Oleh; Herman E Degei*
ilustrasi |
Argapura, 19 Agustus 2016. Jam menunjukkan pukul 05
lebih 42 menit WIT. Aku saat itu baru saja bangun dan beranjak dari tempat
tidur. Sembari sesekali menyeka mata, aku menuju ke luar bagian depan rumah. Di
pekarangan rumah ada yang tampak tak menyenangkan untuk ditatap. Mereka
dedaunan. Berserak, bikin ganas. Tapi itulah salah satu konsekwensi jika pohon
ditanam di sekitar rumah. Toh, di sisi lain, ia juga mengusir gerah dan
memberikan kesegaran yang adem.
Hati tergerak. Aku segera
mengambil sapu lidi, kemudian menuntun dedaunan tadi ke tempat dimana biasanya
mereka dikumpulkan dan dibakar. Saat itu juga sementara adikku yang perempuan
tengah mencuci piring, adikku yang laki-laki memberi makan ternak babi
dibelakang rumah. Ibuku jelas sedang di dapur. Tertib.
Pekerjaanku rampung. Aku dengan
langkah yang sedikit tenang menuju ke dalam kamar. Terlihat ayah sedang
menyiapkan ikhtisar materi bahan ajaran untuk hari ini di sekolah. Ia
memanggilku. Barangkali derap langkahku didengarnya. Ia menyuruhku untuk pergi
belikan rokok ketika kupenuhi panggilannya.
“Lukas. Ko pergi tolong belikan
bapa rokok di kios.”
“Iya.”
“Rokoknya nanti yang
dibungkusannya ada gambar seorang bapak gendong anak kecil. Jangan yang gambar
lainnya!” Ia menggeruk saku celananya, mengeluarkan dompet, lalu jemarinya
merogoh, menjepit 20 ribu dan memberikannya kepadaku.
Dengan langkah sedikit
tertegun-tegun, aku melangkah ke kios. Dalam perjalanan pergi-pulang yang
memakan waktu 10 menit itu, pikiranku berisik. Bahwasannya, kenapa? Apa
gerangan yang membuat ayah lebih memilih rokok yang pada kemasannya terdapat
gambar seorang ayah menggendong anak kecil? Apa mujurnya? Sementara yang
membedakan rokok tersebut dengan yang lainnya toh cuma kemasannya to. Ataukah
barangkali karena gambar pada rokok yang dipilih ayah sedikit tak tampak
menyeramkan ketimbang yang lainnya? Beberapa pertanyaan ini menyertaiku selama
perjalanan.
Di Kios pertama yang kudatangi,
ada rokok. Tapi rokok dengan kemasan yang dikehendaki ayah ternyata tidak ada.
Terpaksa aku harus ke kios sebelahnya lagi. Disana pun sama halnya. Sedikit
penat. Tapi sudahlah. Kuputuskan untuk ke kios sebelahnya lagi, kios milik bang
Tito. Disana barulah ada. “Kamu beruntung, Lukas. Rokok dengan bentuk kemasan
yang mau kau beli itu disini hanya sisa sebungkus,” kata bang Tito. Aku pulang.
Andai saja saat itu kami tak masih libur, tentu waktuku untuk pergi ke sekolah
pada tepat waktu jadi sasarannya.
* * *
Malam harinya, masih di hari
itu, aku duduk bersila di bawah pohon mangga. Letaknya tepat di
sebelah pohon pisang, samping rumah. Sementara itu, rembulan sudah agak
sedari tadi menyembul. Sinarnya menembusi pelepah daun pisang, hingga mengenai
tubuhku. Entah kenapa, aku teringat kembali kejadian pagi tadi. Tidak enak. Ditambah
lagi, seakan tak sampai hati jika kubiarkan ayahku masih terperangkap dalam
kepicikannya menilai perihal rokok. “Aku harus beri pemahaman ke ayah,”
pikirku.
Kemudian aku juga merasa heran.
Mengapa rokok dengan bentuk kemasan seperti yang dikehendaki ayah tadi kian
sukar didapat di tiap kios? Mengapa rokok dengan bentuk kemasan tersebut lebih
laris di pasaran? Rasa penasaranku makin kental. Tidak enak.
Sayang. Padahal peringatan
dengan bentuk gambar, yang dirintis berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013, dan implementasinya terealisasi
terhitung mulai 24 Juni 2014 itu bertujuan untuk meminimalisir para perokok
aktif. Tapi apa alhasil? Kemudian toh juga, jalan tersebut dipilih karena
peringatan berbentuk gambar lebih mudah direkam di otak, sehingga membuat orang
akan terus mengingatnya.
Usaha pemerintah yang
sebenarnya merupakan bentuk kepedulian itu ternyata tidak gol. Gambar-gambar
menyeramkan yang sengaja diterakan pada semua produk tembakau atau rokok yang
beredar di Indonesia pun nyatanya tak bikin mereka dengan serta-merta
terperanjat dan menikung dari kelazimannya. Termasuk ayahku. Payah. Barangkali
mereka masih beranggapan bahwa rokok dengan bentuk kemasan seperti tadi kadar
nikotinnya lebih sedikit, dan tak akan berdampak seperti yang tertera pada
kemasan rokok atau tembakau yang lainnya. Hah, sebebal itu?
Mereka terperdaya. Padahal
rokok dengan kemasan yang oleh mereka dianggap brilian itu hanyalah salah satu
gambar yang mengisyaratkan, bahwa merokok dekat anak kecil bisa berdampak buruk
bagi si anak kecil tersebut. Ringkasnya, persepsi mereka adalah imbas buruk
merokok tergantung dari gambar yang diterakan di kemasan rokok. “Toh kalau kita
merokok di kejauhan dari anak, selesai,” begitu mungkin anggapan mereka.
* * *
Besok sorenya, tetangga kami,
om Bendi datang ke rumah. Ia adalah ayah dari Dominikus Aiwor, teman mainku. Ia
datang katanya sebab induk ternak babi peliharaannya mau dikawinkan dengan babi
pejantan kami. Ayahku mengiyakan, namun karena hari sudah mau magrib, sehingga
kata ayahku, besok barulah babi pejantan kami dihijrahkan.
“Beberapa waktu terakhir ini,
warga dikejutkan dengan wacana terkait kebijakan pemerintah untuk menaikkan
harga rokok. Di berita mereka tulis, katanya nanti mulai awal atau pertengahan
bulan September.” Om Bendi membuka.
“Iya, benar!” balas ayahku.
“Tapi kebijakan ini, menurut saya, akan berdampak pada meningkatnya jumlah
pengangguran, sebagai akibat dari ditutupnya beberapa pabrik rokok. Trus,
dampak yang terjadi juga bukan saja menimpa buruh pabrik, melainkan juga pada
para petani tembakau,” lanjut ayah.
Meski yang dikatakan ayah dari
sisi lain memang ada benarnya, tapi itu dari sudut pandang dia sebagai salah
satu pengomsumsi rokok. Dan pasti saja dalam lubuk hatinya yang paling dalam,
dia kontra dengan wacana terkait kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga
rokok. Aku tahu itu. Berbeda dengan om Bendi yang adalah bukan perokok.
“Iya, benar. Tapi di sisi lain,
hal ini juga merupakan solusi yang sangat tepat dan efektif, terutama dalam
mengurangi dampak negatif rokok terhadap kesehatan. Kan, katanya juga bertujuan
untuk meningkatkan pendapatan APBN. Selain itu, menurut saya, usulan pemerintah
terkait dengan kenaikan harga rokok ini akan berpotensi mengurangi perilaku
konsumtif masyarakat terhadap rokok. Sebab kenaikan harga merupakan upaya untuk
mengurangi jumlah perokok yang ada di tengah masyarakat,” balas Om Bento.
Ia menambahkan, kenyataan ini
tentu sangat paradoks dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah terutama dinas
kesehatan dalam mengampanyekan pola hidup sehat. Pemerintah mengambil langkah
baru dengan wacana menaikkan harga rokok lima kali lipat, sebab dirasa tulisan
berupa warning dengan gambar yang cukup menakutkan dalam
kenyataannya belum efektif membuat sadar para pengidap rokok.
Om Bento memang orang yang kaya
akan informasi. Selain alim, dia juga suka berpetuah. Perbincangannya dengan
ayahku tentang ihwal rokok sedari sore hingga malam itu mengurungkan maksudku
untuk memberi pemahaman ke ayahku. Semua, bahkan melampaui dari yang ingin
kujelaskan ketika itu disampaikannya ke ayahku. Aku bahkan ketika itu berpikir,
bahwa mungkin dia ini ditugasi Tuhan sendiri untuk bercurah banyak mengenai
perihal rokok kepada ayah.
TAMAT*
(Yogyakarta, 09 September 2016)
Herman E Degei* adalah mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Yogyakarta
0 Komentar