa dan membangun secara apa adanya.
Betani menatap jauh ke depan, ia memang telah kehilangan ayah, ibu, dan suami. Akan tetapi ia masih memiliki saudara Frederik yang telah menyelesaikan studi di Sam Ratulangi dan bekerja pada sebuah kantor pemerintah di Manado dan adik tunggalnya, Tifani yang tengah meneruskan studi pada universitas yang sama. Mereka pasti telah  medengar perihal kerusuhan Maluku melalui media cetak dan elektronik. Bagaimana nasib Tifani setelah orang tua tak mampu lagi mengirimkan biaya kuliah? Mungkin Frederik masih bisa menanggungnya, akan tetapi bagaimana perasaan mereka setelah berminggu-minggu mengalami putus kontak dan tak tahu persis situasi apa yang terjadi pada rumah tinggal beserta para penghuninya? Betani menghela napas panjang, pandangan matanya nyaris mengabur, tetapi perempuan itu tahu, ia telah cukup lama menjadi beban pada kehidupan sehari-hari rumah tangga Tian. Beban itu harus diakhiri, tapi apa yang dapat ia lakukan dalam keadaan lemah seperti ini. Sambungan telepon terputus, bagaimana dapat ia menghubungi Frederik atau Tifani? Tian tak pernah bersedia menerima sepeserpun pemberianya, dengan jawaban, ia lebih membutuhkan. Tian  tidak kekurangan apa-apa dan tidak rugi apa-apa pula. Betani tak menyangkal, betapa ia merasa bangga, terharu, sekaligus takjub terhadap ketulusan hati suami istri yang kini tengah menjadi induk semangnya.
“Bagaimana engkau punya kandungan Beta?” Tian melirik Betani dengan pandangan sendu, ia tak bisa membayangkan andai nasib itu terjadi pada dirinya, kehilangan seluruh anggota keluarga ketika si jabang bayi membutuhkan kehadiran seorang bapak. Akankah ia mampu bertahan hidup hingga hari kelahiran tiba?
“Beta punya kandungan baik-baik saja, nanti setelah lewat bulan ke tiga baru mulai berkurang rasa mual. Beta memjadi beban hidup yang berat bagi keluarga ini, maafkan beta Tian”.
“Aih, mengapa pula engkau berkata serupa itu, beta tak rugi apa-apa engkau menjadi bagian dalam keluarga ini, bukankah kita sudah berteman sejak masa muda remaja? Nanti setelah keadaan membaik engkau bisa menyusun kembali rencana” Tian membelalakkan sepasang mata, ia tak menyadari betapa wajahnya berubah menjadi lebih menawan ketika ia berekspresi dengan segala kepolosan. Tangan wanita itu menggenggam jemari Betani yang serasa tak memiliki lagi tulang belulang.
“Beta ingin melihat keadaan rumah, jenazah mama, papa, dan Lambert belum diperlakukan sebagaimana mestinya. Mereka punya roh belum tenang, masih menunggu adat pemakaman” Betani menyesap teh hangat kemudian terbatuk-batuk, ia tak akan mampu melihat kondisi jenazah itu, tetapi ia harus melakukan yang terbaik.
“Tunggulah sampai keadaan benar-benar aman, nanti engkau bisa melakukan adat pemakaman”, Tian berusaha menguasai getar suara, ia tak mampu membayangkan manakala Betani harus berhadapan dengan situasi mengerikan, menyelenggarakan pemakaman ketika jenazah-jenazah itu kini hanya tinggal tulang belulang dihinggapi belatung. Ia harus melakukan sesuatu untuk meringankan duka hati sahabatnya itu.
“Kalian ada di sini?” tiba-tiba tampak bayangan Orin berkelebat, laki-laki itu tampak tegap dalam pakaian yang sederhana, celana jeans tua dan T shirt warna kelam, di tangannya tergenggam  kantong plastik. “Beruntung sekali, hari ini beta mendapatkan sekantong langsat di pasar kilat, engkau pasti suka Betani”, Orin mengulurkan kantong itu pada Betani yang diterima dengan senyum tipis terkulum, Orin tahu betapa menyakitkan keadaan yang tengah diderita Betani. Ia mengira oleh-oleh sederhana ini dapat sedikit menyejukkan hati perempuan itu. Sementara ia duduk menyandarkan punggung di kursi, Tian bergegas pergi ke dapur untuk mengambil cangkir bagi Orin, suaminya pasti  kehausan setelah pergi melihat-lihat situasi di kota dan dengan ajaib pulang membawa sekantung langsat.
Tian berniat segera menyerahkan cangkir dan tatakan pada Orin, tetapi sampai di depan pintu langkahnya terhenti, ia melihat pemandangan yang menyentak relung hati, menyakitkan sekaligus mengharukan. Sejenak wanita itu berdiri limbung, Tian bahkan kehilangan kesadaran dimana sebenarnya sepasang kakinya tengah berpijak. Apakah ia tengah bermimpi?
Dalam jarak yang amat dekat tampak Orin tengah meraih tangan Betani kemudian menggenggamnya erat-erat. Tian berusaha untuk menyangkal, tetapi siapa dapat melawan naluri yang bekerja atas dasar suara hati? “Beta sungguh prihatin atas keadaan yang terjadi pada engkau, tak perlu merasa segan menetap di rumah beta. Pintu rumah ini bahkan terbuka bagi engkau untuk selama-lamanya, andai engkau tak berniat pergi dari sini, tak seorangpun dapat mengusik engkau. Kalau saja engkau hidup berbahagia dengan Lambert, beta akan melepas engkau tanpa rasa sakit, tetapi coba lihat sekarang engkau punya keadaan, bahkan untuk sekedar keluar berjalan-jalan engkau tak punya keberanian. Katakan apa yang beta lakukan supaya engkau punya hati senang?” Orin menatap Betani lekat-lekat, ia tak dapat membohongi perasaan terdalam terhadap wanita itu, perasaan yang tak pernah dapat ditidurkan, sekalipun ia telah menikah dengan Tian.
“Beta ingin pemakaman bagi mama, papa, dan Lambert, beta harus cari tahu pula kabar Fred dan Tifa di Manado”.
“Beta akan lakukan semua yang engkau mau”, Orin mengecup telapak tangan Betani, badai seakan mengamuk di dadanya. Di pihak lain Betani terpana, sepasang matanya menatap Orin dengan takjub dan gamang, ia bukan anak-anak, ia tidak buta, tidak pula tuli, ia tahu Orin tak pernah dapat berhenti berharap, sungguhpun ia telah terikat dalam pernikahan sementara dirinya telah menjadi seorang janda muda. Orin memang tak pernah berkata-kata, tetapi sikap dan tatapan matanya telah mengungkapkan segalanya. Ia masih menjadi satu-satunya wanita yang dicintai, Betani seakan terlambung dari kursi tempatnya menyandarkan diri, ia merasakan hembusan angin menerpa dengan amat lembut, tetapi semakin lama berubah menjadi seakan taufan. Betani sadar, ia adalah “orang lain” atau “duri dalam daging” yang berpotensi secara aktif mengoyak perkawinan ini, perkawinan sahabatnya, Tian.
Dengan sepenuh kesadaran Betani menarik kembali telapak tangannya, tiba-tiba udara berubah menjadi demikian dingin, wanita itu menggigil, ia mencoba menenangkan dadanya yang bergemuruh dengan meneguk teh panas. Selebihnya Betani mesti bersandiwara, ia harus menjadi wanita baik-baik yang tak punya niat, kehendak, maksud atau perilaku yang secara sadar dapat memisahakan keberadaan seorang suami dari sang istri. Betani tahu betapa berat ia harus melakukan semua itu, tetapi adakah ia punya pilihan kecuali bersikap sebagai wanita baik-baik? Tiba-tiba Betani sangat merindukan kehadiran adik-adiknya, andai Fred bisa memungutnya dari puing-puing rumah tinggalnya, ia tak akan berhadapan dengan Orin dalam keadaan seperti ini. Betapa ingin ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan Orin untuk mendapatkan sejumput kekuatan, tetapi betapa tidak mungkin ia melakukan hal-hal yang tidak berada pada tempatnya. Dan betapa norma-norma itu menyakitinya.
Betani tergagap ketika Orin kembali meraih tangannya, menariknya berdiri merangkul kemudian membimbingnya menuju halaman belakang rumah yang menjadi rimbun oleh dedaunan. Wanita itu berniat berontak, tetapi ia sadar, ia tak berdaya. Betani tak pernah mengerti betapa tak jauh dari tempatnya beranjak Tian terpaku bak sebongkah patung batu, sisa tenaga masih bekerja sehingga cangkir dan tatakan dalam genggaman tak jatuh berantakan. Tian dapat merampas tangan Orin supaya tak melingkar pada bahu Betani, ia bahkan dapat mengusir wanita itu pergi hari ini juga atau membisik pada para perusuh untuk menghabisi nyawa wanita itu. Akan tetapi, hati kecilnya bersuara lain, apakah bila Betani menyingkir atau menjadi bangkai ia akan dapat membunuh perasaan Orin yang terdalam?
Bukankah ia menikah dengan Orin dalam sebuah kesadaran, bahwa satu-satunya wanita yang dicintai laki-laki itu adalah Betani? Ia hanyalah seorang wanita yang menyediakan diri untuk mengobati luka hati dengan sebuah akibat yang akhirnya harus ditanggung hari ini. Ketika ia menyaksikan dengan mata kepala, Orin nyata-nyata tak dapat menidurkan perasaan terhadap Betani. Langkah Tian surut ke dalam, ia merasa badannya setengah terhuyung, dengan perlahan wanita itu mengatupkan daun pintu, menyandarkan kepala, dan memejamkan mata rapat-rapat, ia berjuang melawan gelepar hati yang menyentak-nyentak. Air mata wanita itu tergenang.
Di halaman belakang yang rimbun oleh hijau dedaunan dengan setulus hati Orin masih merangkul Betani, ia tahu betapa hancur hati wanita itu, diam-diam iapun merasakan kehancuran yang sama. Apabila ia yang menjadi pengantin laki-laki pada perkawinan itu, apakah Betani akan merasakan nasib seperti ini?Betapa rumitnya jalan hidup!
“Segala yang pernah terjadi pada masing-masing diri manusia adalah takdir, tak perlu disesali, kalaulah harus menyesal janganlah berlarut-larut. Hari masih panjang, masih banyak yang harus dikerjakan, engkau masih sangat muda. Suatu saat engkau akan dapat mengingat segalanya tanpa kesakitan, ada hikmah pada setiap tragedi, yang penting adalah bagaimana cara engkau memandang semua ini. Tidakkah engkau menyadari, bahwa beta tetap menyayangiengkau? Engkautidaksendiri, selamaada orang lain kitaakanmenjadibagiandarikehidupanini” Orin menatapBetanilekat-lekat, iatakmenyadarikehadiransiapapun di rumahatau di duniaini, iahanyaberduabersamaseorangwanita yang senantiasahadirdalamimpian, iabahkanmelupakanTian. SekejabketikaiamenciumkeningBetani, Orin seakanmengapung di dalamkabut. Di pihak lain Betani terpaku, iamerasa rapuh, demikian rapuh, sehingga tanpa sadar ia menyandarkan seluruh kerapuhan dalampelukan Orin.
Waktupun diam membeku!
***
Orin menepatijanji, iadatangmemeriksarumahtinggalBetani yang hanyatersisasebagaipuing-puing, diam-diamtanganlaki-lakiitugemetar. Iaditemanitiga orang pekerja yang setiadalamkeadaansusahdansenang. Di ataslangitgelapdikepungmendung, bintang-bintangmenghilangditelankehitaman, suasana di sekitarsenyaptanpasuara, iaseakantengahtersurukkedalamliangpekuburan. Bulukuduk Orin meremang, iaakanmenjumputsekumpulantulangbelulang terbalut abu, iatelahmenyiapkankantungdanjugapetijenazah yang dibuatsecarasederhanadanditinggalkan di rumah.
Cahayasenterberpendar, Orin bergeraksangathati-hati, tidakmustahiliadapattertusukpakuberkarat, pecahanbalok, kayuataubendakerasapapunbentuknya. Indra pencium laki-laki itu menangkap bau busuk, ia telah menutup hidung dengan kain tebal, tetapi aroma itu tetap tajam menyengat. Mereka berempat terus mencari dan akhirnya tiga sosok tubuh yang telah  kehilangan identitas itu ditemukan. Orin tak mau mengingat saat-saat ini, saat ketika ia berhadapan dengan situasi yang paling buruk dan mengerikan. Orin melupakan segala ketakutan terhadap bermacam jenis hantu yang membayangi sejak muda usia.Ia harus memenuhi janji teradap Betani, seburuk apapun keadaan yang harus dihadapi. Dengan sangat hati-hati jenazah tak dikenal itu dimasukan ke dalam keranda dikatupkan rapat-rapat dan diangkut dengan mobil bak terbuka pada sepi suasana kembali ke kediaman. Jalanan dingin, tanpa suara, dan muram.
Betani dan Tian tengah menunggu, malam seakan, lebih cepat melarut dari hari-hari biasa, desir anginpun menyeramkan. Orin dan tiga orang pekerja menurunkan peti jenazah di seputar tiga liang kubur yang telah disiapkan. Tak ada ibadah istimewa kecuali doa yang terucap di dalam hati Betani, perempuan itu terdiam, ia tak dapat membendung air mata. Segalanya berjalan dengan gagu dan menyatu dalam hitam malam, bahkan gemersik anginpun terdengar menyakitkan. Waktu seakan berjalan dengan lamban, detik jam menyentak hingga ke relung hati, Betani memejamkan mata, ia merasakan genggaman tangan Tian erat pada dingin jemarinya.
Setelah pemakaman itu Betani kembali tenggelam dalam doa di kamarnya yang sunyi, ia memilih sendiri, ia melupakan segala kesibukan yang terjadi di seputarnya. Ia seakan tak menyadari, bahwa kehidupan itu bahkan masih ada. Orin dan Tian membiarkan segala ulah sikap Betani, dan Tian wanita bijak itu dapat memahami perasaan yang tengah bergolak di dada suaminya.
Sore itu keduanya tengah duduk di halaman belakang dengan sepoci teh panas serta cangkir di tangan, angin berkesiur dingin. “Betani, maaf bila beta bertanya, tetapi bagaimana dengan engkau punya kandungan? Bukankah anak yang bakal engkau lahirkan memerlukan sorang bapak?” Orin membuka pembicaraan.
Diam.
Matahari hanya sebatas sinar yang lesi lalu pudar memapas kelam, waktu seakan menggantung di langit-langit, gagu, enggan beranjak. Sekelompok burung terbang mencecet membelah langit,    Betani tersadar dari kebisuan. Ia tidak sendiri, ia telah menjalani hal terpahit dalam hidup ketika harus kehilangan orang-orang yang dicintai. Betapa kejam kenyataan, namun betapa ia telah cukup mengutuki. Ada beban berat yang harus dipikul sepanjang masa, tak terelakkan. Nasib bayi yang harus dilahirkan, mahkluk tak berdosa yang berhak akan segala kasih sayang, terdengar suara helaan napas panjang.
Orin melanjutkan kata-katanya, “Beta hendak mengatakan sesuatu, apabila kata-kata ini salah anggaplah beta tak pernah mengatakan apa-apa, kalau kata-kata ini benar, itu yang beta kehendaki. Akan tetapi, apa pun kata-kata itu engkau harus berbesar hati”.
“Apa yang hendak engkau katakan Orin?”
“Betani, engkau punya bayi memerlukan seorang ayah, sanggupkah engkau membesarkannya sendiri dalam keadaan seperti ini. Apabila engkau tidak sanggup beta bersedia dengan setulus hati menjadi ayah bagi bayi yang engkau kandung. Kata-kata ini sekaligus, bahwa beta melamarmu”, suara Orin demikian tenang, datar, tanpa gejolak, tapi di telinga Betani suara itu berubah menjadi tiupan taufan yang semakin lama semakin menghembus dengan dasyat menggetarkan seluruh tubuhnya. Tangan perempuan itu gemetar, diam-diam ia berpegang pada sandaran kursi. Betani tak mampu mengucap sepatah kata jua. Hatinya merasa demikian takjub, sanggupkah ia menampik lamaran Orin dalam keadaan ia tak memiliki sesiapa untuk menyandarkan punggung,  juga bapak bagi janin yang tengah ia kandung. Kejujuran hatinya tak akan sanggup menolak lamaran itu, tapi Orin terikat perkawinan resmi dengan sahabatnya.
Apa sejatinya seorang sahabat, kalau diam-diam ia berbuat khianat? Sanggupkah ia menjadi orang ketiga dalam kehidupan Tian, adakah seorang istri yang demikian tulus menerima kehadiran istri kedua sang suami? Samar-samar Betani tersenyum, sekarang bukan lagi zaman ketika seorang perempuan hanya bagian kedua dalam perkawinan, bukan lagi objek yang bersiap diam, apa pun yang akan dilakukan sang suami, termasuk bila ia menikahi lagi seorang wanita demi janin yang dikandungnya. Ah, kehidupan....
Betani menarik napas panjang berulang kali, ia tahu betapa tegang Orin akan jawaban itu, tetapi mulut Betani terkunci, ia tak sanggup mengatakan apa-apa, ia tak sanggup menolak tak dapat pula menerima, hatinya buntu. Di balik tirai Tian merekam pembicaraan itu dengan tenggorokan tercekat, ia tak terkejut dengan kata-kata Orin, meski ucapan itu tak berbeda dengan bilah pedang yang mencabik ulu hatinya dengan kejam. Dengan perlahan Tian menghela napas, ia merasa begitu tegang menunggu jawaban Betani. Kata-kata apa gerangan yang akan diucapkan wanita itu?
**

PENUTUP


B
ahkan malam yang paling panjang sekalipun akan sampai jua kepada fajar, bukankah semesta demikian arif mengedarkan sinar? Susah senang seperti halnya gemuruh air laut yang sesaat pasang kemudian surut. Kalaulah fajar tak sepenuhnya disepuh cahaya, cukuplah kilau sinar itu membuat Betani tersenyum dan menghembus napas lega, ia akan mengakhiri semua bencana ini dan memulai kehidupan yang baru. Hari ini Tian mengulurkan sepucuk surat dalam sampul yang kumal, sampul itu tak banyak berarti, yang lebih penting adalah isi di dalamnya. Dengan  tergesa dan bersemangat Betani membuka surat itu, ia segera mengenali tulisan tangan Frederik, di dalam surat itu terdapat pula kertas karbon yang menyimpan sejumlah uang. Isi surat itu singkat saja.
Kakak,              
Kutunggu hadirmu di Manado, ada sejumlah uang untuk membeli tiket. Awali suatu kehidupan baru.



Salam,
Frederik

            “Surat dari kau punya adik?” Tian membuka pembicaraan.
            “Ya, beta pernah melayangkan surat ke Manado, beta kira surat itu tiada pernah sampai, keajaiban yang dapat membawa surat beta punya adik hadir di sini. Terima kasih Tian”, Betani memandang Tian dengan rasa terima kasih tiada terperi, ia telah cukup meminta dari perempuan ini dan cukuplah segalanya sampai di sini.
            “O ya, beta mendengar pula pembicaraan Orin dan engkau tempo hari, engkau tiada menjawab sampai hari ini. Andai engkau menerima lamaran Orin, beta tiada pula berkeberatan, demi bayi yang tengah engkau kandung. Sungguh”, Tian menatap wajah pucat Betani, ia bahkan tak bisa menerka bagaimana sebenarnya gejolak hati, susah, senang, gelisah atau merana, ia hanya berkehendak untuk mengikuti kata hati, apa pun jawaban Betani.
            Sejenak hening mengggantung di tengah ruangan seakan udara yang bergerak diam-diam, namun bersiaga untuk menerkam. Betani duduk membantu, ia menatap Tian dengan pandangan asing, ia tak menyangka, bahwa Tian mendengar pembicaraannya dengan Orin tempo hari. Suatu pembicaraan yang pasti sangat menyakitkan hati --seandainya ia adalah Tian-- dapatkah ia mendengar pembicaraan itu tanpa sedikit pun kemarahan? Kali ini Tian bahkan merelakan diri bagi kesanggupan jawaban itu, bagi bayi yang tengah ia kandung. Adakah perempuan ini tengah bersandiwara?
            Betani tersenyum tipis dan hampir saja tertawa, tapi niatnya urung, ia menangkap kesungguhan pada tatapan mata Tian. Perempuan itu tidak sedang bermain-main, bulu kuduk Betani meremang, ia sadar diam-diam tangan yang menggenggam sepucuk surat gemetar. Betani tidak yakin siapa kiranya Tian, apakah ia seorang wanita yang benar-benar baik? Atau hanya beracting di atas theater kehidupan  setelah nasib yang “malang”, atau hanya seorang hamba Tuhan yang menaruh belas kasihan, karena di hadapnya ada pula seorang wanita yang tengah tersungkur di hajar kerasnya kehidupan?
            Diam masih menggantung, memecah tak berapa lama kemudian ketika Betani menghela napas dalam-dalam. Bukankah ia telah menemukan jawaban? Perempuan itu berdiri, menggenggam sepasang tangan Tian, menatapnya dalam dalam, kemudian memeluknya. Tak terasa sepasang mata Betani basah, karena isak tangis.
***
            Hari ini --seperti halnya hari-hari yang lalu-- penerbangan Merpati Manado-Kao datang terlambat, gerimis merinai dalam curahan air yang lembut seakan cucuran air mata seribu peri. Desakan angin yang menghembus kemudian mengacaukan sekumpulan mendung hitam, memberi celah bagi surya  untuk berpijar seakan pertanda bagi warna semesta, langit tak selamanya gulita. Betani duduk tenang di ruang tunggu dengan tas dan kopor yang sudah terisi dengan benda-benda penting yang pasti diperlukan, hati perempuan itu sudah bulat, ia harus berpamit meninggalkan kehidupan di kampung halaman yang sudah hancur lebur. Hari esok masih ada, ia masih bisa medapatkannya, demikian pula dengan harapan bagi janin yang dikandungnya. Bukankah air selalu menetes ke bawah kemudian mencari bentuk dan karakter sesuai dengan wadah  yang tersedia? Apa yang mesti ditakutkan kecuali ketakutan itu sendiri, dan ia telah melampaui apa sebenarnya takut?Akhirnya, ia harus berjuang untuk mendapatkan kembali keberanian. Hidup masih masih sebuah tantangan.
            “Engkau bersungguh-sungguh hendak pergi Betani?” Suara Orin serak, ia seakan tengah dihadapkan saat-saat yang amat sulit, karena akan kehilangan sosok yang dicintai untuk selama-lamanya. Betapa tidak mudah kehilangan, karena waktu akan membenturkan hati ke dalam hampa tanpa kata. Ia masih memiliki sisa kekuatan untuk membendung air mata, ia seorang laki-laki, ia tidak perlu menangis.
            “Kalaulah beta masih bisa bertahan tinggal di tempat ini, tapi betapa tidak mungkin. Biarlah yang sudah terjadi berlalu, manusia menjemput takdirnya sendiri”.
            “Jadi, engkau menolak lamaranku?”
            “Andai waktu bisa diputar undur, tetapi betapa tidak mungkin. Sepenuh hati beta menyayangi engkau Orin, tetapi biarlah rasa sayang itu hanya ingatan, karena beta mesti pergi dan tak akan pernah melupakan engkau. Beta akan mengenang engkau berdua selamanya, kalau anak ini terlahir laki-laki akan beta kasih nama Orin kalau terahir perempuan akan beta kasih nama Tian. Ijinkan beta mengenang kalian berdua dalam damai selamanya, bukan dalam kesakitan”.
Lalu terdengar gemuruh suara pesawat mendarat, sekitar landasan pacu adalah kesunyian dan rumput ilalang yang masih basah setelah rinai gerimis, selebihnya rimbun hutan yang tiada bertepi. Sekalian penumpang turun, kemudian penumpang yang sudah bersiap berangkat beranjak menuju ke pesawat. Orin merasa kesunyian yang lengkap, kepedihan tanpa batas, dan hampa yang sempurna ketika Betani menggenggam tangan kemudian mencium sepasang pipinya. Ia tak hendak melepas perempuan ini pergi, tetapi harus, Orin hanya melihat bayangan yang bergerak kabur ketika Betani berpelukan dengan Tian kemudian keduanya melambai mengucap salam perpisahan.
Sesaat kemudian pesawat udara kembali menggeram dan bergemuruh membawa sosok Betani dan penumpang lain terdiam di atas kursi terikat sabuk pengaman. Dari jendela pesawat Betani dapat melihat Orin berdiri dengan gontai dan wajah sekelam mendung, di samping Orin adalah Tian. Perempuan itu berdiri dengan ketabahan dan raut wajah sulit dilukiskan. Dada Betani terasa sesak, lehernya tercekik, pandangan matanya perlahan menjadi bayang-bayang ketika ia tak dapat lagi membendung air mata. Terlalu banyak yang harus ditinggalkan, tapi adakah ia akan sanggup menetap?
Sebuah raungan mengawali Twin Otter itu meninggalkan landasan, terbang seakan merpati memapas langit dalam kesungguhan. Betani memejamkan mata, kalaulah ia seorang penyair, ia bahkan tak akan pernah mampu menyusun kata-kata bagi perpisahan ini. Iapun merasa bobot tubuhnya mengapung dan melesat ke dalam ketinggian tanpa ujung. Bayangan Orin dan Tian menghilang ditelan kabut.
Di tepi landasan pacu Orin masih mematung dalam rasa gamang, ia menatap laju gerak pesawat dengan rasa berat dan bahu serasa ditimbun bukit. Kesiur angin serasa teramat dingin menggelisahkan, lutut Orin menggigil. Tubuhnya limbung dan nyaris rubuh, tetapi tiba-tiba ia merasakan genggaman hangat pada telapak tangannya yang gemetar. Genggaman yang tiba-tiba memberinya kekuatan dan satu kesadaran mutlak, ia tidaklah benar-benar sendiri, ia bahkan tidak kehilangan apa-apa. Orin menoleh dan tatapannya segera bertautan dengan sepasang mata Tian. Sepasang mata yang ditopang kekuatan dan ketabahan tiada tara, masihkah ia harus bertanya tentang cinta? Apa yang tidak diperoleh dari Tian, ketika Betani tak dapat memberikan apa-apa, bahkan ketika ia telah memintanya.
Betapa cepat perasaan manusia berubah, antara ada dan tiada, antara harap dan ketakutan, antara kesendirian dan kebersamaan. Segalanya hanya lelaku seakan perubahan warna dari gelap menuju terang, dari badai menuju reda --pun si-aku tak boleh berubah mencapai tuju. Di atas langit perlahan disepuh cahaya, sisa gerimis memanggil bianglala di batas angkasa menyudahi kelam. Orin masih terpaku  tatapan matanya demikian lekat , sehingga ia dapat melihat bayangan pelangi melengkung pada sepasang bola mata Tian seakan tujuh warna yang membias dari selendang sang bidadari maya.

Selesai
Agats – Asmat, 22 Mei 2012
Catatan dari perjalanan ke Halmahera

Posting Komentar

0 Komentar