CITA-CITA DI ATAS BINTANG


Oleh: Bunga Nieta Putri Vidanska

“Rena, su jam berapa tuh? Tidak siap-siap ke sekolah kah?”

“Iya Ma, sebentar lagi.” Rena tak menggubris perkataan ibunya. Ia tetap meneruskan melipat kertas origaminya, menjadi bintang. “Selesai!” Ia tersenyum senang ketika bintang berwarna emasnya sudah jadi. Melihat bintang-bintang itu membuat hatinya terasa tenang. Tak jauh darinya, ibunya memperhatikan anak sulungnya itu dengan pandangan sedikit cemas namun bangga.

“Kakak! Tempo sudah, di luar su gelap sekali, nanti kitong kehujanan lagi..!” Martia, adiknya yang masih duduk di kelas 4 SD itu menarik-narik lengan baju Renata. Renata hanya tersenyum lalu ia mengangguk dan segera berpamitan pada orang tuanya.

“Ma, kitong mau pamit dulu...” ibunya hanya diam bergeming sambil memperhatikan kedua anak gadisnya itu. Beliaumengelus kepala mereka, lalu ia berkata dengan suara dalam, “Rena, Tia, belajar yang baik eh? Kalau su besar, jadi anak yang berguna buat keluarga dan orang-orang sekitar. Mama senang ee... kalau kam dua bisa sukses tra kayak kam pu mama ni yang cuma jadi pegawai negeri biasa saja.” 

Beliau pun mengalihkan pandangan pada Rena, “Terutama ko, Rena. Ko itu anak pertama yang paling mama sama papa banggakan. Jangan sampai prestasi turun gara-gara bikin bintang terus.” Rena hanya tertawa kecil ketika ibunya menyebutkan hobinya itu. “Justru ko prestasi harus meningkat dan tinggi macam bintang di langit.”

“Iya ma, pasti. Sa juga tahu batas kok. Sa janji, buat bintang gak akan bikin sa nilai turun, mama..” Rena meyakinkan ibunya dengan mantap. Ibunya hanya tersenyum sedih melihat kedua anaknya tersebut. “Oya, papa mana kah ma? Kitong mau pamit dulu.”

Seakan tersadar dari lamunannya, ibunya pun  menjawab, “Oh, papa masih tidur, semalam papa tidur larut jadi. Sudah, kam jalan sudah.” Serentak Renata dan Martia pun mengangguk lalu mencium tangan ibunya.

“Mama, torang pergi dulu.”

“Dadah mama!” Martia berteriak senang sambil melambaikan tangan pada ibunya. Entah mengapa hari ini hati beliau terasa sangat gelisah. Ia seperti tak ingin membiarkan kedua anaknya itu pergi. Ketika kedua anaknya itu sudah agak jauh dari rumah, tiba-tiba beliau berteriak,

“Martia! Renata!” Mereka pun berbalik bersamaan. Tersadar, beliau jadi sedikit salah tingkah. Ketika sudah terdiam cukup lama, belliau hanya mengeluarkan suatu alasan palsu. “Eh... trada yang ketinggalan toh? Payung?” Dengan mimik heran, Renata dan Martia hanya menggeleng bersamaan. Dengan gugup, ibunya hanya mengangguk lalu melambaikan tangan sambil tersenyum kikuk.

Aneh... perasaannya tidak enak sedari tadi...

***

“Kakak, nanti kalau ada pr matematika lagi, ajarkan sa lagi eh kak??” Martia berjalan dengan wajah ceria sambil digandeng kakaknya.

“Iya Martia, pasti kakak bantu.” Renata tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Tiba-tiba ada suara gemuruh. Martia pun segera mengeluarkan payung miliknya.

“Ini kak, sebentar lagi hujan turun kah apa...” Namun aneh, terdengar samar-samar suara orang berteriak minta tolong. Seketika itu juga orang-orang berlari dari arah yang berlawanan. Martia dan Renata pun saling berpandangan, lalu suara teriakan itu pun semakin jelas terdengar,

“AAA!!! TOLOOONGGG!!! BANJIIIRR!!!”

Dengan sigap, Renata langsung menarik adiknya untuk berbalik dan segera lari. Mereka berdua pun lari terbirit-birit ditengah himpitan orang-orang yang juga berusaha untuk menyelamatkan diri. Ketika Rena melihat kebelakang, air nampak sangat tinggi dan sudah mendekati dirinya dengan batu-batu kali dan gelondongan kayu ikut hanyut bersama air itu.

Rena pun menarik Martia untuk lebih cepat lari, tiba-tiba saja Martia jatuh dan tertinggal agak jauh. Renata berbalik lagi namun harus melawan arus orang-orang yang berlari dan menabraknya. Rena mendengar Tia menangis. Rena mendengar Tia meneriakkan namanya.

“KAKAAAKKK!!!” Rena tak kuasa menahan tangis. Ia sudah berusaha sekuat tenaga, namun apa daya, ia melihat ke atas dan melihat air sudah jauh lebih tinggi dari gedung bertingkat tiga. Seketika, teriakan Tia pun semakin terdengar jauh, dan ia pun melihat Tia sudah hilang ditelan air.

“TIAAA!!!!” Tubuh Rena pun semakin melemas. Susah rasanya untuk berlari. Banyak bayangan berkelebat, mulai dari pesan-pesan ibunya, wajah ceria adiknya, hingga ayahnya yang ia lihat masih tidur. Satu harapannya kini, ia hanya ingin bertemu mereka kembali. Tiba-tiba Renata terjatuh dan semuanya pun menggelap.

***

“Tia...Mama...Papa....Tia...! TIIAAA!!!”Rena terbangun, tante Agnes pun segera menghambur padanya. Ia memeluk Rena yang masih menangis. Rena memimpikan keluarganya, banjir bandang itu, dan semua itu membuatnya shock.

“Tia...mama...papa.... Tante...?” Napas Rena tersengal-sengal, mengucapkan suatu kalimat pun berantakan. Tante Agnes hanya bisa ikut menangis, lalu menjawab dengan perlahan sambil menggelngkan kepalanya, “Mereka.....tidak ada yang selamat....Rena....”  Shock, Rena pun menangis dalam diam dan membiarkan pikirannya melayang-layang. “Besok...kalau kamu sudah lebih baik...ikut tante ke Jakarta ya...? Om Johannes dan tante akan menyekolahkanmu disana...” Rena tetap bergeming dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Berat rasanya meninggalkan kota Wasior ini, sudah banyak kenangan yang terukir disini. Tapi ia mengingat pesan ibunya, bahwa ia harus terus maju apapun yang terjadi.

Mama, papa, Martia... Sa janji... sa pasti akan maju, sa pasti akan buat mama papa dan Tia bangga. Walaupun artinya Rena harus meninggalkan kalian semua. Doa’kan Rena ya? Rena akan mengejar cita-cita Rena setinggi bintang di langit, seperti yang kalian inginkan.

***

Hari baru, aktivitas baru, tempat tinggal baru, sekolah baru, harapan baru, semua serba baru. Termasuk orang tua baru.Itulah yang dipikirkan Renata saat ini. Tidak ada yang berubah darinya, hanya saja kulit hitam manisnya yang beberapa tergambar bekas luka yang ia dapat dari bencana kemarin. Pribadinya pun juga jadi lebih pendiam dan tertutup. Ia jadi jarang tersenyum dan mulai berhenti menangis.

Hari ini Rena sudah mulai bersekolah. Sekolahnya adalah sekolah swasta yang tergolong mewah. Namun ia tidak terlalu terkagum-kagum. Ia sudah sering berlibur di rumah tantenya itu, maka ia sudah tidak heran dengan hal-hal semacam ini.

Semenjak ia menginjakkan kaki di sekolah ini, ia menjadi pusat perhatian dan menjadi topik perbincangan seluruh sekolah ini. Entah apakah mereka takjub karena baru pertama kali melihat orang Papua? Atau karena mereka mengetahui bahwa Rena salah satu korban bencana itu? Yang pasti Rena tidak peduli dan tidak pernah mau peduli. Hal-hal seperti itu hanya membuatnya sangat tidak nyaman.

“Eh..! Liat deh anak itu, denger-denger dia korban banjir bandang itu tau! Kasian ya...”

“Ya ampun, sekolah kita ada pengungsi! Ckckck... merusak nama baik sekolah nih!”

Renata hanya menutup telinganya dan berlalu dengan tenang. Meskipun ia tahu bahwa ia sangat sakit dan ingin melawan namun ia harus menahan diri. Di tengah kejengkelannya itu, tiba-tiba saja ada orang yang mencoleknya dari belakang,

“Ehm... Lo Renata Insos Mansawai??” Renata hanya mengangguk pelan sambil memasang mimik heran sebagai jawaban.

“Kenalin, gue Rae Sativa, Ketua OSIS disini. Panggil aja Rae.” Laki-laki yang bernama Rae itu tersenyum sambil menjabat tangannya. Rena pun membalas sambil tersenyum ala kadarnya. “Oya, lo dipanggil ke ruang guru tuh, disuruh ambil buku-buku lo. Ayo ikut gue.” Tanpa banyak kata, Rena pun megikuti Rae dari belakang. 

Disepanjang jalan menuju ruang guru, Rae menceritakan tentang SMP St. Maria tersebut untuk mencairkan suasana. Sebenarnya tujuan lain Rae adalah ia penasaran dengan Rena yang sedari tadi tidak bicara. “Oya, soal tadi yang anak-anak omongin, gak usah diambil hati ya...” Rena sedikit terkejut dan bingung dengan apa yang dibicarakan teman barunya itu. Seketika ia mengerti.

“Ah... tidak apa-apa. Saya juga sudah lupa...” Rena berkata datar sambil menghembuskan nafas. Sedangkan di sampingnya, Rae tertawa kecil sambil memperhatikan Rena.

“Hahah...di Papua itu bahasanya baku banget ya? Keren...” Rena hanya tersenyum kecil menanggapinya.

“Iya, disana memang begitu. Rata-rata tuh Indonesia bagian timur pakai bahasa baku, cuma dia punya logat saja yang bikin beda.” Rae tersenyum takjub mendengarnya. Satu hal baru yang gue pelajari dari dia... begitu batinnya. Tak lama, ia segera membukakan pintu dan mempersilahkan Rena masuk ke ruang guru.

***

Lonceng istirahat telah berbunyi, dan tepat pada saat itu juga Rae keluar kelas dan segera menuju ke kelas 9B dengan langkah ringan. Ia pun masuk dan menemukan orang yang dicarinya sedang serius melipat sebuah kertas. Kertas origami berwarna kuning. Rae pun mendekatinya.

“Rae?” Rena menengadah dan mendapati Rae sedang mengamatinya.

“Hai Ren! Lagi ngapain?” Rae tersenyum menyapa lalu duduk dihadapan Rena dengan kursi yang dibalik. Rena tak menggubris Rae, dan segera melanjutkan apa yang dikerjakannya tadi. Rae memerhatikannya dengan seksama. Bintang?!Batin Rae dengan takjub “Ini...jadinya..bintang..?” Rena hanya mengangguk puas. 

“Lo suka banget bikin origami?”

“Iya... saya suka sekali bikin origami, terutama bintang.” Rae manggut-manggut dan bertanya,

“Emang kenapa lo suka banget bikin bintang?” Rena pun tercenung, ia menimbang-nimbang apakah harus ia memberitahu Rae atau tidak. Pada akhirnya, ia hanya tersenyum sedih dan berkata,

“Ya... saya suka dia punya bentuk. Lagipula macam jarang kah orang yang bisa bikin origami bintang...saya bangga aja..” Rae pun tersenyum dan segera mengambil origami berwarna emas.

“Ajarin gue ya?”

***

“Tolong, kembalikan saya punya buku!” Rena berusaha merebut bukunya dari Sitha, namun Sitha terus menghindar.

“Gak mau! Ih, mana sih tu barang?? Perasaan tadi gue liat diselip di-” Tiba-tiba sehelai kertas berbentuk bintang berwarna emas jatuh dari buku yang dipegang Sitha. “Ini dia yang gua cari!” Rena langsung berlari merebutnya.

“Jangan Sitha! Saya mohon...tolong kembalikan kah..” Rena sudah hampir menangis dibuatnya, tapi Sitha tak peduli. Ia tahu bahwa bintang itu dibuat Rae, dan Sitha tak suka dengan kenyataan itu.

“Sebodo amat! Gua gak peduli. Lo jago kan bikin beginian? Ini buat gua aja ya? Thanks.” Sitha ingin berlari sambil membawa bintang itu, namun Rena berhasil memegang ujungnya, mereka pun saling berebut dan tarik menarik. Sampai akhirnya, bintang itu menjadi kusut dan akhirnya sobek. Mata Rena membesar dan ada rasa untuk ingin memukul wajah Sitha, namun ia urungkan niatnya itu dan memilih diam sampai tiba-tiba Rae sudah ada diantara mereka.

“Apaan sih nih ribut-ribut?!” Bentak Rae yang baru saja masuk. Sitha langsung memasang mimik wajah tak berdosa-nya dan langsung menghindari Rae.

“Oh...gak ada apa-apa. Tanya aja sama si anak baru ini. Si pengungsian yang punya keahlian merebut hati orang.” Sitha sengaja menekan kalimat ‘merebut hati orang’ dan melihat sinis kepada Rena sebelum ia pergi keluar kelas.

Rena tetap terpaku di tempatnya, sedangkan Rae malihat ke arah tangan Rena dan benda apa yang berserakan dibawahnya. Bintang itu...?!

***

“Tempat ini...bagus...” Rena memandangi pemandangan disekitarnya. Terhampar luasnya sawah hijau dengan sungai bersih yang kecil di tengah-tengahnya. Terdapat pula pohon mangga yang cukup besar disitu dan ada rumah pohon di atasnya. Tempat yang sangat jarang di temui di kota besar seperti ini.

Rae tersenyum bangga ketika melihat Rena takjub dengan pemandangan yang disuguhkannya. “Baguskan? Tempat ini tempat favorit gua... Cuma ada di belakang perumahan ini aja lho! Lo liat rumah pohon itu? Itu gua yang bikin, sebagai tempat main gua. Hahah..” Rae tertawa senang, lalu ia mengajak Rena duduk di rumah pohon tersebut. “Ke sana yuk.”

Mereka sudah berada di dalamnya. Rena duduk diam dengan wajah murung, dan Rae pun tersadar. “Ehm...Ren, gua boleh nanya sesuatu gak...?” Renata mengangguk dengan sedikit heran. “Apakah bintang emas itu betul-betul penting buat lo sampe-sampe lo se-emosional tadi pas Sitha mau ngambil bintang itu..?” Rena tersenyum kecil mendengar pertanyaan Rae.

“Kalau tadi Sitha dia tidak ambil bintang emas itu, mungkin saya tidak akan bereaksi macam tadi...” Jawaban Rena membuatnya bingung. Jangan-jangan... “Bintang...Itu penting buat saya. Kalau saya lihat bintang emas itu, saya jadi ingat saya punya mama...” Rena mulai berkaca-kaca. “Dulu, mama saya yang ajarkan saya bikin origami bintang ini pakai kertas warna emas. Sampai sekarang, kalau saya lihat bintang emas itu, saya punya hati jadi tenang sekali...” Rena menarik nafas dengan berat, “Sayangnya, Rae.. beliau tidak selamat pas banjir bandang kemarin. Saya punya adik dan papa juga... Saya...”

Rena sudah tak dapat berkata-kata lagi. Ia terlanjur sakit ketika mengingat kenangan tentang keluarganya itu. Sementara Rae yang kini berada disampingnya itu menjadi semakin merasa bersalah dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sapu tangan. “Ini,” Rae menyodorkan sapu tangannya.

“Gue emang gak pernah kehilangan orang tua bahkan seluruh keluarga kayak lo. Gue juga gak akan pernah ngerti gimana rasa sakit itu sebelum gue ngerasainnya sendiri. Tapi, gue ngerti banget kalau lo kesepian, maka dari itu, gue berusaha akan selalu ada untuk lo disaat lo butuh gue.” Rae mengelus rambut Rena yang ikal. “Gue juga gak bisa janji apakah gue bisa buat lo senang dengan bertindak sebagai keluarga lo, tapi gue janji gue akan buat lo berhenti menangis dan memulai tawa lo kalau lo lagi sedih.” Rae tersenyum manis sambil menatap Rena yang sedang menyeka air matanya. Mendengar kata-kata Rae dan melihat senyumnya, untuk yang pertama kali Rena tersenyum manis setulus hatinya.

“Thanks ya, Rae.”

***

Semua berubah seiring berjalannya waktu. Lama kelamaan Rena sudah tidak menggunakan logat Papua lagi, walaupun ia tetap mengingatnya. Renata sudah memiliki banyak teman, termasuk Sitha. Hubungannya dengan Rae juga semakin dekat. Mereka sering berlomba membuat ribuan bintang dengan berwarna-warni origami. Rena juga sering bercerita tentang Papua, yang membuat Rae semakin bersyukur bisa berteman baik dengannya.

Rena juga tak pernah melupakan janjinya pada orang tuanya dan juga Martia, adiknya yang paling ia sayangi itu. Walaupun dari pelosok daerah, Rena tetap berprestasi dan mendapat rangking yang tak pernah lari dari tiga besar. Itu semua membuatnya menyandang berbagai beasiswa sampai beasiswa bersekolah di luar negeri. Hingga saatnya tiba, ketika waktu sudah semakin sedikit setelah hari kelulusannya, Rena harus meninggalkan Indonesia menuju Korea Selatan.

“Hahaha! Yeee..! Lihat, bintang gua udah 500 dong! Hahahah.... Rae kalah!” Rena menjulurkan lidahnya sambil tertawa bangga.

“Jiah... iya deh master origami. Sayangnya...gue baru punya 432 bintang nih...” Rae merengut. Rena hanya tertawa. “Oya Ren, maksud dari nama lo itu apa sih?? Nama lo unik banget...” Rena tersenyum menanggapi pertanyaan sahabatnya itu. Sahabatnya yang satu ini memang mempunyai rasa ingin tahu yang besar.

“Begini... Nama gue Renata Insos Mansawai kan? Iya, ‘Renata’ itu nama gue, ‘Insos’itu artinya ‘anak perempuan’, sedangkan ‘Mansawai’ itu nama keluarga gue atau marga, tau kan lo?” Rae hanya mengangguk-angguk. “Jadi artinya, ‘Renata anak perempuan keluarga Mansawai’. Begitu...” Rae mendengarkan Rena dengan takjub, ia senang sekali mendengar cerita-cerita dari sahabatnya itu. “Kalau Rae Sativa itu artinya apa?? Orang Bali kan lo?”

Rae mengangguk tanda mengiyakan bahwa ia orang Bali, tapi ia hanya cengengesan ketika harus mengartikan namanya itu. “Hehehe...gue gak tau, Ren...”

“Jiah, orang Bali apaan, orang lo nya aja gede di Jakarta. Hahahaha!” Rena dan Rae tertawa bersamaan. Mereka pun ngobrol ngalor ngidul tanpa suatu topik yang jelas. Sampai akhirnya mereka membicarakan tentang sekolah tinggi tujuan mereka selanjutnya.

“By the way, kapan lo berangkat ke Korea Selatan Ren??” Rena pun terdiam. Tawa yang melekat di wajahnya  pun memudar. Ia berubah menjadi murung.

“Denger-denger...dua minggu lagi Ra... tapi itu juga mesti mampir dulu ke Singapur, untuk di karantina ya kalau gak salah...” mendengar perkataan Rena, suasana pun seketika menjadi hening. Raut wajah antara sedih dan kecewa pun tak bisa disembunyikan Rae. Rena yang menyadarinya langsung mengubah topik pembicaraan. “Lo sendiri, Ra?”

“Gua juga dapet beasiswa, tapi di UI aja Ren... yah...lumayan lah...” Rae mencoba tersenyum, namun hasilnya menjadi senyuman kikuk. “Yah, bakalan kangen dong gueeee....!” Rae dan Rena pun sama-sama tertawa, namun suasana pun sudah terlanjur buram.

***

13 hari kemudian....

Rae mana ya...?

Sudah lebih dari satu jam Rena menunggu Rae di rumah pohonnya, namun orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Rena mencoba menghubungi Rae lewat sms maupun telpon, tidak ada yang bisa menyambungkan dirinya dengan Rae. Aneh, padahal Rae tak biasanya seperti ini. Apalagi besok siang Rena sudah harus meninggalkan Indonesia, hati Rena menjadi amat sangat tidak tenang.

1 jam kemudian...

Sudah dua jam Rae tak ada kabar. Akhirnya Rena memutuskan untuk pulang dengan hati hampa. Plastik yang besar yang ia bawa pun ia tinggalkan disitu. Berharap bahwa Rae menemukannya, jika ia datang kesini.

***

Maafin gua Rena...

Sudah beberapa hari terakhir ini air mata Rae tak kunjung kering. Ia pun juga terus melipat ratusan kertas origami. Dua minggu terakhir inilah ia gunakan waktu sebaik-baiknya untuk menggenapi pekerjaannya itu. Ia pun harus rela berbohong dan tidak menepati janjinya untuk menemui Renata di rumah pohonnya sore ini.

Malam sudah hampir berganti menjadi pagi, pekerjaannya pun baru selesai dengan rapi. Ia tersenyum bangga sekaligus puas. Sekali lagi, semua pengorbanan itu dilakukan hanya untuk seseorang yang berarti baginya, bagi Renata Insos Mansawai.

***

Rena menghembuskan nafas dengar kesal. Perasaannya sedang campur aduk saat ini. Antara sedih, sakit, kesal, marah, juga khawatir. Sudah beberapa hari ini telepon genggam Rae tidak aktif. Kemarin sahabatnya itu pun  juga tidak menepati janjinya untuk bertemu. Sampai sekarang sudah panggilan kedua untuk para penumpang pesawat pun Rena belum mau masuk karena masih ingin keajaiban terjadi. Ia berharap bisa bertemu Rae!

Sudah panggilan ketiga, berarti ia harus segera masuk jika tidak ingin tertinggal. Dengan kecewa, Rena pun bangkit dari kursi lalu mulai berpamitan dengan tante dan om nya.

“Tante... Rena jalan dulu ya?”

“Iya sayang, hati-hati ya nak disana...” mereka pun berpelukan sesaat. Tante Agnes tak kuasa menahan tangis.

“Om, Rena jalan ya.. Titip Tante Agnes...”

“Iya, Rena. Hati-hati ya, kalau ada apa-apa bisa langsung menghubungi om lewat e-mail.” Rena pun mengangguk,

“Iya Om.. itu pas-”

“Lupa seseorang ya?” suara itu...Suara yang dinantikan Renata. Suara yang ditunggu-tunggunya. Suara yang selalu membuatnya rindu dan khawatir. Suara kepunyaan Rae Sativa.

“Rae!!” Renata berbalik dan langsung menghambur Rae dengan pelukan. Ia menangis sejadi-jadinya. “Lo kemana aja sih Ra?? Gue tungguin  dari kemaren....!” mata Rae yang masih bengkak pun kembali tambah membengkak. Sedangkan di belakang mereka, tante dan om Renata tersenyum memaklumi kejadian tersebut.
“Sorry Ren, gua ada kerjaan kemaren. Jangan nangis ya... gue sayang sama lo, gue gak pengen lo nangis.” Kali ini Rae mengeluarkan sapu tangannya dan menyekakan air mata Rena lalu menggenggamkan sapu tangan itu ke tangan Rena. “Oya Ren, ini ada kenang-kenangan dari gue. Dibuka pas udah sampe disana ya, ato pas lagi di pesawat juga gak apa-apa.” Rae menyerahkan sebuah peti kecil. “Sudah sana, pergi, nanti lo ketinggalan pesawat lagi.”

“Iya Rae, thanks ya... Oya, kenang-kenangan untuk lo, gua tinggal di rumah pohon kita.” Sekali lagi Rena memeluk sahabatnya itu untuk yang terakhir kali. “Bye Ra...” dengan mata berkaca-kaca Rena melambaikan tangan. Begitu juga dengan Rae.

Semoga Tuhan selalu menyertaimu Renata!

***

Rae berlari menuju ke rumah pohonnya. Ketika sampai, ia menemuka sebuah plastik hitam besar. Ia pun membukanya yang ternyata isinya adalah bintang emas besar! Surat kecil di dalamnya terjatuh,

“Terima kasih, karena telah membuat hari-hariku berwarna dan berarti, Rae.”

Rae tersenyum, lalu menggantung bintang itu di tengah-tengah rumah pohonnya.

***

Di saat yang sama...

Renata membuka peti kecil itu. Tak disangka, isinya ratusan origami bintang dengan tali emas di atasnya! Di susunan paling atas, ada sebuah surat dengan sampul berwarna emas. Rena pun mulai membacanya.

Hai Renata!
Untuk masalah yang kemarin, gua bener-bener minta maaf gak bisa dateng nepatin janji gua untuk ketemu lu. Do you know? Butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan 1000 bintang! Capek, Ren... membuat 1000 bintang hanya dalam waktu 2 minggu dengan air mata yang gak bisa berhenti, itu bener-bener buat gua jadi dehidrasi. Gua yakin, mungkin besok gua akan jatuh terkapar di rumah sakit, hahah. :p

Oke, lo gak usah khawatir soal gue, yang penting lu senang dengan apa yang gua kasih, itu udah cukup untuk jadi vitamin gua.

Oya, disini, gua pengen bkin permainan buat lo, ini udah gua sediain 1000 bintang, dan gua minta lo isi semua harapan lo dalam hidup di atas bintang-bintang itu. Habis itu, lo gantung deh. Liat keajaiban apa yang akan terjadi, kalau lo percaya cita-cita dan harapan lo bisa terwujud, pasti terwujud. Contohnya, cari satu bintang emas yang paling besar disitu, lihat apa yang tertulis disana, itu adalah harapan gue buat lo. Selanjutnya, 999 bintang lainnya silahkan diisi sendiri. Selamat mencoba yah!

Suatu kebahagiaan tersendiri bagi gua bisa kenal sama lo. Lo udah mengajarkan gua banyak hal tentang hidup. Mulai dari ketabahan, kesabaran, persahabatan, hingga wawasan gua yang bertambah karena gua bisa kenal sama lo, thank you so much Renata..


Harapan gua untuk lo, raihlah cita-cita lo setinggi mungkin, bahkan lebih tinggi dari bintang-bintang di langit. Capailah selagi lo mampu, anggap aja itu semua untuk kedua almarhumah ortu dan adik lo, juga untuk gua.  Jangan patah semangat ya, raihlah cita-cita yang tertulis di atas bintang lebih tinggi dari  bintang di langit. Gua akan selalu nunggu lo, Ren. Ya, nunggu lo. Disini, di sudut hati gua... di Jakarta.
Lo percaya sama gua ‘kan? Jangan pernah lupain gue ya kawan, begitu juga dengan gue.
With love,
Rae Sativa.

Renata segera menyeka air matanya, terharu. Ia tidak menyangka betapa besar perasaan yang Rae miliki untuknya.Ia pun juga tercenung, memikirkan kalimat yang diucapkan Rae sama persis dengan tujuan ibunya mengajarkannya membuat origami bintang. Kemudian ia segera mencari bintang terbesar berawarna emas. Ketika ia menemukannya, ia membalikkanya dan tertulis tulisan tangan Rae disitu, “Semoga kita dapat bertemu lagi, Renata.”

***
 
Bunga Nieta Putri Vidanska, siswi kelas 8A SMP N 03 Manokwari ini suka menulis cerpen, beberapa cerpennya pernah meraih juara dalam lomba Menulis Cerpen Remaja.

Posting Komentar

0 Komentar